Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM

BEDA AKAD QARDH (UTANG PIUTANG) DENGAN MUDHARABAH

Pinjaman

Para ulama telah memberikan sebuah kaedah yang mesti kita perhatikan berkenaan dengan hutang piutang. Kaedah yang dimaksud adalah:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.(Lihat Al Majmu’ Al Fatawa, 29/533; Fathul Wahaab, 1/327; Fathul Mu’in, 3/65; Subulus Salam, 4/97)

Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal:

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ .

“Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”

Yang masih bingung antara hutang piutang (qardh) n kerjasama (mudhorobah;musyarokah), silahkan disimak ilustrasi berikut:

▶▶▶▶

?? Gimana kabarnya mbak?
?? Sehat dek, alhamdulillah.

?? Ini saya selain silaturahmi juga ada perlu mbak.
?? Apa apa dek…apa yang bisa tak bantu.

?? Anu..kalau ada uang 20juta saya mau pinjam.
?? Dua puluh juta? Banyak sekali. Untuk apa dek?

??Tambahan modal mbak. Dapat order agak besar, modal saya masih kurang. Bisa bantu mbak?
?? Mmm..mau dikembalikan kapan ya?

?? InsyaAllah dua bulan lagi saya kembalikan.
?? Gitu ya. Ini mbak ada sih 20juta. Rencana untuk beli sesuatu. Tapi kalau dua bulan sudah kembali ya gak apa-apa, pakai dulu aja.

?? Wah, terimakasih mbak.
?? Ini nanti mbak dapat bagian dek?

?? Bagian apa ya mbak?
?? Ya kan uangnya untuk usaha, jadi kan ada untungnya tuh. Naa..kalau mbak enggak kasih
pinjem kan ya gak bisa jalan usahamu itu, iya kan?
*tersenyum penuh arti*

?? Oh, bisa-bisa. Boleh saja kalau mbak pengennya begitu. Nanti saya kasih bagi hasil mbak.
??Besarannya bisa kita bicarakan.
Lha, gitu kan enak. Kamu terbantu, mbak juga dapat manfaat.

?? Tapi akadnya ganti ya mbak. Bukan hutang piutang melainkan kerjasama.
?? Iyaa..gak masalah. Sama aja lah itu. Cuman beda istilah doang.

??Bukan cuma istilah mbak, tapi pelaksanaannya juga beda.
??Maksudnya??

??Jadi gini mbak: kalau akadnya hutang, maka jika usaha saya lancar atau tidak lancar ya saya
tetap wajib mengembalikan uang 20juta itu. Tapi jika akadnya kerjasama, maka kalau usaha
saya lancar, mbak akan dapat bagian laba. Namun sebaliknya, jika usaha tidak lancar atau
merugi maka mbak juga turut menanggung resiko. Bisa berupa kerugian materi→uangnya
tidak bisa saya kembalikan, atau rugi waktu→ kembali tapi lama.

??Waduh, kalau gitu ya mending uangnya saya deposito kan tho dek: gak ada resiko apa2, uang
utuh, dapat bunga pula.

??Itulah riba mbak. Salah satu ciri2nya tidak ada resiko dan PASTI untung.

??Tapi kalau uangku dipinjam si A untuk usaha ya biasanya aku dapet bagi hasil kok dek. 2% tiap
bulan. Jadi kalau dia pinjam 10juta selama dua bulan, maka dua bulan kemudian uangku
kembali 10juta+400ribu.

??Itu juga riba mbak. Persentase bagi hasil ngitungnya dari laba, bukan berdasar modal yang disertakan.Kalau berdasar modal kan mbak gak tau apakah dia beneran untung atau tidak.

Dan disini selaku investor berarti mbak tidak menanggung resiko apapun donk. Mau dia untung atau rugi mbak tetep dapet 2%. Lalu apa bedanya sama deposito?

??Dia ikhlas lho dek, mbak gak matok harus sekian persen gitu kok.

??Meski ikhlas atau saling ridho kalau tidak sesuai syariat ya dosa mbak.

??Waduh…syariat kok ribet bener ya.

??Ya karena kita sudah terlanjur terbiasa dengan yang keliru mbak. Memang butuh perjuangan untuk mengikuti aturan yang benar. Banyak kalau tidak berkah bikin penyakit lho mbak.hehe.

??Hmmm…ya sudah, ini 20juta nya hutang aja. Mbak gak siap dengan resiko kerjasama. Nanti dikembalikan dalam dua bulan yaa.

??Iya mbak. Terimakasih banyak mbak. Meski tidak mendapat hasil berupa materi tapi insyaAllah
mbak tetap ada hasil berupa pahala.
Amiiin..

▶▶▶▶▶▶

Kalau cuma bicara anti riba…. burung beopun juga bisa.

Kl cuma diskusi masalah ekonomi umat… ngbrol sama balita yg baru belajar bicara jauh lebih menarik.

Ayuuu hidupkan ekonomi mikro.. berikan pancingan bukan ikan.

investasi dunia akhirat

Notes : perhatikan dlm bisnis akad kerjasama kah?? Atau akad peminjaman uang.. ini 2 hukum islam yg berbeda dn efeknya pun di dunia dan akhirat juga berbeda.

“… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS.Al-baqarah:275)

Sebenarnya apa sih tujuan islam melarang riba? Seharusnya khan asal saling sepakat, saling rela, tidak kena dosa?

Hukum islam itu dibuat untuk mengatur agar manusia mendapatkan kemaslahatan sebesar-besarnya tanpa manusia merugikan siapapun sekecil-kecilnya.

Mari kita bahas contoh LABA dan RIBA agar anda mudah untuk memahami dengan bahasa yang umum:

1. Saya membeli sebuah sepeda motor Rp. 10 Juta dan saya hendak menjual dengan mengambil untung dengan bunga 1% perbulan untuk jangka waktu pembayaran 1 tahun.
Transaksi seperti ini tergolong transaksi RIBAWI.

2. Saya membeli sepeda motor Rp. 10 juta, dan saya hendak menjual secara kredit selama setahun dengan harga Rp. 11.200.000,-. Transaksi ini termasuk transaksi SYARIAH.

Apa bedanya? Khan kalau dihitung2 ketemunya sama Untungnya Rp. 1.200.000?

?

Mari kita bahas kenapa transaksi pertama riba dan transaksi kedua syar’i.

*TRANSAKSI PERTAMA RIBA,* karena:

1. Tidak ada kepastian harga, karena menggunakan sistem bunga. Misal dalam contoh diatas, bunga 1% perbulan. Jadi ketika dicicilnya disiplin memang ketemunya untungnya adalah Rp. 1.200.000,-. Tapi coba kalau ternyata terjadi keterlambatan pembayaran, misal ternyata anda baru bisa melunasi setelah 15 bulan, maka anda terkena bunganya menjadi 15% alias labanya bertambah menjadi Rp. 1.500.000,-.

Jadi semakin panjang waktu yang dibutuhkan untuk melunasi utang, semakin besar yang harus kita bayarkan.

Bahkan tidak jarang berbagai lembaga leasing ada yang menambahi embel2 DENDA dan BIAYA ADMINISTRASI, maka semakin riba yang kita bayarkan. Belum lagi ada juga yang menerapkan bunga yang tidak terbayar terakumulasi dan bunga ini akhirnya juga berbunga lagi.

2. Sistem riba seperti diatas jelas2 sistem yang menjamin penjual pasti untung dengan merugikan hak dari si pembeli. Padahal namanya bisnis, harus siap untung dan siap rugi.

*TRANSAKSI KEDUA SYARIAH,* karena:

1. Sudah terjadi akad yang jelas, harga yang jelas dan pasti. Misal pada contoh sudah disepakati harga Rp. 11.200.000,- untuk diangsur selama 12 bulan.

2. Misal ternyata si pembeli baru mampu melunasi utangnya pada bulan ke-15, maka harga yang dibayarkan juga masih tetap Rp. 11.200.000,- tidak boleh ditambah. Apalagi diistilahkan biaya administrasi dan denda, ini menjadi tidak diperbolehkan.

Kalau begitu, si penjual jadi rugi waktu dong? Iya, bisnis itu memang harus siap untung siap rugi. Tidak boleh kita pasti untung dan orang lain yang merasakan kerugian.

Nah, ternyata sistem islam itu untuk melindungi semuanya, harus sama hak dan kewajiban antara si pembeli dan si penjual. Sama-sama bisa untung, sama-sama bisa rugi. Jadi kedudukan mereka setara. Bayangkan dengan sistem ribawi, kita sebagai pembeli ada pada posisi yang sangat lemah.

Nah, sudah lebih paham hikmahnya Alloh melarang RIBA?

Kalau menurut anda informasi ini akan bermanfaat untuk anda dan orang lain, silakan share status ini, untuk menebar kebaikan.

Dakwah anda hanya dengan meng-KLIK SHARE/BAGIKAN, maka anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share anda, dan juga jika dishare lagi anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share kawan anda.
Mungkin lebih tepatnya MULTI LEVEL PAHALA, Hehehe

Semoga bermanfaat
(copas dengan sedikit tambahan)

Saudaraku, cukup nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut sebagai wejangan bagi kita semua.

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH HANYA MENJUAL BARANG SECARA KREDIT SETELAH BARANG DIMILIKI

Transaksi pembiayaan yang umumnya terjadi pada lembaga finance, perbankan konvensional atau syariah, serta BMT dan Koperasi Simpan Pinjam saat bertransaksi dengan konsumen adalah merupakan transaksi utang piutang, bukan jual beli. Entah nama transaksi dan istilahnya dibuat dengan bahasa arab sehingga terkesan syar’i, namun kenyataannya, umumnya transaksi tersebut merupakan transaksi utang piutang, bukan jual beli.

Hal ini terjadi karena umumnya transaksi tersebut tidak memenuhi syarat jual beli, terutama bahwa objek jual beli merupakan hak milik penuh, dan kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi sempurna dengan terjadinya transaksi dan serah-terima.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

Hadits lainnya. diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “aku bertanya kepada rasulullah, jual-beli apakah yang diharamkan dan yang dihalalkan? Beliau bersabda, “hai keponakanku! Bila engkau membeli barang jangan dijual sebelum terjadi serah terima”. (HR. Ahmad).

Yang membedakan Koperasi Syariah Arrahmah dengan lembaga pembiayaan sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas adalah bahwa kami berusaha menerapkan transaksi yang sesuai syariat Islam.

Silahkan simak gambar dibawah ini yang menggambarkan secara umum transaksi yang terjadi di koperasi kami.

 

 

alur transaksi dengan koperasi syariah arrahmah

  1. Anggota / Calon Anggota koperasi datang ke koperasi syariah Arrahmah bermaksud ingin membeli barang secara kredit melalui koperasi. Anggota melengkapi semua persyaratan administrasi yang dipersyaratkan oleh koperasi. Koperasi mempersilahkan anggota/calon anggota menyebutkan barang yang diinginkan, kriteria atau type dan merk yang diinginkan. Koperasi mempersilahkan anggota menyebutkan nama toko yang menjual barang tersebut, namun lebih diprioritaskan adalah toko atau supplier yang sudah memiliki hubungan kerjasama dengan koperasi syariah Arrahmah. Koperasi Syariah Arrahmah berjanji akan membeli barang sesuai yang diinginkan oleh anggota/calon anggota tersebut.
  2. Setelah poin 1 lengkap, koperasi syariah Arrahmah kemudian membeli barang yang diinginkan oleh anggota/calon anggota koperasi.
  3. Serah terima antara toko/supplier dengan koperasi telah terjadi dan kepemilikan barang berpindah dari milik toko menjadi milik koperasi. Barang siap ditransaksikan dengan anggota/calon anggota koperasi.
  4. Koperasi menghubungi anggota untuk melakukan akad Murabahah. Harga pembelian, biaya administrasi maupun keuntungan yang akan diambil oleh koperasi pada jangka waktu yang disepakati bersama disampaikan secara rinci kepada anggota/calon anggota. Anggota masih memiliki hak khiyar hingga sebelum akad ditandatangani.Yang dimaksud khiyar adalah memilih di antara dua perkara yaitu melanjutkan atau membatalkan jual beli. terutama khiyar yang dikenal dengan sebutan khiyar majelis.Yang dimaksud khiyar majelis adalah khiyar yang terjadi di tempat akad jual beli berlangsung hingga yang melakukan jual beli berpisah.Dalilnya adalah:Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

    Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532).

    Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ ، مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، وَكَانَا جَمِيعًا ، أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ ، فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ ، وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا ، وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ ، فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ

    Jika dua orang melakukan jual beli, maka setiap orang dari mereka memiliki hak khiyar selama belum berpisah dan mereka bersama-sama (dalam satu tempat), atau salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lain. Maka jika salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lainnya kemudian mereka melakukan transaksi jual beli atas khiyar tersebut, sudah (terjadi) jual beli. Bila mereka berpisah setelah terjadi jual beli, dan salah satu dari mereka tidak meninggalkan jual beli maka telah terjadi jual beli.” (HR. Bukhari no. 2112 dan Muslim no. 1531)

  5. Serah terima barang antara koperasi dengan anggota/calon anggota.
  6. Anggota/Calon anggota membayar DP (jika menggunakan DP) dan angsuran kepada Koperasi Syariah Arrahmah.

Demikian gambaran transaksi jual beli kredit secara murabahah yang terjadi di koperasi kami. Anda bisa membandingkan sendiri dengan transaksi kredit yang umumnya terjadi pada lembaga pembiayaan, baik perbankan, finance, bmt atau koperasi, yang konvensional maupun berlabel syariah.

Berikut ini kami ingin menyampaikan artikel yang insya Allah bermanfaat sebagai rujukan ilmiah agar transaksi jual beli yang dilakukan dilakukan berdasarkan dalil yang ilmiah, sesuai hukum syar’i, berlandaskan qur’an dan sunnah yang shahih menurut pemahaman para sahabat dan yang mengikuti mereka.

Semoga bermanfaat.

=================================================================

BMT Vs Hadis: Jangan Jual yang Tidak Kau Miliki

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Salah satu hadis yang banyak dijadikan acuan dalam kajian fikih muamalah adalah hadis Hakim bin Hizam.

Beliau pernah bercerita,

Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku sampaikan, ‘Ada orang yang mendatangiku, memintaku untuk menyediakan barang yang tidak aku miliki. Bolehkah saya belikan barang itu dipasar, kemudian aku jual barang itu kepadanya?’

Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki.” (HR. Ahmad 15705, Nasai 4630, Abu Daud 3505, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Dalam riwayat lain, Hakim pernah mengatakan,

نَهَانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَبِيعَ مَا لَيْسَ عِنْدِى

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melarangku untuk menjual barang yang tidak aku miliki. (HR. Turmudzi 1280 dan dishahihkan al-Albani).

Ketika membawakan hadis ini, Turmudzi menyatakan,

والعمل على هذا الحديث عند أكثر أهل العلم كرهوا أن يبيع الرجل ما ليس عنده

Mayoritas ulama mengamalkan hadis ini. Mereka membenci seseorang menjual apa yang tidak dia miliki. (Sunan at-Turmudzi , 5/142)

Siapa Hakim bin Hizam?

Tidak salah jika dalam artikel ini, kita mengenali siapa beliau. Meskipun bisa jadi tidak ada kaitannya dengan masalah fikih muamalah.

Hakim bin Hizam, salah satu pemuka Quraisy, keponakan Khadijah radhiyallahu ‘anhu. Sebelum diutus jadi nabi, Rasulullah sangat dekat dengan Hakim. Sampai beliau jadi Nabi, Hakim masih menjalin hubungan dekat dengan beliau. Meskipun demikian, Hakim baru masuk islam ketika fathu Mekah.

Hakim termasuk orang berada. Beliau yang membeli budak bernama Zaid bin Haritsah, yang kemudian dihadiahkan kepada bibinya, Khadijah. Kemudian, oleh Khadijah, Zaid dihadiahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hakim beberapa kali meriwayatkan hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Fiqh Muamalah. Diantaranya, hadis tentang hak khiyar dalam jual beli.

Dari latar belakang ini, kita bisa memahami mengapa Hakim mendapatkan pesanan barang dari konsumennya.

Akad Pesan Memesan

Dalam transaksi pesan memesan, kita mengenal istilah jual beli salam.  Dalam jual beli ini, penjual sama sekali tidak memiliki barang yang dia jual (bai’ ma’dum). Pembeli hanya memesan barang kepada penjual, berdasarkan kriteria tertentu, dengan pembayaran tunai di depan.

Jual beli semacam ini, telah dipraktekkan para sahabat sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Dan beliau izinkan, namun dengan batasan tertentu.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, sementara masyarakat melakukan transaksi salam untuk buah-buahan selama rentang setahun atau dua tahun. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan,

مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

Siapa yang melakukan transaksi salam untuk kurma, hendaknya dia lakukan dengan timbangan yang pasti, takaran yang pasti, sampai batas waktu yang pasti. (HR. Ahmad 3370 & Muslim 4202).

Salah satu bukti bahwa orang yang melakukan salam tidak memiliki barang, bisa kita simak pada praktek sahabat, yang diceritakan Abdullah bin Abi Aufa,

“Kami mendapatkan ghanimah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba datang penduduk Anbath dari saerah Syam. Lalu kami melakukan jual beli salam dengan mereka untuk gandum halus, gandum kasar, dan zabib sampai batas tertentu.”

Tabiin yang menjadi perawi hadis ini, Muhammad bin Mujalid, bertanya kepada sahabat Abdullah bin Abi Aufa,

أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ ، أَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ زَرْعٌ

Apakah orang Anbath itu memiliki ladang tanaman tadi ataukah tidak memiliki?

Jawab Sahabat,

مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ

“Kami tidak pernah menanyakan hal itu kepada mereka.” (HR. Bukhari 2254).

Dalam riwayat ini, menujukkan bahwa sahabat tidak mempermasalahkan apakah penjual memiliki barang yang dipesan atau belum. Bagi sahabat, yang penting barang itu sampai kepada mereka, tanpa peduli dari mana penjual itu medapatkan barang yang dipesan.

Kita hendak memberikan pesan yang hendaknya dicatat, dalam jual beli salam, penjual sama sekali tidak memiliki barang yang dipesan.

Bagaimana Dengan Hadis Hakim bin Hizam?

Dalam hadis Hakim di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki.”

Mengapa di sini dilarang, sementara dalam transaksi salam dibolehkan menjual barang yang tidak dimiliki?

Padahal sama-sama bai’ ma’dum (menjual barang yang tidak dimiliki).

Memesan Barang Ada 2 Cara

Pertama, memesan barang berdasarkan kriteria (al-Mausuf  fi dzimmah).

Si A memesan sebuah komputer kepada si B. Si hanya menyebutkan beberapa kriteria dan spesifikasi komputer yang dipesan. Dia sebutkan detail kriteria procesornya, motherboard, VGA, RAM, dst… termasuk casingnya.

Dalam hal ini, si B menjual barang yang al-Mausuf  fi dzimmah.

Kedua, memesan barang yang sudah ditentukan (Bai al-Muayyan).

Si A pesan kepada si B. Dia pesan, tolong belikan komputer yang sudah dipajang di etalase toko x, paling pojok. Ada tulisannya SALE.

Atau si A butuh HP. Dia datang ke si B, kemudian mereka berdua ke toko HP. Si A silahkan memilih sendiri jenis HP yang diinginkan. Nanti si B yang bayar. Selanjutnya si A nyicil pembayarannya ke si B, dengan harga lebihi.

Mengingat metodenya beda, maka ulama memberikan hukum yang berbeda untuk kedua transaksi.

Untuk transaksi yang pertama, para ulama membolehkan. Dalilnya adalah adanya jual beli salam yang dipraktekkan para sahabat dan direstui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para sahabat dalam transaksi salam, mereka pesan barang berdasarkan kriteria (Mausuf fi dzimmah). Bukan muayyan (tertentu).

Sementara dalam transaksi kedua, para ulama melarangnya, berdasarkan hadis Hakim bin Hizam di atas.

Karena antara Hakim dan konsumennya, tinggal dalam satu kota yang sama. Sementara pasar bisa mereka jangkau. Sehingga tanpa Hakim, konsumen bisa beli sendiri itu. Namun konsumen mendatangi Hakim, salah satu kemungkinan latar belakangnya adalah konsumen tidak memiliki uang untuk beli barang itu, sehingga dia minta Hakim untuk membelikannya secara tunai, kemudian orang ini bayar ke Hakim dengan harga yang lebih mahal.

Al-Khithabi menjelaskan hadis Hakim,

قوله: لا تبع ما ليس عندك ـ يريد بيع العين دون بيع الصفة، ألا ترى أنه أجاز السلم إلى الآجال، وهو بيع ما ليس عنده في الحال، وإنما نهى عن بيع ما ليس عند البائع من قبل الغرر

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jangan kau jual apa yang bukan milikmu.” maksudnya adalah jual beli barang muayyan, bukan jual beli berdasarkan batasan kriteria dan spesifikasi. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan jual beli salam, tertunda sampai batas waktu tertentu? Padahal itu termasuk jual beli yang tidak dimiliki ketika akad. Beliau melarang jual beli yang tidak dimiliki penjual karena alasan gharar (tidak jelas). (Ma’alim as-Sunan, 3/140).

Bisa kita catat, hadis tentang larangan jual beli yang tidak dimiliki, tidak berlaku untuk jual beli yang pemesanannya dengan menyebutkan kriteria.

Kesimpulan ini juga disampaikan Ibnul Qoyim,

وقد ظن طائفة أن السلم مخصوص من عموم هذا الحديث، فإنه بيع ما ليس عنده، وليس كما ظنوه، فإن الحديث إنما تناول بيع الأعيان، وأما السلم: فعقد على ما في الذمة، وما في الذمة مضمون مستقر فيها، وبيع ما ليس عنده إنما نهي عنه لكونه غير مضمون عليه ولا ثابت في ذمته، ولا في يده، فالمبيع لا بد أن يكون ثابتا في ذمة المشتري أو في يده

Sebagian orang menyangka bahwa jual beli salam, dikecualikan dari larangan jual beli dalam hadis Hakim bin Hizam. Karena bukan termasuk jual beli yang tidak dimiliki. Padahal tidak demikian. Karena hadis Hakim bin Hizam, hanya berlaku untuk bai’ al-A’yan (menjual barang yang sudah ditentukan).

Sementara Salam, akadnya bersifat tanggungan. Dan sesuatu yang tertanggung, dijamin, dianggap ada. Sementara menjual barang yang tidak dimiliki, dilarang karena tidak dijamin dan tidak menjadi tanggungannya. Tidak pula ada di tangan penjual. Intinya, barang harus ada dalam tanggungan bagi pembeli atau di tangan penjual. (Hasyiyah Sunan Abi Daud, 9/299).

Kasus BMT & Koperasi Syariah

Ada konsumen butuh kulkas. Dia tidak punya dana tunai. Datang ke BMT untuk ditalangi beli kulkas. Dan dibayar kredit. Tentunya dengan harga lebih mahal. BMT menawarkan, untuk bersama-sama datang ke toko elektronik, dan konsumen boleh memilih sendiri barang yang diinginkan, dan BMT yang bayar.

Pada hakekatnya, jual beli seperti inilah yang dilarang dalam hadis Hakim bin Hizam.

Karena ketika  konsumen memilih sendiri barang itu, kemudian dia minta BMT untuk membelikannya, statusnya bai’ mua’ayyan (jual beli barang tertentu).

Dan yang terjadi hakekatnya bukan konsumen beli kulkas ke BMT, tapi utang duit ke BMT, dan nanti melunasi secara bertahap dengan nilai lebih dari yang dijual.

Atau bisa juga dengan pendekatan kedua, BMT menjual barang yang belum diserah terimakan.

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ

“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” (HR. Bukhari 2133 & Muslim 3915)

Ibnu ‘Abbas mengatakan,

وَأَحْسِبُ كُلَّ شَىْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ

“Menurutku bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Muslim 3915)

Dan dari Zaid bin Tsabit, beliau mengatakan,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual barang di tempat pembeliannya sampai barang itu dipindahkan pedagang ke tempatnya. (HR. Abu Daud 3501 dan dihasanka al-Albani)

Ketika BMT membeli kulkas itu, dia langsung jual ke konsumennya, sementara belum dipindahkan dari toko. Dan ini terlarang dengan hadis di atas.

Ini berbeda jika konsumen pesan barang yang diinginkan ke BMT, dengan menyebutkan spesifikasi tertentu. Selanjutnya BMT yang mencarikan sendiri barang yang diinginkan konsumen. Ini termasuk bai’ mausuf fi dzimmah. Jual beli yang barangnya dijamin penjual.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits 

Sumber

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

BAGI HASIL INVESTASI HALAL BERDASARKAN APA ? MODAL DISETOR ATAU KEUNTUNGAN USAHA ?

Kebanyakan kaum muslimin saat ini masih belum paham bagaimana sebenarnya cara berinvestasi halal. Umumnya masyarakat, telah terbawa dengan kebiasaan buruk yang dibawa oleh yahudi sejak berabad-abad lalu hingga sekarang, yang telah memoles kebiasaan buruk mereka sedemikian rupa, sehingga RIBA yang telah NYATA-NYATA diHARAMkan oleh Allah dan Rasul-Nya, menjadi TAMPAK HALAL dimata masyarakat, bahkan oleh sebagian kaum muslimin.

Padahal Allah Ta’ala telah berfirman :

“Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda seseorang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.”(QS. Al Baqoroh : 161)

Dosa riba sangatlah besar, bahkan Allah dan Rasul-Nya telah mengancam akan memerangi pelaku riba.

Maka, sudah seharusnya ketika seseorang bermaksud menginvestasikan hartanya, semisal dengan cara MEMBUKA DEPOSITO, membeli SUKUK, mudhorobah kepada perorangan (mudhorib/pengusaha), atau mudhorobah dengan lembaga (perbankan/bmt/koperasi), atau cara investasi lainnya, maka dia HARUS PAHAM cara berinvestasi yang halal.

Seorang muslim khususnya, WAJIB PAHAM apakah saat deposito atau SUKUK-nya telah jatuh tempo, keuntungan atau bagi hasil yang akan diperolehnya dari deposito, SUKUK atau mudhorobah, dihitung berdasarkan modal yang telah disetornya ataukah berdasarkan keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha jika usah tersebut dapat laba.

Sejak awal didirikan, Koperasi Syariah Arrahmah, telah berkomitmen melaksanakan transaksi yang syar’i dan bebas tanpa tercampur riba, baik pada transaksi cash (salam) dan murobahah, maupun bagi hasil mudhorobah muthlaqoh dengan anggota yang dihitung berdasarkan keuntungan (SHU) yang diperoleh, bukan berdasarkan nominal modal yang disetorkan oleh anggota, sebagaimana yang banyak terjadi di perbankan konvensional atau lembaga keuangan lain yang menerapkan sistem berdasarkan modal.

Berikut ini artikel yang bagus dibaca insya Allah agar kita paham bagaimana seharusnya berinvestasi yang halal, sehingga hasil yang diperoleh pun halal.

Semoga bermanfaat.

==============================================================

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Dalam beberapa praktek mudharabah (transaksi permodalan) atau musyarakah (usaha bersama) di msyarakat, seringkali kita melihat poin aturan prosentase bagi hasil dengan mengacu pada modal. Ada yang besar dan ada yang kecil. Misal, ada yang menawarkan, tanam modal minimal 10 juta, akan mendapatkan 2% perbulan.

Apa yang terbayang dari angka 2% itu?

Umumnya orang memahami, angka 2% dari modal. Karena itu yang lebih pasti. Bukan 2% keuntungan. Karena keuntungan tidak bisa diprediksikan.

Dan umumnya seorang pemodal akan memperhitungkan nilai kepastian dari modal yang dia kucurkan.

Salah Satu Indikator Riba

Tahukah anda, ternyata kesepakatan semacam ini termasuk salah satu indikator transaksi riba. Dan ini salah satu pembeda antara bagi hasil yang syar’i dengan transaksi riba dalam akad mudharabah atau musyarakah.

  • Ketika bagi hasil mengacu pada keuntungan, ini akad mudharabah yang syar’i
  • Ketika bagi hasil mengacu pada modal, ini transaksi riba

Mengapa Riba? Sementara itu Lebih Pasti?

Anda bisa perhatikan, ketika pemodal mendapatkan jaminan n% dari modal yang dia berikan, tidak ada bedanya dengan orang memberikan utang kepada orang lain, sementara dia mendapat jaminan kelebihan dari utangnya. Dan ini riba.

Atau, ketika usaha itu sama sekali tidak untung, sementara pemodal mendapat bagian berdasarkan prosentase modal, maka pihak pelaku usaha di posisi rugi. Sementara pihak pemodal selalu diuntungkan.

Dan itulah prinsip riba, sohibul mal (pemillik modal) selalu dalam posisi aman.

Karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang adanya keuntungan tanpa ada pengorbanan.

Dari Itab bin Usaid, beliau mengatakan,

أن النبي صلى الله عليه وسلم نهاه عن ربح ما لم يضمن

Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya untuk mengambil keuntungan tanpa menanggung kerugian. (HR. Baihaqi dalam Sunan as-Shugra 1509, at-Thahawi dalam Syarh Ma’ani al-Atsar 4/39, dan yang lainnya)

Keterangan Ulama yang Melarangnya

Salah satu bentuk bagi hasil dalam transaksi musyarakah atau mudharabah yang dikritik para ulama adalah memberikan sejumlah uang yang disepakati kepada salah satu pemodal. Misalnya, 5 orang patungan modal untuk usaha. Si A siap memberikan modal terbesar, dengan syarat, dia mendapatkan tambahan 1 juta di luar bagi hasil yang dia dapatkan. Artinya, si A mendapatkan dua bagian:

  1. Bagi hasil berdasarkan prosentase keuntungan yang disepakati
  2. Uang 1 juta tambahannya, tanpa melihat nilai keutungan

Ibnu Qudamah dalam al-mughni menyatakan,

ولا يجوز أن يجعل لأحد من الشركاء فضل دراهم، وجملته أنه متى جعل نصيب أحد الشركاء دراهم معلومة , أو جعل مع نصيبه دراهم , مثل أن يشترط لنفسه جزءا وعشرة دراهم , بطلت الشركة

Tidak boleh menetapkan adanya kelebihan sekian dirham untuk salah satu pemodal. Ringkasnya, ketika dia menetapkan adanya bagian salah satu pemodal uang dengan nilai tertentu, atau menetapkan untuk salah satu pemodal, nilai bagi hasil plus beberapa dirham, misal: dia mempersyaratkan dirinya mendapat bagian dari bagi hasil ditambah uang 10 dirham, maka musyarakah menjadi batal.

Kemudian, Ibnu Qudamah menukil keterangan Ibnul Mundzir,

أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم على إبطال القراض إذا شرط أحدهما أو كلاهما لنفسه دراهم معلومة ، وممن حفظنا ذلك عنه مالك والأوزاعي والشافعي , وأبو ثور وأصحاب الرأي

Ulama yang kami ketahui pendapatnya telah sepakat tentang batalnya transaksi qiradh, apabila salah satu  atau kedua belah pihak mempersyaratkan adanya bagian sekian dirham untuk dirinya. Diantara yang kami ketahui pendapatnya yang menyebutkan masalah ini adalah Imam Malik, al-Auza’i, as-Syafii, Abu Tsaur, dan ashabur Ra’yi (ulama Kufah).

Kemudian, Ibnu Qudamah menyebutkan sisi negatif persyaratan semacam ini, sehingga transaksinya tidak sah,

أنه إذا شرط دراهم معلومة , احتمل أن لا يربح غيرها , فيحصل على جميع الربح , واحتمل أن لا يربحها , فيأخذ من رأس المال جزءا ، وقد يربح كثيرا , فيستضر من شرطت له الدراهم

Ketika dia mempersyaratkan mendapatkan tambahan sekian dirham, bisa jadi usaha itu hanya untung sekian dirham, sehingga dia mendapatkan seluruh keuntungan. Atau usaha itu sama sekali tidak untung, sehingga dia mengambil bagian dari modal. Atau usaha itu untung besar, sehingga dia merasa rugi dengan syarat sekian dirham yang dia utarakan.

(al-Mughni, 5/148).

Anda bisa perhatikan, mendapatkan jatah pasti dalam transaksi mudharabah atau musyarakah, memicu timbulnya sengketa. Sehingga bisa merugikan pihak lain. Yang lebih tepat, prosentase mengikuti nilai keuntungan di akhir transaksi.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh ustadz Ammi Nur Baits (Beliau adalah pengasuh wesbsite KonsultasiSyariah.com sekaligus pembina KPMI)

Sumber

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

INVESTASIKAN DANA ANDA DI KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH INSYA ALLAH BEBAS RIBA

deposito koperasi syariah arrahmah

Kita hidup di jaman penuh fitnah dimana riba merajalela.

Rasulullah sudah menggambarkan keadaan kita saat ini jauh-jauh hari saat beliau masih hidup.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Suatu saat nanti manusia akan mengalami suatu masa, yang ketika itu semua orang memakan riba. Yang tidak makan secara langsung, akan terkena debunya.” (Hr. Nasa`i, no. 4455, namun dinilai dhaif oleh al-Albani)

Meski secara sanad, hadits di atas adalah hadits yang lemah, namun makna yang terkandung di dalamnya adalah benar, dan zaman tersebut pun telah tiba. Betapa riba dengan berbagai kedoknya saat ini telah menjadi konsumsi publik, bahkan menjadi suatu hal yang mendarah daging di tengah banyak kalangan.

Begitulah kondisi kita saat ini.

Saat ini bertransaksi dengan perbankan sudah merupakan kebutuhan. Harta-harta yang kita miliki mungkin sebagian atau bahkan semuanya telah disimpan di bank, entah bank syariah atau bank konvensional. Entah itu berupa tabungan, ataupun deposito.

Kami dari Koperasi Syariah Arrahmah mengajak kaum muslimin yang sudah mulai paham tentang dosa riba, khawatir terkena dosa riba baik langsung atau tidak langsung, memiliki kelebihan rejeki dan dana yang hanya tersimpan tanpa terkelola dengan baik. Kami mengajak kaum muslimin agar mengalihkan dana / harta yang dimilikinya, baik tabungan ataupun deposito, untuk diinvestasikan dan dikelola oleh koperasi kami. Keuntungan berinvestasi di koperasi syariah Arrahmah bisa anda baca disini.

KEANGGOTAAN & INVESTASI

Kenapa kami sampaikan permasalahan mengenai deposito disini. Karena kami ingin agar kaum muslimin juga paham mengenai Hukum Halal dan Haram hasil Deposito yang saat ini masih dinikmati. Kami berikan solusi untuk anda agar harta anda bermanfaat bukan hanya untuk anda, namun juga kaum muslimin lainnya.

Simak artikel berikut supaya tidak ada penyesalan dikemudian hari. Semoga bermanfaat.

Pengertian Deposito

Salah satu produk yang diterbitkan oleh bank adalah deposito. Deposito adalah tabungan berjangka yang tidak boleh diambil sampai habis jangka waktu yang disepakati dengan mendapatkan prosentasi keuntungan dari uang yang didepositokan. Apabila mengambil uang yang telah didepositokan, maka akan terkena denda yang telah ditetapkan oleh bank.

Contoh dari penerapan deposito ini dimisalkan sebagai berikut:

Joko ingin memanfaatkan produk deposito. Dia mendepositokan uangnya sebesar Rp 50 juta dalam jangka waktu 3 bulan. Bunga deposito selama setahun adalah 5 %. Jadi dalam sebulan dia mendapatkan = Rp 50 juta x 5 % : 12 bulan = Rp 208.333,33/bulan. Kemudian penghasilan tersebut dipotong pajak penghasilan 20 %. Dengan demikian Joko dalam tiga bulan mendapatkan Rp 208.333,33 x 3 bulan = Rp 625.000,00 , sebelum dipotong pajak.

Joko tidak perlu khawatir dengan uang yang didepositokannya. Uang tersebut pasti mendapatkan keuntungan walaupun tidak begitu besar. Meskipun bank sedang pailit atau merugi, bank tetap harus membayarkan keuntungan/bunga dari uang yang didepositokan Joko.

Di lain sisi ada juga produk serupa yang diterbitkan oleh beberapa Lembaga Keuangan Syariah. Mereka menamakannya dengan mudharabah atau bagi hasil. Mereka menyatakan bahwa uang modal yang di-mudharabah-kan akan digunakan untuk usaha yang halal, sehingga menghasilkan keuntungan yang dapat dibagi setiap bulannya. Mereka menetapkan keuntungan yang besarnya diprosentasekan dari modal. Meskipun mereka menyatakan bahwa prosentasenya bisa berubah-ubah tergantung keadaan bank, tetapi keuntungan masih didapatkan meskipun bank dalam keadaan merugi atau usahanya merugi.

Bagaimana sebenarnya memahami kasus seperti ini? Apakah hal ini termasuk keuntungan yang halal ataukah hal ini mengandung unsur riba? Jika ini riba, bagaimana seharusnya solusi terbaik yang diberikan?

Memahami Riba

Sebelum kita membahas permasalahan ini, penulis perlu tekankan bahwa kita jangan terpengaruh dengan istilah/penamaan yang digunakan oleh berbagai lembaga keuangan. Kita harus melihat kepada hakikat transaksinya sehingga kita bisa menghukumi setiap permasalahan dengan tepat.

Kita juga harus paham bahwasanya yang dimaksud dengan riba atau lebih spesifik disebut riba nasiah adalah mengambil keuntungan dari hutang yang dipinjamkan.

Riba diharamkan oleh Allah secara mutlak, baik tambahannya banyak maupun sedikit, baik berupa uang lebih maupun manfaat atau jasa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan:

وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ

“… Dan riba jahiliah dihapuskan. Riba pertama yang saya hapuskan dari riba-riba kita adalah riba ‘Abbas bin Abdil-Muththalib. Sesungguhnya riba tersebut dihapuskan semuanya.”[Muslim no. 1218.]

Imam Asy-Syafii rahimahullah pernah menerangkan:

وَكَانَ مِنْ رِبَا الجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُوْنَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الدَّيْنُ فَيَحِلُّ الدَّيْنُ ، فَيَقُوْلُ لَهُ صَاحِبُ الدَّيْنِ : تَقْضِيْ أَوْ تربي ، فَإِنْ أَخَّرَهُ زَادَ عَليْه وَأَخَّرَه

“Di antara bentuk riba jahiliah adalah seseorang memiliki hutang kepada orang lain, kemudian hutang tersebut jatuh tempo, kemudian orang yang meminjamkan uang berkata, ‘Engkau bayar atau engkau tambahkan (ribakan)?’ Jika dia ingin mengakhirkannya, maka dia menambahnya.”[Lihat: Ma’rifatu As-Sunan Wal-Atsar lil-Baihaqi VIII/29 no. 3395]

Zaid bin Aslam rahimahullah pernah berkata:

كَانَ الرِّبَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الْحَقُّ إِلَى أَجْلٍ فَإِذَا حَلَّ الْحَقُّ قَالَ أَتَقْضِى أَمْ تُرْبِى فَإِنْ قَضَاهُ أَخَذَ وَإِلاَّ زَادَهُ فِى حَقِّهِ وَزَادَهُ الآخَرُ فِى الأَجَلِ.

“Dulu riba di masa jahiliah, seseorang memiliki suatu hak kepada orang lain sampat tempo tertentu. Apabila telah jatuh tempo, maka dia berkata, ‘Engkau mau membayarnya atau engkau tambahkan (ribakan)?’ Apabila dia bayar, maka dia ambil haknya dan jika tidak, maka orang tersebut menambahnya dan bertambah pula temponya.”[Muwaththa’Al- Imam Malik. Bab Maa Jaa-a fir-Riba fid-Dain, II/672 no. 1353]

Kaidah Memahami Riba

Para ulama juga telah membuatkan kaidah fiqhiyah untuk mengenal semua jenis riba, kaidah tersebut berbunyi:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا

“Setiap perhutangan yang menghasilkan manfaat (untuk orang yang meminjamkannya), maka dia adalah riba.”

Kaidah ini sangat penting untuk mengenal berbagai macam jenis riba saat ini.

Hukum Deposito Bank

Kalau kita perhatikan kasus di atas, maka kita bisa menghukumi bahwa deposito bank dan mudharabah LKS di atas masih mengandung riba di dalamnya sehingga diharamkan. Karena sebenarnya orang yang mendepositokan uangnya di bank, dia sedang meminjamkan uangnya kepada bank, kemudian dia mendapatkan keuntungan dari uang yang dipinjamkan tersebut, keuntungan tersebut pasti dia dapatkan dan tidak ada resiko untuk rugi apabila bank rugi.

Jika keuntungan yang didapat tidak lebih dari 10 %, boleh atau tidak?

Sebagian orang menyangka bahwa boleh mendepositokan uang dengan alasan hasil yang didapat jika tidak besar, maka tidak mengapa. Sebagian orang mengatakan bahwa jika tidak lebih dari 10 % maka tidak mengapa. Bagaimana menanggapi hal ini?

Memang ada yang berpendapat demikian. Mereka salah dalam memahami ayat ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan!”, (QS Ali ‘Imran: 130)

Mereka mengatakan bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlipat-lipat keuntungannya, sedangkan yang tidak berlipat-lipat maka tidak mengapa.

Mereka salah memahami ayat ini karena mereka mungkin tidak mengetahui bahwa larangan riba dilakukan dengan empat tahap pelarangan, yaitu sebagai berikut:

Tahap I: Firman Allah ta’ala:

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (39)

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kalian berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kalian berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS Ar-Rum: 39)

Pada ayat ini Allah hanya menyindir pelaku riba.

Tahap II: Firman Allah ta’ala:

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)

“ (160) Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, (161) Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS An-Nisa’: 160-161)

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa riba dilarang kepada orang-orang Yahudi, tetapi mereka masih melakukannya. Dan belum dijelaskan apakah riba juga diharamkan pada kaum muslimin.

Tahap III: Firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan!”, (QS Ali ‘Imran: 130)

Pada ayat ini Allah mulai mengharamkan riba, tetapi yang disinggung hanyalah riba yang berlipat ganda, sehingga sebagian sahabat menyangka bahwa riba yang sedikit masih tidak mengapa.

Tahap IV: Firman Allah ta’ala:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (277) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)

“ (275) Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

(276) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (277) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

(278) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. (279) Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 275-279)

Dengan memahami tahap-tahap ini, seseorang akan paham bahwa pada akhirnya riba diharamkan secara mutlak oleh Allah subhanahu wa ta’ala, baik banyak maupun sedikit.[Lihat: Fiqh sunnah 3/174 dan At-Tadarruj fi Tahriim Ar-Riba (www.hablullah.com)]

Dan dengan jelas juga diterangkan pada hadits di atas, bahwa riba dihapuskan seluruhnya dan riba yang pertama kali dihapuskan adalah riba ‘Abbas radhiallahu ‘anhu. Dan hadits tersebut adalah potongan dari khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di ‘Arafah. Sehingga perharaman riba secara mutlak adalah pengharaman terakhir sebelum beliau wafat.

Jika demikian, bagaimana solusi yang ditawarkan dalam syariat kita?

Di dalam Islam, permasalahan penanaman modal untuk mendapatkan keuntungan sudah diatur. Permasalahan ini disebut dengan mudharabah (bagi hasil)[Mudharabah yang sebenarnya dan bukan versi beberapa Lembaga Keuangan Syariat, penj]. Di dalam mudharabah terdapat: pemilik modal (shahibul-mal), pengusaha (mudharib), modal yang dikeluarkan (ra’sul-mal) dan pembagian keuntungan (ribh).

Pembagian keuntungan diprosentasekan dari keuntungan dan bukan dari modal, misal untuk pemilik modal 40 % dan untuk pengusaha 60 % atau pemilik modal 55 % dan pengusaha 45 %, sesuai kesepakatan antara mereka berdua di awal akad.

Apabila terjadi kerugian, maka pengusaha tidak mendapatkan apa-apa dan pemilik modal kehilangan modalnya. Inilah yang tidak dimiliki oleh lembaga keuangan.

Apabila terjadi sengketa, maka bisa diselesaikan dengan melihat amanat dari pengusaha. Jika pengusaha amanat dalam menjalankan usaha dan ternyata usaha merugi, maka pemilik modal tidak boleh menuntutnya. Akan tetapi, seandainya pengusaha tidak amanat dalam menggunakan harta, seperti: menggunakan untuk keperluan pribadinya, menggunakan modal tidak sesuai kesepakatan, maka pemilik modal bisa menuntut untuk dikembalikan modalnya.

Inilah solusi yang tepat yang diberikan oleh syariat. Daripada menggunakan produk deposito bank, maka solusi yang terbaik adalah dengan menjadikannya sebagai modal usaha. Bahkan kalau dihitung-hitung, maka keuntungan yang diperoleh dari mudharabah lebih besar daripada deposito bank.

Bukankah Bank-Bank Syariat telah menerapkan mudharabah jenis ini?

Hal tersebut tidak benar, karena dalam praktiknya mereka masih belum bisa lepas dari riba. Salah satu alasannya adalah mereka tidak diberi hak untuk berusaha mencari keuntungan selain dengan cara simpan dan pinjam saja.

Jika mereka mampu atau diizinkan menjadi perusahaan sendiri yang memiliki berbagai usaha halal dan orang-orang yang memiliki uang bisa menanamkan sahamnya di sana dengan kesiapan menanggung kerugian jika ternyata usahanya rugi dan mendapatkan keuntungan dari prosentase keuntungan bukan dari modal, maka hal tersebut menjadi solusi untuk kasus seperti ini.

Demikian tulisan singkat ini. Mudahan bermanfaat.

Daftar Pustaka:

  1. Al-Asybah wa An-Nazhair ‘ala Madzhabi Abi Hanifah An-Nu’man. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
  2. Al-Farqu Baina Al-Bai’ Wa Ar-Riba. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Ar-Riyadh: Dar Al-Qasim.
  3. Al-Mudharabah fi Asy-Syari’atil-Islamiyah. ‘Abdullah bin Hamd bin ‘Utsman Al-Khuwaithir. Ar-Riyadh: Dar Kanuz Isybilia.
  4. Fiqh As-Sunnah. Sayyid Sabiq. Beirut: Muassasah Ar-Risalah.
  5. Muwaththa’ Al-Imam Malik. Mesir: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi.
  6. Dan lain-lain sebagian sudah dicantumkan di footnotes.

 

Oleh: ustadz Said Yai Ardiansyah, MA

Sumber artikel

Download PROPOSAL sekaligus PROFIL KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

MEMAHAMI PERBEDAAN AKAD UTANG PIUTANG (QARDH) DAN KERJASAMA (MUDHAROBAH ; MUSYAROKAH) DENGAN CONTOH KASUS

enak dibaca:

Yang masih bingung antara hutang piutang (qardh) n kerjasama (mudhorobah;musyarokah), silahkan disimak ilustrasi berikut:

▶▶▶▶

? Gimana kabarnya mbak?
? Sehat dek, alhamdulillah.

? Ini saya selain silaturahmi juga ada perlu mbak.
? Apa apa dek…apa yang bisa tak bantu.

? Anu..kalau ada uang 20juta saya mau pinjam.
? Dua puluh juta? Banyak sekali. Untuk apa dek?

?Tambahan modal mbak. Dapat order agak besar, modal saya masih kurang. Bisa bantu mbak?
? Mmm..mau dikembalikan kapan ya?

? InsyaAllah dua bulan lagi saya kembalikan.
? Gitu ya. Ini mbak ada sih 20juta. Rencana untuk beli sesuatu. Tapi kalau dua bulan sudah kembali ya gak apa-apa, pakai dulu aja.

? Wah, terimakasih mbak.
? Ini nanti mbak dapat bagian dek?

? Bagian apa ya mbak?
? Ya kan uangnya untuk usaha, jadi kan ada untungnya tuh. Naa..kalau mbak enggak kasih pinjem kan ya gak bisa jalan usahamu itu, iya kan?
*tersenyum penuh arti*

? Oh, bisa-bisa. Boleh saja kalau mbak pengennya begitu. Nanti saya kasih bagi hasil mbak.
?Besarannya bisa kita bicarakan.
Lha, gitu kan enak. Kamu terbantu, mbak juga dapat manfaat.

? Tapi akadnya ganti ya mbak. Bukan hutang piutang melainkan kerjasama.
? Iyaa..gak masalah. Sama aja lah itu. Cuman beda istilah doang.

?Bukan cuma istilah mbak, tapi pelaksanaannya juga beda.
?Maksudnya??

?Jadi gini mbak: kalau akadnya hutang, maka jika usaha saya lancar atau tidak lancar ya saya tetap wajib mengembalikan uang 20juta itu. Tapi jika akadnya kerjasama, maka kalau usaha saya lancar, mbak akan dapat bagian laba. Namun sebaliknya, jika usaha tidak lancar atau merugi maka mbak juga turut menanggung resiko. Bisa berupa kerugian materi→uangnya
tidak bisa saya kembalikan, atau rugi waktu→ kembali tapi lama.

?Waduh, kalau gitu ya mending uangnya saya deposito kan tho dek: gak ada resiko apa2, uang utuh, dapat bunga pula.

?Itulah riba mbak. Salah satu ciri2nya tidak ada resiko dan PASTI untung.

?Tapi kalau uangku dipinjam si A untuk usaha ya biasanya aku dapet bagi hasil kok dek. 2% tiap bulan. Jadi kalau dia pinjam 10juta selama dua bulan, maka dua bulan kemudian uangku kembali 10juta+400ribu.

?Itu juga riba mbak. Persentase bagi hasil ngitungnya dari laba, bukan berdasar modal yang disertakan.Kalau berdasar modal kan mbak gak tau apakah dia beneran untung atau tidak.

Dan disini selaku investor berarti mbak tidak menanggung resiko apapun donk. Mau dia untung atau rugi mbak tetep dapet 2%. Lalu apa bedanya sama deposito?

?Dia ikhlas lho dek, mbak gak matok harus sekian persen gitu kok.

?Meski ikhlas atau saling ridho kalau tidak sesuai syariat ya dosa mbak.

?Waduh…syariat kok ribet bener ya.

?Ya karena kita sudah terlanjur terbiasa dengan yang keliru mbak. Memang butuh perjuangan untuk mengikuti aturan yang benar. Banyak kalau tidak berkah bikin penyakit lho mbak.hehe.

?Hmmm…ya sudah, ini 20juta nya hutang aja. Mbak gak siap dengan resiko kerjasama. Nanti dikembalikan dalam dua bulan yaa.

?Iya mbak. Terimakasih banyak mbak. Meski tidak mendapat hasil berupa materi tapi insyaAllah
mbak tetap ada hasil berupa pahala.
Amiiin..

▶▶▶▶▶▶

Kalo cuma bicara anti riba…. burung beopun juga bisa.

Kalo cuma diskusi masalh ekonomi umat… ngbrol sama balita yg baru belajar bicara jauh lebih menarik.

Ayuuu hidupkan ekonomi mikro.. berikan pancingan bukan ikan.

investasi dunia akhirat

Notes : perhatikan dlm bisnis akad kerjasama kah?? Atau akad peminjaman uang.. ini 2 hukum islam yg berbeda dn efeknya pun di dunia dan akhirat juga berbeda.

“… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS.Al-baqarah:275)

Sebenarnya apa sih tujuan islam melarang riba? Seharusnya khan asal saling sepakat, saling rela, tidak kena dosa?

Hukum islam itu dibuat untuk mengatur agar manusia mendapatkan kemaslahatan sebesar-besarnya tanpa manusia merugikan siapapun sekecil-kecilnya.

Mari kita bahas contoh LABA dan RIBA agar anda mudah untuk memahami dengan bahasa yang umum:

  1. Saya membeli sebuah sepeda motor Rp. 10 Juta dan saya hendak menjual dengan mengambil untung dengan bunga 1% perbulan untuk jangka waktu pembayaran 1 tahun.
    Transaksi seperti ini tergolong transaksi RIBAWI.
  2. Saya membeli sepeda motor Rp. 10 juta, dan saya hendak menjual secara kredit selama setahun dengan harga Rp. 11.200.000,-. Transaksi ini termasuk transaksi SYARIAH.

Apa bedanya? Khan kalau dihitung2 ketemunya sama Untungnya Rp. 1.200.000?

Mari kita bahas kenapa transaksi pertama riba dan transaksi kedua syar’i.

TRANSAKSI PERTAMA RIBA karena:

  • Tidak ada kepastian harga, karena menggunakan sistem bunga. Misal dalam contoh diatas, bunga 1% perbulan. Jadi ketika dicicilnya disiplin memang ketemunya untungnya adalah Rp. 1.200.000,-. Tapi coba kalau ternyata terjadi keterlambatan pembayaran, misal ternyata anda baru bisa melunasi setelah 15 bulan, maka anda terkena bunganya menjadi 15% alias labanya bertambah menjadi Rp. 1.500.000,-.
  • Jadi semakin panjang waktu yang dibutuhkan untuk melunasi utang, semakin besar yang harus kita bayarkan.
  • Bahkan tidak jarang berbagai lembaga leasing ada yang menambahi embel2 DENDA dan BIAYA ADMINISTRASI, maka semakin riba yang kita bayarkan. Belum lagi ada juga yang menerapkan bunga yang tidak terbayar terakumulasi dan bunga ini akhirnya juga berbunga lagi.
  • Sistem riba seperti diatas jelas2 sistem yang menjamin penjual pasti untung dengan merugikan hak dari si pembeli. Padahal namanya bisnis, harus siap untung dan siap rugi.

TRANSAKSI KEDUA SYARIAH karena:

  • Sudah terjadi akad yang jelas, harga yang jelas dan pasti. Misal pada contoh sudah disepakati harga Rp. 11.200.000,- untuk diangsur selama 12 bulan.
  • Misal ternyata si pembeli baru mampu melunasi utangnya pada bulan ke-15, maka harga yang dibayarkan juga masih tetap Rp. 11.200.000,- tidak boleh ditambah. Apalagi diistilahkan biaya administrasi dan denda, ini menjadi tidak diperbolehkan.
  • Kalau begitu, si penjual jadi rugi waktu dong? Iya, bisnis itu memang harus siap untung siap rugi. Tidak boleh kita pasti untung dan orang lain yang merasakan kerugian.

Nah, ternyata sistem islam itu untuk melindungi semuanya, harus sama hak dan kewajiban antara si pembeli dan si penjual. Sama-sama bisa untung, sama-sama bisa rugi. Jadi kedudukan mereka setara. Bayangkan dengan sistem ribawi, kita sebagai pembeli ada pada posisi yang sangat lemah.

Nah, sudah lebih paham hikmahnya Alloh melarang RIBA?

Kalau menurut anda informasi ini akan bermanfaat untuk anda dan orang lain, silakan share status ini, untuk menebar kebaikan.

Dakwah anda hanya dengan meng-KLIK SHARE/BAGIKAN, maka anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share anda, dan juga jika dishare lagi anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share kawan anda.
Mungkin lebih tepatnya MULTI LEVEL PAHALA, Hehehe

Mudah khan cari pahala? Mudah tapi tak semua yang membaca status ini mau men-share, ada bisikan syetan: “Ga usah dishare, ngapain disuruh share mau aja……”

Iya, memang syetan dengan bisikan halusnya didalam sanubari kita, mengajak untuk malas untuk menebar kebaikan. Ya sudah, ga apa2 kalau anda tidak mau share. Semoga Alloh selalu meridhoi kita semua.

Semoga bermanfaat

Sumber : WA Group

Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH BELUM ADA PRODUK MUDHOROBAH, KENAPA ? – BAGIAN 1

mudharabah koperasi syariah arrahmah

Hingga saat ini, koperasi Syariah Arrahmah belum berani membuka produk mudhorobah, tahukan anda sebabnya ?

Bukan tanpa alasan, melainkan kami menyadari hingga tahun keempat operasional kami, kami belum siap untuk bertransaksi mudhorobah. Perlu persiapan yang matang, secara ilmu maupun sdm agar saat bertransaksi mudhorobah, kami tidak terjebak dalam transaksi riba.

Tahukah anda, bahwa kebanyakan transaksi mudhorobah yang lazim saat ini mengandung riba? Tentunya kecuali mereka yang dirahmati Allah, yang sudah berilmu dan berhati-hati dalam bertransaksi.

Kami ambil contoh saja, bahwa kebanyakan pemilik modal saat akan bermuamalah mudhorobah, mereka akan meminta jaminan atas modal mereka ? Sehingga jika terjadi kerugian, maka pemilik modal akan menuntut atas jaminan tersebut. Padahal, mungkin saja kerugian bukan disebabkan karena kelalaian pelaku usaha. Silahkan saja anda cek umumnya transaksi yang terjadi di masyarakat saat ini, baik perorangan maupun lembaga yang melabelkan dirinya “SYARIAH”

Padahal itu BERBAHAYA, karena bisa menjadikan transaksi tersebut berubah hukum dari HALAL menjadi HARAM.

Sehingga, sangat perlu sekali berilmu sebelum beramal.

Simak tanya jawab dibawah ini agar anda semakin paham.

Hukum Memberi Jaminan Untuk Modal Dalam Mudharabah

 

Pertanyaan:

Bolehkah meminta syarat jaminan keamanan modal dalam akad mudharabah? Sehingga ketika proyek usaha gagal, dia wajib mengembalikan modal dan keuntungan yg pernah didapat?

Semoga Allah memberikan taufiq…

Jawaban:

Jawaban Syaikh Dr. Sa’d Al-Khatslan

لايصح اشتراط ضمان رأس المال ولا اشتراط نسبة مقطوعة من الأرباح ؛ لأن هذا يحولها من كونها مضاربة إلى قرض بفائدة وهو محرم

Tidak sah mengajukan syarat adanya penjaminan untuk modal, tidak pula syarat untuk keuntungan yang didapatkan. Karena persyaratan semacam ini akan mengubah status transaksi mudaharabah menjadi transaksi utang dengan bunga, dan itu haram.

وإنما الجائز هو اشتراط نسبة مشاعة من الأربح (كالربع أو الثلث مثلا أو بالنسبة المئوية 18%أو30% مثلا )، وفي حال الخسارة لايضمن المضارب شيئا لأنه قد خسر جهده ، والخسارة إنما تكون على رب المال

Yang dibolehkan adalah mempersyaratkan nisbah pembagian keuntungan (misal: 1/4 atau 1/3 atau berdasarkan prosentase: 18 %, atau 30 %).

Kemudian, jika terjadi kerugian, pelaku usaha (mudharib) tidak menanggung modal sedikitpun. Karena dia juga sudah rugi dengan kerja yang dia lakukan. Sehingga kerugaian finansial ditanggung pemilik modal.

Sumber: http://www.saad-alkthlan.com/text-91

Sumber Artikel

Pembahasan mengenai KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH BELUM ADA PRODUK MUDHOROBAH, KENAPA ?

Akan bersambung insya Allah. Semoga bermanfaat.

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

TIDAK ADA DENDA DI KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

denda di koperasi syariah arrahmah

Percaya tidak bahwa Tidak Ada Denda di Koperasi Syariah Arrahmah.

Kalau tidakmengalami sendiri mungkin tidak akan percaya karena TRANSAKSI KREDIT YANG SYAR’I HARUSNYA TIDAK ADA DENDA.

Koperasi Syariah Arrahmah memang agak berbeda dengan koperasi atau lembaga finansial kebanyakan yang sejenis. Sejak awal pendirian koperasi ini, kami berkomitmen bahwa kami harus syar’i, tidak boleh ada denda keterlambatan bagi nasabah yang telat membayar cicilan. Beberapa relasi kami sangsi bahwa kami bisa mendirikan koperasi ini, namun kenyataannya, alhamdulillah, sejak Januari 2012 hingga sekarang tulisan ini ditulis, tidak ada nasabah kami yang pernah didenda gara-gara terlambat bayar.

Lantas, bagaimana solusi kami menghadapi nasabah seperti itu? Banyak komponen yang perlu terlibat dalam hal ini, Secara ringkas kami sampaikan :

  • Sebelum aqad, nasabah harus lulus persyaratan administrasi murabahah, nasabah harus punya penjamin yang dipercaya, dan nasabah memiliki jaminan sesuatu yang berharga untuk kriteria barang murabahah diatas harga sesuai ketentuan yang berlaku di koperasi.
  • Saat aqad, nasabah benar-benar memahami isi aqad yang ditandatangani diatas materai yang mengandung konsekuensi hukum. Aqad yang menjunjung tinggi nilai keadilan yang terkandung didalamnya, baik untuk nasabah maupun koperasi.
  • Setelah aqad, kami juga mengajak kepada nasabah untuk hadir dalam kajian-kajian islam ilmiah yang rutin diselenggarakan oleh yayasan al-umm banjarmasin, atau pun kajian islam lainnya. Intinya, dengan nasabah yang bertauhid, takut kepada Allah, maka mereka tidak akan berani main-main dengan utang.

Jika qadarullah nasabah ternyata telat bayar denda, maka akan kami ingatkan dengan hadits” Rasulullah yang berkaitan dengan utang, minta bantuan Penjamin untuk ikut mengingatkannya agar segera bayar, dan jika memang nasabah memiliki udzur sehingga tidak bisa bayar cicilan, maka ada Form Permohonan Penundaan Cicilan Karena Udzur yang harus diisi dan ditandatangani. Adil bukan ?

Alhamdulillah, hal ini cukup efektif dalam menghadapi nasabah kami.

Kembali kepada masalah Denda, maka kami ingin memberikan ulasan kepada anda kenapa koperasi kami tidak menerapkan denda pada nasabah. Sebaiknya anda pun membacanya sehingga paham sehingga saat akan bertransaksi dengan kami atau pun pihak lain yang sejenis, tidak sampai terjerumus dalam dosa riba. Selamat membaca, semoga bermanfaat.

=======================================================================

DENDA DALAM KACAMATA SYARIAT

 

Di tengah-tengah masyarakat sering kita jumpai berbagai bentuk denda berkaitan dengan transaksi muamalah. Seorang karyawan yang tidak masuk kerja tanpa izin akan diberikan sanksi berupa pemotongan gaji. Telat membayar angsuran kredit motor juga akan mendapatkan denda setiap hari, dengan nominal rupiah tertentu. Seorang penerjemah buku juga akan didenda dengan nominal tertentu setiap harinya oleh penerbit, jika buku ternyata belum selesai diterjemahkan sampai batas waktu yang telah disepakati. Percetakan yang tidak tepat waktu juga dituntut untuk membayar denda dengan jumlah tertentu. Bayar listrik sesudah tanggal 20 juga akan dikenai denda oleh pihak PLN.

Bagaimanakah hukum dari berbagai jenis denda di atas, apakah diperbolehkan secara mutlak, ataukah terlarang secara mutlak, ataukah perlu rincian? Inilah tema bahasan kita pada edisi ini. Persyaratan denda sebagaimana di atas diistilahkan oleh para ulama dengan nama syarth jaza’i.

Hukum persyaratan semisal ini berkaitan erat dengan hukum syarat dalam transaksi dalam pandangan para ulama. Ulama tidak memiliki titik pandang yang sama terkait dengan hukum asal berbagai bentuk transaksi dan persyaratan di dalamnya, ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum asalnya adalah terlarang, kecuali persyaratan-persyaratan yang dibolehkan oleh syariat. Adapun pendapat kedua menegaskan bahwa hukum asal dalam masalah ini adalah sah dan boleh, tidak haram dan tidak pula batal, kecuali terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan haram dan batalnya.

Singkat kata, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua, dengan alasan sebagai berikut:

a. Dalam banyak ayat dan hadits, kita dapatkan perintah untuk memenuhi perjanjian, transaksi, dan persyaratan, serta menunaikan amanah. Jika memenuhi dan memperhatikan perjanjian secara umum adalah perkara yang diperintahkan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa hukum asal transaksi dan persyaratan adalah sah. Makna dari sahnya transaksi adalah maksud diadakannya transaksi itu terwujud, sedangkan maksud pokok dari transaksi adalah dijalankan.

b. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kaum muslimin itu berkewajiban melaksanakan persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Hr. Abu Daud dan Tirmidzi)

Makna kandungan hadits ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Quran dan as-Sunnah. Maksud dari persyaratan adalah mewajibkan sesuatu yang pada asalnya tidak wajib, tidak pula haram. Segala sesuatu yang hukumnya mubah akan berubah menjadi wajib jika terdapat persyaratan.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim. Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Segala syarat yang tidak menyelisihi syariat adalah sah, dalam semua bentuk transaksi. Semisal penjual yang diberi syarat agar melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu dalam transaksi jual-beli, baik maksud pokoknya adalah penjual ataupun barang yang diperdagangkan. Syarat dan transaksi jual-belinya adalah sah.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Kaidah yang sesuai dengan syariat adalah segala syarat yang menyelisihi hukum Allah dan kitab-Nya adalah syarat yang dinilai tidak ada (batil). Adapun syarat yang tidak demikian adalah tergolong syarat yang harus dilaksanakan, karena kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Inilah pendapat yang dipilih oleh guru kami, Ibnu Taimiyyah.”

Berdasar keterangan di atas, maka syarth jaza’i adalah diperbolehkan, asalkan hakikat transaksi tersebut bukanlah transaksi utang-piutang dan nominal dendanya wajar, sesuai dengan besarnya kerugian secara riil.

Berikut ini adalah kutipan dua fatwa para ulama:

Yang pertama adalah keputusan Majma’ Fikih Islami yang bernaung di bawah Munazhamah Mu’tamar Islami, yang merupakan hasil pertemuan mereka yang ke-12 di Riyadh, Arab Saudi, yang berlangsung dari tgl 23–28 September 2000. Hasil keputusannya adalah sebagai berikut:

Keputusan pertama. Syarth jaza’i adalah kesepakatan antara dua orang yang mengadakan transaksi untuk menetapkan kompensasi materi yang berhak didapatkan oleh pihak yang membuat persyaratan, disebabkan kerugian yang diterima karena pihak kedua tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Keputusan kedua. Adanya syarth jaza’i (denda) yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan barang dalam transaksi salam tidak dibolehkan, karena hakikat transaksi salam adalah utang, sedangkan persyaratan adanya denda dalam utang-piutang dikarenakan faktor keterlambatan adalah suatu hal yang terlarang. Sebaliknya, adanya kesepakatan denda sesuai kesepakatan kedua belah pihak dalam transaksi istishna’ adalah hal yang dibolehkan, selama tidak ada kondisi tak terduga.

Istishna’ adalah kesepakatan bahwa salah satu pihak akan membuatkan benda tertentu untuk pihak kedua, sesuai dengan pesanan yang diminta. Namun bila pembeli dalam transaksi ba’i bit-taqshith (jual-beli kredit) terlambat menyerahkan cicilan dari waktu yang telah ditetapkan, maka dia tidak boleh dipaksa untuk membayar tambahan (denda) apa pun, baik dengan adanya perjanjian sebelumnya ataupun tanpa perjanjian, karena hal tersebut adalah riba yang haram.

Keputusan ketiga. Perjanjian denda ini boleh diadakan bersamaan dengan transaksi asli, boleh pula dibuat kesepakatan menyusul, sebelum terjadinya kerugian.

Keputusan keempat. Persyaratan denda ini dibolehkan untuk semua bentuk transaksi finansial, selain transaksi-transaksi yang hakikatnya adalah transaksi utang-piutang, karena persyaratan denda dalam transaksi utang adalah riba senyatanya.

Berdasarkan hal ini, maka persyaratan ini dibolehkan dalam transaksi muqawalah bagi muqawil (orang yang berjanji untuk melakukan hal tertentu untuk melengkapi syarat tertentu, semisal membangun rumah atau memperbaiki jalan raya).

Muqawalah adalah kesepakatan antara dua belah pihak, pihak pertama berjanji melakukan hal tertentu untuk kepentingan pihak kedua dengan jumlah upah tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula. Demikian pula, persyaratan denda dalam transaksi taurid (ekspor impor) adalah syarat yang dibolehkan, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak pengekspor.

Demikian juga dalam transaksi istishna’, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak produsen, jika pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Akan tetapi, tidak boleh diadakan persyaratan denda dalam jual-beli kredit sebagai akibat pembeli yang terlambat untuk melunasi sisa cicilan, baik karena faktor kesulitan ekonomi ataupun keengganan. Demikian pula dalam transaksi istishna’ untuk pihak pemesan barang, jika dia terlambat menunaikan kewajibannya.

Keputusan kelima. Kerugian yang boleh dikompensasikan adalah kerugian finansial yang riil atau lepasnya keuntungan yang bisa dipastikan. Jadi, tidak mencakup kerugian etika atau kerugian yang bersifat abstrak.

Keputusan keenam. Persyaratan denda ini tidak berlaku, jika terbukti bahwa inkonsistensi terhadap transaksi itu disebabkan oleh faktor yang tidak diinginkan, atau terbukti tidak ada kerugian apa pun disebabkan adanya pihak yang inkonsisten dengan transaksi.

Keputusan ketujuh. Berdasarkan permintaan salah satu pihak pengadilan, dibolehkan untuk merevisi nominal denda jika ada alasan yang bisa dibenarkan dalam hal ini, atau disebabkan jumlah nominal tersebut sangat tidak wajar.

Yang kedua
adalah fatwa Haiah Kibar Ulama Saudi. Secara ringkas, keputusan mereka adalah sebagai berikut, “Syarth Jaza’i yang terdapat dalam berbagai transaksi adalah syarat yang benar dan diakui sehingga wajib dijalankan, selama tidak ada alasan pembenar untuk inkonsistensi dengan perjanjian yang sudah disepakati.

Jika ada alasan yang diakui secara syar’i, maka alasan tersebut mengugurkan kewajiban membayar denda sampai alasan tersebut berakhir.

Jika nominal denda terlalu berlebihan menurut konsesus masyarakat setempat, sehingga tujuan pokoknya adalah ancaman dengan denda, dan nominal tersebut jauh dari tuntutan kaidah syariat, maka denda tersebut wajib dikembalikan kepada jumlah nominal yang adil, sesuai dengan besarnya keuntungan yang hilang atau besarnya kerugian yang terjadi.

Jika nilai nominal tidak kunjung disepakati, maka denda dikembalikan kepada keputusan pengadilan, setelah mendengarkan saran dari pakar dalam bidangnya, dalam rangka melaksanakan firman Allah, yaitu surat an-Nisa’: 58.” (Taudhih al-Ahkam: 4/253–255)

Jadi, anggapan sebagian orang bahwa syarth jaza’i secara mutlak itu mengandung unsur riba nasi’ah adalah anggapan yang tidak benar. Anggapan ini tidaklah salah jika ditujukan untuk transaksi-transaksi yang pada asalnya adalah UTANG-PIUTANG, semisal JUAL BELI KREDIT (MURABAHAH) dan transaksi SALAM.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.

Artikel: www.pengusahamuslim.com

Categories
SEPUTAR KOPERASI

ATURAN & TATA CARA JUAL BELI KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

1.Mengetahui & memahami adab – adab jual beli serta utang piutang yang sesuai syariat Islam.

2.Bersedia taat pada aturan koperasi

3.Jual beli dilakukan secara murabahah ( angsur ) & cash/salam.

4.Setiap calon nasabah harus memiliki penjamin, yakni seorang yang dikenal baik, jujur dan mampu serta diakui oleh koperasi syariah Arrahmah layak menjadi penjamin.

5.Produk yang hendak dibeli merupakan barang yang boleh diperjualbelikan menurut syariat Islam.

6.Koperasi tidak melayani jualbeli barang berupa : alat music, games dan sejenisnya, emas dan perak dan uang (alat tukar).

7.Setiap calon nasabah harus mengisi formulir pengajuan barang dan semua berkas administrasi yang dipersyaratkan koperasi saat pengajuan barang

8.Koperasi akan membelikan barang setelah semua persyaratan terpenuhi.

9.Tanda tangan aqad serta pembayaran angsuran atau DP dilakukan setelah barang dimiliki sepenuhnya oleh koperasi

10.Barang dimiliki koperasi berarti barang sudah berpindah tempat di kantor koperasi atau ketika barang keluar dari gudang supplier/produsen, koperasi sudah menandatangani serah terima barang tersebut ditempat yang dijanjikan dan memastikan barang dalam kondisi baik sebelum dikirim & diterima nasabah.

11.Harga barang yang diatas Rp 5.000.000,- harus ada agunan / jaminan

12.Harga barang yang diatas Rp 10.000.000,- harus ada DP 20% khusus mobil 35% dari harga barang yang dibeli

13.Bila sepeda motor yang dijadikan agunan, maka harus diatas tahun 2010.

14.Bersedia dilakukan disurvey.

15.Barang yang diangsur dengan menggunakan DP, maka angsuran pertamanya jatuh pada bulan ke-2, sedangkan yang tidak menggunakan DP, maka angsuran ke-1 dibayar pada waktu aqad terjadi

16.Margin keuntungan Koperasi adalah 1.7 % Per Bulan untuk semua barang kecuali sepeda motor 1.67 % Per Bulan dan Mobil 1. % Per Bulan.

17.Wajib membayar angsuran utang saat jatuh tempo

Categories
SEPUTAR KOPERASI

SOP JUAL BELI KREDIT DENGAN KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

SOP Murobahah
SOP Murobahah
Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

ATURAN PENJAMIN PADA JUAL BELI KREDIT DENGAN KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

PENJAMIN menjadi dasar paling penting saat hendak bermuamalah jual beli cara angsuran (kredit) dengan Koperasi Syariah Arrahmah.

Oleh karena itu sebaiknya calon nasabah memahami dulu mengenai kedudukan PENJAMIN dan bisa mengajukan seorang PENJAMIN yang akan menjamin dirinya ketika hendak melakukan aqad jual beli cara angsuran dengan KS ARRAHMAH.

Berikut penjelasannya.

Menjadi PENJAMIN di KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH berarti memahami segala tugas dan konsekwensi PENJAMIN sebagai berikut :

  1. Mengerti dan paham bahwa tujuan didirikan KS ARRAHMAH adalah sebagai salah satu solusi menghindari riba bagi kaum muslimin dan dibangun atas prinsip syariah dan ta’awun.
  2. Mengerti dan paham bahwa KS ARRAHMAH menghimpun dana dari anggota koperasi yang harus dikelola dengan baik, jujur dan amanah.
  3. Mengerti dan paham bahwa KS ARRAHMAH merupakan badan usaha komersil yang bertujuan memperoleh keuntungan dalam rambu-rambu yang diijinkan syariah.
  4. Mengerti dan paham bahwa KS ARRAHMAH bisa untung bisa rugi, namun kerugian diusahakan agar seminimal mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan.
  5. Mengerti dan paham bahwa PENJAMIN tidak mendapat gaji atau fee dari KS ARRAHMAH selain ketika SHU untuk PENJAMIN jika KS ARRAHMAH mendapat laba sebagaimana ketentuan yang berlaku di KS ARRAHMAH.
  6. Mengerti dan paham bahwa PENJAMIN adalah pengurus/anggota KS ARRAHMAH yang telah dianggap layak oleh Dewan Syariah, Dewan Pembina, Dewan Keuangan, dan Pengurus Inti untuk diberi amanah menjadi PENJAMIN.
  7. Mengerti dan paham bahwa menjadi PENJAMIN berarti  memiliki hak untuk merekomendasikan jamaah kaum muslimin menjadi NASABAH YANG DIJAMIN untuk bertransaksi dengan KS ARRAHMAH dengan prinsip Ta’awun / tolong menolong agar saudara yang dijamin tidak terjatuh dalam dosa riba.
  8. Mengerti dan paham bahwa sebagai PENJAMIN, niat  menjadi PENJAMIN adalah ikhlas karena ALLAH TA’ALA demi menolong agar saudara NASABAH YANG DIJAMIN selamat dan tidak terjatuh dalam dosa riba.
  9. Mengerti dan paham bahwa sebagai PENJAMIN, berarti penjamin menjamin bahwa saudara NASABAH YANG DIJAMINnya adalah saudara muslim(ah) yang sudah dikenal baik dan dekat dari sisi agama, akhlak, tempat tinggal, pekerjaan dan kesanggupannya membayar utang dengan KKS ARRAHMAH.
  10. Mengerti dan paham bahwa sebagai PENJAMIN berarti jika nasabah yang dijamin ternyata mengalami tunggakan pada KS ARRAHMAH maka PENJAMIN bersedia :
  11. Ikut menghubungi dan mengingatkan NASABAH YANG DIJAMIN agar bisa segera menyelesaikan utang piutangnya dengan KS ARRAHMAH hingga tunggakan bisa diselesaikan.
  12. Membantu KKS ARRAHMAH mencari solusi agar utang NASABAH YANG DIJAMIN bisa dibayar, semisal dengan menjual barang jaminan milik NASABAH YANG DIJAMIN dan membayarkan hasilnya sesuai utangnya kepada KS ARRAHMAH.
  13. Jika ternyata barang jaminan milik NASABAH YANG DIJAMIN (yang dikredit) tidak ada, maka PENJAMIN bersedia membantu KS ARRAHMAH mengambil harta berharga lainnya milik NASABAH YANG DIJAMIN untuk dijual guna menyelesaikan utang piutangnya dengan KS ARRAHMAH hingga tunggakan bisa diselesaikan.
  14. Jika ternyata poin 12 dan 13 tidak bisa dilakukan, maka PENJAMIN BERSEDIA MEMBAYAR UTANG NASABAH YANG DIJAMIN kepada KS ARRAHMAH.
    Dikoreksi dan klausul ini ditiadakan setelah kedatangan ustadz Erwandi ke Banjarmasin agar tidak terjatuh pada riba.

 

Dengan melihat poin-poin diatas, maka menjadi PENJAMIN bukan hal yang mudah, karena akan dimintai pertanggungjawaban dunia dan akhirat.

Setiap PENJAMIN wajib mengisi FORM BERSEDIA MENJADI PENJAMIN yang ditandatangani diatas materai.