Categories
ARTIKEL MUAMALAH

AGAR TIDAK TERJERUMUS DALAM RIBA

Gencarnya media dalam menampilkan kehidupan yang serba mewah telah menimbulkan gaya hidup konsumsif dalam masyarakat kita. Tidak hanya terjadi di kota-kota besar, gaya hidup konsumtif pun mulai merambah ke pelosok-pelosok desa. Seiring dengan menjamurnya lembaga-lembaga keuangan yang memberikan kredit dengan cara yang sangat mudah, masyarakat yang konsumtif jadi merasa mudah dalam membeli sesuatu untuk memenuhi hasratnya. Tinggal mengisi formulir pengajuan kredit, menandatanganinya, barang pun akan terbeli. Masalah bagaimana melunasinya urusan belakang. Yang penting menikmati dulu barangnya, menikmati rasa gengsi yang timbul karena membeli barang mahal. Apa manfaat dari barang yang dibeli seringkali justru menjadi pertimbangan kedua. Masalah mulai timbul ketika tagihan kredit datang di kemudian hari, yang ternyata jumlahnya membengkak akibat bunga berbunga yang diterapkan.

Intinya, masyarakat di zaman penuh ‘wah’ saat ini, untuk mendapatkan barang mewah mau saja terjun dalam praktek riba. Benarlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يُبَالِى الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ ، أَمِنْ حَلاَلٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ

Akan datang suatu zaman di mana manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta, apakah dari usaha yang halal atau yang haram.” (HR. Bukhari no. 2083, dari Abu Hurairah). Tentu Allah tidak meridhoi hal ini, bahkan Allah murkai. Lalu bagaimana kiat agar kita tidak mudah terjerumus dalam praktek riba? Beberapa kiat tersebut akan penulis utarakan dalam tulisan sederhana berikut ini.

Kiat Pertama: Berilmu Dulu Sebelum Membeli

Dalam bertindak, Islam selalu mengajarkan berilmulah terlebih dahulu. Dalam masalah ibadah, Islam mengajarkan hal ini agar amalan seseorang tidak sia-sia. Dalam masalah muamalah pun demikian. Karena jika tidak diindahkan, malah bisa terjerumus dalam sesuatu yang diharamkan. Semisal seorang pedagang, hendaklah ia paham seputar hukum jual beli. Jika ia tidak memahaminya, bisa jadi ia memakan riba atau menikmati rizki dengan cara yang tidak halal. ‘Ali bin Abi Tholib mengatakan,

مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ

“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.”

Lihatlah pula apa kata ‘Umar bin Khottob radhiyallahu ‘anhu. Beliau berkata,

لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا

Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (Lihat Mughnil Muhtaj, 6: 310)

Hal di atas bukan hanya berlaku bagi penjual atau si pedagang, namun berlaku juga untuk pembeli. Pembeli pun harus tahu seluk beluk jual beli sebelum bertindak. Sedikit sekali nasabah perkreditan rumah, mobil atau motor yang mengetahui bagaimanakah hakekat sebenarnya jual beli kredit yang mereka lakukan. Awalnya rumah tersebut ditawarkan oleh pihak A, namun urusan pelunasan nantinya di Bank Perkreditan. Ini hakekatnya bisa jadi transaksi riba atau menjual barang yang belum dimiliki secara sempurna. Jika kita menilik transaksi tersebut, pihak perkreditan pada hakekatnya memberikan pinjaman kepada kita yang ingin membeli rumah, lalu mereka meminta kita mengembalikan pinjaman tadi secara berlebih. Padahal para ulama sepakat, “Setiap utang yang ditarik keuntungan, maka itu adalah riba”. Coba dari awal si nasabah atau si  pembeli tadi mengetahui pengertian riba dan berbagai macam bentuk riba. Dan saat ini perlu sekali setiap orang mendalami hakekat riba karena riba semakin diakal-akali dengan nama yang terlihat syar’i. Minimal, banyaklah bertanya pada para ulama yang lebih berilmu sehingga kita pun selamat dari riba sampai debu-debunya.

Kiat Kedua: Mengetahui Bahaya Riba

Setelah mengetahui definisi riba dan berbagai bentuknya, mengetahui bahaya riba akan semakin membuat seorang muslim menjauhinya transaksi haram tersebut. Karena dengan mengetahui ancaman-ancaman riba, tentu ia enggan terjerumus dalam riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً

Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali” (HR. Ahmad 5: 225. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 1033).

Dalam hadits yang lain disebutkan,

الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya).

Dosa riba bukan hanya berlaku bagi kreditur, pihak perkreditan atau bank, namun si nasabah atau debitur juga mendapatkan dosa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), orang yang menyerahkan riba (nasabah), pencatat riba (sekretaris) dan dua orang saksinya.” Beliau mengatakan, “Mereka semua itu sama (karena sama-sama melakukan yang haram)” (HR. Muslim no. 1598).

Kiat Ketiga: Tidak Bermudah-mudahan dalam Berutang

Islam menerangkan agar kita tidak terlalu bermudah-mudahan untuk berutang. Orang yang berutang dan ia enggan melunasinya –padahal ia mampu – sungguh sangat tercela.

Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ دِينَارٌ أَوْ دِرْهَمٌ قُضِىَ مِنْ حَسَنَاتِهِ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham” (HR. Ibnu Majah no. 2414. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَيُّمَا رَجُلٍ يَدَيَّنُ دَيْنًا وَهُوَ مُجْمِعٌ أَنْ لاَ يُوَفِّيَهُ إِيَّاهُ لَقِىَ اللَّهَ سَارِقًا

Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri” (HR. Ibnu Majah no. 2410. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih). Berhutanglah ketika perlu dan yakin mampu melunasinya! Karena kita pun tidak mengetahui kondisi kita nantinya, apakah kita bisa melunasi kreditan kita.

Kiat Keempat: Milikilah Sifat Qona’ah

Tidak merasa cukup, alias tidak memiliki sifat qona’ah, itulah yang membuat orang ingin hidup mewah-mewahan. Padahal penghasilannya biasa, namun karena ingin seperti orang kaya yang memiliki smart phone mahal, mobil mewah dan rumah layak istana, akhirnya jalan kreditlah yang ditempuh. Dan kebanyakan kredit yang ada tidak jauh-jauh dari riba, bahkan termasuk pula yang memakai istilah syar’i sekali pun sepertimurabahah. Menggunakan handphone biasa asalkan bisa berkomunikasi, atau menggunakan motor yang memang lebih pas untuk keadaan jalan di negeri kita yang tidak terlalu lebar, atau hidup di rumah kontrakan, sebenarnya terasa lebih aman dan selamat dari riba untuk saat ini. Cobalah kita belajar untuk memiliki sifat qona’ah, selalu merasa cukup dengan rizki yang Allah anugerahkan, maka tentu kita tidak selalu melihat indahnya rumput di rumah tetangga karena taman di rumah kita pun masih terasa sejuk.

Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051). Kata para ulama, “Kaya hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (hati yang miskin)” (Lihat Fathul Bari, 11: 272).

Jika seorang muslim memperhatikan orang di bawahnya dalam hal dunia, itu pun akan membuat ia semakin bersyukur atas rizki Allah dan akan selalu merasa cukup. Berbeda halnya jika yang ia perhatikan selalu orang yang lebih dari dirinya dalam masalah harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

انْظُرُوا إِلَى مَنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَهُوَ أَجْدَرُ أَنْ لاَ تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ

Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian, hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Muslim no. 2963).

Orang yang memiliki sifat qona’ah sungguh terpuji. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ

Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya sifat qona’ah (merasa puas) dengan apa yang diberikan kepadanya” (HR. Muslim no. 1054). Nabi kita –shallallahu ‘alaihi wa sallam- sendiri selalu memohon kepada Allah agar dianugerahkan sifat qona’ah dalam do’anya,

اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى

Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina” (Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf –terhindar dari yang haram- dan sifat ghina –selalu merasa cukup-).” (HR. Muslim no. 2721).

Kiat Kelima: Perbanyaklah Do’a

Kiat terakhir yang juga jangan terlupakan adalah memperbanyak do’a. Karena kita bisa terhindar dari yang haram, tentu saja dengan pertolongan Allah termasuk dalam masalah riba. Di antara do’a yang bisa kita panjatkan,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَتَرْكَ الْمُنْكَرَاتِ

Allahumma inni as-aluka fi’lal khoiroot, wa tarkal munkaroot” (Ya Allah, aku memohon kepada-Mu untuk mudah melakukan berbagai kebajikan dan meninggalkan berbagai kemungkaran) (HR. Tirmidzi no. 3233, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Juga perbanyaklah do’a agar bisa terbebas dari utang,

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ

Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom” (Ya Allah, aku berlindung pada-Mu dari dosa dan terlilit utang). Dalam lanjutan hadits tersebut disebutkan bahwa ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kenapa beliau banyak meminta perlindungan dari utang. Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ، وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ

Seseorang yang terlilit utang biasa akan sering berdusta jika berucap dan ketika berjanji sering diingkari” (HR. Bukhari no. 832 dan Muslim no. 589).

Ya Allah, berikanlah kepada kami sifat qona’ah, dijauhkan dari yang haram, serta dijauhkan dari riba dan debu-debunya. (*)

@ Ummul Hamam, Riyadh, KSA, 30 Rabi’ul Awwal 1433 H

Sumber artikel : Rumaysho.com

Categories
ARTIKEL MUAMALAH

MENGENAL JUAL BELI MURABAHAH

Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syari’at berkembang dalam skala besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-istilah berbahasa Arab. Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syari’at ataukah hanya rekayasa semata. Melihat banyaknya pertanyaan seputar ini maka dalam rubrik fikih kali ini kami angkat salah satu produk tersebut untuk melihat kehalalannya dalam tinjauan fikih islami.

Jual beli Murabahah (Bai’ al-Murabahah) demikianlah istilah yang banyak diusung lembaga keuangan tersebut sebagai bentuk dari Financing (pembiayaan) yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan. Sehingga semua atau hampir semua lembaga keuangan syari’at menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modal mereka [1]

Nama lain Jual Beli Murabahah ini

Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syari’at ini dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:

  1. al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’
  2. al-Murabahah lil Wa’id bi Asy-Syira’
  3. Bai’ al-Muwa’adah
  4. al-Murabahah al-Mashrafiyah
  5. al-Muwaa’adah ‘Ala al-Murabahah. [2]

Sedangkan di negara indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP) [3]

Definisi Jual-Beli Murabahah (Deferred Payment Sale)

Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan) [4] Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. [5] Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.

Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka: Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana disampaikan ibnu Qudaamah [6], bahkan Ibnu Hubairoh [7] menyampaikan ijma’ dalam hal itu demikian juga al-Kaasaani [8].) [9]

Inilah jual beli Murabahah yang ada dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Namun jual beli Murabahah yang sedang marak di masa ini tidaklah demikian bentuknya. Jual beli Murabahah sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari’at lebih komplek daripada yang berlaku dimasa lalu [10]. Oleh karena itu para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi islam memberikan definisi berbeda sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda? Diantara definisi yang disampaikan mereka adalah:

  1. Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itudibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebutdengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi). [11]
  2. Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka. [12]
  3. Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan nilai barang tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi. [13]
  4. Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli.Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka. [14]

Definis-definisi diatas cukup jelas memberikan gambaran jual beli murabahah KPP ini.

Bentuk Gambarannya

Dari definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan lembaga keuangan syariat didunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:

1. Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak sebelumlembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan menyebutkan nilai keuntungannya dimuka [15].

Hal itu (terjadi) dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan keuntungannya. [16]

2. Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah pihak. Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan: a. pelaksanaan janji tidak mengikattanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka. b. Pelaksanaan janji tidak mengikatdengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya. [17]

3. Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah memiliki hak Khiyar (memilih) apabila melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi atau menggagalkannya. [18]

Pernyataan para Ulama terdahulu tentang Jenis jual beli ini

Permasalahan jual beli murabahah KPP ini sebenarnya bukanlah perkara kontemporer dan baru (Nawaazil) namun telah dijelaskan para ulama terdahulu. Berikut ini sebagian pernyataan mereka:

Imam As-Syafi’i menyatakan: Apabila seorang menunjukkan kepada orang lain satu barang seraya berkata: Belilah itu dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian. Lalu ia membelinya maka jual belinya boleh dan yang menyatakan: Saya akan memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyaar), apabila ia ingin maka ia akan melakukan jual-beli dan bila tidak maka ia akan tinggalkan. Demikian juga jika ia berkata: ‘Belilah untukku barang tersebut’. –Lalu ia mensifatkan jenis barangnya atau ‘barang’ jenis apa saja yang kamu sukai– dan saya akan memberikan keuntungan kepadamu’, semua ini sama. Diperbolehkan pada yang pertama dan dalam semua yang diberikan ada hak pilih (khiyaar). Sama juga dalam hal ini yang disifatkan apabila menyatakan: Belilah dan aku akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo. Jual beli pertama diperbolehkan dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua. Apabila keduanya memperbaharui (akadnya) maka boleh dan bila berjual beli dengan itu dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut) maka ia termasuk dalam dua hal:

1. Berjual beli sebelum penjual memilikinya.

2. Berada dalam spekulasi (Mukhathorah). [19]

Imam ad-Dardier dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir 3/129 menyatakan: al-‘Inahadalah jual beli orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli dan (barang tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada orang yang memintanya setelah ia membelinya adalah boleh kecuali yang minta menyatakan: Belilah dengan sepuluh secara kontan dan saya akan ambil dari kamu dengan dua belas secara tempo. Maka ia dilarang padanya karena tuduhan (hutang yang menghasilkan manfaat), karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut untuk mengambil darinya setelah jatuh tempo dua belas. [20]

Jelaslah dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu ini bahwa mereka menyatakan pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan. Demikian juga the Islamic Fiqih Academy (Majma’ al-Fiqih al-Islami) menegaskan bahwa jual beli muwaada’ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam jual beli murabahah dengan syarat al-Khiyaar untuk kedua transaktor seluruhnya atau salah satunya. Apa bila tidak ada hak al-Khiyaar di sana maka tidak boleh, karena al-Muwaa’adah yang mengikat (al-Mulzamah) dalam jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu sendiri, dimana disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang menjual yang tidak dimilikinya. [21]

Syeikh Abdul Aziz bin Baaz ketika ditanya tentang jual beli ini menjawab: Apabila barang tidak ada di pemilikan orang yang menghutangkannya atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya maka ia tidak boleh menyempurnakan akad transaksi jual belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat atas harga dan tidak sempurna jual beli diantara keduanya hingga barang tersebut dikepemilikan penjual. [22]

Hukum Bai’ Murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat (Ghairu al-Mulzaam)

Telah lalu bentuk kedua dari murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat ada dua:

  1. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka. Hal ini yang rojih adalah boleh dalam pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Hal itu karena tidak ada dalam bentuk ini ikatan kewajiban menyempurnakan janji untuk bertransaksi atau penggantian ganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang atau rusak maka nasabah tidak menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan tersebut bersepekulasi dalam pembelian barang dan tidak yakin nasabah akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya. Seandainya salah satu dari keduanya berpaling dari keinginannya maka tidak ada ikatan kewajiban dan tidak ada satupun akibat yang ditanggungnya. [23]
  2. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya, maka ini dilarang karena masuk dalam kategori al-‘Inahsebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Muqaddimah dan inilah yang dirojihkan Syeikh Bakr Abu Zaid. [24]

Hukum Ba’i Murabahah dengan pelaksanaan janji yang mengikat

Untuk mengetahui hukum ini maka kami sampaikan beberapa hal yang berhubungan langsung dengannya.

Langkah proses Murabahah KPP bentuk ini

Mu’amalah jual beli murabahah KPP melalui beberapa langkah tahapan, diantara yang terpenting adalah:

1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.

a. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas.
b. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu dalam pembelian barang tersebut.

2. Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan nasabah.

3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.

4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.

a. Mengadakan perjanjian yang mengikat.
b. Membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji.
c. Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.
d. Lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.

5. Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama)

6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.

7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.

a. Penentuan harga barang.
b. Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan kedalam harga.
c. Penentuan nisbat keuntungan (profit)
d. Penentuan syarat-syarat pembayaran.
e. Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.

Demikianlah secara umum langkah proses jual beli Murabahah KPP yang kami ambil secara bebas dari kitab al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 261-162. sedangkan dalam buku Bank Syari’at dari Teori ke Praktek hal. 107 memberikan skema bai’ Murabahah sebagai berikut:

Aqad ganda (Murakkab) dalam Murabahah KPP bentuk ini. [25]

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah KPP ini terdiri dari:

1. Ada tiga pihak yang terkait yaitu:

a. Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.
b. Penjual barang kepada lembaga keuangan.
c. Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.

2. Ada dua akad transaksi yaitu:

a. Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.
b. Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).

3. Ada tiga janji yaitu:

a. Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.
b. Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk pemohon.
c. Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.

Dari sini jelaslah bahwa jual beli murabahah KPP ini adalah jenis akad berganda (al-‘Uquud al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji dan ada tiga pihak. Setelah meneliti muamalah ini dan langkah prosesnya akan tampak jelas ada padanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh satu akad. Bisa saja disimpulkan bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan satu sebab yaitu janji yang mengikat dari kedua belah pihak yaitu lembaga keuangan dengan nasabahnya. Berdasarkan hal ini maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam satu transaksi dari sisi yang mengikat sehingga dapat dinyatakan dengan uangkapan: “Belikan untuk saya barang dan saya akan berikan untung kamu dengan sekian”. Hal ini karena barang pada akad pertama tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun akan dibeli dengan dasar janji mengikat untuk membelinya. Dengan melihat kepada muamalah ini dari seluruh tahapannya dan kewajiban-kewajiban yang ada padanya jelaslah bahwa ini adalah Mu’amalah Murakkabah secara umum dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang ada dalam muamalah ini. Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat janji yang mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad yang tidak saling terikat, sehingga jelas hukumnya berbeda.

Hukumnya

Yang rojih dalam masalah ini adalah tidak boleh dengan beberapa argumen di antaranya:

a. Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum kepemilikan penjual barang tersebut masuk dalam larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut pada hakekatnya adalah akad dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan maka ini adalah akad batil yang dilarang, karena lembaga keuangan ketika itu menjual kepada nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.

b. Muamalah seperti ini termasuk al-Hielah (rekayasa) atas hutang dengan bunga, karena hakekat transaksi adalah jual uang dengan uang lebih besar darinya secara tempu dengan adanya barang penghalal diantara keduanya.

c. Murabahah jenis ini masuk dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang berbunyi:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual beli (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil 5/149) Al-Muwaa’adah apabila mengikat kedua belah pihak maka menjadi aqad (transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga ada disana dua akad dalam satu jual beli. [26]

Ketentuan diperbolehkannya

Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli murabahah KPP ini dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa’adah diperbolehkan dengan tiga hal:

  1. Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.
  2. Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung jawab lembaga keuangan.
  3. Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya. [27]

Demikianlah hukum jual beli ini menurut pendapat ulama syari’at, mudah-mudahan dapat memperjelas permasalahan ini. Wabillahi Taufiq.

***

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber Artikel

Footnotes:

[1] Lihat al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at-Tathbiiq, Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar hal. 307.

[2] Kelima nama ini disebutkan dalam al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 260-261.

[3] Lihat Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi’I Antonio, hal 103.

[4] Lihat al-Qaamus al-Muhith hal. 279.

[5] Al-‘Uquud al-Murakkabah hal 257.

[6] Al-Mughni 4/259

[7] Al-Ifashoh 2/350 dinukil dari Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin Abdillah Abu Zaid 2/64.

[8] Bada’i ash-Shanaa’i 7/92 [9] Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin Abdillah Abu Zaid 2/64.

[10] Penulis pernah melakukan dialog tentang hal ini dengan dua orang pegawai salah satu lembaga keuangan syari’at di kediaman penulis pada hari Kamis tanggal 3 april 2008 M ba’da Ashar.

[11] Bai’ al-Murabahah lil Aamir bi asy-Syira’ karya Saami Hamud dalam kumpulan Majalah Majma’ al-Fiqh al-Islami edisi kelima (2/1092) dinukil dari al-‘Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah hal. 257.

[12] Lihat Bai’ al-Murabahah Kamaa Tajriha al-Bunuuk al-Islamiyah Muhammad al-Asyqar hal. 6-7 dinukil dari al-‘Uquud al-maaliyah al-Murakabah hal. 257.

[13] al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 258.

[14] Ibid [15] Fikih Nawazil 2/90.

[16] al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 259.

[17] Lihat Fikih Nawazil 2/90 dan al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 259.

[18] Lihat al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at-Tathbiiq hal. 308.

[19] Lihat al-Umm dan ini kami nukil dari Fikih Nawazil 2/88-89.

[20] Dinukil dari Fikih Nawazil 2/88.

[21] Lihat al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 267.

[22] Majalah al-Jami’ah al-Islamiyah edisi satu tahun kelima Rajab 1392 hal 118 dinukil dari al-Bunuuk al-Islamiyah hal. 308.

[23] Lihat Fikih Nawazil 2/90.

[24] ibid

[25]Lihat al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 265-266

[26] Untuk lebih lengkapnya silahkan merujuk pada kitab al-‘Uqud al-Maaliyah al-Murakkabah hal 267-284 dan Fikih Nawazil 2/ 83-96.

[27] Fikih Nawazil 2/97 dengan sedikit perubahan.

Referensi:

  1. al-‘Uqud al-Maaliyah al-Murakkabah –dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyah-, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-‘Imraani, cetakan pertama tahun 1427 H, Kunuz Isybiliya`
  2. Fiqhu an-Nawaazil –Qadhaya Fiqhiyah al-Mu’asharah-, DR. Bakr bin ABdillah abu Zaid, cetakan pertama tahun 1416 H, Muassasah ar-Risalah.
  3. al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at -Tathbiiq, Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar, cetakan kedua tahun 1414 H , Dar al-Wathon.
  4. Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi’I Antonio, cetakan kesembilan tahun 2005 M, Gema Insani Press.
  5. Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, edisi revisi tahun 2006 M, cetakan ketiga tahun 1427 H.
  6. al-Fiqhu al-Muyassar-Qismu al-Mu’amalaat– Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar, prof. DR. Abdulah bin Muhammad al-Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Al Musa, cetakan pertama tahun 1425 H , Dar al-Wathon.
  7. dll.

 

Categories
SEPUTAR KOPERASI

KUNJUNGAN USTADZ DR. MUHAMMAD ARIFIN BADRI, MA KE KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

Alhamdulillah,

Segala puji bagi Allah yang memberikan taufik dan hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya, da memberikan kemudahan dan jalan bagi siapa yang dikehendaki-Nya.

Hari Ahad, tanggal 10 Safar 1437 H atau bertepatan dengan tanggal 22 November 2015 yang lalu, Koperasi Syariah Arrahmah kedatangan tamu yang sangat dinantikan kehadirannya. Alhamdulillah, melalui beliau, ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri, MA hafidzahullah, ditemani ustadz Ahmad Zainuddin, Lc berkenan mengunjungi kantor operasional KSA di Banjarmasin.

Kami ingat sekali bahwa di bulan Mei 2011 yang lalu, ustadz Arifin diundang Yayasan Al-Umm Banjarmasin berkenan datang ke Banjarmasin dan menyampaikan Dauroh muamalah yang alhamdulillah tampak hasilnya, yakni berdirinya Koperasi Syariah Arrahmah tanggal 1 Januari 2012.

Kembali ke laptop, Saat kunjungan ustadz Arifin menengok hasil buah karya dakwah beliau, kebetulan juga Koperasi Syariah Arrahmah juga sedang menerima tamu, yakni teman-teman KPMI (Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia) Korwil Balikpapan, KPMI Korwil Malang, yang juga sedang study banding untuk rencana pendirian koperasi syariah di wilayah mereka.

Tampak semua begitu serius menyimak wejangan dari ustadz yang insya Allah sangat bermanfaat bagi koperasi syariah Arrahmah dan teman-teman KPMI Korwil Balikpapan yang ikut hadir saat itu.

P_20151122_145241 (Small)

Kunjungan ustadz DR. Arifin Badri, MA dan ustadz Ahmad Zainuddin, Lc hafidzahumullahu ke koperasi Syariah Arrahmah

Kunjungan ustadz DR. Arifin Badri, MA dan ustadz Ahmad Zainuddin, Lc hafidzahumullahu ke koperasi Syariah Arrahmah
Gambar Kunjungan ustadz DR. Arifin Badri, MA dan ustadz Ahmad Zainuddin, Lc hafidzahumullahu ke koperasi Syariah Arrahmah

Insya Allah Koperasi Syariah Arrahmah akan terus meminta bimbingan asatidz sehingga setiap transaksi yang terjadi di koperasi merupakan transaksi yang halal dan mendatangkan keberkahan.

Semoga Allah senantiasa meneguhkan jejak langkah kita diatas jalan yang lurus, dan menjadikan koperasi Syariah Arrahmah sebagai salah satu diantara solusi bagi kaum muslimin yang ingin berlepas diri dari bahaya dan dosa riba.

Barakallahu fiykum.

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

TIDAK ADA DENDA DI KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

denda di koperasi syariah arrahmah

Percaya tidak bahwa Tidak Ada Denda di Koperasi Syariah Arrahmah.

Kalau tidakmengalami sendiri mungkin tidak akan percaya karena TRANSAKSI KREDIT YANG SYAR’I HARUSNYA TIDAK ADA DENDA.

Koperasi Syariah Arrahmah memang agak berbeda dengan koperasi atau lembaga finansial kebanyakan yang sejenis. Sejak awal pendirian koperasi ini, kami berkomitmen bahwa kami harus syar’i, tidak boleh ada denda keterlambatan bagi nasabah yang telat membayar cicilan. Beberapa relasi kami sangsi bahwa kami bisa mendirikan koperasi ini, namun kenyataannya, alhamdulillah, sejak Januari 2012 hingga sekarang tulisan ini ditulis, tidak ada nasabah kami yang pernah didenda gara-gara terlambat bayar.

Lantas, bagaimana solusi kami menghadapi nasabah seperti itu? Banyak komponen yang perlu terlibat dalam hal ini, Secara ringkas kami sampaikan :

  • Sebelum aqad, nasabah harus lulus persyaratan administrasi murabahah, nasabah harus punya penjamin yang dipercaya, dan nasabah memiliki jaminan sesuatu yang berharga untuk kriteria barang murabahah diatas harga sesuai ketentuan yang berlaku di koperasi.
  • Saat aqad, nasabah benar-benar memahami isi aqad yang ditandatangani diatas materai yang mengandung konsekuensi hukum. Aqad yang menjunjung tinggi nilai keadilan yang terkandung didalamnya, baik untuk nasabah maupun koperasi.
  • Setelah aqad, kami juga mengajak kepada nasabah untuk hadir dalam kajian-kajian islam ilmiah yang rutin diselenggarakan oleh yayasan al-umm banjarmasin, atau pun kajian islam lainnya. Intinya, dengan nasabah yang bertauhid, takut kepada Allah, maka mereka tidak akan berani main-main dengan utang.

Jika qadarullah nasabah ternyata telat bayar denda, maka akan kami ingatkan dengan hadits” Rasulullah yang berkaitan dengan utang, minta bantuan Penjamin untuk ikut mengingatkannya agar segera bayar, dan jika memang nasabah memiliki udzur sehingga tidak bisa bayar cicilan, maka ada Form Permohonan Penundaan Cicilan Karena Udzur yang harus diisi dan ditandatangani. Adil bukan ?

Alhamdulillah, hal ini cukup efektif dalam menghadapi nasabah kami.

Kembali kepada masalah Denda, maka kami ingin memberikan ulasan kepada anda kenapa koperasi kami tidak menerapkan denda pada nasabah. Sebaiknya anda pun membacanya sehingga paham sehingga saat akan bertransaksi dengan kami atau pun pihak lain yang sejenis, tidak sampai terjerumus dalam dosa riba. Selamat membaca, semoga bermanfaat.

=======================================================================

DENDA DALAM KACAMATA SYARIAT

 

Di tengah-tengah masyarakat sering kita jumpai berbagai bentuk denda berkaitan dengan transaksi muamalah. Seorang karyawan yang tidak masuk kerja tanpa izin akan diberikan sanksi berupa pemotongan gaji. Telat membayar angsuran kredit motor juga akan mendapatkan denda setiap hari, dengan nominal rupiah tertentu. Seorang penerjemah buku juga akan didenda dengan nominal tertentu setiap harinya oleh penerbit, jika buku ternyata belum selesai diterjemahkan sampai batas waktu yang telah disepakati. Percetakan yang tidak tepat waktu juga dituntut untuk membayar denda dengan jumlah tertentu. Bayar listrik sesudah tanggal 20 juga akan dikenai denda oleh pihak PLN.

Bagaimanakah hukum dari berbagai jenis denda di atas, apakah diperbolehkan secara mutlak, ataukah terlarang secara mutlak, ataukah perlu rincian? Inilah tema bahasan kita pada edisi ini. Persyaratan denda sebagaimana di atas diistilahkan oleh para ulama dengan nama syarth jaza’i.

Hukum persyaratan semisal ini berkaitan erat dengan hukum syarat dalam transaksi dalam pandangan para ulama. Ulama tidak memiliki titik pandang yang sama terkait dengan hukum asal berbagai bentuk transaksi dan persyaratan di dalamnya, ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum asalnya adalah terlarang, kecuali persyaratan-persyaratan yang dibolehkan oleh syariat. Adapun pendapat kedua menegaskan bahwa hukum asal dalam masalah ini adalah sah dan boleh, tidak haram dan tidak pula batal, kecuali terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan haram dan batalnya.

Singkat kata, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua, dengan alasan sebagai berikut:

a. Dalam banyak ayat dan hadits, kita dapatkan perintah untuk memenuhi perjanjian, transaksi, dan persyaratan, serta menunaikan amanah. Jika memenuhi dan memperhatikan perjanjian secara umum adalah perkara yang diperintahkan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa hukum asal transaksi dan persyaratan adalah sah. Makna dari sahnya transaksi adalah maksud diadakannya transaksi itu terwujud, sedangkan maksud pokok dari transaksi adalah dijalankan.

b. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kaum muslimin itu berkewajiban melaksanakan persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Hr. Abu Daud dan Tirmidzi)

Makna kandungan hadits ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Quran dan as-Sunnah. Maksud dari persyaratan adalah mewajibkan sesuatu yang pada asalnya tidak wajib, tidak pula haram. Segala sesuatu yang hukumnya mubah akan berubah menjadi wajib jika terdapat persyaratan.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim. Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Segala syarat yang tidak menyelisihi syariat adalah sah, dalam semua bentuk transaksi. Semisal penjual yang diberi syarat agar melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu dalam transaksi jual-beli, baik maksud pokoknya adalah penjual ataupun barang yang diperdagangkan. Syarat dan transaksi jual-belinya adalah sah.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Kaidah yang sesuai dengan syariat adalah segala syarat yang menyelisihi hukum Allah dan kitab-Nya adalah syarat yang dinilai tidak ada (batil). Adapun syarat yang tidak demikian adalah tergolong syarat yang harus dilaksanakan, karena kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Inilah pendapat yang dipilih oleh guru kami, Ibnu Taimiyyah.”

Berdasar keterangan di atas, maka syarth jaza’i adalah diperbolehkan, asalkan hakikat transaksi tersebut bukanlah transaksi utang-piutang dan nominal dendanya wajar, sesuai dengan besarnya kerugian secara riil.

Berikut ini adalah kutipan dua fatwa para ulama:

Yang pertama adalah keputusan Majma’ Fikih Islami yang bernaung di bawah Munazhamah Mu’tamar Islami, yang merupakan hasil pertemuan mereka yang ke-12 di Riyadh, Arab Saudi, yang berlangsung dari tgl 23–28 September 2000. Hasil keputusannya adalah sebagai berikut:

Keputusan pertama. Syarth jaza’i adalah kesepakatan antara dua orang yang mengadakan transaksi untuk menetapkan kompensasi materi yang berhak didapatkan oleh pihak yang membuat persyaratan, disebabkan kerugian yang diterima karena pihak kedua tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Keputusan kedua. Adanya syarth jaza’i (denda) yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan barang dalam transaksi salam tidak dibolehkan, karena hakikat transaksi salam adalah utang, sedangkan persyaratan adanya denda dalam utang-piutang dikarenakan faktor keterlambatan adalah suatu hal yang terlarang. Sebaliknya, adanya kesepakatan denda sesuai kesepakatan kedua belah pihak dalam transaksi istishna’ adalah hal yang dibolehkan, selama tidak ada kondisi tak terduga.

Istishna’ adalah kesepakatan bahwa salah satu pihak akan membuatkan benda tertentu untuk pihak kedua, sesuai dengan pesanan yang diminta. Namun bila pembeli dalam transaksi ba’i bit-taqshith (jual-beli kredit) terlambat menyerahkan cicilan dari waktu yang telah ditetapkan, maka dia tidak boleh dipaksa untuk membayar tambahan (denda) apa pun, baik dengan adanya perjanjian sebelumnya ataupun tanpa perjanjian, karena hal tersebut adalah riba yang haram.

Keputusan ketiga. Perjanjian denda ini boleh diadakan bersamaan dengan transaksi asli, boleh pula dibuat kesepakatan menyusul, sebelum terjadinya kerugian.

Keputusan keempat. Persyaratan denda ini dibolehkan untuk semua bentuk transaksi finansial, selain transaksi-transaksi yang hakikatnya adalah transaksi utang-piutang, karena persyaratan denda dalam transaksi utang adalah riba senyatanya.

Berdasarkan hal ini, maka persyaratan ini dibolehkan dalam transaksi muqawalah bagi muqawil (orang yang berjanji untuk melakukan hal tertentu untuk melengkapi syarat tertentu, semisal membangun rumah atau memperbaiki jalan raya).

Muqawalah adalah kesepakatan antara dua belah pihak, pihak pertama berjanji melakukan hal tertentu untuk kepentingan pihak kedua dengan jumlah upah tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula. Demikian pula, persyaratan denda dalam transaksi taurid (ekspor impor) adalah syarat yang dibolehkan, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak pengekspor.

Demikian juga dalam transaksi istishna’, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak produsen, jika pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Akan tetapi, tidak boleh diadakan persyaratan denda dalam jual-beli kredit sebagai akibat pembeli yang terlambat untuk melunasi sisa cicilan, baik karena faktor kesulitan ekonomi ataupun keengganan. Demikian pula dalam transaksi istishna’ untuk pihak pemesan barang, jika dia terlambat menunaikan kewajibannya.

Keputusan kelima. Kerugian yang boleh dikompensasikan adalah kerugian finansial yang riil atau lepasnya keuntungan yang bisa dipastikan. Jadi, tidak mencakup kerugian etika atau kerugian yang bersifat abstrak.

Keputusan keenam. Persyaratan denda ini tidak berlaku, jika terbukti bahwa inkonsistensi terhadap transaksi itu disebabkan oleh faktor yang tidak diinginkan, atau terbukti tidak ada kerugian apa pun disebabkan adanya pihak yang inkonsisten dengan transaksi.

Keputusan ketujuh. Berdasarkan permintaan salah satu pihak pengadilan, dibolehkan untuk merevisi nominal denda jika ada alasan yang bisa dibenarkan dalam hal ini, atau disebabkan jumlah nominal tersebut sangat tidak wajar.

Yang kedua
adalah fatwa Haiah Kibar Ulama Saudi. Secara ringkas, keputusan mereka adalah sebagai berikut, “Syarth Jaza’i yang terdapat dalam berbagai transaksi adalah syarat yang benar dan diakui sehingga wajib dijalankan, selama tidak ada alasan pembenar untuk inkonsistensi dengan perjanjian yang sudah disepakati.

Jika ada alasan yang diakui secara syar’i, maka alasan tersebut mengugurkan kewajiban membayar denda sampai alasan tersebut berakhir.

Jika nominal denda terlalu berlebihan menurut konsesus masyarakat setempat, sehingga tujuan pokoknya adalah ancaman dengan denda, dan nominal tersebut jauh dari tuntutan kaidah syariat, maka denda tersebut wajib dikembalikan kepada jumlah nominal yang adil, sesuai dengan besarnya keuntungan yang hilang atau besarnya kerugian yang terjadi.

Jika nilai nominal tidak kunjung disepakati, maka denda dikembalikan kepada keputusan pengadilan, setelah mendengarkan saran dari pakar dalam bidangnya, dalam rangka melaksanakan firman Allah, yaitu surat an-Nisa’: 58.” (Taudhih al-Ahkam: 4/253–255)

Jadi, anggapan sebagian orang bahwa syarth jaza’i secara mutlak itu mengandung unsur riba nasi’ah adalah anggapan yang tidak benar. Anggapan ini tidaklah salah jika ditujukan untuk transaksi-transaksi yang pada asalnya adalah UTANG-PIUTANG, semisal JUAL BELI KREDIT (MURABAHAH) dan transaksi SALAM.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.

Artikel: www.pengusahamuslim.com

Categories
SEPUTAR KOPERASI

SISTEM MURABAHAH KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

Pertama : Ketentuan Umum Murabahah dalam Koperasi Syari’ah Arrahmah:

  1. Koperasi dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
  2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
  3. Koperasi membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama Koperasi sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
  4. Koperasi harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
  5. Koperasi kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Koperasi harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
  6. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
  7. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak Koperasi dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

 

Kedua :Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:

  1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada Koperasi.
  2. Jika Koperasi menerima permohonan tersebut, koperasi harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
  3. Koperasi kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah akan membelinya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, dan secara hukum asal,janji tersebut mengikat;

 

Ketiga : Jaminan dalam Murabahah:

  1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabahserius dengan pesanannya.
  2. Koperasi dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

 

Keempat : Utang dalam Murabahah:

  1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada Koperasi.
  2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
  3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

 

Kelima :  Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:

  1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
  2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

 

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

  1. Orang yang mampu membayar utang namun menunda-nundanya disebut sebagai pelaku kezaliman.Rasulullah bersabda, “Perbuatan orang kaya yang menunda-nunda pembayaran utangnya adalah suatu kezhaliman” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
  2. Orang yang sengaja menolak melunasi utang kelak berjumpa dengan Allah sebagai pencuri. Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang berutang dengan niat tidak akan melunasinya,niscaya dia akan bertemu Allah (pada hari Kiamat) dalam keadaan sebagai pencuri” (HR. Ibnu Majah dengan sanad Shahih).
  3. Jiwa orang yang berutang dan belum melunasinya tertahan. Rasulullah bersabda, “Jiwa seorang mukmin tertahan oleh utangnya hingga utang tersebut terlunasi” (HR.at-Tirmidzi dengan sanad shahih).
  4. Rasulullah enggan menshalatkan Jenazah orang yang mempunyai utang hingga utangnya dilunasi atau adanya seseorang yang menjamin untuk melunasinya.

 

Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, ‘Rasulullah biasanya menolak menshalatkan seseorang yang wafat dalam keadaan masih memiliki utang. Suatu ketika dihadirkan ke hadapan beliau mayat seseorang, lalu beliau bertanya, ‘Apakah dia mempunyai utang?’ Para sahabat menjawab, ‘Ya, dua dinar.’ Beliau bersabda, ‘(Kalau begitu) shalatkanlah saudara kalian ini.’ Maka Abu Qatadah berkata, ‘Wahai Rasulullah, biarlah aku yang menanggung dua dinar itu.’Maka beliau pun menshalatkannya” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasa’i, dengan sanad shahih).

5.    Dosa menanggung (tidak membayar) utang tidak akan diampuni sekalipun pelakunya mati syahid. Rasulullah bersabda,“Seluruh dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang.” (HR. Muslim)
Sungguh sangat memprihatinkan sikap sebagian orang yang menganggap remeh kewajiban untuk menunaikan hak orang lain, khususnya dalam masalah utang piutang. Padahal begitu besar ancaman bagi orang yang menyepelekan masalah ini.Karena itu hendaknya orang yang berutang berupaya keras untuk melunasi utangnya dan segera menyelesaikan kewajibannya begitu ada kemampuan untuk itu. Barangsiapa memiliki kesungguhan untuk melunasi utangnya niscaya Allah akan membantunya. Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang hamba mempunyai niatuntuk melunasi utangnya kecuali ia akan mendapatkan pertolongan dari Allah”(HR. al-Hakim dengan sanad Shahih)

6.    Amal kebaikan orangyang mempunyai utang akan digunakan untuk melunasi utangnya kelak di akherat. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan menanggung utang satu Dinar atau satu Dirham, maka akan dilunasi dari kebaikannya, karena disana tidak ada lagi Dinar maupun Dirham.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad Shahih).

Rujukan : Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI

Categories
SEPUTAR KOPERASI

ATURAN & TATA CARA JUAL BELI KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

1.Mengetahui & memahami adab – adab jual beli serta utang piutang yang sesuai syariat Islam.

2.Bersedia taat pada aturan koperasi

3.Jual beli dilakukan secara murabahah ( angsur ) & cash/salam.

4.Setiap calon nasabah harus memiliki penjamin, yakni seorang yang dikenal baik, jujur dan mampu serta diakui oleh koperasi syariah Arrahmah layak menjadi penjamin.

5.Produk yang hendak dibeli merupakan barang yang boleh diperjualbelikan menurut syariat Islam.

6.Koperasi tidak melayani jualbeli barang berupa : alat music, games dan sejenisnya, emas dan perak dan uang (alat tukar).

7.Setiap calon nasabah harus mengisi formulir pengajuan barang dan semua berkas administrasi yang dipersyaratkan koperasi saat pengajuan barang

8.Koperasi akan membelikan barang setelah semua persyaratan terpenuhi.

9.Tanda tangan aqad serta pembayaran angsuran atau DP dilakukan setelah barang dimiliki sepenuhnya oleh koperasi

10.Barang dimiliki koperasi berarti barang sudah berpindah tempat di kantor koperasi atau ketika barang keluar dari gudang supplier/produsen, koperasi sudah menandatangani serah terima barang tersebut ditempat yang dijanjikan dan memastikan barang dalam kondisi baik sebelum dikirim & diterima nasabah.

11.Harga barang yang diatas Rp 5.000.000,- harus ada agunan / jaminan

12.Harga barang yang diatas Rp 10.000.000,- harus ada DP 20% khusus mobil 35% dari harga barang yang dibeli

13.Bila sepeda motor yang dijadikan agunan, maka harus diatas tahun 2010.

14.Bersedia dilakukan disurvey.

15.Barang yang diangsur dengan menggunakan DP, maka angsuran pertamanya jatuh pada bulan ke-2, sedangkan yang tidak menggunakan DP, maka angsuran ke-1 dibayar pada waktu aqad terjadi

16.Margin keuntungan Koperasi adalah 1.7 % Per Bulan untuk semua barang kecuali sepeda motor 1.67 % Per Bulan dan Mobil 1. % Per Bulan.

17.Wajib membayar angsuran utang saat jatuh tempo

Categories
SEPUTAR KOPERASI

SOP JUAL BELI KREDIT DENGAN KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

SOP Murobahah
SOP Murobahah
Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

ATURAN PENJAMIN PADA JUAL BELI KREDIT DENGAN KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

PENJAMIN menjadi dasar paling penting saat hendak bermuamalah jual beli cara angsuran (kredit) dengan Koperasi Syariah Arrahmah.

Oleh karena itu sebaiknya calon nasabah memahami dulu mengenai kedudukan PENJAMIN dan bisa mengajukan seorang PENJAMIN yang akan menjamin dirinya ketika hendak melakukan aqad jual beli cara angsuran dengan KS ARRAHMAH.

Berikut penjelasannya.

Menjadi PENJAMIN di KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH berarti memahami segala tugas dan konsekwensi PENJAMIN sebagai berikut :

  1. Mengerti dan paham bahwa tujuan didirikan KS ARRAHMAH adalah sebagai salah satu solusi menghindari riba bagi kaum muslimin dan dibangun atas prinsip syariah dan ta’awun.
  2. Mengerti dan paham bahwa KS ARRAHMAH menghimpun dana dari anggota koperasi yang harus dikelola dengan baik, jujur dan amanah.
  3. Mengerti dan paham bahwa KS ARRAHMAH merupakan badan usaha komersil yang bertujuan memperoleh keuntungan dalam rambu-rambu yang diijinkan syariah.
  4. Mengerti dan paham bahwa KS ARRAHMAH bisa untung bisa rugi, namun kerugian diusahakan agar seminimal mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan.
  5. Mengerti dan paham bahwa PENJAMIN tidak mendapat gaji atau fee dari KS ARRAHMAH selain ketika SHU untuk PENJAMIN jika KS ARRAHMAH mendapat laba sebagaimana ketentuan yang berlaku di KS ARRAHMAH.
  6. Mengerti dan paham bahwa PENJAMIN adalah pengurus/anggota KS ARRAHMAH yang telah dianggap layak oleh Dewan Syariah, Dewan Pembina, Dewan Keuangan, dan Pengurus Inti untuk diberi amanah menjadi PENJAMIN.
  7. Mengerti dan paham bahwa menjadi PENJAMIN berarti  memiliki hak untuk merekomendasikan jamaah kaum muslimin menjadi NASABAH YANG DIJAMIN untuk bertransaksi dengan KS ARRAHMAH dengan prinsip Ta’awun / tolong menolong agar saudara yang dijamin tidak terjatuh dalam dosa riba.
  8. Mengerti dan paham bahwa sebagai PENJAMIN, niat  menjadi PENJAMIN adalah ikhlas karena ALLAH TA’ALA demi menolong agar saudara NASABAH YANG DIJAMIN selamat dan tidak terjatuh dalam dosa riba.
  9. Mengerti dan paham bahwa sebagai PENJAMIN, berarti penjamin menjamin bahwa saudara NASABAH YANG DIJAMINnya adalah saudara muslim(ah) yang sudah dikenal baik dan dekat dari sisi agama, akhlak, tempat tinggal, pekerjaan dan kesanggupannya membayar utang dengan KKS ARRAHMAH.
  10. Mengerti dan paham bahwa sebagai PENJAMIN berarti jika nasabah yang dijamin ternyata mengalami tunggakan pada KS ARRAHMAH maka PENJAMIN bersedia :
  11. Ikut menghubungi dan mengingatkan NASABAH YANG DIJAMIN agar bisa segera menyelesaikan utang piutangnya dengan KS ARRAHMAH hingga tunggakan bisa diselesaikan.
  12. Membantu KKS ARRAHMAH mencari solusi agar utang NASABAH YANG DIJAMIN bisa dibayar, semisal dengan menjual barang jaminan milik NASABAH YANG DIJAMIN dan membayarkan hasilnya sesuai utangnya kepada KS ARRAHMAH.
  13. Jika ternyata barang jaminan milik NASABAH YANG DIJAMIN (yang dikredit) tidak ada, maka PENJAMIN bersedia membantu KS ARRAHMAH mengambil harta berharga lainnya milik NASABAH YANG DIJAMIN untuk dijual guna menyelesaikan utang piutangnya dengan KS ARRAHMAH hingga tunggakan bisa diselesaikan.
  14. Jika ternyata poin 12 dan 13 tidak bisa dilakukan, maka PENJAMIN BERSEDIA MEMBAYAR UTANG NASABAH YANG DIJAMIN kepada KS ARRAHMAH.
    Dikoreksi dan klausul ini ditiadakan setelah kedatangan ustadz Erwandi ke Banjarmasin agar tidak terjatuh pada riba.

 

Dengan melihat poin-poin diatas, maka menjadi PENJAMIN bukan hal yang mudah, karena akan dimintai pertanggungjawaban dunia dan akhirat.

Setiap PENJAMIN wajib mengisi FORM BERSEDIA MENJADI PENJAMIN yang ditandatangani diatas materai.

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

ATURAN & TATA TERTIB JUAL BELI MELALUI KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

Tata Cara Jual Beli Koperasi Syariah Arrahmah

  1. Mengetahui & memahami adab – adab jual beli serta utang piutang yang sesuai syariat Islam.
  2. Bersedia taat pada aturan koperasi
  3. Jual beli dilakukan secara murabahah ( angsur ) & cash/salam.
  4. Setiap calon nasabah harus memiliki penjamin, yakni seorang yang dikenal baik, jujur dan mampu serta diakui oleh koperasi syariah Arrahmah layak menjadi penjamin.
  5. Produk yang hendak dibeli merupakan barang yang boleh diperjualbelikan menurut syariat Islam.
  6. Koperasi tidak melayani jualbeli barang berupa : alat music, games dan sejenisnya, emas dan perak, uang (alat tukar) serta Sembako.
  7. Setiap calon nasabah harus mengisi formulir pengajuan barang dan semua berkas administrasi yang dipersyaratkan koperasi saat pengajuan barang
  8. Koperasi akan membelikan barang setelah semua persyaratan terpenuhi.
  9. Tanda tangan aqad serta pembayaran angsuran atau DP dilakukan setelah barang dimiliki sepenuhnya oleh koperasi
  10. Barang dimiliki koperasi berarti barang sudah berpindah tempat di kantor koperasi atau ketika barang keluar dari gudang supplier/produsen, koperasi sudah menandatangani serah terima barang tersebut ditempat yang dijanjikan dan memastikan barang dalam kondisi baik sebelum dikirim & diterima nasabah.
  11. Harga barang yang diatas Rp 5.000.000,- harus ada agunan / jaminan
  12. Harga barang yang diatas Rp 10.000.000,- harus ada DP 20% khusus mobil 35% dari harga barang yang dibeli
  13. Bila sepeda motor yang dijadikan agunan, maka harus diatas tahun 2010.
  14. Bersedia dilakukan disurvey.
  15. Barang yang diangsur dengan menggunakan DP, maka angsuran pertamanya jatuh pada bulan ke-2, sedangkan yang tidak menggunakan DP, maka angsuran ke-1 dibayar pada waktu aqad terjadi
  16. Margin keuntungan Koperasi adalah 1.7 % Per Bulan untuk semua barang kecuali sepeda motor 1.67 % Per Bulan dan Mobil 1. % Per Bulan.
  17. Wajib membayar angsuran utang saat jatuh tempo.

 

Mari tolong menolong dalam memberantas riba. Investasikan kelebihan uang yang anda miliki dengan menjadi anggota Koperasi. Uang anda akan dimanfaatkan oleh saudara kita yang akan bermuamalah halal & selamat dari dosa riba.