Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM

BEDA AKAD QARDH (UTANG PIUTANG) DENGAN MUDHARABAH

Pinjaman

Para ulama telah memberikan sebuah kaedah yang mesti kita perhatikan berkenaan dengan hutang piutang. Kaedah yang dimaksud adalah:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.(Lihat Al Majmu’ Al Fatawa, 29/533; Fathul Wahaab, 1/327; Fathul Mu’in, 3/65; Subulus Salam, 4/97)

Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal:

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ .

“Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”

Yang masih bingung antara hutang piutang (qardh) n kerjasama (mudhorobah;musyarokah), silahkan disimak ilustrasi berikut:

▶▶▶▶

?? Gimana kabarnya mbak?
?? Sehat dek, alhamdulillah.

?? Ini saya selain silaturahmi juga ada perlu mbak.
?? Apa apa dek…apa yang bisa tak bantu.

?? Anu..kalau ada uang 20juta saya mau pinjam.
?? Dua puluh juta? Banyak sekali. Untuk apa dek?

??Tambahan modal mbak. Dapat order agak besar, modal saya masih kurang. Bisa bantu mbak?
?? Mmm..mau dikembalikan kapan ya?

?? InsyaAllah dua bulan lagi saya kembalikan.
?? Gitu ya. Ini mbak ada sih 20juta. Rencana untuk beli sesuatu. Tapi kalau dua bulan sudah kembali ya gak apa-apa, pakai dulu aja.

?? Wah, terimakasih mbak.
?? Ini nanti mbak dapat bagian dek?

?? Bagian apa ya mbak?
?? Ya kan uangnya untuk usaha, jadi kan ada untungnya tuh. Naa..kalau mbak enggak kasih
pinjem kan ya gak bisa jalan usahamu itu, iya kan?
*tersenyum penuh arti*

?? Oh, bisa-bisa. Boleh saja kalau mbak pengennya begitu. Nanti saya kasih bagi hasil mbak.
??Besarannya bisa kita bicarakan.
Lha, gitu kan enak. Kamu terbantu, mbak juga dapat manfaat.

?? Tapi akadnya ganti ya mbak. Bukan hutang piutang melainkan kerjasama.
?? Iyaa..gak masalah. Sama aja lah itu. Cuman beda istilah doang.

??Bukan cuma istilah mbak, tapi pelaksanaannya juga beda.
??Maksudnya??

??Jadi gini mbak: kalau akadnya hutang, maka jika usaha saya lancar atau tidak lancar ya saya
tetap wajib mengembalikan uang 20juta itu. Tapi jika akadnya kerjasama, maka kalau usaha
saya lancar, mbak akan dapat bagian laba. Namun sebaliknya, jika usaha tidak lancar atau
merugi maka mbak juga turut menanggung resiko. Bisa berupa kerugian materi→uangnya
tidak bisa saya kembalikan, atau rugi waktu→ kembali tapi lama.

??Waduh, kalau gitu ya mending uangnya saya deposito kan tho dek: gak ada resiko apa2, uang
utuh, dapat bunga pula.

??Itulah riba mbak. Salah satu ciri2nya tidak ada resiko dan PASTI untung.

??Tapi kalau uangku dipinjam si A untuk usaha ya biasanya aku dapet bagi hasil kok dek. 2% tiap
bulan. Jadi kalau dia pinjam 10juta selama dua bulan, maka dua bulan kemudian uangku
kembali 10juta+400ribu.

??Itu juga riba mbak. Persentase bagi hasil ngitungnya dari laba, bukan berdasar modal yang disertakan.Kalau berdasar modal kan mbak gak tau apakah dia beneran untung atau tidak.

Dan disini selaku investor berarti mbak tidak menanggung resiko apapun donk. Mau dia untung atau rugi mbak tetep dapet 2%. Lalu apa bedanya sama deposito?

??Dia ikhlas lho dek, mbak gak matok harus sekian persen gitu kok.

??Meski ikhlas atau saling ridho kalau tidak sesuai syariat ya dosa mbak.

??Waduh…syariat kok ribet bener ya.

??Ya karena kita sudah terlanjur terbiasa dengan yang keliru mbak. Memang butuh perjuangan untuk mengikuti aturan yang benar. Banyak kalau tidak berkah bikin penyakit lho mbak.hehe.

??Hmmm…ya sudah, ini 20juta nya hutang aja. Mbak gak siap dengan resiko kerjasama. Nanti dikembalikan dalam dua bulan yaa.

??Iya mbak. Terimakasih banyak mbak. Meski tidak mendapat hasil berupa materi tapi insyaAllah
mbak tetap ada hasil berupa pahala.
Amiiin..

▶▶▶▶▶▶

Kalau cuma bicara anti riba…. burung beopun juga bisa.

Kl cuma diskusi masalah ekonomi umat… ngbrol sama balita yg baru belajar bicara jauh lebih menarik.

Ayuuu hidupkan ekonomi mikro.. berikan pancingan bukan ikan.

investasi dunia akhirat

Notes : perhatikan dlm bisnis akad kerjasama kah?? Atau akad peminjaman uang.. ini 2 hukum islam yg berbeda dn efeknya pun di dunia dan akhirat juga berbeda.

“… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS.Al-baqarah:275)

Sebenarnya apa sih tujuan islam melarang riba? Seharusnya khan asal saling sepakat, saling rela, tidak kena dosa?

Hukum islam itu dibuat untuk mengatur agar manusia mendapatkan kemaslahatan sebesar-besarnya tanpa manusia merugikan siapapun sekecil-kecilnya.

Mari kita bahas contoh LABA dan RIBA agar anda mudah untuk memahami dengan bahasa yang umum:

1. Saya membeli sebuah sepeda motor Rp. 10 Juta dan saya hendak menjual dengan mengambil untung dengan bunga 1% perbulan untuk jangka waktu pembayaran 1 tahun.
Transaksi seperti ini tergolong transaksi RIBAWI.

2. Saya membeli sepeda motor Rp. 10 juta, dan saya hendak menjual secara kredit selama setahun dengan harga Rp. 11.200.000,-. Transaksi ini termasuk transaksi SYARIAH.

Apa bedanya? Khan kalau dihitung2 ketemunya sama Untungnya Rp. 1.200.000?

?

Mari kita bahas kenapa transaksi pertama riba dan transaksi kedua syar’i.

*TRANSAKSI PERTAMA RIBA,* karena:

1. Tidak ada kepastian harga, karena menggunakan sistem bunga. Misal dalam contoh diatas, bunga 1% perbulan. Jadi ketika dicicilnya disiplin memang ketemunya untungnya adalah Rp. 1.200.000,-. Tapi coba kalau ternyata terjadi keterlambatan pembayaran, misal ternyata anda baru bisa melunasi setelah 15 bulan, maka anda terkena bunganya menjadi 15% alias labanya bertambah menjadi Rp. 1.500.000,-.

Jadi semakin panjang waktu yang dibutuhkan untuk melunasi utang, semakin besar yang harus kita bayarkan.

Bahkan tidak jarang berbagai lembaga leasing ada yang menambahi embel2 DENDA dan BIAYA ADMINISTRASI, maka semakin riba yang kita bayarkan. Belum lagi ada juga yang menerapkan bunga yang tidak terbayar terakumulasi dan bunga ini akhirnya juga berbunga lagi.

2. Sistem riba seperti diatas jelas2 sistem yang menjamin penjual pasti untung dengan merugikan hak dari si pembeli. Padahal namanya bisnis, harus siap untung dan siap rugi.

*TRANSAKSI KEDUA SYARIAH,* karena:

1. Sudah terjadi akad yang jelas, harga yang jelas dan pasti. Misal pada contoh sudah disepakati harga Rp. 11.200.000,- untuk diangsur selama 12 bulan.

2. Misal ternyata si pembeli baru mampu melunasi utangnya pada bulan ke-15, maka harga yang dibayarkan juga masih tetap Rp. 11.200.000,- tidak boleh ditambah. Apalagi diistilahkan biaya administrasi dan denda, ini menjadi tidak diperbolehkan.

Kalau begitu, si penjual jadi rugi waktu dong? Iya, bisnis itu memang harus siap untung siap rugi. Tidak boleh kita pasti untung dan orang lain yang merasakan kerugian.

Nah, ternyata sistem islam itu untuk melindungi semuanya, harus sama hak dan kewajiban antara si pembeli dan si penjual. Sama-sama bisa untung, sama-sama bisa rugi. Jadi kedudukan mereka setara. Bayangkan dengan sistem ribawi, kita sebagai pembeli ada pada posisi yang sangat lemah.

Nah, sudah lebih paham hikmahnya Alloh melarang RIBA?

Kalau menurut anda informasi ini akan bermanfaat untuk anda dan orang lain, silakan share status ini, untuk menebar kebaikan.

Dakwah anda hanya dengan meng-KLIK SHARE/BAGIKAN, maka anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share anda, dan juga jika dishare lagi anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share kawan anda.
Mungkin lebih tepatnya MULTI LEVEL PAHALA, Hehehe

Semoga bermanfaat
(copas dengan sedikit tambahan)

Saudaraku, cukup nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut sebagai wejangan bagi kita semua.

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH BER-AQAD MUDHARABAH MUTHLAQAH DENGAN ANGGOTA DAN INVESTOR

mudharabah-yang-syari

Bagaimana bentuk akad yang diterapkan di koperasi syariah Arrahmah?
Pertanyaan ini muncul dari kawan-kawan yang hendak mendirikan koperasi di wilayahnya kepada kami maupun calon anggota yang hendak mendaftarkan diri untuk bergabung dengan koperasi Syariah Arrahmah sebagai anggota dan investor.

Adapun akad yang kami gunakan sejak awal mendirikan koperasi di awal tahun 2012 kepada nasabah adalah akad Mudharabah Muthlaqah, yakni bentuk kerja sama antara pemilik modal (anggota) dan pengelola modal (koperasi) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Sehingga dengan demikian, koperasi memiliki keleluasaan untuk mengelola investasi selama masih dalam koridor rambu syar’i dan aturan UU yang berlaku di negara kita insya Allah.

Agar lebih paham mengenai MUDHARABAH, mari kita simak penjelasan artikel dibawah ini sehingga bisa menambah wawasan kita sehingga bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun bagi orang lain yang bermuamalah dengan kita.

Semoga bermanfaat

1. PENGERTIAN MUDHARABAH

Mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fil ardhi, yaitu berjalan di muka bumi. Dan berjalan di muka bumi ini pada umumnya dilakukan dalam rangka menjalankan suatu usaha, berdagang atau berjihad di jalan Allah, sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-Muzzammil, ayat ke-20.

Mudharabah disebut juga qiraadh, berasal dari kata al–qardhu yang berarti al-qath’u (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya. (Lihat AFiqhus Sunnah, karya Sayid Sabiq III/220, dan Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz,karya ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, hal.359)

Sedangkan menurut istilah fiqih, Mudharabah ialah akad perjanjian (kerja sama usaha) antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati. (Lihat Fiqhus Sunnah Karya Sayid Sabiq III/220)

2. HUKUM MUDHARABAH DALAM ISLAM

Mudharabah hukumnya boleh berdasarkan dalil-dalil berikut:

a. Al-Qur’an:

1. Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah..”. (QS. al-Muzzammil: 20)

Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” (QS. al-Ma’idah: 1)

2. Firman Allah: “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”. (QS. Al-Baqarah: 283] dan [QS. al-Ma’idah: 1)

b. Al-Hadits:

1. Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra (6/111))

2. Shuhaib radhiyallahu anhu berkata: Rasulullahbersabda: “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan

mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)

c. Ijma:

Para ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah. (Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd (2/136))

Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’. (al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaily, 4/838)

9. Qiyas. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.

10. Kaidah fiqih: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

3. HIKMAH DISYARIATKANNYA MUDHARABAH

Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik modal memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. (Lihat Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq (hlm.221)).

4. JENIS-JENIS MUDHARABAH

Secara umum, Mudharabah terbagi menjadi dua jenis:

Mudharabah Muthlaqah (Mudharabah secara mutlak/bebas). Maksudnya adalah bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola modalyang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus sholih seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari pemilik modal kepada pengelola modal yang memberi kekuasaan sangat besar.
Mudharabah Muqayyadah (Mudharabah terikat). Jenis ini adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Yakni pengelola modal dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai dengan kehendak pemilik modal.

5. RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH

Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa Mudharabah memiliki lima rukun:

Modal.
Jenis usaha.
Keuntungan.
Shighot (pelafalan transaksi)
Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola. (Ar-Raudhah karya imam Nawawi (5/117))
Sedangkan syarat-syarat dalam Mudharabah ialah sebagaimana berikut:

1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.

2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:

a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola (mudharib) untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:

a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.

b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.

c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib (pengelola modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:

a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.

b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.

c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif pengelola (mudharib), tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.

b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.

c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu. (sumber http://www.mui.or.id)

6. ORANG YANG MENGELOLA MODAL HARUS AMANAH

Mudharabah hukumnya boleh, baik secara mutlak maupun muqayyad (terikat/bersyarat), dan pihak pengelola modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan, “Para ulama sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengelola modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya.” (al-Ijma’ hal. 125, dinukil dari Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, karya ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, hal.359)

Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.” (Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Ad-Daruquthni II: 63 no: 242, Al-Baihaqi VI: 111)

7. BILA TERJADI KERUGIAN, SIAPAKAH YANG MENANGGUNGNYA?

Kerugian dalam mudharabah ini mutlak menjadi tanggung jawab pemilik modal . Dengan catatan, pihak pengelola tidak melakukan kelalaian dan kesalahan prosedur dalam menjalankan usaha yang telah disepakati syarat-syaratnya. Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi tenaga dan waktu yang telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan. Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).

8. PEMBATASAN WAKTU DAN PEMBATALAN USAHA MUDHARABAH

Usaha Mudharabah dapat dibatasi waktunya dan dibatalkan oleh salah satu pihak dari pemilik modal maupun pengelola modal. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia mau.

Al-Kasani berkata: “Sekiranya seseorang menerima modal untuk usaha mudharabah selama satu tahun, maka menurut pandangan kami hal itu hukumnya boleh.” (Bada-i’u Ash-Shana-i’ VIII/3633)

Ibnu Qudamah berkata: “Boleh membatasi waktu mudharabah seperti mengatakan, “Aku memberimu modal sekian dirham agar kamu mengelolanya selama satu tahun. Bila sudah berakhir waktunya maka kamu tidak boleh membeli atau menjual.” (Al-Mughni V/69).

Demikian sebagian masalah mudharabah yang dapat kami sampaikan melalui tulisan sederhana ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Wallahu a’lam bish-showab.

(Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM Edisi … Tahun 2010)

Penulis : Muhammad Wasitho Abu Fawaz

Sumber Artikel

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH BELUM ADA PRODUK MUDHOROBAH, KENAPA ? – BAGIAN 2

Konsep Mudharabah

Sebagaimana sudah kami sampaikan pada tulisan sebelumnya, KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH BELUM ADA PRODUK MUDHOROBAH, KENAPA ? – BAGIAN 1 maka kami akan melanjutkan alasan kami berikutnya.

Tahukah anda, bahwa kebanyakan transaksi mudhorobah yang lazim saat ini mengandung riba? Tentunya kecuali mereka yang dirahmati Allah, yang sudah berilmu dan berhati-hati dalam bertransaksi.

Kami akan ambil contoh alasan kami lainnya, bahwa kebanyakan Pemilik Modal (shohibul maal) saat akan bermuamalah mudhorobah, mereka terkesan hanya mau BAGI UNTUNG namun TIDAK MAU BAGI RUGI. Padahal, yang namanya akad MUDHOROBAH, kedua belah pihak harus paham untuk SIAP UNTUNG & SIAP RUGI. Namun, kami pun tidak menafikan banyaknya Pelaku Usaha (mudhorib) saat ini  yang tidak amanah, yang berimbas pada tingkat kepercayaan yang semakin turun dari Pemilik Modal. Padahal Pemilik Modal hanya  ingin agar uangnya aman diperuntukkan sesuai perjanjian yang disepakati.

Namun pada tulisan ini kami belum membahas tentang Pelaku Usaha (mudharib), hanya sebatas Pemilik Modal, dalam hal ini semisal kami, koperasi syariah arrahmah, yang kami akui saat tulisan ini kami buat, kami juga belum siap bertransaksi mudhorobah.

Silahkan saja anda cek keumuman transaksi yang terjadi di masyarakat saat ini, baik perorangan maupun lembaga yang melabelkan dirinya “SYARIAH”. Apakah SUDAH SIAP RUGI atau belum.

Salah satu tujuan tulisan kami ini sekaligus ingin agar pembaca paham, bagaimana MUDHOROBAH yang SYAR’I, sehingga jika memang koperasi, lembaga pembiayaan, perbankan yang katanya berlabel “SYARIAH” belum siap secara ilmu atau SDM untuk transaksi ini, maka lebih baik menahan diri agar tidak terjerumus dalam dosa riba, sebagaimana yang kami lakukan saat ini di koperasi kami.

Kali ini kami ingin mengangkat artikel yang sedikit lebih panjang dari sebelumnya, sehingga pengunjung website kopsyaharrahmah menjadi semakin paham kenapa kami belum membuka produk MUDHORBAH. Simak tulisan dibawah ini, semoga bermanfaat.

————————————————————–

Empat bulan sebelum Idul Adha 2010, saya mengajukan proposal “gaduh” sapi – Semacam penggemukan sapi yang sudah mencapai usia kurban–. Diharapkan dengan datangnya moment idul adha, harga sapi menjadi naik pesat. Proposal itu saya ajukan ke salah satu BMT – sebut saja BMT X – dengan akad mudharabah. Ketika proposal disetujui, pihak BMT memberi beberapa pilihan kerja sama. Saya-pun memilih mudharabah murni. Harapan saya, dengan pilihan ini saya bisa terbebas dari transaksi riba. Akhirnya, pihak BMT X merujuk ke rekanan BMT lain yang lebih besar di daerah Jalan Gedongkuning, Yogyakarta. Karena untuk penawaran pembiayaan 50 juta ke atas, BMT X belum siap menyediakan.

Singkat cerita, saya-pun datang ke BMT yang dirujuk, melalui perantara BMT X. Dengan suka rela, petugas menerima tawaran saya. Hanya saja mereka meminta agar saya memberikan jaminan dan terdaftar sebagai anggota BMT (baca: nasabah). Ketika saya tanya alasannya, mereka menjawab bahwa semua itu hanya sebatas untuk jaminan keamanan dan kepercayaan. Saya-pun menyanggupinya, dan saya serahkan BPKB motor sebagai jaminannya. Sebelum deal transaksi, saya bertanya: Andaikan dalam usaha saya ini mengalami kegagalan, yang sama sekali BUKAN karena keteledoran saya. Anggap saja, beberapa sapi mati karena sakit, apa saya harus mengembalikan modal utuh? “Ya, tetap harus mengembalikan. Minimal modalnya, meskipun tanpa keuntungan.” Jawab petugas BMT itu.

Berbekal dengan beberapa pengetahuan tentang ekonomi syariah, saya mencoba mengkritisi, “Maaf Pak,kalo akadnya semacam ini, saya nyatakan itu bukan mudharabah. Tapi ini akad riba. Pihak BMT hanya menyediakan bagi keuntungan, dan tidak mau bagi kerugian. Ini riba.” Petugas itu beralasan, “Lalu dari mana saya harus mengembalikan uang nasabah. Itu uang banyak orang. Kecuali kalo rugi karena bencana alam. Jelas itu nanti kami semua yang nanggung. Tapi, biasanya jarang kok sampai mengalami kerugian.” Saya mulai berani menjelaskan, “Sebenarnya, bukan masalah untuk rugi ketika usaha, tapi yang lebih penting adalah menentukan akad. Karena ini yang membedakan riba dan bukan riba. Meskipun, andaikan usaha saya untung, namun akad di awal, pihak pemodal tidak siap menanggung kerugian, maka itu bukan akad mudharabah yang sesuai syari’at. Itu akad pinjam uang (baca: utang), bukan mudharabah.” Akhirnya, sang petugas itu-pun mengakui, “Ya, kami paham semacam ini belum sesuai syari’at. Tapi dari mana kami harus mengembalikan uang nasabah.”

Ya, itulah sekelumit kejadian yang selalu terngiang-ngiang dalam diri saya. Perasaan saya meledak-ledak untuk menulis kejadian itu. Kamuflase label syariah tidak menjamin 100% sesuai syariah. Karena, hukum halal-haram ditentukan dari hakikat transaksi dan bukan labelnya. Bangkai selamanya dihukumi haram, meskipun dikemas dengan disertai label halal. Namun, ada satu hal yang sedikit membanggakan, petugas BMT telah mengakui, akad mudharabah yang selama ini mereka jalankan pada hakikatnya tidak sesuai syariat. Meskipun, mereka belum berani melakukan perubahan.

Sekilas, bagi hasil mudharabah mirip dengan riba. Karena dalam mudharabah, pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pelaku usaha, dan jika untung dia mendapat kembalian yang lebih banyak dari modal yang dia serahkan. Akan tetapi, hukumnya bertolak belakang. Bagi hasil mudharabah hukumnya halal, sementara riba hukumnya haram. Bagi hasil diperoleh karena transaksi pemodalan, sementara riba diperoleh karena transaksi utang-piutang. Karena itu, penting bagi setiap pelaku usaha yang akrab dengan transaksi bagi hasil untuk memahami perbedaan antara mudharabah dengan utang piutang. Bagi yang ingin mempelajari perbedaan dua transaksi ini, bisa merujuk ke halaman berikut:https://www.pengusahamuslim.com/baca/artikel/995/perbandingan-antara-mudharabah-dengan-riba

Barangkali, ada satu hal lain yang juga patut untuk diluruskan, terkait perbedaan antara akad pembiayaan dengan proses penggunaan dana. Akad pembiayaan merupakan kesepakatan di awal yang disetujui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Inilah yang menentukan apakah transaksi yang dilakukan itu utang-piutang ataukah mudharabah.

Sebagai contoh, ketika ada dua orang melakukan transaksi pembiayaan, dengan kesepakatan, apapun yang terjadi pemilik modal minimal harus mendapatkan uangnya kembali secara utuh maka ini adalah akad utang-piutang. Meskipun pelaku usaha menggunakan uang yang dia pinjam untuk mengembangkan usahanya. Bahkan, meskipun dia mendapat keuntungan dari usahanya dengan memutar uang yang dia pinjam. Dalam keadaan ini, sang pemilik modal tidak berhak mendapat pembagian dari keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha.

Ulama Sepakat Pelaku Usaha Tidak Menanggung Kerugian Modal

Barangkali ada sebagian orang yang ingin mengetahui keterangan ulama tentang tanggung jawab kerugian dalam usaha bagi hasil. Berikut saya bawakan keterangan yang disebutkan dalam buku Fiqhul Muamalat, yang ditulis oleh sekelompok ulama (Majmu’ah al-Muallifin), jilid 1, halaman 456:

فقد اتفق الفقهاء على أن المضارب أمين على ما بيده من مال المضاربة , لأن هذا المال في حكم الوديعة , وإنما قبضه المضارب بأمر رب المال لا على وجه البدل والوثيقة. فلا يضمن المضارب إلا بالتفريط والتعدي شأنه في ذلك شأن الوكيل والوديع وسائر الأمناء

“Para ahli fiqh sepakat bahwa mudharib (pelaku usaha) adalah orang yang mendapatkan kepercayaan terhadap uang modal yang dia bawa. Karena, uang ini statusnya sebagaimana wadi’ah (barang titipan). Hanya saja, uang ini dia bawa atas rekomendasi dari pemilik modal, bukan untuk diganti dan dengan adanya jaminan. Karena itu, mudharib (pelaku usaha) tidak menanggung (kerugian), kecuali jika hal itu disebabkan karena keteledoran dan kesalahannya. Kondisi mereka sebagaimana wakil (orang yang mendapat amanah), atau wadi’ (orang yang dititipi barang).”

Demikian, semoga bermanfaat.

***

Penulis: Ust. Ammi Nur Baits, S.T.

Sumber Artikel