Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM

BEDA AKAD QARDH (UTANG PIUTANG) DENGAN MUDHARABAH

Pinjaman

Para ulama telah memberikan sebuah kaedah yang mesti kita perhatikan berkenaan dengan hutang piutang. Kaedah yang dimaksud adalah:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.(Lihat Al Majmu’ Al Fatawa, 29/533; Fathul Wahaab, 1/327; Fathul Mu’in, 3/65; Subulus Salam, 4/97)

Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal:

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ .

“Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”

Yang masih bingung antara hutang piutang (qardh) n kerjasama (mudhorobah;musyarokah), silahkan disimak ilustrasi berikut:

▶▶▶▶

?? Gimana kabarnya mbak?
?? Sehat dek, alhamdulillah.

?? Ini saya selain silaturahmi juga ada perlu mbak.
?? Apa apa dek…apa yang bisa tak bantu.

?? Anu..kalau ada uang 20juta saya mau pinjam.
?? Dua puluh juta? Banyak sekali. Untuk apa dek?

??Tambahan modal mbak. Dapat order agak besar, modal saya masih kurang. Bisa bantu mbak?
?? Mmm..mau dikembalikan kapan ya?

?? InsyaAllah dua bulan lagi saya kembalikan.
?? Gitu ya. Ini mbak ada sih 20juta. Rencana untuk beli sesuatu. Tapi kalau dua bulan sudah kembali ya gak apa-apa, pakai dulu aja.

?? Wah, terimakasih mbak.
?? Ini nanti mbak dapat bagian dek?

?? Bagian apa ya mbak?
?? Ya kan uangnya untuk usaha, jadi kan ada untungnya tuh. Naa..kalau mbak enggak kasih
pinjem kan ya gak bisa jalan usahamu itu, iya kan?
*tersenyum penuh arti*

?? Oh, bisa-bisa. Boleh saja kalau mbak pengennya begitu. Nanti saya kasih bagi hasil mbak.
??Besarannya bisa kita bicarakan.
Lha, gitu kan enak. Kamu terbantu, mbak juga dapat manfaat.

?? Tapi akadnya ganti ya mbak. Bukan hutang piutang melainkan kerjasama.
?? Iyaa..gak masalah. Sama aja lah itu. Cuman beda istilah doang.

??Bukan cuma istilah mbak, tapi pelaksanaannya juga beda.
??Maksudnya??

??Jadi gini mbak: kalau akadnya hutang, maka jika usaha saya lancar atau tidak lancar ya saya
tetap wajib mengembalikan uang 20juta itu. Tapi jika akadnya kerjasama, maka kalau usaha
saya lancar, mbak akan dapat bagian laba. Namun sebaliknya, jika usaha tidak lancar atau
merugi maka mbak juga turut menanggung resiko. Bisa berupa kerugian materi→uangnya
tidak bisa saya kembalikan, atau rugi waktu→ kembali tapi lama.

??Waduh, kalau gitu ya mending uangnya saya deposito kan tho dek: gak ada resiko apa2, uang
utuh, dapat bunga pula.

??Itulah riba mbak. Salah satu ciri2nya tidak ada resiko dan PASTI untung.

??Tapi kalau uangku dipinjam si A untuk usaha ya biasanya aku dapet bagi hasil kok dek. 2% tiap
bulan. Jadi kalau dia pinjam 10juta selama dua bulan, maka dua bulan kemudian uangku
kembali 10juta+400ribu.

??Itu juga riba mbak. Persentase bagi hasil ngitungnya dari laba, bukan berdasar modal yang disertakan.Kalau berdasar modal kan mbak gak tau apakah dia beneran untung atau tidak.

Dan disini selaku investor berarti mbak tidak menanggung resiko apapun donk. Mau dia untung atau rugi mbak tetep dapet 2%. Lalu apa bedanya sama deposito?

??Dia ikhlas lho dek, mbak gak matok harus sekian persen gitu kok.

??Meski ikhlas atau saling ridho kalau tidak sesuai syariat ya dosa mbak.

??Waduh…syariat kok ribet bener ya.

??Ya karena kita sudah terlanjur terbiasa dengan yang keliru mbak. Memang butuh perjuangan untuk mengikuti aturan yang benar. Banyak kalau tidak berkah bikin penyakit lho mbak.hehe.

??Hmmm…ya sudah, ini 20juta nya hutang aja. Mbak gak siap dengan resiko kerjasama. Nanti dikembalikan dalam dua bulan yaa.

??Iya mbak. Terimakasih banyak mbak. Meski tidak mendapat hasil berupa materi tapi insyaAllah
mbak tetap ada hasil berupa pahala.
Amiiin..

▶▶▶▶▶▶

Kalau cuma bicara anti riba…. burung beopun juga bisa.

Kl cuma diskusi masalah ekonomi umat… ngbrol sama balita yg baru belajar bicara jauh lebih menarik.

Ayuuu hidupkan ekonomi mikro.. berikan pancingan bukan ikan.

investasi dunia akhirat

Notes : perhatikan dlm bisnis akad kerjasama kah?? Atau akad peminjaman uang.. ini 2 hukum islam yg berbeda dn efeknya pun di dunia dan akhirat juga berbeda.

“… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS.Al-baqarah:275)

Sebenarnya apa sih tujuan islam melarang riba? Seharusnya khan asal saling sepakat, saling rela, tidak kena dosa?

Hukum islam itu dibuat untuk mengatur agar manusia mendapatkan kemaslahatan sebesar-besarnya tanpa manusia merugikan siapapun sekecil-kecilnya.

Mari kita bahas contoh LABA dan RIBA agar anda mudah untuk memahami dengan bahasa yang umum:

1. Saya membeli sebuah sepeda motor Rp. 10 Juta dan saya hendak menjual dengan mengambil untung dengan bunga 1% perbulan untuk jangka waktu pembayaran 1 tahun.
Transaksi seperti ini tergolong transaksi RIBAWI.

2. Saya membeli sepeda motor Rp. 10 juta, dan saya hendak menjual secara kredit selama setahun dengan harga Rp. 11.200.000,-. Transaksi ini termasuk transaksi SYARIAH.

Apa bedanya? Khan kalau dihitung2 ketemunya sama Untungnya Rp. 1.200.000?

?

Mari kita bahas kenapa transaksi pertama riba dan transaksi kedua syar’i.

*TRANSAKSI PERTAMA RIBA,* karena:

1. Tidak ada kepastian harga, karena menggunakan sistem bunga. Misal dalam contoh diatas, bunga 1% perbulan. Jadi ketika dicicilnya disiplin memang ketemunya untungnya adalah Rp. 1.200.000,-. Tapi coba kalau ternyata terjadi keterlambatan pembayaran, misal ternyata anda baru bisa melunasi setelah 15 bulan, maka anda terkena bunganya menjadi 15% alias labanya bertambah menjadi Rp. 1.500.000,-.

Jadi semakin panjang waktu yang dibutuhkan untuk melunasi utang, semakin besar yang harus kita bayarkan.

Bahkan tidak jarang berbagai lembaga leasing ada yang menambahi embel2 DENDA dan BIAYA ADMINISTRASI, maka semakin riba yang kita bayarkan. Belum lagi ada juga yang menerapkan bunga yang tidak terbayar terakumulasi dan bunga ini akhirnya juga berbunga lagi.

2. Sistem riba seperti diatas jelas2 sistem yang menjamin penjual pasti untung dengan merugikan hak dari si pembeli. Padahal namanya bisnis, harus siap untung dan siap rugi.

*TRANSAKSI KEDUA SYARIAH,* karena:

1. Sudah terjadi akad yang jelas, harga yang jelas dan pasti. Misal pada contoh sudah disepakati harga Rp. 11.200.000,- untuk diangsur selama 12 bulan.

2. Misal ternyata si pembeli baru mampu melunasi utangnya pada bulan ke-15, maka harga yang dibayarkan juga masih tetap Rp. 11.200.000,- tidak boleh ditambah. Apalagi diistilahkan biaya administrasi dan denda, ini menjadi tidak diperbolehkan.

Kalau begitu, si penjual jadi rugi waktu dong? Iya, bisnis itu memang harus siap untung siap rugi. Tidak boleh kita pasti untung dan orang lain yang merasakan kerugian.

Nah, ternyata sistem islam itu untuk melindungi semuanya, harus sama hak dan kewajiban antara si pembeli dan si penjual. Sama-sama bisa untung, sama-sama bisa rugi. Jadi kedudukan mereka setara. Bayangkan dengan sistem ribawi, kita sebagai pembeli ada pada posisi yang sangat lemah.

Nah, sudah lebih paham hikmahnya Alloh melarang RIBA?

Kalau menurut anda informasi ini akan bermanfaat untuk anda dan orang lain, silakan share status ini, untuk menebar kebaikan.

Dakwah anda hanya dengan meng-KLIK SHARE/BAGIKAN, maka anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share anda, dan juga jika dishare lagi anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share kawan anda.
Mungkin lebih tepatnya MULTI LEVEL PAHALA, Hehehe

Semoga bermanfaat
(copas dengan sedikit tambahan)

Saudaraku, cukup nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut sebagai wejangan bagi kita semua.

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH HANYA MENJUAL BARANG SECARA KREDIT SETELAH BARANG DIMILIKI

Transaksi pembiayaan yang umumnya terjadi pada lembaga finance, perbankan konvensional atau syariah, serta BMT dan Koperasi Simpan Pinjam saat bertransaksi dengan konsumen adalah merupakan transaksi utang piutang, bukan jual beli. Entah nama transaksi dan istilahnya dibuat dengan bahasa arab sehingga terkesan syar’i, namun kenyataannya, umumnya transaksi tersebut merupakan transaksi utang piutang, bukan jual beli.

Hal ini terjadi karena umumnya transaksi tersebut tidak memenuhi syarat jual beli, terutama bahwa objek jual beli merupakan hak milik penuh, dan kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi sempurna dengan terjadinya transaksi dan serah-terima.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

Hadits lainnya. diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “aku bertanya kepada rasulullah, jual-beli apakah yang diharamkan dan yang dihalalkan? Beliau bersabda, “hai keponakanku! Bila engkau membeli barang jangan dijual sebelum terjadi serah terima”. (HR. Ahmad).

Yang membedakan Koperasi Syariah Arrahmah dengan lembaga pembiayaan sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas adalah bahwa kami berusaha menerapkan transaksi yang sesuai syariat Islam.

Silahkan simak gambar dibawah ini yang menggambarkan secara umum transaksi yang terjadi di koperasi kami.

 

 

alur transaksi dengan koperasi syariah arrahmah

  1. Anggota / Calon Anggota koperasi datang ke koperasi syariah Arrahmah bermaksud ingin membeli barang secara kredit melalui koperasi. Anggota melengkapi semua persyaratan administrasi yang dipersyaratkan oleh koperasi. Koperasi mempersilahkan anggota/calon anggota menyebutkan barang yang diinginkan, kriteria atau type dan merk yang diinginkan. Koperasi mempersilahkan anggota menyebutkan nama toko yang menjual barang tersebut, namun lebih diprioritaskan adalah toko atau supplier yang sudah memiliki hubungan kerjasama dengan koperasi syariah Arrahmah. Koperasi Syariah Arrahmah berjanji akan membeli barang sesuai yang diinginkan oleh anggota/calon anggota tersebut.
  2. Setelah poin 1 lengkap, koperasi syariah Arrahmah kemudian membeli barang yang diinginkan oleh anggota/calon anggota koperasi.
  3. Serah terima antara toko/supplier dengan koperasi telah terjadi dan kepemilikan barang berpindah dari milik toko menjadi milik koperasi. Barang siap ditransaksikan dengan anggota/calon anggota koperasi.
  4. Koperasi menghubungi anggota untuk melakukan akad Murabahah. Harga pembelian, biaya administrasi maupun keuntungan yang akan diambil oleh koperasi pada jangka waktu yang disepakati bersama disampaikan secara rinci kepada anggota/calon anggota. Anggota masih memiliki hak khiyar hingga sebelum akad ditandatangani.Yang dimaksud khiyar adalah memilih di antara dua perkara yaitu melanjutkan atau membatalkan jual beli. terutama khiyar yang dikenal dengan sebutan khiyar majelis.Yang dimaksud khiyar majelis adalah khiyar yang terjadi di tempat akad jual beli berlangsung hingga yang melakukan jual beli berpisah.Dalilnya adalah:Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

    Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532).

    Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ ، مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، وَكَانَا جَمِيعًا ، أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ ، فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ ، وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا ، وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ ، فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ

    Jika dua orang melakukan jual beli, maka setiap orang dari mereka memiliki hak khiyar selama belum berpisah dan mereka bersama-sama (dalam satu tempat), atau salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lain. Maka jika salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lainnya kemudian mereka melakukan transaksi jual beli atas khiyar tersebut, sudah (terjadi) jual beli. Bila mereka berpisah setelah terjadi jual beli, dan salah satu dari mereka tidak meninggalkan jual beli maka telah terjadi jual beli.” (HR. Bukhari no. 2112 dan Muslim no. 1531)

  5. Serah terima barang antara koperasi dengan anggota/calon anggota.
  6. Anggota/Calon anggota membayar DP (jika menggunakan DP) dan angsuran kepada Koperasi Syariah Arrahmah.

Demikian gambaran transaksi jual beli kredit secara murabahah yang terjadi di koperasi kami. Anda bisa membandingkan sendiri dengan transaksi kredit yang umumnya terjadi pada lembaga pembiayaan, baik perbankan, finance, bmt atau koperasi, yang konvensional maupun berlabel syariah.

Berikut ini kami ingin menyampaikan artikel yang insya Allah bermanfaat sebagai rujukan ilmiah agar transaksi jual beli yang dilakukan dilakukan berdasarkan dalil yang ilmiah, sesuai hukum syar’i, berlandaskan qur’an dan sunnah yang shahih menurut pemahaman para sahabat dan yang mengikuti mereka.

Semoga bermanfaat.

=================================================================

BMT Vs Hadis: Jangan Jual yang Tidak Kau Miliki

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Salah satu hadis yang banyak dijadikan acuan dalam kajian fikih muamalah adalah hadis Hakim bin Hizam.

Beliau pernah bercerita,

Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku sampaikan, ‘Ada orang yang mendatangiku, memintaku untuk menyediakan barang yang tidak aku miliki. Bolehkah saya belikan barang itu dipasar, kemudian aku jual barang itu kepadanya?’

Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki.” (HR. Ahmad 15705, Nasai 4630, Abu Daud 3505, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Dalam riwayat lain, Hakim pernah mengatakan,

نَهَانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَبِيعَ مَا لَيْسَ عِنْدِى

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melarangku untuk menjual barang yang tidak aku miliki. (HR. Turmudzi 1280 dan dishahihkan al-Albani).

Ketika membawakan hadis ini, Turmudzi menyatakan,

والعمل على هذا الحديث عند أكثر أهل العلم كرهوا أن يبيع الرجل ما ليس عنده

Mayoritas ulama mengamalkan hadis ini. Mereka membenci seseorang menjual apa yang tidak dia miliki. (Sunan at-Turmudzi , 5/142)

Siapa Hakim bin Hizam?

Tidak salah jika dalam artikel ini, kita mengenali siapa beliau. Meskipun bisa jadi tidak ada kaitannya dengan masalah fikih muamalah.

Hakim bin Hizam, salah satu pemuka Quraisy, keponakan Khadijah radhiyallahu ‘anhu. Sebelum diutus jadi nabi, Rasulullah sangat dekat dengan Hakim. Sampai beliau jadi Nabi, Hakim masih menjalin hubungan dekat dengan beliau. Meskipun demikian, Hakim baru masuk islam ketika fathu Mekah.

Hakim termasuk orang berada. Beliau yang membeli budak bernama Zaid bin Haritsah, yang kemudian dihadiahkan kepada bibinya, Khadijah. Kemudian, oleh Khadijah, Zaid dihadiahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hakim beberapa kali meriwayatkan hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Fiqh Muamalah. Diantaranya, hadis tentang hak khiyar dalam jual beli.

Dari latar belakang ini, kita bisa memahami mengapa Hakim mendapatkan pesanan barang dari konsumennya.

Akad Pesan Memesan

Dalam transaksi pesan memesan, kita mengenal istilah jual beli salam.  Dalam jual beli ini, penjual sama sekali tidak memiliki barang yang dia jual (bai’ ma’dum). Pembeli hanya memesan barang kepada penjual, berdasarkan kriteria tertentu, dengan pembayaran tunai di depan.

Jual beli semacam ini, telah dipraktekkan para sahabat sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Dan beliau izinkan, namun dengan batasan tertentu.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, sementara masyarakat melakukan transaksi salam untuk buah-buahan selama rentang setahun atau dua tahun. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan,

مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

Siapa yang melakukan transaksi salam untuk kurma, hendaknya dia lakukan dengan timbangan yang pasti, takaran yang pasti, sampai batas waktu yang pasti. (HR. Ahmad 3370 & Muslim 4202).

Salah satu bukti bahwa orang yang melakukan salam tidak memiliki barang, bisa kita simak pada praktek sahabat, yang diceritakan Abdullah bin Abi Aufa,

“Kami mendapatkan ghanimah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba datang penduduk Anbath dari saerah Syam. Lalu kami melakukan jual beli salam dengan mereka untuk gandum halus, gandum kasar, dan zabib sampai batas tertentu.”

Tabiin yang menjadi perawi hadis ini, Muhammad bin Mujalid, bertanya kepada sahabat Abdullah bin Abi Aufa,

أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ ، أَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ زَرْعٌ

Apakah orang Anbath itu memiliki ladang tanaman tadi ataukah tidak memiliki?

Jawab Sahabat,

مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ

“Kami tidak pernah menanyakan hal itu kepada mereka.” (HR. Bukhari 2254).

Dalam riwayat ini, menujukkan bahwa sahabat tidak mempermasalahkan apakah penjual memiliki barang yang dipesan atau belum. Bagi sahabat, yang penting barang itu sampai kepada mereka, tanpa peduli dari mana penjual itu medapatkan barang yang dipesan.

Kita hendak memberikan pesan yang hendaknya dicatat, dalam jual beli salam, penjual sama sekali tidak memiliki barang yang dipesan.

Bagaimana Dengan Hadis Hakim bin Hizam?

Dalam hadis Hakim di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki.”

Mengapa di sini dilarang, sementara dalam transaksi salam dibolehkan menjual barang yang tidak dimiliki?

Padahal sama-sama bai’ ma’dum (menjual barang yang tidak dimiliki).

Memesan Barang Ada 2 Cara

Pertama, memesan barang berdasarkan kriteria (al-Mausuf  fi dzimmah).

Si A memesan sebuah komputer kepada si B. Si hanya menyebutkan beberapa kriteria dan spesifikasi komputer yang dipesan. Dia sebutkan detail kriteria procesornya, motherboard, VGA, RAM, dst… termasuk casingnya.

Dalam hal ini, si B menjual barang yang al-Mausuf  fi dzimmah.

Kedua, memesan barang yang sudah ditentukan (Bai al-Muayyan).

Si A pesan kepada si B. Dia pesan, tolong belikan komputer yang sudah dipajang di etalase toko x, paling pojok. Ada tulisannya SALE.

Atau si A butuh HP. Dia datang ke si B, kemudian mereka berdua ke toko HP. Si A silahkan memilih sendiri jenis HP yang diinginkan. Nanti si B yang bayar. Selanjutnya si A nyicil pembayarannya ke si B, dengan harga lebihi.

Mengingat metodenya beda, maka ulama memberikan hukum yang berbeda untuk kedua transaksi.

Untuk transaksi yang pertama, para ulama membolehkan. Dalilnya adalah adanya jual beli salam yang dipraktekkan para sahabat dan direstui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para sahabat dalam transaksi salam, mereka pesan barang berdasarkan kriteria (Mausuf fi dzimmah). Bukan muayyan (tertentu).

Sementara dalam transaksi kedua, para ulama melarangnya, berdasarkan hadis Hakim bin Hizam di atas.

Karena antara Hakim dan konsumennya, tinggal dalam satu kota yang sama. Sementara pasar bisa mereka jangkau. Sehingga tanpa Hakim, konsumen bisa beli sendiri itu. Namun konsumen mendatangi Hakim, salah satu kemungkinan latar belakangnya adalah konsumen tidak memiliki uang untuk beli barang itu, sehingga dia minta Hakim untuk membelikannya secara tunai, kemudian orang ini bayar ke Hakim dengan harga yang lebih mahal.

Al-Khithabi menjelaskan hadis Hakim,

قوله: لا تبع ما ليس عندك ـ يريد بيع العين دون بيع الصفة، ألا ترى أنه أجاز السلم إلى الآجال، وهو بيع ما ليس عنده في الحال، وإنما نهى عن بيع ما ليس عند البائع من قبل الغرر

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jangan kau jual apa yang bukan milikmu.” maksudnya adalah jual beli barang muayyan, bukan jual beli berdasarkan batasan kriteria dan spesifikasi. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan jual beli salam, tertunda sampai batas waktu tertentu? Padahal itu termasuk jual beli yang tidak dimiliki ketika akad. Beliau melarang jual beli yang tidak dimiliki penjual karena alasan gharar (tidak jelas). (Ma’alim as-Sunan, 3/140).

Bisa kita catat, hadis tentang larangan jual beli yang tidak dimiliki, tidak berlaku untuk jual beli yang pemesanannya dengan menyebutkan kriteria.

Kesimpulan ini juga disampaikan Ibnul Qoyim,

وقد ظن طائفة أن السلم مخصوص من عموم هذا الحديث، فإنه بيع ما ليس عنده، وليس كما ظنوه، فإن الحديث إنما تناول بيع الأعيان، وأما السلم: فعقد على ما في الذمة، وما في الذمة مضمون مستقر فيها، وبيع ما ليس عنده إنما نهي عنه لكونه غير مضمون عليه ولا ثابت في ذمته، ولا في يده، فالمبيع لا بد أن يكون ثابتا في ذمة المشتري أو في يده

Sebagian orang menyangka bahwa jual beli salam, dikecualikan dari larangan jual beli dalam hadis Hakim bin Hizam. Karena bukan termasuk jual beli yang tidak dimiliki. Padahal tidak demikian. Karena hadis Hakim bin Hizam, hanya berlaku untuk bai’ al-A’yan (menjual barang yang sudah ditentukan).

Sementara Salam, akadnya bersifat tanggungan. Dan sesuatu yang tertanggung, dijamin, dianggap ada. Sementara menjual barang yang tidak dimiliki, dilarang karena tidak dijamin dan tidak menjadi tanggungannya. Tidak pula ada di tangan penjual. Intinya, barang harus ada dalam tanggungan bagi pembeli atau di tangan penjual. (Hasyiyah Sunan Abi Daud, 9/299).

Kasus BMT & Koperasi Syariah

Ada konsumen butuh kulkas. Dia tidak punya dana tunai. Datang ke BMT untuk ditalangi beli kulkas. Dan dibayar kredit. Tentunya dengan harga lebih mahal. BMT menawarkan, untuk bersama-sama datang ke toko elektronik, dan konsumen boleh memilih sendiri barang yang diinginkan, dan BMT yang bayar.

Pada hakekatnya, jual beli seperti inilah yang dilarang dalam hadis Hakim bin Hizam.

Karena ketika  konsumen memilih sendiri barang itu, kemudian dia minta BMT untuk membelikannya, statusnya bai’ mua’ayyan (jual beli barang tertentu).

Dan yang terjadi hakekatnya bukan konsumen beli kulkas ke BMT, tapi utang duit ke BMT, dan nanti melunasi secara bertahap dengan nilai lebih dari yang dijual.

Atau bisa juga dengan pendekatan kedua, BMT menjual barang yang belum diserah terimakan.

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ

“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” (HR. Bukhari 2133 & Muslim 3915)

Ibnu ‘Abbas mengatakan,

وَأَحْسِبُ كُلَّ شَىْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ

“Menurutku bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Muslim 3915)

Dan dari Zaid bin Tsabit, beliau mengatakan,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual barang di tempat pembeliannya sampai barang itu dipindahkan pedagang ke tempatnya. (HR. Abu Daud 3501 dan dihasanka al-Albani)

Ketika BMT membeli kulkas itu, dia langsung jual ke konsumennya, sementara belum dipindahkan dari toko. Dan ini terlarang dengan hadis di atas.

Ini berbeda jika konsumen pesan barang yang diinginkan ke BMT, dengan menyebutkan spesifikasi tertentu. Selanjutnya BMT yang mencarikan sendiri barang yang diinginkan konsumen. Ini termasuk bai’ mausuf fi dzimmah. Jual beli yang barangnya dijamin penjual.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits 

Sumber