Categories
ARTIKEL MUAMALAH

KETIKA UTANG SUDAH JADI BISNIS DAN TANPA ETIKA

Ketika utang dijadikan bisnis dan tanpa etika

Salah satu diantara perbedaan antara Koperasi Syariah Arrahmah dan yang sejenis dengan kami dibandingkan dengan koperasi konvensional dan koperasi yang hanya berlabel syariah namun kenyataannya mereka bertransaksi riba adalah koperasi syariah Arrahmah hanya melakukan transaksi jual beli (barang), adapun yang terjadi pada tetangga umumnya adalah transaksi utang piutang berbunga alias riba. Mengapa demikian ?

Menurut Jumhur Ulama, rukun jual beli ada empat :

  1. Orang yang berakad (Penjual dan pembeli)
  2. Sighat (lafal ijab dan kabul)
  3. Benda-benda yang diperjual belikan
  4. Ada nilai tukar pengganti barang.

 

Alhamdulillah, keempat rukun tersebut diatas dipenuhi koperasi syariah arrahmah, namun sebaliknya, koperasi tetangga yang tidak memenuhi salah satu dari keempat rukun tersebut, akhirnya mereka terjebak dalam transaksi utang piutang, yang mengakibatkan mereka terjerumus dalam riba karena pada utang piutangnya terdapat keuntungan.

Dalam Al Qur’an dan sudah sangat jelas sekali bahwa Allah berfirman :

“… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS.Al-baqarah:275)

“ Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…”(QS.Al-baqarah:198)

…kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (QS.An-nisa:29)

“… dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli “(QS.Al-Baqarah:282)

Dalam sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam disebutkan:

Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam pernah ditanya: apakah profesi yang paling baik? Rasulullah menjawab: “usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual-beli yang diberkati”. (HR. Al-Barzaar dan Al-Hakim)

DIbawah ini ada artikel menarik yang membahas panjang lebar mengenai Utang Piutang yang dijadikan lahan bisnis sebagaimana yang marak terjadi saat ini. Silahkan disimak. Semoga bermanfaat

=====================================================================

Hutang-Piutang Kok Jadi Jadi Lahan Bisnis?

“Praktek pengambilan bunga saat ini lebih parah dibanding pada zaman jahiliyah dulu. Berikut ini adab atau etika utang-piutang menurut Islam.

“Ustad, para rentenir itu ketika dinasihati malah berargumen bahwa wong tujuan kami baik, membantu orang-orang yang sedang terjepit, kok. Masak ndak boleh? Bagaimana menurut ustadz?” tanya seorang anggota jamaah pengajian saya.

Sebelumnya saya menjelaskan perilaku tercela para lintah darat yang menjadikan utang-piutang sebagai bisnis. Terhadap pertanyaan itu, saya menjawab dengan bertanya, “Nulung (membantu) atau menthung (memukul)? Berniat murni membantu orang yang kesusahan, atau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan? Kalau benar-benar untuk membantu, mengapa mesti disyaratkan di awal bahwa kelak peminjam harus mengembalikan utang beserta bunganya?”

Islam membolehkan utang-piutang jika sesuai etika bukanlah tanpa tujuan. Banyak hikmah mulia yang bisa dipetik oleh pemberi pinjaman maupun peminjam. Di antaranya menumbuhkan ruh saling membantu dan kepedulian sosial terhadap sesama.[1] Karena itu, pemberian piutang sebenarnya harus bermotif sosial (ihsan) dan ibadah untuk mengharap pahala dari Allah semata. Bukan bermotif bisnis dan mengeruk untung duniawi (baca: bunga) karena menjadikan piutang sebagai bisnis merupakan perilaku jahiliyah yang diperangi Islam.

Alkisah, orang-orang jahiliyah dahulu, ketika memberi utang, menentukan jatuh tempo pengembalian. Apabila peminjam tidak bisa melunasi utang pada waktu yang telah ditentukan, mereka mengenakan bunga sebagai kompensasi tambahan waktu pembayaran.[2] Bunga itu akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu sehingga peminjam sangat sengsara karena terbebani utang yang berlipat ganda.[3] Lalu datanglah Islam yang rahmatan lil ‘âlamîn dan melarang praktek itu, serta mengkategorikannya sebagai riba.

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.”(QS. Ali Imran: 130)

Praktek utang berbunga sekarang lebih parah dibanding pada zaman jahiliyah. Pada riba jahiliyah, bunga baru dikenakan ketika peminjam tidak bisa melunasi utang pada waktu yang telah ditentukan, sebagai kompensasi pengunduran waktu pembayaran. Sedangkan perbankan dan rentenir menetapkan bunga pada saat kesepakatan dibuat, atau sejak peminjam menerima utang. Praktek riba oleh perbankan dan para lintah darat saat ini lebih jahiliyah dibandingkan praktek riba di era jahiliyah.

Etika Utang-Piutang

Di antara bukti yang menguatkan pengertian bahwa pemberian piutang dalam Islam itu berdimensi sosial dan bukan bisnis minded adalah etika yang Allah ajarkan ketika peminjam belum mampu saat utang jatuh tempo.

Ada dua pilihan yang Allah berikan:

  • pelunasan utang diundur sampai debitur mampu melunasinya, atau
  • utang dibebaskan setelah peminjam benar-benar tidak mampu membayar utangnya.

 

Allah Ta’ala memerintahkan pengunduran waktu pelunasan utang sebagaimana firman-Nya, yang artinya: “Jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.” (QS. Al-Baqarah: 280).

Sementara itu jika setelah ditunda peminjam tetap tidak mampu melunasi utangnya, Allah berfirman dalam lanjutkan ayat tersebut, yang artinya: “Bila kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kalian mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 280). Maksud “sedekah” dalam ayat itu adalah membebaskan peminjam dari kewajiban mengembalikan utangnya, total maupun parsial.[4]

Apa gerangan yang mendorong muslim melakukan etika itu?

Apa pula keuntungan duniawi yang akan diunduhnya manakala ia mengundur tenggang waktu pelunasan atau bahkan membebaskan utang peminjam? Motifnya tidak lain karena mengharap pahala ukhrawi, sebagaimana dijanjikan Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Barang siapa menangguhkan pembayaran utang orang yang sedang kesulitan, atau membebaskan utangnya, maka Allah akan menaungi dia dengan naungan-Nya (pada hari kiamat).” (HR. Muslim dari sahabat Ubâdah bin Shâmit)

Ntar Jadi Ketagihan,  Dong!

Mempraktekkan etika tadi apa tidak mengakibatkan para peminjam semakin menjadi-jadi berutang dan tetap tidak melunasi utangnya? Kita perlu melihat tipe peminjam. Apakah ia berutang karena betul-betul kepepet dan bertekad bulat melunasinya. Ataukah terkenal hobi berutang, butuh atau ndak butuh. Dan dari awal telah tercium ia tidak punya itikad baik untuk membayar utangnya. Atau bahkan sudah terkenal di seantero kampong sebagai jago utang plus malas membayar?

Jika termasuk tipe kedua, kita memiliki tanggung jawab moral untuk memberinya pelajaran dan merubah perilaku buruknya. Yakni dengan tidak membebaskan utangnya. Atau bahkan mungkin sejak awal tidak memberinya utang. Menilai dan membedakan tipe orang sebenarnya telah diisyaratkan Allah dalam akhir QS. Al-Baqarah: 280 tadi, yakni  “Jika kalian mengetahui.” Mengetahui apa? “Mengetahui bahwa pembebasan utang tersebut positif.”[5]

Manakala kita terdesak karena kebutuhan, misal istri harus segera dioperasi, padahal kantong lagi kempis, tak dinyana seorang teman berbaik hati meminjamkan uangnya. Kita pun diberi keluasan tenggang waktu. Tanpa bunga pula. Bukankah dia telah berbuat baik pada kita? Bagaimana cara kita membalas budi baiknya? Apakah tidak dibenarkan mengembalikan pinjaman itu dengan melebihkan jumlah pinjaman, dengan niat balas budi?

Boleh, bahkan disunnahkan.[6] Sebab Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam pun dalam banyak hadis sahih diceritakan bahwa beliau sering mempraktekkannya ketika membayar utang.[7] Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling baik ketika membayar utang.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Hanya saja, para ulama menjelaskan bahwa boleh memberi kelebihan ketika pelunasan utang, dengan syarat:

  1. Tidak ada kesepakatan di muka;
  2. Bukan menjadi kebiasaan masyarakat yang tidak tertulis;
  3. Benar-benar inisiatif sepihak dari debitur; dan
  4. Diberikan pasca pelunasan utang. Inilah yang membedakan antara tambahan pelunasan utang sebagai balas budi dan praktek tercela yang dilakukan perbankan dan rentenir sebagaimana dijelaskan sebelumnya, yang mempersyaratkan pengembalian pinjaman dengan melebihkan jumlah pinjaman sejak awal transaksi.[8]

 

Wallahu ta’ala a’lam.***

Oleh Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA

 

Catatan redaksi (pengusahamuslim.com) :

Etika Utang-Piutang

Utang-piutang dalam Islam berdimensi sosial dan bukan bisnis minded. Etika yang Allah ajarkan adalah pelunasan utang diundur sampai debitur mampu melunasinya, atau utang dibebaskan setelah peminjam benar-benar tidak mampu membayar utangnya.“Jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.” (QS. Al-Baqarah: 280).  “Bila kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kalian mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 280). Maksud “sedekah” dalam ayat itu adalah membebaskan peminjam dari kewajiban mengembalikan utangnya, total maupun parsial.Seorang muslim melakukan etika utang-piutang dengan mengundur tenggang waktu pelunasan atau bahkan membebaskan utang peminjam adalah mengharap pahala ukhrawi.Dibenarkan mengembalikan pinjaman dengan melebihkan jumlah pinjaman, dengan niat balas budi kepada yang meminjami. Boleh dan disunahkan. Tapi ada syaratnya. Etika inilah yang membedakan antara tambahan pelunasan utang sebagai balas budi dan praktek tercela yang dilakukan bank dan rentenir.

Keterangan:
[1]   Baca: Ahkâm ad-Dain – Dirâsah Hadîtsiyyah Fiqhiyyah karya Sulaiman al-Qushayyir (hal. 21-22).
[2]  Lihat: Tafsîr ath-Thabary (VI/49).
[3]  Baca: Ar-Ribâ, Khatharuhu wa Sabîl al-Khalâsh minhu, karya Dr. Hamd al-Hammad (hal. 10).
[4]  Periksa: Tafsîr as-Sa’dy (hal. 98).
[5]  Tafsîr al-Jalâlain (hal. 56).
[6]  Baca: Syarh Shahîh Muslim karya Imam an-Nawawy (XI/39).
[7]  Lihat berbagai hadits tersebut beserta takhrijnya dalam Ahkâm ad-Dain (hal. 235-250).
[8]  Syarh Shahih Muslim (XI/39).

 

Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM HANYA ANGGOTA SEPUTAR KOPERASI

LURUSKAN NIAT DALAM BERGABUNG DENGAN KOMUNITAS ANTI RIBA KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

no riba

Koperasi Syariah Arrahmah bukan sekedar koperasi yang didirikan atas prinsip mencari untung / kesejahteraan dunia semata. Menurut definisi hukum di Indonsia, Koperasi adalah merupakan singkatan dari kata ko / co dan operasi / operation. Koperasi adalah suatu kumpulan orang-orang untuk bekerja sama demi kesejahteraan bersama. Berdasarkan undang-undang nomor 12 tahun 1967, koperasi indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan beranggotakan orang-orang, badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Namun, kembali kami tekankan disini, Koperasi Syariah Arrahmah bukan sekedar sebagaimana disampaikan pada definisi diatas, melainkan insya Allah lebih dari itu. Melalui koperasi ini, diharapkan terbangun sebuah komunitas yang beranggotakan kaum muslimin yang anti riba karena yang bertransaksi adalah orang-orang yang paham dan sadar dosa serta bahaya riba. Koperasi ini juga diharapkan menjadi komunitas yang menjunjung tinggi kepercayaan dan amanah dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat, karena salah satu persyaratan untuk bertransaksi di koperasi Syariah Arrahmah adalah memiliki PENJAMIN. Adapun, tidak mungkin anggota bisa menjadi penjamin jika dia tidak jujur dan amanah dan tidak mungkin pula dia MAU MENJAMIN saudaranya, keluarganya, sahabatnya, temannya, jika yang akan dijamin tidak jujur maupun amanah dalam menjaga kepercayaan yang diberikan oleh saudaranya melalui koperasi kepadanya.

Koperasi Syariah Arrahmah insya Allah lebih dari sekedar koperasi syariah biasa. Kami sangat berharap anggota koperasi Syariah Arrahmah yang bergabung dalam komunitas ini kembali meluruskan niat bahwa semua dilakukan semata-mata karena Allah Ta’ala, untuk menjaga diri dan keluarga dari memperoleh harta dengan transaksi riba, demi menolong saudara lainnya agar mereka tidak terperosok ke dalam jurang dosa riba, serta saling menjaga kepercayaan dan amanah harta investasi yang dititipkan saudaranya untuk dikelola koperasi demi kemaslahatan bersama, kesejahteraan bersama, di dunia maupun kelak di akhirat.

Agar kita berilmu dan benar-benar paham kenapa harus berkomunitas melalui koperasi Syariah Arrahmah ataupun koperasi lain yang semisal dengannya, komunitas lain yang semisal dengannya, sebagaimana dijelaskan pada paragraf sebelumnya, maka penting bagi anda untuk membaca ulasan artikel berikut yang insya Allah bermanfaat bagi kehidupan di dunia, terlebih lagi di akhirat kelak. Semoga bermanfaat.

Komunitas Tak Jelas

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Setiap komunitas, menanamkan loyalitas. Mereka saling mencintai, saling membantu, saling menolong, saling membela, karena mereka satu komunitas.

Mereka bisa melakukan seperti itu, karena mereka memiliki satu ikatan yang sama. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena kesamaan itu.

Yang menjadi masalah adalah ikatan apa yang melatar belakangi terjalinnya komunitas itu?

Ada banyak ragam kesamaan, yang membuat manusia membangun komunitas.

Ada yang membangun komunitas, karena ikatan batu akik. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, penggemar batu akik.

Ada yang membangun komunitas karena Moge. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, pemilik moge.

Ada juga yang membangun komunitas karena mobil VW. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, pemilik VW.

Pun ada komunitas yang dibentuk karena kamera. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, sama-sama penggemar fotografi.

Meskipun ada yang membangun komunitas karena islam. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, mereka muslim ahlus sunah.

Dan masih banyak aneka ikatan komunitas yang dibentuk masyarakat.

Kita tentu yakin, semua yang kita lakukan ini tidak ada yang sia-sia. Semua akan dipertanggung jawabkan kelak di yaumul akhir. Sampaipun kegiatan ber-komunitas yang kita lakukan. Allah menegaskan,

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.

Isi surat az-Zalzalah. Inilah yang menjadi keyakinan kita. Sekecil apapun yang kita lakukan, akan dipertanggung jawabkan. Terlebih, dalam masalah loyalitas, di sana ada amal besar yang seharusnya diperhatikan. Bahkan para ulama mencamtumkannya dalam pembahasan aqidah. Itulah al-Wala’ wal Bara’.

Islam mengajarkan kepada kita, agar sikap loyalitas yang kita bangun, dilakukan atas dasar islam. Loyalitas, karena Allah ta’ala. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena Allah.

Ada banyak keutamaan, ketika seseorang membangun loyalitas karena Allah.

Pertama,  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai amal yang paling utama

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الأَعْمَالِ الْحُبُّ فِى اللَّهِ وَالْبُغْضُ فِى اللَّهِ

“Amal yang paling afdhal adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Ahmad 21909, Abu Daud 4601 dan dishahihkan al-Albani).

Kedua, Allah berikan janji, orang yang membangun loyalitas dengan sesamanya karena Allah, akan diberi naungan kelak di hari kiamat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلاَلِى الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِى ظِلِّى يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّى

Allah berfirman pada hari kiamat, “Dimanakah orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini akan Aku naungi dia, di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Ahmad 7432 & Muslim 6713).

Ketiga, amalan ini dibanggakan di hari kiamat, hingga para nabi iri kepadanya

Dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ لأُنَاسًا مَا هُمْ بِأَنْبِيَاءَ وَلاَ شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمُ الأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِمَكَانِهِمْ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى

Ada diantara manusia biasa hamba Allah, yang mereka buka nabi, bukan pula para syuhada. Namun para nabi dan para syuhada, iri kepadanya pada hari kiamat, karena kedudukan mereka yang dekat di sisi Allah Ta’ala.

“Ya Rasulullah, sampaikan kepada kami, siapakah mereka?” tanya para sahabat.

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan,

هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا بِرُوحِ اللَّهِ عَلَى غَيْرِ أَرْحَامٍ بَيْنَهُمْ وَلاَ أَمْوَالٍ يَتَعَاطَوْنَهَا

Mereka adalah orang yang saling mencintai karena Allah, bukan karena hubungan kerabat, bukan pula karena harta benda yang mereka miliki. (HR. Abu Daud 352, Ibn Hibban 573 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Allahu akbar… betapa agungnya janji indah Allah untuk amalan ini. Loyal karena Allah. saling mencintai dan saling membela, karena Allah.

Di saat yang sama, islam juga melarang, manusia membangun fanatisme karena suku dan golongan. Karena ini sumber perpecahan kaum muslimin. Mereka diikat dengan satu ikatan agama, namun mereka bercerai karena ikatan ormas dan komunitas.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan mengancam, jika ada orang yang mati karena berjuang membela suku, kelompok, ormasnya, maka dia mati jahiliyah. Artinya, mati dalam kondisi membawa dosa.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُو إِلَى عَصَبِيَّةٍ أَوْ يَغْضَبُ لِعَصَبِيَّةٍ فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

Siapa yang berjuang di bawah bedera ‘immiyah’, mengajak masyarakat kepada fanatisme kelompok, membela fanatisme kelompok, lalu dia terbunuh, maka dia mati jahiliyah. (HR. Ahmad 8164, Muslim 4892, dan yang lainnya).

Makna bendera ‘Immiyah’. Kita simak keterangan Ibnul Atsir,

Kata Immiyah mengikuti wazan fi’liyah, dari kata al-‘Ama’ [العماء], yang artinya kesesatan. Seperti orang yang berperang karena fanatisme golongan dan hawa nafsu. (an-Nihayah, 3/304)

Kata Fuad Abdul Baqi mellanjutkan keterangan Ibnul Atsir,

كالقتال في العصبية والأهواء وهي الأمر الذي لا يستبين وجهه . وهو كناية عن جماعة مجتمعين على أمر مجهول لا يعرف أنه حق أو باطل

Seperti orang yang berperang karena fanatisme golongan dan hawa nafsu, yang urusannya tidak jelas arahnya. Ini merupakan isyarat tentang sekelompok kominitas yang diikat dengan sesuatu tak jelas. Dia tidak tahu, apakah itu benar atau bathil. (Hasyiyah Ibnu Majah, untuk hadis no. 3948)

Apa yang bisa kita bayangkan, ketika di hari kiamat kita diadili kemudian ditanya, mengapa kamu membela fulan? Akankah kita menjawabnya,

Karena kita sama-sama punya moge…

Karena kita sama-sama punya VW…

Karena kita sama-sama penggemar akik…

Karena kita sama-sama orang lamongan…??!

Komunitas Hanya Komunitas

Jika anda menjamin, komunitas ini hanya terkait masalah dunia, maka jangan sampai terbangun loyalitas dan fanatisme. Hingga saling mencintai dan saling membela karena ikatan tidak jelas.

Pokoknya yang ada di komunitas ini akan dibela, apapun agamanya, bahkan sekalipun dia melanggar. Sekalipun harus berhadapan dengan tuntutan di pengadilan. Ini jelas loyalitas.

Karena itu, seharusnya komunitas hanya dijadikan alat bantu. Saling membantu melengkapi kekurangan yang kita butuhkan.

Anda penganut komunitas mobil tua, boleh saja berkumpul dengan sesama penggemar mobil tua. Sehingga ketika ada bagian sparepart yang anda butuhkan, anda tidak perlu susah mencarinya.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Sumber Artikel

 

Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH TIDAK MELAYANI SIMPAN PINJAM

Koperasi saat ini memang sangat identik dengan aktivitas simpan pinjam. Kebanyakan koperasi, baik konvensional maupun syariah bertopang pada kegiatan simpan pinjam sebagai produk andalan, terlepas dari namanya yang umum ataupun dengan label islami.

Namun Koperasi Syariah Arrahmah berbeda. Koperasi Syariah Arrahmah merupakan jenis koperasi konsumen yang yang beranggotakan para konsumen dengan menjalankan kegiatan jual beli, menjual barang konsumsi, dilakukan secara tunai/cash maupun kredit (cicil/tunda) Tujuan koperasi ini adalah untuk memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi anggotanya dengan cara mengadakan barang atau jasa yang murah, berkualitas, dan mudah didapat oleh koperasi.

Lantas timbul pertanyaan kenapa koperasi syariah arrahmah memilih jenis koperasi konsumen?

Hal ini disebabkan koperasi Konsumen Syariah Arrahmah sangat komitmen dengan transaksi yang tidak mengandung riba maupun transaksi yang bisa melanggar hukum syar’i. Koperasi Syariah Arrahmah memilih tranksasi yang selamat sehingga hasil yang diperoleh menjadi halal dan berkah. Sangat jelas sekali KAIDAH ISLAM mengatakan bahwa :

” Setiap Piutang yang Mendatangkan Keuntungan Adalah Riba”

Agar tidak dikatakan bahwa Koperasi Syariah Arrahmah hanya mengarang-ngarang suatu kaidah yang mungkin banyak berseberangan dengan yang lazimnya berlaku di masyarakat, silahkan simak tulisan dibawah sehingga kita menjadi paham kaidah diatas dan semakin berhati-hati saat akan bermuamalah dengan kaum muslimin atau lembaga semisal yang melayani transaksi simpan pinjam (utang piutang) namun ternyata mengandung riba.

Kaidah Penting Seputar Transaksi Riba: Setiap Keuntungan Dari Piutang Adalah Riba

 


Kaidah Pertama: Setiap Keuntungan dari Piutang Adalah Riba.

Ditinjau dari tujuannya, berbagai transaksi yang dilakukan oleh manusia dapat kita bagi menjadi tiga bagian:

  1. Transaksi yang bertujuan untuk mencari keuntungan, misalnya jual beli, sewa-menyewa, mudharabah dan lain-lain.
  2. Transaksi yang bertujuan memberikan bantuan uluran tangan dan meringankan kesusahan orang lain, misalnya hutang-piutang, peminjaman barang, penitipan barang, hibah dan lain-lain.
  3. Transaksi yang bertujuan memberikan jaminan kepada pihak lain, bahwa haknya tidak akan hilang, misalnya pegadaian, jaminan dan lain-lain.

Akad jenis kedua, biasanya terjadi antara orang yang sedang dalam kesusahan, sehingga ia membutuhkan pertolongan orang lain yang memiliki kelapangan dalam hal harta benda atau lainnya. Pada keadaan semacam ini, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk tidak memancing dalam air keruh. Bahkan bukan sekadar melarang, Islam juga menganjurkan umatnya untuk ikut andil dalam menjernihkan air yang sedang keruh; yaitu dengan cara memberikan pertolongan dan bantuan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ. رواه مسلم

“Dan Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama ia menolong saudaranya.” (HR Muslim)

Dalam hal hutang piutang, Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَة وأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُم تَعْلَمُون .البقرة: 280

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedakahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 280)

Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari al-Hanafi berkata, “Tidaklah ada orang yang sudi menanggung riba, selain orang yang sedang terhimpit oleh kebutuhan dan kesusahannya. Sehingga, seharusnya orang yang demikian ini dikasihani, disayangi dan ditolong. Oleh karena itu, orang-orang semacam ini biasanya berhak untuk menerima sedekah. Andaikata kita tidak bersedekah, maka paling tidak kita tidak meminta tambahan/bunga atas piutangnya. Akan tetapi, bila kita tetap juga meminta tambahan atas piutangnya, maka sikap ini menunjukkan, bahwa kita benar-benar tidak memiliki rasa iba dan sangat berambisi untuk menumpuk harta. Sudah barang tentu sikap ini tidak layak bagi orang yang beriman, bahwa ia akan meninggalkan kehidupan fana ini.” (Mahaasin al-Islam oleh Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari al-Hanafi, hal. 84)

Ucapan senada juga diutarakan oleh Ibnu Taimiyyah, “Pada asalnya, tidaklah ada orang yang sudi untuk bertransaksi dengan cara riba, selain orang yang sedang dalam kesusahan. Bila tidak, maka sudah barang tentu orang yang dalam kelapangan tidak mungkin rela untuk membeli barang seharga 1000 dengan harga 1200 dengan pembayaran dihutang, bila ia benar-benar sedang tidak membutuhkan uang 1000 tersebut. Orang yang rela untuk membeli barang dengan harga yang melebihi harga semestinya hanyalah orang yang sedang dalam kesusahan. Sehingga perbedaan harga kredit dengan kontan tersebut merupakan tindak kezhaliman kepada orang yang sedang mengalami kesusahan… dan riba benar-benar terwujud padanya tindak kezhaliman kepada orang yang sedang kesusahan. Oleh karenanya, riba sebagai lawan dari sedekah. Hal ini karena Allah tidaklah membebaskan orang-orang kaya, hingga mereka menyantuni orang-orang fakir karena kemaslahatan orang kaya dan juga fakir dalam urusan agama dan dunia tidak akan terwujud dengan sempurna, melainkan dengan cara tersebut.” (al-Qawaid an-Nuraniyah, hal. 116)

Dikarenakan alasan yang sangat mulia ini, syariat Islam mengharamkan setiap keuntungan yang dikeruk dari piutang, dan menyebutnya sebagai riba. Oleh karenanya, para ulama menegaskan hal ini dalam sebuah kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fikih, yaitu:

كل قرض جر نفعا فهو ربا

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.” (baca al-Muhadzdzaboleh asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 & 213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan lain-lain)

Imam asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata, “Tidak dibenarkan setiap piutang yang mendatangkan manfaat/keuntungan. Misalnya, ia menghutangi orang lain 1000 (dinar), dengan syarat penghutang menjual rumahnya kepada pemberi hutang, atau mengembalikannya dengan lempengan dinar yang lebih baik atau lebih banyak, atau menuliskan suftajah[1], sehingga ia diuntungkan dalam wujud rasa aman selama di perjalanan. Dalil hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نهى عن سلف وبيع

“Melarang salaf (piutang) bersama jual-beli.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan dihasankan oleh al-Albani)

Yang dimaksud dengan salaf ialah piutang, kata salaf adalah bahasa orang-orang Hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya -pen). Diriwayatkan dari sahabat Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhum, bahwa mereka semua melarang setiap piutang yang mendatangkan manfaat, karena piutang adalah suatu akad yang bertujuan untuk memberikan uluran tangan (pertolongan), sehingga bila pemberi piutang mensyaratkan suatu manfaat, maka akad piutang telah keluar dari tujuan utamanya.” (al-Muhadzdzab oleh Imam asy-Syairazy asy-Syafi’i, 1/304)

Muhammad Nawawi al-Bantaani berkata, “Tidak dibenarkan untuk berhutang uang atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan keuntungan bagi pemberi piutang, misalnya dengan syarat: pembayaran lebih atau dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudholah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu,

كل قرض جر منفعة فهو ربا

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan, maka itu adalah riba.” [2]

Maksudnya setiap piutang yang dipersyaratkan padanya suatu hal yang akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemberi piutang maka itu adalah riba. Bila ada orang yang melakukan hal itu, maka akad hutang-piutangnya batal, bila persyaratan itu terjadi pada saat akad berlangsung.” (Nihayatu az-Zain Fi Irsyad al-Mubtadiin oleh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi 242. Keterangan serupa juga dapat dibaca di Mughni al-Muhtaaj oleh asy-Syarbini, 2/119, Nihayatu al-Muhtaaj oleh ar-Ramli, 4/231)

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap keuntungan dalam hutang piutang, baik berupa materi atau jasa atau yang lainnya adalah haram, karena itu semua adalah riba. Bukan hanya mengharamkan riba, Islam juga membuka pintu-pintu kebaikan dan amal salih, yaitu dengan menganjurkan umatnya untuk menunda atau memaafkan haknya, Allah Ta’ala berfirman,

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan bila orang yang berhutang itu dalam kesusahan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 280)

Untuk sedikit mengetahui betapa besarnya pahala yang akan didapatkan oleh orang yang memberikan pertolongan kepada orang yang sedang kesusahan, maka saya mengajak pembaca untuk kembali merenungkan kisah berikut:

عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : أتى الله بعبد من عباده آتاه الله مالا، فقال له: ماذا عملت في الدنيا؟ قال: ]ولا يكتمون الله حديثا[ قال: يا رب آتيتني مالك، فكنت أبايع الناس، وكان من خلقي الجواز، فكنت أتيسر على الموسر وأنظر المعسر، فقال الله: أنا أحق بذا منك، تجاوزوا عن عبدي متفق عليه

“Sahabat Hudzaifah radhiallahu a’nhu menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘(Pada hari kiamat kelak) Allah mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah  bertanya kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan ketika di dunia?’ [Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian] (Qs. an-Nisa: 42) Ia pun menjawab, ‘Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan aku berjual beli dengan orang lain, dan kebiasaanku (akhlakku) adalah senantiasa memudahkan, aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu.’ Kemudian Allah berfirman, ‘Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Betapa indahnya syariat Islam dan betapa mulianya akhlak seseorang yang benar-benar mengamalkan ajaran agama Allah. Jika beranjak dari hati yang jernih dan objektif kita mau merenungkan syariat Islam yang berkaitan dengan hutang piutang ini, niscaya kita akan sampai pada keyakinan, bahwa syariat ini adalah syariat yang benar-benar datang dari Allah Ta’ala.

Footnote:

[1] Suftajah ialah semacam surat kuasa yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, sehingga dengan surat kuasa tersebut pemegang surat kuasa dapat mencairkan uangnya di tempat lain dari perwakilan pihak yang mengeluarkan surat tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa Suftajah pada zaman dahulu, berfungsi seperti fungsi cek pada zaman sekarang. Baca al-Misbah al-Munir oleh al-Fayyumi 1/278 dan al-Qamus al-Muhith oleh al-Fairuz Abadi 1/301.

[2] Ucapan Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu diriwayatkan oleh al-Baihaqi. Ucapan serupa juga diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salaam dan Anas bin Malik radhialahu ‘anhum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, di antaranya sahabat Abdullah bin Salaam dan Anas bin Maalik.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 29/334).

-bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri
Artikel www.PengusahaMuslim.com

Sumber artikel

Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM

KREDIT SEPEDA MOTOR PENYEBAB TINGGINYA ANGKA KEMISKINAN ?

Jakarta – Di era modern saat ini, banyak pekerjaan membutuhkan mobilitas tinggi yang mengharuskan kita berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam waktu cepat. Di tengah keterbatasan transportasi publik, sepeda motor seringkali menjadi solusi alternatif untuk mendukung aktifitas ekonomi kita sehari-hari.

Fenomena ini kemudian ditangkap dengan baik oleh para pelaku ekonomi. Berbagai perusahaan kredit sepeda motor menjamur menjajakan kemudahan untuk mendapatkan sepeda motor. Bahkan hanya dengan uang muka Rp500 ribu, kita sudah bisa membawa pulang sepeda motor keluaran terbaru, lengkap dengan surat-suratnya.

Bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, kredit bisa jadi adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkan sepeda motor. Tapi percayakah Anda bahwa kredit sepeda motor adalah salah satu penyebab sulitnya masyarakat Indonesia untuk keluar dari kemiskinan?

Penelitian yang dilakukan oleh lembaga riset Financial Inclusion Insights menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepemilikan sepeda motor dan tingkat penghasilan masyarakat Indonesia. Dengan kata lain masyarakat miskin cenderung memiliki jumlah sepeda motor yang lebih banyak dibandingkan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas.

Hasil riset ini memang sangat prematur untuk membangun kesimpulan bahwa kemiskinan disebabkan gara-gara sepeda motor. Tetapi, dengan mempelajari pola prilaku ekonomi masyarakat dan mekanisme kredit kendaraan bermotor di Indonesia, asumsi ini menjadi masuk akal.

Untuk mendapatkan sepeda motor, masyarakat miskin seringkali diming-imingi dengan DP rendah oleh pihak dealer sepeda motor. Bagi masyarakat berpenghasilan minimum, skema ini memang terasa sangat ringan. Namun demikian, mereka sebenarnya telah masuk dalam perangkap hutang dalam jangka waktu yang cukup panjang.

Dengan asumsi membayar uang muka (DP) sebesar Rp500 ribu, dalam kurun waktu sekitar 3 sampai 4 tahun mereka harus membayar sepeda motor Rp5-6 juta lebih mahal dari harga sepeda motor yang dibeli secara tunai. Harga yang sangat tidak ekonomis dengan jumlah bunga yang mencapai 25 persen.

Selama ini masyarakat miskin, yang memiliki keterbatasan pengetahuan finansial, seringkali menjadi sasaran empuk para sales sepeda motor. Dengan berbagai intrik marketing, mereka dengan mudah merayu masyarakat msikin untuk memilih DP rendah. Semakin rendah DP sepeda motor tersebut, pihak dealer akan semakin diuntungkan karena mendapatkan bonus insentif yang semakin besar dari pihak leasing sepeda motor.

Di sisi lain, masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah cenderung tidak memiliki perencanaan finansial yang matang. Mereka jarang sekali memperhatikan proyeksi penghasilan dan kebutuhan ekonomi keluarga. Sebagian di antara mereka bahkan memutuskan membeli sepeda motor hanya dengan diiming-imingi kredit motor DP rendah yang dibagikan di perempatan jalan. Masalahnya menjadi semakin rumit, karena banyak masyarakat yang melakukan kredit motor bukan atas dasar kebutuhan melainkan atas pertimbangan eksistensi, pamer harta dan harga diri.

Saya pernah mewawancarai satu keluarga miskin yang mempunyai dua kendaraan bermotor. Sepeda motor itu sehari-hari digunakan oleh dua orang anaknya untuk berangkat ke sekolah. Si kepala keluarga berujar bahwa motor itu didapatkannya secara kredit dan dia harus berjuang untuk melunasi kredit motor tersebut selama empat tahun lamanya. Pada saat saya tanyakan kenapa rela melakukan kredit motor yang sangat memberatkan ekonomi keluarga, jawabannya sederhana, dia tidak ingin anaknya terlihat berbeda dibandingkan kawan-kawan seumurannya yang memiliki sepeda motor.

Fenomena ini sangat umum terjadi di Indonesia. Sangat mudah menemukan keluarga yang memiliki 2 atau 3 sepeda motor di mana semuanya didapatkan secara kredit dan dibeli hanya untuk alasan harga diri keluarga. Atau fenomena dimana masyarakat rela mengurangi nutrisi makanan anak-anaknya demi untuk melunasi kredit kendaraan bermotor.

Persoalan ini memang terlihat sepele tapi menyebabkan dampak ekonomi yang sangat signifikan bagi keuangan keluarga. Masyarakat miskin tidak bisa mengivestasikan kelebihan penghasilannya untuk aktifitas ekonomi yang lebih bermanfaat seperti investasi pendidikan untuk anak-anaknya, investasi bisnis ataupun membayar asuransi hari tua. Mereka akhirnya terjebak dalam putaran hutang yang terus membelenggu mereka untuk keluar dari jerat kemiskinan.

Setidaknya terdapat dua hal penting yang patut dicatat dari fenomena ini.

Pertama, kebanyakan masyarakat berpenghasilan rendah memiliki pengetahun finansial yang terbatas sehingga mereka tidak memiliki perencanaan finansial yang baik dan terjebak dalam rayuan marketing tukang kredit motor.

Kedua, masalah kekayaan dan kesejahteraan ternyata bukan semata-mata tentang kalkulasi ekonomi tetapi juga kemampuan seseorang mengendalikan egonya.
Ternyata banyak masyarakat melakukan kredit motor bukan atas dasar kebutuhan melainkan untuk menjaga harga diri dan penampilan meski harus mengorbankan investasi untuk masa depan dan hal-hal yang lebih penting.

Menyikapi hal ini setidaknya terdapat dua solusi, khususnya untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Pertama, jika memang benar-benar membutuhkan sepeda motor, pastikan jumlah kredit bulanan tidak melebihi 30 persen dari total penghasilan per bulan. Kredit kendaraan bermotor bisa menjadi solusi alternatif kebutuhan ekonomi sepanjang nilai total kredit tersebut tidak mempengaruhi aspek sandang dan pangan.

Kedua, dalam kondisi penghasilan bulanan yang tidak memungkinkan melakukan kredit, membeli sepeda motor bekas yang murah adalah solusi terbaik. Saat ini, harga sepeda motor bekas di Indonesia bisa mengalami penurunan harga hingga 50 persen dalam jangka waktu pemakaian lima tahun. Dengan kata lain, masyarakat miskin tetap bisa memiliki sepeda motor tanpa harus terjebak dalam hutang jangka panjang.

Tetapi, sekali lagi, teori ekonomi bukan soal hitungan matematika. Solusi ini sangat bergantung pada prilaku finansial kita masing-masing. Apakah kita mau memiliki motor bebek keluaran tahun 2002 di saat sebagian besar teman sebaya kita memiliki sepeda motor keluaran terbaru dengan cat mengkilat dan suara mesin yang lebih halus?

*) Media Wahyudi Askar adalah mahasiswa PhD University of Manchester jurusan Development Policy and Management dengan fokus riset tentang literasi keuangan dan kemiskinan. Selain menjadi peneliti, penulis juga merupakan Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia United Kingdom.
(nwk/nwk)

Sumber : detik

===========================================================================

Bahaya Kebiasaan Berhutang

 

Islam adalah agama yang mulia. Islam telah mengatur seluruh permasalahan di dalam kehidupan bermasyarakat, termasuk di dalamnya adalah permasalahan hutang-piutang. Islam tidak hanya membolehkan seseorang berhutang kepada orang lain, tetapi Islam juga mengatur adab-adab dan aturan-aturan dalam berhutang.

Hukum Berhutang

Hukum asal dari berhutang adalah boleh (jaa-iz). Allah subhaanahu wa ta’aala menyebutkan sebagian adab berhutang di dalam Al-Qur’an. Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman:

{ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ }

Hai orang-orang yang beriman! Apabila kalian ber-mu’aamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kalian menuliskannya.” (QS Al-Baqarah: 282)

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berhutang. Di akhir hayat beliau, beliau masih memiliki hutang kepada seorang Yahudi, dan hutang beliau dibayarkan dengan baju besi yang digadaikan kepada orang tersebut.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallaahu’anhaa, bahwasanya dia berkata:

( أَنَّ النَّبِيَّ –صلى الله عليه وسلم– اشْتَرَى طَعَامًا مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ فَرَهَنَهُ دِرْعَهُ )

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam membeli makanan dari seorang Yahudi dengan tidak tunai, kemudian beliau menggadaikan baju besinya” (HR Al-Bukhari no. 2200)

Kebiasaan Sering Berhutang

Akan tetapi, banyak kaum muslimin yang menganggap remeh hal ini. Mereka merasa nyaman dengan adanya hutang yang “melilit’ dirinya. Bahkan, sebagian dari mereka di dalam hidupnya tidak pernah sedetik pun ingin lepas dari hutang. Sebelum lunas pinjaman yang pertama, maka dia ingin meminjam lagi untuk yang kedua, ketiga dan seterusnya.

Jika hal ini dibiarkan, maka ini akan berlarut-larut dan akan “menular” kepada orang lain di sekitarnya. Terlebih lagi, dengan banyaknya fasilitas untuk berhutang yang disediakan oleh lembaga-lembaga, badan-badan atau perusahaan-perusahaan yang menganut sistem ribawi. Dan parahnya, tidak hanya orang-orang awam yang terlibat dengan hal-hal seperti ini, orang yang sudah lama mengaji, orang berilmu dan orang-orang kaya pun turut berpartisipasi dalam “meramaikannya”. Na’uudzu billaahi min dzaalika.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sangat takut berhutang dan sangat takut jika hal tersebut menjadi kebiasaannya. Mengapa demikian?

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallaahu ‘anhaa, bahwasanya dia mengabarkan, “Dulu Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam sering berdoa di shalatnya:

( اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ وَأَعُوذُ بِكَ مِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَفِتْنَةِ الْمَمَاتِ, اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ)

Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari azab kubur, dari fitnah Al-Masiih Ad-Dajjaal dan dari fitnah kehidupan dan fitnah kematian. Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari hal-hal yang menyebabkan dosa dan dari berhutang

Berkatalah seseorang kepada beliau:

( مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ مِنَ الْمَغْرَمِ؟ )

Betapa sering engkau berlindung dari hutang?

Beliau pun menjawab:

( إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ, حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ. )

Sesungguhnya seseorang yang (biasa) berhutang, jika dia berbicara maka dia berdusta, jika dia berjanji maka dia mengingkarinya” (HR Al-Bukhaari no. 832 dan Muslim no. 1325/589)

Perlu dipahami bahwa berhutang bukanlah suatu perbuatan dosa sebagaimana telah disebutkan. Tetapi, seseorang yang terbiasa berhutang bisa saja mengantarkannya kepada perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah subhaanahu wa ta’aala. Pada hadits di atas disebutkan dua dosa akibat dari kebiasaan berhutang, yaitu: berdusta dan menyelisihi janji. Keduanya adalah dosa besar bukan?

Mungkin kita pernah menemukan orang-orang yang sering berhutang dan dililit oleh hutangnya. Apa yang menjadi kebiasaannya? Bukankan orang tersebut suka berdusta, menipu dan mengingkari janjinya? Allaahumma innaa na’udzu bika min dzaalika.

Memberi Jaminan Ketika Berhutang

Mungkin di antara pembaca ada yang mengatakan, “Bukankan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sendiri berhutang?”

Ya, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berhutang karena sangat membutuhkan hal tersebut pada saat itu. Coba kita perhatikan dengan seksama hadiits yang telah disebutkan. Bukankan yang dihutangi oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah makanan? Jika benar-benar memiliki kebutuhan, maka hal tersebut bukanlah sesuatu yang tercela.

Tetapi perlu diingat, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah melakukan hal yang mulia ketika beliau berhutang. Apakah hal yang mulia tersebut? Beliau menggadaikan baju besinya sebagai jaminan. Apabila beliau tidak mampu membayarnya, maka baju besi itulah yang menjadi pembayarannya.

Begitulah seharusnya yang kita lakukan ketika berhutang. Kita harus memiliki jaminan dalam berhutang. Jaminan-jaminan tersebut bisa berupa:

  1. Harta yang dimiliki
    Misalkan seseorang ingin membeli motor, dia memiliki uang di simpanannya sebanyak Rp 15 juta. Uang tersebut tidak berani dia keluarkan, karena menjadi simpanan usahanya yang harus di sisakan di simpanan bisnisnya, untuk berjaga-jaga dalam permodalan atau karena hal-hal lain. Kemudian orang tersebut membeli motor dengan kredit seharga Rp 15 juta kepada seseorang dengan batas waktu yang telah ditentukan.Hal seperti ini tidak tercela, karena seandainya dia meninggal, maka dia memiliki jaminan harta yang ada di simpanannya.
  1. Menggadaikan barang (Ar-Rahn)
    Hal ini telah dijelaskan sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
  1. Mengalihkan hutang kepada piutang yang dimiliki (Al-Hawaalah/Al-Hiwaalah)
    Misalkan si A memiliki piutang (orang lain [si B] berhutang kepadanya) sebesar Rp 5 juta, kemudian orang tersebut ingin berhutang kepada si C sebesar Rp 5 juta. Si A mengatakan kepada si C, “Bagaimana menurutmu jika piutangku pada si B menjadi jaminan hutang ini.” Kemudian si C pun menyetujuinya. Maka hal tersebut juga tidak tercela dan pengalihan seperti ini diperbolehkan di dalam Islam. Seandainya si A meninggal, maka hutang tersebut menjadi tanggung jawab si B untuk membayarkannya kepada si C.
  1. Mencari penanggung jawab atas hutang yang dimiliki (Al-Kafaalah)
    Misalkan seseorang membutuhkan biaya yang sangat besar secara mendadak, seperti: biaya operasi yang diakibatkan oleh kecelakaan. Orang tersebut tidak memiliki uang atau harta sebagai jaminannya. Pihak rumah sakit meminta orang tersebut mencari seorang penanggung jawab (kafil) atas hutangnya tersebut. Seandainya orang tersebut kabur atau meninggal dunia, maka penanggung jawabnyalah yang membayarkan hutangnya kepada rumah sakit. Hal ini diperbolehkan dengan syarat penanggung jawab tersebut mampu untuk membayarkan hutangnya atau mampu mendatangkan orang yang berhutang tersebut apabila dia kabur.

Keburukan Jika Hutang Tidak Sempat Dilunasi

Jika tidak memiliki jaminan-jaminan yang telah disebutkan di atas, sebaiknya jangan membiasakan diri untuk berhutang. Karena orang yang meninggal sedangkan dia memiliki tanggungan hutang, maka dia akan mendapatkan banyak keburukan. Setidaknya penulis sebutkan tiga keburukan pada tulisan ini.

Keburukan pertama: Tidak dishalati oleh tokoh-tokoh agama dan masyarakat

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak menshalati jenazah yang memiliki hutang.

( عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الأَكْوَعِ –رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ– قَالَ: كُنَّا جُلُوسًا عِنْدَ النَّبِيِّ –صلى الله عليه وسلم– إِذْ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا ، فَقَالَ : (( هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )),قَالُوا: لاَ، قَالَ: (( فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا ؟ )), قَالُوا: لاَ، فَصَلَّى عَلَيْهِ، ثُمَّ أُتِيَ بِجَنَازَةٍ أُخْرَى، فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: (( هَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ )) قِيلَ : نَعَمْ ، قَالَ: (( فَهَلْ تَرَكَ شَيْئًا؟ )) قَالُوا : ثَلاَثَةَ دَنَانِيرَ، فَصَلَّى عَلَيْهَا، ثُمَّ أُتِيَ بِالثَّالِثَةِ، فَقَالُوا: صَلِّ عَلَيْهَا، قَالَ: (( هَلْ تَرَك شَيْئًا؟ )) قَالُوا : لاَ، قَالَ: (( فَهَلْ عَلَيْهِ دَيْنٌ ؟ ))قَالُوا: ثَلاَثَةُ دَنَانِيرَ ، قَالَ: (( صَلُّوا عَلَى صَاحِبِكُمْ ))، قَالَ أَبُو قَتَادَةَ: صَلِّ عَلَيْهِ يَا رَسُولَ اللهِ، وَعَلَيَّ دَيْنُهُ، فَصَلَّى عَلَيْهِ.)

Diriwayatkan dari Salamah bin Al-Akwa’ radhiallaahu ‘anhu, dia berkata, “Dulu kami duduk-duduk di sisi Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, kemudian didatangkanlah seorang jenazah. Orang-orang yang membawa jenazah itu pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’ Kemudian beliau pun menshalatinya. Kemudian didatangkan lagi jenazah yang lain. Orang-orang yang membawanya pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Ya.’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’ Kemudian beliau pun menshalatinya.Kemudian didatangkanlah jenazah yang ketiga. Orang-orang yang membawanya pun berkata, ‘Shalatilah dia!’ Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia meninggalkan harta peninggalan?’ Mereka pun menjawab, ‘Tidak.’Beliau pun bertanya, ‘Apakah dia punya hutang?’ Mereka pun menjawab, ‘Ada tiga dinar.’ Beliau pun berkata, ‘Shalatlah kalian kepada sahabat kalian!Kemudian Abu Qatadah pun berkata, ‘Shalatilah dia! Ya Rasulullah! Hutangnya menjadi tanggung jawabku.’ Kemudian beliau pun menshalatinya.” (HR Al-Bukhaari no. 2289)

Hadits di atas jelas sekali menunjukkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalati orang yang punya hutang. Hal ini sebagai bentuk pengajaran beliau bahwa membiasakan diri untuk berhutang sedangkan dia tidak memiliki jaminan adalah sesuatu yang buruk. Oleh karena itu, sudah selayaknya orang-orang terpandang, tokoh masyarakat dan agama melakukan hal seperti ini ketika ada orang yang meninggal dan dia memiliki tanggungan hutang.

Keburukan kedua: Dosa-dosanya tidak akan diampuni sampai diselesaikan permasalahannya dengan orang yang menghutanginya

Diriwayatkan dari Abu Qatadah radhiallaahu ‘anhu dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya seseorang bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

( أَرَأَيْتَ إِنْ قُتِلْتُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ أَتُكَفَّرُ عَنِّى خَطَايَاىَ ؟)

Bagaimana menurutmu jika aku terbunuh di jalan Allah, apakah dosa-dosaku akan diampuni?

Beliau pun menjawab:

( نَعَمْ وَأَنْتَ صَابِرٌ مُحْتَسِبٌ مُقْبِلٌ غَيْرُ مُدْبِرٍ إِلاَّ الدَّيْنَ فَإِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ قَالَ لِى ذَلِكَ )

Ya, dengan syarat engkau sabar, mengharapkan ganjarannya, maju berperang dan tidak melarikan diri, kecuali hutang. Sesungguhnya Jibril ‘alaihissalam baru memberitahuku hal tersebut” (HR Muslim no. 4880/1885)

Hadits di atas menjelaskan bahwa ibadah apapun, bahkan yang paling afdhal sekalipun yang merupakan hak Allah tidak bisa menggugurkan kewajiban untuk memenuhi hak orang lain.

Keburukan ketiga: Ditahan untuk tidak masuk surga, meskipun dia memiliki banyak amalan sampai diselesaikan permasalahannya dengan orang yang menghutanginya

Diriwayatkan dari Tsauban, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

( مَنْ مَاتَ وَهُوَ بَرِىءٌ مِنْ ثَلاَثٍ: الْكِبْرِ, وَالْغُلُولِ, وَالدَّيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ )

Barang siapa yang mati sedangkan dia berlepas diri dari tiga hal, yaitu: kesombongan,ghuluul (mencuri harta rampasan perang sebelum dibagikan) dan hutang, maka dia akan masuk surga. (HR At-Tirmidzi no. 1572, Ibnu Majah no. 2412 dan yang lainnya. Syaikh Al-Albani mengatakan, “Shahih” di Shahih Sunan Ibni Majah)

Nasehat Seputar Hutang

Oleh karena, sebelum mengakhiri tulisan ini, ada beberapa hal yang ingin penulis nasihatkan untuk diri penulis dan pembaca sekalian:

  1. Janganlah membiasakan diri untuk berhutang. Terutama berhutang yang tidak memiliki jaminan.
  2. Fasilitas untuk berkecimpung di dalam riba sangatlah banyak sekali di zaman ini. Oleh karena itu, janganlah kita biarkan diri kita berkecimpung di dalamnya! Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:( لَعَنَ اللَّهُ آكِلَ الرِّبَا ، وَمُوكِلَهُ ، وَشَاهِدَهُ ، وَكَاتِبَهُ.)“Allah melaknat pemakan riba, yang memberi makan, saksi dan juru tulisnya” (HR Ahmad no. 3725. Syaikh Syu’aib mengatakan, “Shahih li ghairih.”)
  1. Apabila ingin berhutang, maka niatkanlah dengan hati yang jujur untuk segera melunasi hutang tersebut pada waktu yang telah dijanjikan. Insya Allah, Allah akan membantu pelunasannya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:( مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ ، وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلاَفَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ.)“Barang siapa meminjam harta manusia dan dia ingin membayarnya, maka Allah akan membayarkannya. Barang siapa yang meminjamnya dan dia tidak ingin membayarnya, maka Allah akan menghilangkan harta tersebut darinya.” (HR Al-Bukhaari no. 2387)
  1. Apabila telah sampai batas waktu yang telah ditentukan, maka segeralah membayar hutang tersebut dan jangan menunda-nundanya, terkecuali pada saat itu kita tidak memiliki harta untuk membayarnya. Orang yang memiliki harta untuk membayar hutangnya, tetapi dia sengaja memperlambat pembayarannya, maka dianggap sebagai suatu kezoliman/dosa. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam 🙁 مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ )“Memperlambat pembayaran hutang untuk orang yang mampu membayarnya adalah kezaliman.” (HR Al-Bukhaari no. 2288 dan Muslim no. 4002/1564)
  1. Jika benar-benar tidak mampu membayar hutang pada waktu yang telah ditentukan, maka bersegeralah meminta maaf kepada orang yang menghutangi dan minta tenggang waktu untuk membayarnya.

Demikian tulisan yang singkat ini. Mudahan bermanfaat untuk kita semua dan mohon perkenannya untuk menyampaikan kepada yang lain.

( اللَّهُمَّ إِنِّا نَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ )

Penulis: Ustadz Sa’id Yai bin Imanul Huda Lc.
Artikel Muslim.Or.Id

Categories
ARTIKEL MUAMALAH

MENGENAL JUAL BELI MURABAHAH

Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syari’at berkembang dalam skala besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-istilah berbahasa Arab. Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syari’at ataukah hanya rekayasa semata. Melihat banyaknya pertanyaan seputar ini maka dalam rubrik fikih kali ini kami angkat salah satu produk tersebut untuk melihat kehalalannya dalam tinjauan fikih islami.

Jual beli Murabahah (Bai’ al-Murabahah) demikianlah istilah yang banyak diusung lembaga keuangan tersebut sebagai bentuk dari Financing (pembiayaan) yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan. Sehingga semua atau hampir semua lembaga keuangan syari’at menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modal mereka [1]

Nama lain Jual Beli Murabahah ini

Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syari’at ini dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:

  1. al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’
  2. al-Murabahah lil Wa’id bi Asy-Syira’
  3. Bai’ al-Muwa’adah
  4. al-Murabahah al-Mashrafiyah
  5. al-Muwaa’adah ‘Ala al-Murabahah. [2]

Sedangkan di negara indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP) [3]

Definisi Jual-Beli Murabahah (Deferred Payment Sale)

Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan) [4] Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. [5] Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.

Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka: Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana disampaikan ibnu Qudaamah [6], bahkan Ibnu Hubairoh [7] menyampaikan ijma’ dalam hal itu demikian juga al-Kaasaani [8].) [9]

Inilah jual beli Murabahah yang ada dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Namun jual beli Murabahah yang sedang marak di masa ini tidaklah demikian bentuknya. Jual beli Murabahah sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari’at lebih komplek daripada yang berlaku dimasa lalu [10]. Oleh karena itu para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi islam memberikan definisi berbeda sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda? Diantara definisi yang disampaikan mereka adalah:

  1. Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itudibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebutdengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi). [11]
  2. Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka. [12]
  3. Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan nilai barang tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi. [13]
  4. Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli.Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka. [14]

Definis-definisi diatas cukup jelas memberikan gambaran jual beli murabahah KPP ini.

Bentuk Gambarannya

Dari definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan lembaga keuangan syariat didunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:

1. Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak sebelumlembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan menyebutkan nilai keuntungannya dimuka [15].

Hal itu (terjadi) dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan keuntungannya. [16]

2. Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah pihak. Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan: a. pelaksanaan janji tidak mengikattanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka. b. Pelaksanaan janji tidak mengikatdengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya. [17]

3. Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah memiliki hak Khiyar (memilih) apabila melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi atau menggagalkannya. [18]

Pernyataan para Ulama terdahulu tentang Jenis jual beli ini

Permasalahan jual beli murabahah KPP ini sebenarnya bukanlah perkara kontemporer dan baru (Nawaazil) namun telah dijelaskan para ulama terdahulu. Berikut ini sebagian pernyataan mereka:

Imam As-Syafi’i menyatakan: Apabila seorang menunjukkan kepada orang lain satu barang seraya berkata: Belilah itu dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian. Lalu ia membelinya maka jual belinya boleh dan yang menyatakan: Saya akan memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyaar), apabila ia ingin maka ia akan melakukan jual-beli dan bila tidak maka ia akan tinggalkan. Demikian juga jika ia berkata: ‘Belilah untukku barang tersebut’. –Lalu ia mensifatkan jenis barangnya atau ‘barang’ jenis apa saja yang kamu sukai– dan saya akan memberikan keuntungan kepadamu’, semua ini sama. Diperbolehkan pada yang pertama dan dalam semua yang diberikan ada hak pilih (khiyaar). Sama juga dalam hal ini yang disifatkan apabila menyatakan: Belilah dan aku akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo. Jual beli pertama diperbolehkan dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua. Apabila keduanya memperbaharui (akadnya) maka boleh dan bila berjual beli dengan itu dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut) maka ia termasuk dalam dua hal:

1. Berjual beli sebelum penjual memilikinya.

2. Berada dalam spekulasi (Mukhathorah). [19]

Imam ad-Dardier dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir 3/129 menyatakan: al-‘Inahadalah jual beli orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli dan (barang tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada orang yang memintanya setelah ia membelinya adalah boleh kecuali yang minta menyatakan: Belilah dengan sepuluh secara kontan dan saya akan ambil dari kamu dengan dua belas secara tempo. Maka ia dilarang padanya karena tuduhan (hutang yang menghasilkan manfaat), karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut untuk mengambil darinya setelah jatuh tempo dua belas. [20]

Jelaslah dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu ini bahwa mereka menyatakan pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan. Demikian juga the Islamic Fiqih Academy (Majma’ al-Fiqih al-Islami) menegaskan bahwa jual beli muwaada’ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam jual beli murabahah dengan syarat al-Khiyaar untuk kedua transaktor seluruhnya atau salah satunya. Apa bila tidak ada hak al-Khiyaar di sana maka tidak boleh, karena al-Muwaa’adah yang mengikat (al-Mulzamah) dalam jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu sendiri, dimana disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang menjual yang tidak dimilikinya. [21]

Syeikh Abdul Aziz bin Baaz ketika ditanya tentang jual beli ini menjawab: Apabila barang tidak ada di pemilikan orang yang menghutangkannya atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya maka ia tidak boleh menyempurnakan akad transaksi jual belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat atas harga dan tidak sempurna jual beli diantara keduanya hingga barang tersebut dikepemilikan penjual. [22]

Hukum Bai’ Murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat (Ghairu al-Mulzaam)

Telah lalu bentuk kedua dari murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat ada dua:

  1. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka. Hal ini yang rojih adalah boleh dalam pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Hal itu karena tidak ada dalam bentuk ini ikatan kewajiban menyempurnakan janji untuk bertransaksi atau penggantian ganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang atau rusak maka nasabah tidak menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan tersebut bersepekulasi dalam pembelian barang dan tidak yakin nasabah akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya. Seandainya salah satu dari keduanya berpaling dari keinginannya maka tidak ada ikatan kewajiban dan tidak ada satupun akibat yang ditanggungnya. [23]
  2. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya, maka ini dilarang karena masuk dalam kategori al-‘Inahsebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Muqaddimah dan inilah yang dirojihkan Syeikh Bakr Abu Zaid. [24]

Hukum Ba’i Murabahah dengan pelaksanaan janji yang mengikat

Untuk mengetahui hukum ini maka kami sampaikan beberapa hal yang berhubungan langsung dengannya.

Langkah proses Murabahah KPP bentuk ini

Mu’amalah jual beli murabahah KPP melalui beberapa langkah tahapan, diantara yang terpenting adalah:

1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.

a. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas.
b. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu dalam pembelian barang tersebut.

2. Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan nasabah.

3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.

4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.

a. Mengadakan perjanjian yang mengikat.
b. Membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji.
c. Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.
d. Lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.

5. Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama)

6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.

7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.

a. Penentuan harga barang.
b. Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan kedalam harga.
c. Penentuan nisbat keuntungan (profit)
d. Penentuan syarat-syarat pembayaran.
e. Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.

Demikianlah secara umum langkah proses jual beli Murabahah KPP yang kami ambil secara bebas dari kitab al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 261-162. sedangkan dalam buku Bank Syari’at dari Teori ke Praktek hal. 107 memberikan skema bai’ Murabahah sebagai berikut:

Aqad ganda (Murakkab) dalam Murabahah KPP bentuk ini. [25]

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah KPP ini terdiri dari:

1. Ada tiga pihak yang terkait yaitu:

a. Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.
b. Penjual barang kepada lembaga keuangan.
c. Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.

2. Ada dua akad transaksi yaitu:

a. Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.
b. Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).

3. Ada tiga janji yaitu:

a. Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.
b. Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk pemohon.
c. Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.

Dari sini jelaslah bahwa jual beli murabahah KPP ini adalah jenis akad berganda (al-‘Uquud al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji dan ada tiga pihak. Setelah meneliti muamalah ini dan langkah prosesnya akan tampak jelas ada padanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh satu akad. Bisa saja disimpulkan bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan satu sebab yaitu janji yang mengikat dari kedua belah pihak yaitu lembaga keuangan dengan nasabahnya. Berdasarkan hal ini maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam satu transaksi dari sisi yang mengikat sehingga dapat dinyatakan dengan uangkapan: “Belikan untuk saya barang dan saya akan berikan untung kamu dengan sekian”. Hal ini karena barang pada akad pertama tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun akan dibeli dengan dasar janji mengikat untuk membelinya. Dengan melihat kepada muamalah ini dari seluruh tahapannya dan kewajiban-kewajiban yang ada padanya jelaslah bahwa ini adalah Mu’amalah Murakkabah secara umum dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang ada dalam muamalah ini. Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat janji yang mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad yang tidak saling terikat, sehingga jelas hukumnya berbeda.

Hukumnya

Yang rojih dalam masalah ini adalah tidak boleh dengan beberapa argumen di antaranya:

a. Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum kepemilikan penjual barang tersebut masuk dalam larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut pada hakekatnya adalah akad dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan maka ini adalah akad batil yang dilarang, karena lembaga keuangan ketika itu menjual kepada nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.

b. Muamalah seperti ini termasuk al-Hielah (rekayasa) atas hutang dengan bunga, karena hakekat transaksi adalah jual uang dengan uang lebih besar darinya secara tempu dengan adanya barang penghalal diantara keduanya.

c. Murabahah jenis ini masuk dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang berbunyi:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual beli (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil 5/149) Al-Muwaa’adah apabila mengikat kedua belah pihak maka menjadi aqad (transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga ada disana dua akad dalam satu jual beli. [26]

Ketentuan diperbolehkannya

Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli murabahah KPP ini dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa’adah diperbolehkan dengan tiga hal:

  1. Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.
  2. Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung jawab lembaga keuangan.
  3. Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya. [27]

Demikianlah hukum jual beli ini menurut pendapat ulama syari’at, mudah-mudahan dapat memperjelas permasalahan ini. Wabillahi Taufiq.

***

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber Artikel

Footnotes:

[1] Lihat al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at-Tathbiiq, Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar hal. 307.

[2] Kelima nama ini disebutkan dalam al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 260-261.

[3] Lihat Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi’I Antonio, hal 103.

[4] Lihat al-Qaamus al-Muhith hal. 279.

[5] Al-‘Uquud al-Murakkabah hal 257.

[6] Al-Mughni 4/259

[7] Al-Ifashoh 2/350 dinukil dari Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin Abdillah Abu Zaid 2/64.

[8] Bada’i ash-Shanaa’i 7/92 [9] Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin Abdillah Abu Zaid 2/64.

[10] Penulis pernah melakukan dialog tentang hal ini dengan dua orang pegawai salah satu lembaga keuangan syari’at di kediaman penulis pada hari Kamis tanggal 3 april 2008 M ba’da Ashar.

[11] Bai’ al-Murabahah lil Aamir bi asy-Syira’ karya Saami Hamud dalam kumpulan Majalah Majma’ al-Fiqh al-Islami edisi kelima (2/1092) dinukil dari al-‘Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah hal. 257.

[12] Lihat Bai’ al-Murabahah Kamaa Tajriha al-Bunuuk al-Islamiyah Muhammad al-Asyqar hal. 6-7 dinukil dari al-‘Uquud al-maaliyah al-Murakabah hal. 257.

[13] al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 258.

[14] Ibid [15] Fikih Nawazil 2/90.

[16] al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 259.

[17] Lihat Fikih Nawazil 2/90 dan al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 259.

[18] Lihat al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at-Tathbiiq hal. 308.

[19] Lihat al-Umm dan ini kami nukil dari Fikih Nawazil 2/88-89.

[20] Dinukil dari Fikih Nawazil 2/88.

[21] Lihat al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 267.

[22] Majalah al-Jami’ah al-Islamiyah edisi satu tahun kelima Rajab 1392 hal 118 dinukil dari al-Bunuuk al-Islamiyah hal. 308.

[23] Lihat Fikih Nawazil 2/90.

[24] ibid

[25]Lihat al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 265-266

[26] Untuk lebih lengkapnya silahkan merujuk pada kitab al-‘Uqud al-Maaliyah al-Murakkabah hal 267-284 dan Fikih Nawazil 2/ 83-96.

[27] Fikih Nawazil 2/97 dengan sedikit perubahan.

Referensi:

  1. al-‘Uqud al-Maaliyah al-Murakkabah –dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyah-, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-‘Imraani, cetakan pertama tahun 1427 H, Kunuz Isybiliya`
  2. Fiqhu an-Nawaazil –Qadhaya Fiqhiyah al-Mu’asharah-, DR. Bakr bin ABdillah abu Zaid, cetakan pertama tahun 1416 H, Muassasah ar-Risalah.
  3. al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at -Tathbiiq, Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar, cetakan kedua tahun 1414 H , Dar al-Wathon.
  4. Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi’I Antonio, cetakan kesembilan tahun 2005 M, Gema Insani Press.
  5. Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, edisi revisi tahun 2006 M, cetakan ketiga tahun 1427 H.
  6. al-Fiqhu al-Muyassar-Qismu al-Mu’amalaat– Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar, prof. DR. Abdulah bin Muhammad al-Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Al Musa, cetakan pertama tahun 1425 H , Dar al-Wathon.
  7. dll.

 

Categories
SEPUTAR KOPERASI

SISTEM MURABAHAH KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

Pertama : Ketentuan Umum Murabahah dalam Koperasi Syari’ah Arrahmah:

  1. Koperasi dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
  2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
  3. Koperasi membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama Koperasi sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
  4. Koperasi harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
  5. Koperasi kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Koperasi harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
  6. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
  7. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak Koperasi dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

 

Kedua :Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:

  1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada Koperasi.
  2. Jika Koperasi menerima permohonan tersebut, koperasi harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
  3. Koperasi kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah akan membelinya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, dan secara hukum asal,janji tersebut mengikat;

 

Ketiga : Jaminan dalam Murabahah:

  1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabahserius dengan pesanannya.
  2. Koperasi dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

 

Keempat : Utang dalam Murabahah:

  1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada Koperasi.
  2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
  3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

 

Kelima :  Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:

  1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
  2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

 

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

  1. Orang yang mampu membayar utang namun menunda-nundanya disebut sebagai pelaku kezaliman.Rasulullah bersabda, “Perbuatan orang kaya yang menunda-nunda pembayaran utangnya adalah suatu kezhaliman” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
  2. Orang yang sengaja menolak melunasi utang kelak berjumpa dengan Allah sebagai pencuri. Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang berutang dengan niat tidak akan melunasinya,niscaya dia akan bertemu Allah (pada hari Kiamat) dalam keadaan sebagai pencuri” (HR. Ibnu Majah dengan sanad Shahih).
  3. Jiwa orang yang berutang dan belum melunasinya tertahan. Rasulullah bersabda, “Jiwa seorang mukmin tertahan oleh utangnya hingga utang tersebut terlunasi” (HR.at-Tirmidzi dengan sanad shahih).
  4. Rasulullah enggan menshalatkan Jenazah orang yang mempunyai utang hingga utangnya dilunasi atau adanya seseorang yang menjamin untuk melunasinya.

 

Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, ‘Rasulullah biasanya menolak menshalatkan seseorang yang wafat dalam keadaan masih memiliki utang. Suatu ketika dihadirkan ke hadapan beliau mayat seseorang, lalu beliau bertanya, ‘Apakah dia mempunyai utang?’ Para sahabat menjawab, ‘Ya, dua dinar.’ Beliau bersabda, ‘(Kalau begitu) shalatkanlah saudara kalian ini.’ Maka Abu Qatadah berkata, ‘Wahai Rasulullah, biarlah aku yang menanggung dua dinar itu.’Maka beliau pun menshalatkannya” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasa’i, dengan sanad shahih).

5.    Dosa menanggung (tidak membayar) utang tidak akan diampuni sekalipun pelakunya mati syahid. Rasulullah bersabda,“Seluruh dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang.” (HR. Muslim)
Sungguh sangat memprihatinkan sikap sebagian orang yang menganggap remeh kewajiban untuk menunaikan hak orang lain, khususnya dalam masalah utang piutang. Padahal begitu besar ancaman bagi orang yang menyepelekan masalah ini.Karena itu hendaknya orang yang berutang berupaya keras untuk melunasi utangnya dan segera menyelesaikan kewajibannya begitu ada kemampuan untuk itu. Barangsiapa memiliki kesungguhan untuk melunasi utangnya niscaya Allah akan membantunya. Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang hamba mempunyai niatuntuk melunasi utangnya kecuali ia akan mendapatkan pertolongan dari Allah”(HR. al-Hakim dengan sanad Shahih)

6.    Amal kebaikan orangyang mempunyai utang akan digunakan untuk melunasi utangnya kelak di akherat. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan menanggung utang satu Dinar atau satu Dirham, maka akan dilunasi dari kebaikannya, karena disana tidak ada lagi Dinar maupun Dirham.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad Shahih).

Rujukan : Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI