Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM SEPUTAR KOPERASI

KUNJUNGAN KPMI PALANGKARAYA KE KANTOR KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH UNTUK STUDY BANDING PENDIRIAN KOPERASI

Alhamdulillah, hari Jumat yang lalu, tanggal 7 Rajab 1435 atau bertepatan dengan 15 April 2015, Koperasi Syariah Arrahmah kedatangan rombongan spesial dari Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Mereka adalah Bapak Sholihin dan kawan-kawan, Ketua Korwil Palangkaraya serta pengurus dan anggota KPMI Korwil Palangkaraya yang bermaksud datang ke Banjarmasin untuk mengikuti kegiatan Workshop Fiqih Muamalah, bersama ustadz Ammi Nur Baits, ST, LC dari Yogyakarta yang diselenggarakan di Hotel Treepark Banjarmasin, Kalimantan Selatan, selama 2 hari, tanggal 16 – 17 April 2016.

Kunjungan kawan-kawan ke Kantor Koperasi Syariah Arrahmah adalah untuk belajar (study banding) tentang koperasi syariah dan cara mendirikannya.
Kegiatan mengikuti workshop juga merupakan langkah awal KPMI Palangkaraya sebagai bekal ilmu syar’i untuk mendirikan Koperasi Syariah di Palangkaraya insya Allah.

Kami dari Koperasi Syariah Arrahmah sangat mendukung niat yang baik dan mulia ini, bahkan kami mendorong kaum muslimin untuk mendirikan koperasi syariah di wilayah masing-masing sehingga bisa menjadi solusi kaum muslimin untuk berlepas diri dari transaksi riba yang dosanya sangat besar.

Bagi yang ingin mendirikan koperasi syariah di wilayahnya, tidak usah sungkan untuk menghubungi kami, insya Allah kami siap berdiskusi dan berbagi ilmu serta pengalaman, karena tidak ada yang kami harapkan melainkan janji Allah sebagaimana hadits dibawah ini.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

Barangsiapa menjadi pelopor suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa menjadi pelopor suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017)

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]

Semoga Allah mudahkan rencana ini.

[smartslider3 slider=9]
Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM

MEMAHAMI ADAB DAN ETIKA ISLAMI SAAT BERHUTANG ATAU MAU MEMBERIKAN PINJAMAN (PIUTANG)

Jaman sekarang sudah bukan hal yang malu dan tabu lagi untuk berhutang. Bahkan pada tulisan yang sebelumnya kami posting di website ini, sudah ada orang yang bahkan makan pun berhutang.

Namun sayangnya, banyak yang belum paham tentang hukum utang piutang, bagaimana adab dan etikanya, sehingga saat terjadi permasalahan, baik yang berhutang maupun yang menghutangi, akhirnya malah terjatuh dalam dosa. Padahal hukum hutang sendiri adalah mubah, dan bahkan pahala besar bagi yang memberikan hutang.

Sebagai contoh, ada yang berhutang 1 juta kepada kita, lantas karena kita memiliki dana yang belum digunakan, trus kita pinjamkan. Jika hal itu terjadi hingga 2x, maka keutamaannya sebagaimana disampaikan dalam hadits Rasulullah :

Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389)).

Apa anda pernah bersedekah satu juta ?Sungguh nilai sedekah yang cukup besar. Apalagi jika pinjaman anda kepadanya lebih dari 1 juta, bayangkan berapa pahala yang akan anda terima insya Allah.

Jika dia telat bayar lantas kita berikan kelonggaran, bahkan kita seperti bersedekah setiap hari kepadanya. Bayangkan, bagaimana nilai pahala yang insya Allah akan kita peroleh.

Barangsiapa memberi tenggang waktu pada orang yang berada dalam kesulitan, maka setiap hari sebelum batas waktu pelunasan,  dia akan dinilai telah bersedekah. Jika utangnya belum bisa dilunasi lagi, lalu dia masih memberikan tenggang waktu setelah jatuh tempo, maka setiap harinya dia akan dinilai telah bersedekah dua kali lipat nilai piutangnya.” (HR. Ahmad, Abu Ya’la, Ibnu Majah, Ath Thobroniy, Al Hakim, Al Baihaqi. Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 86 mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Berikut kami sampaikan artikel bagus tentang adab islami dalam hutang piutang. Semoga dengan tulisan ini akan menambah wawasan kita, semakin mudah dalam memberikan hutang atau membebaskannya, atau menambah waswas dan rasa takut kita untuk tidak bermudah-mudahan dalam berhutang kecuali kondisi sangat membutuhkan.

Semoga bermanfaat.

===============================================================

ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG / آداب القرض في الفقه الإسلامي

 

Di dalam kehidupan sehari-hari ini, kebanyakan manusia tidak terlepas dari yang namanya hutang piutang. Sebab di antara mereka ada yang membutuhkan dan ada pula yang dibutuhkan. Demikianlah keadaan manusia sebagaimana Allah tetapkan, ada yang dilapangkan rezekinya hingga berlimpah ruah dan ada pula yang dipersempit rezekinya, tidak dapat mencukupi kebutuhan pokoknya sehingga mendorongnya dengan terpaksa untuk berhutang atau mencari pinjaman dari orang-orang yang dipandang mampu dan bersedia memberinya pinjaman.

Dalam ajaran Islam, utang-piutang adalah muamalah yang dibolehkan, tapi diharuskan untuk ekstra hati-hati dalam menerapkannya. Karena utang bisa mengantarkan seseorang ke dalam surga, dan sebaliknya juga menjerumuskan seseorang ke dalam neraka. 

PENGERTIAN HUTANG PIUTANG:

Di dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam telah dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut Al-Qardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang. (Lihat Fiqh Muamalat (2/11), karya Wahbah Zuhaili)

Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan padanannya. (Lihat Muntaha Al-Iradat (I/197). Dikutip dari Mauqif Asy-Syari’ah Min Al-Masharif Al-Islamiyyah Al-Mu’ashirah, karya DR. Abdullah Abdurrahim Al-Abbadi, hal.29).

Atau dengan kata lain, Hutang Piutang adalah memberikan sesuatu yang menjadi hak milik pemberi pinjaman kepada peminjam dengan pengembalian di kemudian hari sesuai perjanjian dengan jumlah yang sama. Jika peminjam diberi pinjaman Rp. 1.000.000 (satu juta rupiah) maka di masa depan si peminjam akan mengembalikan uang sejumlah satu juta juga.

HUKUM HUTANG PIUTANG:

Hukum Hutang piutang pada asalnya diperbolehkan dalam syariat Islam. Bahkan orang yang memberikan hutang atau pinjaman kepada orang lain yang sangat membutuhkan adalah hal yang disukai dan dianjurkan, karena di dalamnya terdapat pahala yang besar. Adapun dalil-dalil yang menunjukkan disyariatkannya hutang piutang ialah sebagaimana berikut ini:

Dalil dari Al-Qur’an adalah firman Allah I: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah: 245)

Sedangkan dalil dari Al-Hadits adalah apa yang diriwayatkan dari Abu Rafi’, bahwa Nabi r pernah meminjam seekor unta kepada seorang lelaki. Aku datang menemui beliau membawa seekor unta dari sedekah. Beliau menyuruh Abu Rafi’ untuk mengembalikan unta milik lelaki tersebut. Abu Rafi’ kembali kepada beliau dan berkata, “Wahai Rasulullah! Yang kudapatkan hanya-lah sesekor unta ruba’i terbaik?” Beliau bersabda,  “Berikan saja kepadanya. Sesungguhnya orang yang terbaik adalah yang paling baik dalam mengembalikan hutang.”(HR. Bukhari dalam Kitab Al-Istiqradh, baba istiqradh Al-Ibil (no.2390), dan Muslim dalam kitab Al-musaqah, bab Man Istaslafa Syai-an Fa Qadha Khairan Minhu (no.1600)

Nabi r juga bersabda: “Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali, maka dia itu seperti orang yang bersedekah satu kali.” (Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albani di dalam Irwa’ Al-ghalil Fi Takhrij Ahadits manar As-sabil (no.1389)).

Sementara dari Ijma’, para ulama kaum muslimin telah berijma‘ tentang disyariatkannya hutang piutang (peminjaman).

Adapun hokum berhutang atau meminta pinjaman adalah diperbolehkan, dan bukanlah sesuatu yang dicela atau dibenci, karena Nabi r pernah berhutang. (HR. Bukhari IV/608 (no.2305), dan Muslim VI/38 (no.4086)).

Namun meskipun berhutang atau meminta pinjaman itu diperbolehkan dalam syariat Islam, hanya saja Islam menyuruh umatnya agar menghindari hutang semaksimal mungkin jika ia mampu membeli dengan tunai atau tidak dalam keadaan kesempitan ekonomi. Karena hutang, menurut Rasulullah r, merupakan penyebab kesedihan di malam hari dan kehinaan di siang hari. Hutang juga dapat membahayakan akhlaq, sebagaimana sabda Rasulullah r: “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).

Rasulullah r pernah menolak menshalatkan jenazah seseorang yang diketahui masih meninggalkan hutang dan tidak meninggalkan harta untuk membayarnya. Rasulullah r bersabda: “Akan diampuni orang yang mati syahid semua dosanya, kecuali hutangnya.” (HR. Muslim).

Bagaimana Islam mengatur berhutang-piutang yang membawa pelakunya ke surga dan menghindarkan dari api neraka? Perhatikanlah adab-adabnya di bawah ini:

BEBERAPA ADAB ISLAMI DALAM HUTANG PIUTANG:

[1]. Hutang piutang harus ditulis dan dipersaksikan.

Dalilnya firman Allah I: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al-Baqarah: 282)

Berkaitan dengan ayat ini, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan”. (Lihat Tafsir Al-Quran Al-Azhim, III/316).

[2]. Pemberi hutang atau pinjaman tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang.

Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Dengan kata lain, bahwa pinjaman yang berbunga atau mendatangkan manfaat apapun adalah haram berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’ para ulama. Keharaman itu meliputi segala macam bunga atau manfaat yang dijadikan syarat oleh orang yang memberikan pinjaman kepada si peminjam. Karena tujuan dari pemberi pinjaman adalah mengasihi si peminjam dan menolongnya. Tujuannya bukan mencari kompensasi atau keuntungan. (Lihat Al-Fatawa Al-Kubra III/146,147)

Dengan dasar itu, berarti pinjaman berbunga yang diterapkan oleh bank-bank maupun rentenir di masa sekarang ini jelas-jelas merupakan riba yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. sehingga bisa terkena ancaman keras baik di dunia maupun di akhirat dari Allah ta’ala.

Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah– berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. (Lihat Al-Mulakhkhash Al-Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, II/51).

[3]. Kebaikan sepantasnya dibalas dengan kebaikan
Dari Abu Hurairah t, ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah I membalas dengan setimpal”. Maka Nabi r bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang)”.( HR. Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305)

Dari Jabir bin Abdullah t ia berkata: “Aku mendatangi Nabi r di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dam menambahkannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394)

[4]. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah berbuat zhalim dan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti:
a). Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b). Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c). Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.

d). Berhutang dengan niat tidak akan melunasinya.

Dari Abu Hurairah t, ia berkata bahwa Nabi r bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah I akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya, pent), maka Allah I akan membinasakannya”. (HR. Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387)

Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas. Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan tekad untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang bertekad pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah I membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah I melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang kekal nan abadi?

[5]. Tidak boleh melakukan jual beli yang disertai dengan hutang atau peminjaman
Mayoritas ulama menganggap perbuatan itu tidak boleh. Tidak boleh memberikan syarat dalam pinjaman agar pihak yang berhutang menjual sesuatu miliknya, membeli, menyewakan atau menyewa dari orang yang menghutanginya. Dasarnya adalah sabda Nabi: “Tidak dihalalkan melakukan peminjaman plus jual beli. (HR. Abu Daud no.3504, At-Tirmidzi no.1234, An-Nasa’I VII/288. Dan At-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”).
Yakni agar transaksi semacam itu tidak dimanfaatkan untuk mengambil bunga yang diharamkan.

[6]. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman.

Karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

[7]. Menggunakan uang pinjaman dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.

Rasulullah r bersabda: “Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya”. (HR. Abu Dawud dalam  Kitab Al-Buyu, Tirmidzi dalam kitab Al-buyu, dan selainnya).

[8]. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah t, ia berkata: (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi r meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau r berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku.” (Maka) akupun melakukannya. Beliau r pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. (HR. Bukhari kitab Al-Istiqradh, no. 2405).

[9]. Bersegera melunasi hutang

Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana sabda Nabi r: “Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman”. (HR. Bukhari no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427).

Diriwayatkan dari Abu Hurairah t, ia berkata, telah bersabda Rasulullah r: “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang”. (HR Bukhari no. 2390)

 [10]. Memberikan Penangguhan waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo.

Allah I berfirman: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 280).

Diriwayatkan dari Abul Yusr, seorang sahabat Nabi, ia berkata, Rasulullah r bersabda: “Barangsiapa yang ingin dinaungi Allah dengan naungan-Nya (pada hari kiamat, pent), maka hendaklah ia menangguhkan waktu pelunasan hutang bagi orang yang sedang kesulitan, atau hendaklah ia menggugurkan hutangnya.” (Shahih Ibnu Majah no. 1963)

Demikian penjelasan singkat tentang beberapa adab Islami dalam hutang piutang. Semoga menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacanya. Dan semoga Allah menganugerahkan kepada kita semua rezki yang lapang, halal dan berkah, serta terbebas dari lilitan hutang. Amin.

Penulis :Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc

[Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM, Edisi, Tanggal 15 November 2010]

Sumber artikel

 

 

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

TERNYATA UNTUK BER-INVESTASI PUN BUTUH ILMU, AGAR TIDAK TERJERUMUS RIBA

Ilustrasi-orang-kaya-investasi-syariah

Ternyata menjadi orang kaya atau memiliki kelebihan harta juga tidak mudah. Syariat mengajarkan bahwa orang yang diberikan kelebihan harta agar berilmu sehingga bisa mengelola dan membelanjakan hartanya dengan baik.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

«لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ»

Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya[HR at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam “as-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.].

Hadits yang agung ini menunjukkan kewajiban setiap hamba agar bisa mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hal-hal yang baik dan diridhai oleh Allah, karena pada hari kiamat nanti manusia akan dimintai pertanggungjawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di dunia [Lihat kitab “Bahjatun naazhirin syarhu riyaadhish shaalihin” (1/479)]

Bagi kaum muslimin yang memiliki kesulitan dalam mengelola harta anda, kami berikan solusi buat anda. Harta yang berlebih, hanya tersimpan bertahun-tahun, dimana setiap tahun anda diwajibkan membayar zakat, agar bisa dikelola dengan baik dan bermanfaat bagi anda kaum muslimin lainnya..

Kami dari Koperasi Syariah Arrahmah mengajak kaum muslimin yang sudah mulai paham tentang syariat Islam dan bahaya dosa riba.

Kami mengajak kaum muslimin agar mengalihkan dana / harta yang dimilikinya, baik tabungan ataupun deposito, untuk diinvestasikan dan dikelola oleh koperasi kami. Keuntungan berinvestasi di koperasi syariah Arrahmah bisa anda baca disini.

KEANGGOTAAN & INVESTASI

Silahkan simak artikel yang berisi Ilmu Sederhana Sebelum anda melakukan Investasi. Semoga bermanfaat.

 

Setiap orang yang beramal mesti mendahulukan ilmu. Karena jika tanpa ilmu, setiap amalan yang dikerjakan bisa rusak. Termasuk pula dalam hal muamalah. Menanam investasi di suatu bidang usaha adalah di antara bentuk muamalah, yang di mana mesti diawali pula dengan ilmu. Seseorang yang menanam modal dalam suatu investasi mesti mengetahui bagaimanakah cara investasi yang islami. Karena jika tidak mengetahui hal ini, seseorang bisa terjerumus dalam perkara haram, yaitu riba.

Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- Mengawali Pagi Harinya dengan Meminta Ilmu yang Bermanfaat

Di antara dalil yang menunjukkan pentingnya berilmu sebelum bertindak adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di pagi harinya yang selalu meminta pada Allah ilmu yang bermanfaat terlebih dahulu, setelah itu barulah beliau meminta rizki yang halal dan amalan yang diterima.

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً »

Dari Ummu Salamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a setelah shalat Shubuh seusai salam, “Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’a wa rizqon thoyyibaa, wa ‘amalan mutaqobbalaa (Ya Allah, aku meminta pada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amalan yang diterima)”. (HR. Ibnu Majah no. 925. Al Hafizh Abu Thohir dan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

Syaikh ‘Abdur Rozaq bin ‘Abdul Muhsin Al Abbad hafizhohullah berkata, lihatlah dalam hadits ini didahulukan meminta ilmu terlebih dahulu dibanding dengan meminta rizki yang halal dan amalan yang mutaqobbal (yang diterima), sebagaimana yang beliau sampaikan ketika kajian umum mengenai harta haram, 11 Jumadal Akhiroh 1434 H (22 April 2013) di Islamic Center Bin Baz Piyungan, Bantul, Yogyakarta.

Inilah yang menunjukkan urgensi meminta ilmu yang bermanfaat dalam do’a kita, namun kadang kita lalai akan meminta hal ini karena seputar do’a kita hanyalah permintaan hal dunia semata. Padahal jika seseorang meraih ilmu yang bermanfaat, ia telah meraih kebahagiaan hati. ilmu yang bermanfaat itu sebagaimana kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Manzhumah Qowa’idil Fiqhiyyah dapat menghilangkan keraguan dan kekotoran hati. Keraguan yang beliau maksud adalah penyakit syubhat (racun pemikiran) dan kekotoran hati disebabkan karena penyakit syahwat (hawa nafsu yang cenderung pada maksiat).

Salaf Memotivasi untuk Berilmu Sebelum Berdagang

Ibnu Taimiyah dalam Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar menukilkan perkataan Ibnu Mas’ud di mana beliau berkata,

العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ

“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.”

Imam Bukhari, di awal-awal kitab shahihnya, beliau membawakan bab, “Al ‘ilmu qoblal qouli wal ‘amali (ilmu sebelum berkata dan berbuat).” Setelah itu beliau membawakan firman Allah Ta’ala,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19). Lalu Imam Bukhari mengatakan, “Dalam ayat ini, Allah memerintahkan memulai dengan ilmu sebelum amalan.” Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu harus ada lebih dahulu sebelum amalan.

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan surat Muhammad ayat 19 untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat (yang artinya), “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu”, lalu beliau mengatakan,

أَلَمْ تَسْمَع أَنَّهُ بَدَأَ بِهِ فَقَالَ : ” اِعْلَمْ ” ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْعَمَلِ ؟

“Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 1: 160).

Ibnul Munir rahimahullah menjelaskan maksud Imam Bukhari di atas,

أَرَادَ بِهِ أَنَّ الْعِلْم شَرْط فِي صِحَّة الْقَوْل وَالْعَمَل ، فَلَا يُعْتَبَرَانِ إِلَّا بِهِ ، فَهُوَ مُتَقَدِّم عَلَيْهِمَا لِأَنَّهُ مُصَحِّح لِلنِّيَّةِ الْمُصَحِّحَة لِلْعَمَلِ

“Yang dimaksudkan oleh Imam Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (idem).

Jika demikian, sama halnya ketika berdagang. Dalam kita melakukan muamalah semacam ini, jika tidak didasari dengan ilmu, maka bisa jadi jual beli kita rusak atau tidak sah. Seperti yang membuat jual beli tidak sah adalah jual beli ghoror (yang mengandung spekulasi tinggi). Al Jarjaniyy mengatakan bahwa yang dimaksud ghoror adalah,

بأنّه ما يكون مجهول العاقبة لا يدرى أيكون أم لا

“Ghoror itu hasil akhir (akibatnya) majhul (tidak diketahui), tidak diketahui akan ada ataukah tidak.” Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah. Kalau jual beli dikatakan tidak sah, artinya barang dagangan milik penjual masih tetap miliknya, uang milik pembeli juga masih tetap miliknya. Tentang larangan jual beli yang mengandung ghoror terdapat dalam hadits berikut,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari ghoror” (HR. Muslim no. 1513).

Umar bin Khottob pernah memperingatkan orang-orang yang tidak paham fikih muamalah agar tidak berjualan di pasar. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا

“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (LihatMughnil Muhtaj, 6: 310). ‘Umar menghendaki demikian, agar supaya jual beli yang dilakukan di pasar tidak asal-asalan.

Akibat jika tidak mengenal hukum riba -misalnya- saat berdagang, maka dapat membuat akad yang dilakukan rusak atau cacat. Sebagaimana ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah berkata,

مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” Dinukil Ibnu Taimiyah dalam Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar.

‘Ali bin Abi Tholib lebih tegas lagi mengatakan,

مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ

“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.” (Lihat Mughnil Muhtaj, 6: 310)

Dua Akad yang Bisa Dimanfaatkan Jika Kita Memiliki Modal

1- Bagi hasil dalam untung dan rugi (Mudharabah)

Dasar dalil mengenai dibolehkannya mudharabah (bagi hasil) diambil dari hadits mengenai musaaqoh yaitu bagi hasil dengan cara menyerahkan tanaman kepada petani yang mengerjakan dengan pembagian tertentu dari hasil panennya.

عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ دَفَعَ إِلَى يَهُودِ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَلِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَطْرُ ثَمَرِهَا

“Dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan kepada bangsa Yahudi Khaibar kebun kurma dan ladang daerah Khaibar, agar mereka yang menggarapnya dengan biaya dari mereka sendiri, dengan perjanjian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan separuh dari hasil panennya.” (HR. Bukhari no. 2329 dan Muslim no. 1551).

Pada hadits ini dengan jelas dinyatakan bahwa perkebunan kurma dan ladang daerah Khaibar yang telah menjadi milik umat Islam dipercayakan kepada orang Yahudi setempat, agar dirawat dan ditanami. Adapun perjanjiannya adalah  dengan bagi hasil 50% banding 50%. Pembagian bagi hasil ini ditetapkan dari hasil panen, bukan dari modal yang ditanam oleh si pemodal.

Pada akad mudharabah, asas keadilan benar-benar harus dapat diwujudkan. Yang demikian itu dikarenakan kedua belah pihak yang terkait, sama-sama merasakan keuntungan yang diperoleh. Sebagaimana mereka semua menanggung kerugian bila terjadi secara bersama-sama, pemodal menanggung kerugian materi (modal), sedangkan pelaku usaha menanggung kerugian non-materi (tenaga dan pikiran). Sehingga pada akad mudharabah tidak ada seorang pun yang dibenarkan untuk mengeruk keuntungan tanpa harus menanggung resiko usaha.

2- Melalui jalan mengupahi (ijaroh)

Akad kedua ini bukan artinya memodali, namun mempekerjakan orang. Jalan ini pun bisa ditempuh bagi yang memiliki modal.

Ijaroh atau jual beli jasa adalah suatu transaksi yang objeknya adalah manfaat atau jasa yang mubah dalam syariat dan manfaat tersebut jelas diketahui, dalam jangka waktu yang jelas serta dengan uang sewa yang jelas. Ijaroh termasuk transaksi yang mengikat kedua belah pihak yang mengadakan transaksi yaitu pembeli dan penjual jasa. Artinya salah satu dari keduanya tidak boleh membatalkan transaksi tanpa persetujuan pihak kedua.

Ijaroh itu ada dua macam:

a- ijaroh dengan objek transaksi benda tertentu semisal menyewakan rumah, kamar kost, menyewakan mobil (rental mobil, taksi, bis kota dll).

b- ijaroh dengan objek transaksi pekerjaan tertentu semisal mempekerjakan orang untuk membangun rumah, mencangkul kebun dll.

Contoh misalnya dalam memanfaatkan modal untuk ternak kambing. Cara seperti ini yang dipilih. Juragan mempekerjakan dua orang, lantas dalam waktu per hari dihitung mendapatkan upah Rp. 30.000,- dan upahnya diserahkan di akhir pekan sesuai perjanjian atau kesepakatan.

Di antara ketentuan dari bentuk ijaroh seperti di atas:

a- Dalam ijaroh seorang pekerja berhak atas upah atau gaji jika dia telah menyelesaikan pekerjaan yang menjadi kewajibannya secara sempurna dan professional. Pekerja semacam ini harus segera diberi upah begitu pekerjaannya selesai sampai-sampai nabi katakan sebelum keringatnya kering.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).  Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.

Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718)

b- Pada dasarnya pekerja tidaklah memiliki kewajiban mengganti barang yang rusak yang diamanahkan oleh pihak yang mempekerjakan atau barang yang disewakan asalkan kerusakan barang tersebut bukan karena kecerobohan penyewa atau pekerja.

Untuk transaksi ini berarti kerugian usaha ditanggung oleh pemilik modal, bukan para pekerjanya selama kerusakan bukan terjadi karena kecerobohan pekerja. Sedangkan keuntungan usaha semuanya menjadi hak pemilik modal.

Jika Memilih Meminjamkan Modal

Cara ini bisa ditempuh jika kita memiliki modal besar dan khawatir menyimpan di bank, maka kita bisa pinjamkan pada orang yang amanat untuk mengembalikannya di waktu akan datang. Namun dengan syarat, peminjaman modal di sini bukan untuk meraup keuntungan. Karena keuntungan yang ada dalam utang piutang, itu termasuk riba. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa riba adalah:

الزِّيَادَةُ فِي أَشْيَاءَ مَخْصُوصَةٍ

“Penambahan pada barang dagangan/komoditi tertentu.” (Al Mughni, 6: 51)

Para ulama pun bersepakat (berijma’),

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.

Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal dalam Al Mughni (6: 436),

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ .

“Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”

Di halaman yang sama Ibnu Qudamah mengatakan,

قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ : أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمُسَلِّفَ إذَا شَرَطَ عَلَى الْمُسْتَسْلِفِ زِيَادَةً أَوْ هَدِيَّةً ، فَأَسْلَفَ عَلَى ذَلِكَ ، أَنَّ أَخْذَ الزِّيَادَةِ عَلَى ذَلِكَ رَبًّا .وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ، وَابْنِ عَبَّاسٍ ، وَابْنِ مَسْعُودٍ ، أَنَّهُمْ نَهَوْا عَنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً .وَلِأَنَّهُ عَقْدُ إرْفَاقٍ وَقُرْبَةٍ ، فَإِذَا شَرَطَ فِيهِ الزِّيَادَةَ أَخْرَجَهُ عَنْ مَوْضُوعِهِ .

“Ibnul Mundzir berkata: Para ulama sepakat bahwa jika seseorang meminjamkan uang lantas ia memberi syarat pada si peminjam uang untuk adanya tambahan atau hadiah, lalu ia pinjam dan tunaikan sedemikian rupa, maka pengambilan tambahan di sini adalah riba. Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud bahwa mereka melarang dari bentuk utang piutang yang terdapat keuntungan. Karena utang piutang termasuk akad tolong menolong dan cari pahala karena menolong yang lain. Jika menolong ‘kok’ malah cari untung, ini sudah keluar dari maksud untuk meringankan beban orang lain.” (Al Mughni, 6: 436).

Jika pemilik uang punya keinginan uangnya kembali utuh dan mesti seperti itu, tanpa sama sekali ingin menanggung kerugian, ditambah ia ingin ada tambahan, ini sama saja mencari untung dalam utang piutang.

Hal ini juga berlaku jika utang piutang menggunakan gadaian. Barang gadaian pun tidak boleh dimanfaatkan oleh si pemberi pinjaman. Karena kaedah di atas tetap berlaku dalam gadai, “Setiap utang piutang yang meraup keuntungan, maka itu riba.”

Namun ada gadaian yang boleh dimanfaatkan jika dikhawatirkan begitu saja ia akan rusak atau binasa. Seperti hewan yang memiliki susu dan hewan tunggangan bisa dimanfaatkan sesuai pengeluaran yang diberikan si pemberi utang dan tidak boleh lebih dari itu. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

Barang gadaian berupa hewan tunggangan boleh ditunggangi sesuai nafkah yang diberikan. Susu yang diperas dari barang gadaian berupa hewan susuan boleh diminum sesuai nafkah yang diberikan. Namun, orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan” (HR. Bukhari no. 2512).

Kaedah Penting: Keuntungan bagi yang Berani Menanggung Resiko

Dalam kaedah fikih disebutkan,

الخراج بالضمان

“Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian”.

Maksud kaedah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian -jika hal itu terjadi-. Keuntungan ini menjadi milik orang yang berani menanggung kerugian karena jika barang tersebut suatu waktu rusak, maka dialah yang merugi. Jika kerugian berani  ditanggung, maka keuntungan menjadi miliknya.

Asal kaedah di atas berasal dari hadits berikut,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا، فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم: الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

“Dari sahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka penjual berkata, ‘Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Keuntungan adalah imbalan atas kerugian.’” (HR. Abu Daud no. 3510, An Nasai no. 4490, Tirmidzi no. 1285, Ibnu Majah no. 2243 dan Ahmad 6: 237. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dari kaedah di atas kita bisa mengambil dua pelajaran penting:

1- Dalam akad mudhorobah, jika sama-sama mendapat untung, maka pihak pemodal dan pelaku usaha harus sama-sama menanggung rugi. Jika pelaku usaha, sudah mendapatkan rugi karena usahanya gagal, maka pemodal pun harus menanggung rugi. Karena jika pemodal mendapat untung, maka kerugian pun -artinya: tidak mendapatkan apa-apa- harus berani ia tanggung. Termasuk kekeliruan jika si pemodal minta modalnya itu kembali selama bukan karena kecerobohan pelaku usaha.

2- Bermasalahnya transaksi riba, simpan pinjam yang menarik keuntungan. Jika pihak kreditur  dalam posisi aman, hanya mau ingin uangnya kembali, tanpa mau menanggung resiko karena boleh jadi yang meminjam uang adalah orang yang susah, maka berarti ini masalah. Karena kalau ia ingin uangnya kembali, maka ia pun harus berani menanggung resiko tertundanya utang tersebut. Alasannya adalah kaedah yang kita bahas saat ini.

Bahaya Riba

Jika kita tidak mengetahui transaksi halal dan haram, kita bisa terjerumus dalam riba sebagaimana akibatnya disebutkan dalam dua hadits berikut,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً

Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hadits lain juga menyebutkan,

الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya)

Semoga penjelasan di atas bermanfaat bagi kita yang ingin berinvestasi.

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 22 Jumadal Akhiroh 1434 H (ditulis selepas shalat Fajar hingga 07: 40, sebelum beranjak ke Seminar di UIN Yogyakarta)

Sumber Artikel

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH BELUM ADA PRODUK MUDHOROBAH, KENAPA ? – BAGIAN 2

Konsep Mudharabah

Sebagaimana sudah kami sampaikan pada tulisan sebelumnya, KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH BELUM ADA PRODUK MUDHOROBAH, KENAPA ? – BAGIAN 1 maka kami akan melanjutkan alasan kami berikutnya.

Tahukah anda, bahwa kebanyakan transaksi mudhorobah yang lazim saat ini mengandung riba? Tentunya kecuali mereka yang dirahmati Allah, yang sudah berilmu dan berhati-hati dalam bertransaksi.

Kami akan ambil contoh alasan kami lainnya, bahwa kebanyakan Pemilik Modal (shohibul maal) saat akan bermuamalah mudhorobah, mereka terkesan hanya mau BAGI UNTUNG namun TIDAK MAU BAGI RUGI. Padahal, yang namanya akad MUDHOROBAH, kedua belah pihak harus paham untuk SIAP UNTUNG & SIAP RUGI. Namun, kami pun tidak menafikan banyaknya Pelaku Usaha (mudhorib) saat ini  yang tidak amanah, yang berimbas pada tingkat kepercayaan yang semakin turun dari Pemilik Modal. Padahal Pemilik Modal hanya  ingin agar uangnya aman diperuntukkan sesuai perjanjian yang disepakati.

Namun pada tulisan ini kami belum membahas tentang Pelaku Usaha (mudharib), hanya sebatas Pemilik Modal, dalam hal ini semisal kami, koperasi syariah arrahmah, yang kami akui saat tulisan ini kami buat, kami juga belum siap bertransaksi mudhorobah.

Silahkan saja anda cek keumuman transaksi yang terjadi di masyarakat saat ini, baik perorangan maupun lembaga yang melabelkan dirinya “SYARIAH”. Apakah SUDAH SIAP RUGI atau belum.

Salah satu tujuan tulisan kami ini sekaligus ingin agar pembaca paham, bagaimana MUDHOROBAH yang SYAR’I, sehingga jika memang koperasi, lembaga pembiayaan, perbankan yang katanya berlabel “SYARIAH” belum siap secara ilmu atau SDM untuk transaksi ini, maka lebih baik menahan diri agar tidak terjerumus dalam dosa riba, sebagaimana yang kami lakukan saat ini di koperasi kami.

Kali ini kami ingin mengangkat artikel yang sedikit lebih panjang dari sebelumnya, sehingga pengunjung website kopsyaharrahmah menjadi semakin paham kenapa kami belum membuka produk MUDHORBAH. Simak tulisan dibawah ini, semoga bermanfaat.

————————————————————–

Empat bulan sebelum Idul Adha 2010, saya mengajukan proposal “gaduh” sapi – Semacam penggemukan sapi yang sudah mencapai usia kurban–. Diharapkan dengan datangnya moment idul adha, harga sapi menjadi naik pesat. Proposal itu saya ajukan ke salah satu BMT – sebut saja BMT X – dengan akad mudharabah. Ketika proposal disetujui, pihak BMT memberi beberapa pilihan kerja sama. Saya-pun memilih mudharabah murni. Harapan saya, dengan pilihan ini saya bisa terbebas dari transaksi riba. Akhirnya, pihak BMT X merujuk ke rekanan BMT lain yang lebih besar di daerah Jalan Gedongkuning, Yogyakarta. Karena untuk penawaran pembiayaan 50 juta ke atas, BMT X belum siap menyediakan.

Singkat cerita, saya-pun datang ke BMT yang dirujuk, melalui perantara BMT X. Dengan suka rela, petugas menerima tawaran saya. Hanya saja mereka meminta agar saya memberikan jaminan dan terdaftar sebagai anggota BMT (baca: nasabah). Ketika saya tanya alasannya, mereka menjawab bahwa semua itu hanya sebatas untuk jaminan keamanan dan kepercayaan. Saya-pun menyanggupinya, dan saya serahkan BPKB motor sebagai jaminannya. Sebelum deal transaksi, saya bertanya: Andaikan dalam usaha saya ini mengalami kegagalan, yang sama sekali BUKAN karena keteledoran saya. Anggap saja, beberapa sapi mati karena sakit, apa saya harus mengembalikan modal utuh? “Ya, tetap harus mengembalikan. Minimal modalnya, meskipun tanpa keuntungan.” Jawab petugas BMT itu.

Berbekal dengan beberapa pengetahuan tentang ekonomi syariah, saya mencoba mengkritisi, “Maaf Pak,kalo akadnya semacam ini, saya nyatakan itu bukan mudharabah. Tapi ini akad riba. Pihak BMT hanya menyediakan bagi keuntungan, dan tidak mau bagi kerugian. Ini riba.” Petugas itu beralasan, “Lalu dari mana saya harus mengembalikan uang nasabah. Itu uang banyak orang. Kecuali kalo rugi karena bencana alam. Jelas itu nanti kami semua yang nanggung. Tapi, biasanya jarang kok sampai mengalami kerugian.” Saya mulai berani menjelaskan, “Sebenarnya, bukan masalah untuk rugi ketika usaha, tapi yang lebih penting adalah menentukan akad. Karena ini yang membedakan riba dan bukan riba. Meskipun, andaikan usaha saya untung, namun akad di awal, pihak pemodal tidak siap menanggung kerugian, maka itu bukan akad mudharabah yang sesuai syari’at. Itu akad pinjam uang (baca: utang), bukan mudharabah.” Akhirnya, sang petugas itu-pun mengakui, “Ya, kami paham semacam ini belum sesuai syari’at. Tapi dari mana kami harus mengembalikan uang nasabah.”

Ya, itulah sekelumit kejadian yang selalu terngiang-ngiang dalam diri saya. Perasaan saya meledak-ledak untuk menulis kejadian itu. Kamuflase label syariah tidak menjamin 100% sesuai syariah. Karena, hukum halal-haram ditentukan dari hakikat transaksi dan bukan labelnya. Bangkai selamanya dihukumi haram, meskipun dikemas dengan disertai label halal. Namun, ada satu hal yang sedikit membanggakan, petugas BMT telah mengakui, akad mudharabah yang selama ini mereka jalankan pada hakikatnya tidak sesuai syariat. Meskipun, mereka belum berani melakukan perubahan.

Sekilas, bagi hasil mudharabah mirip dengan riba. Karena dalam mudharabah, pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pelaku usaha, dan jika untung dia mendapat kembalian yang lebih banyak dari modal yang dia serahkan. Akan tetapi, hukumnya bertolak belakang. Bagi hasil mudharabah hukumnya halal, sementara riba hukumnya haram. Bagi hasil diperoleh karena transaksi pemodalan, sementara riba diperoleh karena transaksi utang-piutang. Karena itu, penting bagi setiap pelaku usaha yang akrab dengan transaksi bagi hasil untuk memahami perbedaan antara mudharabah dengan utang piutang. Bagi yang ingin mempelajari perbedaan dua transaksi ini, bisa merujuk ke halaman berikut:https://www.pengusahamuslim.com/baca/artikel/995/perbandingan-antara-mudharabah-dengan-riba

Barangkali, ada satu hal lain yang juga patut untuk diluruskan, terkait perbedaan antara akad pembiayaan dengan proses penggunaan dana. Akad pembiayaan merupakan kesepakatan di awal yang disetujui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Inilah yang menentukan apakah transaksi yang dilakukan itu utang-piutang ataukah mudharabah.

Sebagai contoh, ketika ada dua orang melakukan transaksi pembiayaan, dengan kesepakatan, apapun yang terjadi pemilik modal minimal harus mendapatkan uangnya kembali secara utuh maka ini adalah akad utang-piutang. Meskipun pelaku usaha menggunakan uang yang dia pinjam untuk mengembangkan usahanya. Bahkan, meskipun dia mendapat keuntungan dari usahanya dengan memutar uang yang dia pinjam. Dalam keadaan ini, sang pemilik modal tidak berhak mendapat pembagian dari keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha.

Ulama Sepakat Pelaku Usaha Tidak Menanggung Kerugian Modal

Barangkali ada sebagian orang yang ingin mengetahui keterangan ulama tentang tanggung jawab kerugian dalam usaha bagi hasil. Berikut saya bawakan keterangan yang disebutkan dalam buku Fiqhul Muamalat, yang ditulis oleh sekelompok ulama (Majmu’ah al-Muallifin), jilid 1, halaman 456:

فقد اتفق الفقهاء على أن المضارب أمين على ما بيده من مال المضاربة , لأن هذا المال في حكم الوديعة , وإنما قبضه المضارب بأمر رب المال لا على وجه البدل والوثيقة. فلا يضمن المضارب إلا بالتفريط والتعدي شأنه في ذلك شأن الوكيل والوديع وسائر الأمناء

“Para ahli fiqh sepakat bahwa mudharib (pelaku usaha) adalah orang yang mendapatkan kepercayaan terhadap uang modal yang dia bawa. Karena, uang ini statusnya sebagaimana wadi’ah (barang titipan). Hanya saja, uang ini dia bawa atas rekomendasi dari pemilik modal, bukan untuk diganti dan dengan adanya jaminan. Karena itu, mudharib (pelaku usaha) tidak menanggung (kerugian), kecuali jika hal itu disebabkan karena keteledoran dan kesalahannya. Kondisi mereka sebagaimana wakil (orang yang mendapat amanah), atau wadi’ (orang yang dititipi barang).”

Demikian, semoga bermanfaat.

***

Penulis: Ust. Ammi Nur Baits, S.T.

Sumber Artikel

 

Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH TIDAK MELAYANI SIMPAN PINJAM

Koperasi saat ini memang sangat identik dengan aktivitas simpan pinjam. Kebanyakan koperasi, baik konvensional maupun syariah bertopang pada kegiatan simpan pinjam sebagai produk andalan, terlepas dari namanya yang umum ataupun dengan label islami.

Namun Koperasi Syariah Arrahmah berbeda. Koperasi Syariah Arrahmah merupakan jenis koperasi konsumen yang yang beranggotakan para konsumen dengan menjalankan kegiatan jual beli, menjual barang konsumsi, dilakukan secara tunai/cash maupun kredit (cicil/tunda) Tujuan koperasi ini adalah untuk memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi anggotanya dengan cara mengadakan barang atau jasa yang murah, berkualitas, dan mudah didapat oleh koperasi.

Lantas timbul pertanyaan kenapa koperasi syariah arrahmah memilih jenis koperasi konsumen?

Hal ini disebabkan koperasi Konsumen Syariah Arrahmah sangat komitmen dengan transaksi yang tidak mengandung riba maupun transaksi yang bisa melanggar hukum syar’i. Koperasi Syariah Arrahmah memilih tranksasi yang selamat sehingga hasil yang diperoleh menjadi halal dan berkah. Sangat jelas sekali KAIDAH ISLAM mengatakan bahwa :

” Setiap Piutang yang Mendatangkan Keuntungan Adalah Riba”

Agar tidak dikatakan bahwa Koperasi Syariah Arrahmah hanya mengarang-ngarang suatu kaidah yang mungkin banyak berseberangan dengan yang lazimnya berlaku di masyarakat, silahkan simak tulisan dibawah sehingga kita menjadi paham kaidah diatas dan semakin berhati-hati saat akan bermuamalah dengan kaum muslimin atau lembaga semisal yang melayani transaksi simpan pinjam (utang piutang) namun ternyata mengandung riba.

Kaidah Penting Seputar Transaksi Riba: Setiap Keuntungan Dari Piutang Adalah Riba

 


Kaidah Pertama: Setiap Keuntungan dari Piutang Adalah Riba.

Ditinjau dari tujuannya, berbagai transaksi yang dilakukan oleh manusia dapat kita bagi menjadi tiga bagian:

  1. Transaksi yang bertujuan untuk mencari keuntungan, misalnya jual beli, sewa-menyewa, mudharabah dan lain-lain.
  2. Transaksi yang bertujuan memberikan bantuan uluran tangan dan meringankan kesusahan orang lain, misalnya hutang-piutang, peminjaman barang, penitipan barang, hibah dan lain-lain.
  3. Transaksi yang bertujuan memberikan jaminan kepada pihak lain, bahwa haknya tidak akan hilang, misalnya pegadaian, jaminan dan lain-lain.

Akad jenis kedua, biasanya terjadi antara orang yang sedang dalam kesusahan, sehingga ia membutuhkan pertolongan orang lain yang memiliki kelapangan dalam hal harta benda atau lainnya. Pada keadaan semacam ini, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk tidak memancing dalam air keruh. Bahkan bukan sekadar melarang, Islam juga menganjurkan umatnya untuk ikut andil dalam menjernihkan air yang sedang keruh; yaitu dengan cara memberikan pertolongan dan bantuan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ. رواه مسلم

“Dan Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama ia menolong saudaranya.” (HR Muslim)

Dalam hal hutang piutang, Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَة وأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُم تَعْلَمُون .البقرة: 280

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedakahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 280)

Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari al-Hanafi berkata, “Tidaklah ada orang yang sudi menanggung riba, selain orang yang sedang terhimpit oleh kebutuhan dan kesusahannya. Sehingga, seharusnya orang yang demikian ini dikasihani, disayangi dan ditolong. Oleh karena itu, orang-orang semacam ini biasanya berhak untuk menerima sedekah. Andaikata kita tidak bersedekah, maka paling tidak kita tidak meminta tambahan/bunga atas piutangnya. Akan tetapi, bila kita tetap juga meminta tambahan atas piutangnya, maka sikap ini menunjukkan, bahwa kita benar-benar tidak memiliki rasa iba dan sangat berambisi untuk menumpuk harta. Sudah barang tentu sikap ini tidak layak bagi orang yang beriman, bahwa ia akan meninggalkan kehidupan fana ini.” (Mahaasin al-Islam oleh Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari al-Hanafi, hal. 84)

Ucapan senada juga diutarakan oleh Ibnu Taimiyyah, “Pada asalnya, tidaklah ada orang yang sudi untuk bertransaksi dengan cara riba, selain orang yang sedang dalam kesusahan. Bila tidak, maka sudah barang tentu orang yang dalam kelapangan tidak mungkin rela untuk membeli barang seharga 1000 dengan harga 1200 dengan pembayaran dihutang, bila ia benar-benar sedang tidak membutuhkan uang 1000 tersebut. Orang yang rela untuk membeli barang dengan harga yang melebihi harga semestinya hanyalah orang yang sedang dalam kesusahan. Sehingga perbedaan harga kredit dengan kontan tersebut merupakan tindak kezhaliman kepada orang yang sedang mengalami kesusahan… dan riba benar-benar terwujud padanya tindak kezhaliman kepada orang yang sedang kesusahan. Oleh karenanya, riba sebagai lawan dari sedekah. Hal ini karena Allah tidaklah membebaskan orang-orang kaya, hingga mereka menyantuni orang-orang fakir karena kemaslahatan orang kaya dan juga fakir dalam urusan agama dan dunia tidak akan terwujud dengan sempurna, melainkan dengan cara tersebut.” (al-Qawaid an-Nuraniyah, hal. 116)

Dikarenakan alasan yang sangat mulia ini, syariat Islam mengharamkan setiap keuntungan yang dikeruk dari piutang, dan menyebutnya sebagai riba. Oleh karenanya, para ulama menegaskan hal ini dalam sebuah kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fikih, yaitu:

كل قرض جر نفعا فهو ربا

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.” (baca al-Muhadzdzaboleh asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 & 213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan lain-lain)

Imam asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata, “Tidak dibenarkan setiap piutang yang mendatangkan manfaat/keuntungan. Misalnya, ia menghutangi orang lain 1000 (dinar), dengan syarat penghutang menjual rumahnya kepada pemberi hutang, atau mengembalikannya dengan lempengan dinar yang lebih baik atau lebih banyak, atau menuliskan suftajah[1], sehingga ia diuntungkan dalam wujud rasa aman selama di perjalanan. Dalil hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نهى عن سلف وبيع

“Melarang salaf (piutang) bersama jual-beli.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan dihasankan oleh al-Albani)

Yang dimaksud dengan salaf ialah piutang, kata salaf adalah bahasa orang-orang Hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya -pen). Diriwayatkan dari sahabat Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhum, bahwa mereka semua melarang setiap piutang yang mendatangkan manfaat, karena piutang adalah suatu akad yang bertujuan untuk memberikan uluran tangan (pertolongan), sehingga bila pemberi piutang mensyaratkan suatu manfaat, maka akad piutang telah keluar dari tujuan utamanya.” (al-Muhadzdzab oleh Imam asy-Syairazy asy-Syafi’i, 1/304)

Muhammad Nawawi al-Bantaani berkata, “Tidak dibenarkan untuk berhutang uang atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan keuntungan bagi pemberi piutang, misalnya dengan syarat: pembayaran lebih atau dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudholah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu,

كل قرض جر منفعة فهو ربا

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan, maka itu adalah riba.” [2]

Maksudnya setiap piutang yang dipersyaratkan padanya suatu hal yang akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemberi piutang maka itu adalah riba. Bila ada orang yang melakukan hal itu, maka akad hutang-piutangnya batal, bila persyaratan itu terjadi pada saat akad berlangsung.” (Nihayatu az-Zain Fi Irsyad al-Mubtadiin oleh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi 242. Keterangan serupa juga dapat dibaca di Mughni al-Muhtaaj oleh asy-Syarbini, 2/119, Nihayatu al-Muhtaaj oleh ar-Ramli, 4/231)

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap keuntungan dalam hutang piutang, baik berupa materi atau jasa atau yang lainnya adalah haram, karena itu semua adalah riba. Bukan hanya mengharamkan riba, Islam juga membuka pintu-pintu kebaikan dan amal salih, yaitu dengan menganjurkan umatnya untuk menunda atau memaafkan haknya, Allah Ta’ala berfirman,

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan bila orang yang berhutang itu dalam kesusahan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 280)

Untuk sedikit mengetahui betapa besarnya pahala yang akan didapatkan oleh orang yang memberikan pertolongan kepada orang yang sedang kesusahan, maka saya mengajak pembaca untuk kembali merenungkan kisah berikut:

عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : أتى الله بعبد من عباده آتاه الله مالا، فقال له: ماذا عملت في الدنيا؟ قال: ]ولا يكتمون الله حديثا[ قال: يا رب آتيتني مالك، فكنت أبايع الناس، وكان من خلقي الجواز، فكنت أتيسر على الموسر وأنظر المعسر، فقال الله: أنا أحق بذا منك، تجاوزوا عن عبدي متفق عليه

“Sahabat Hudzaifah radhiallahu a’nhu menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘(Pada hari kiamat kelak) Allah mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah  bertanya kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan ketika di dunia?’ [Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian] (Qs. an-Nisa: 42) Ia pun menjawab, ‘Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan aku berjual beli dengan orang lain, dan kebiasaanku (akhlakku) adalah senantiasa memudahkan, aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu.’ Kemudian Allah berfirman, ‘Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Betapa indahnya syariat Islam dan betapa mulianya akhlak seseorang yang benar-benar mengamalkan ajaran agama Allah. Jika beranjak dari hati yang jernih dan objektif kita mau merenungkan syariat Islam yang berkaitan dengan hutang piutang ini, niscaya kita akan sampai pada keyakinan, bahwa syariat ini adalah syariat yang benar-benar datang dari Allah Ta’ala.

Footnote:

[1] Suftajah ialah semacam surat kuasa yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, sehingga dengan surat kuasa tersebut pemegang surat kuasa dapat mencairkan uangnya di tempat lain dari perwakilan pihak yang mengeluarkan surat tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa Suftajah pada zaman dahulu, berfungsi seperti fungsi cek pada zaman sekarang. Baca al-Misbah al-Munir oleh al-Fayyumi 1/278 dan al-Qamus al-Muhith oleh al-Fairuz Abadi 1/301.

[2] Ucapan Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu diriwayatkan oleh al-Baihaqi. Ucapan serupa juga diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salaam dan Anas bin Malik radhialahu ‘anhum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, di antaranya sahabat Abdullah bin Salaam dan Anas bin Maalik.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 29/334).

-bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri
Artikel www.PengusahaMuslim.com

Sumber artikel

Categories
ARTIKEL MUAMALAH

BARANG YANG DIKREDIT DIJADIKAN JAMINAN

Koperasi Syariah Arrahmah mewajibkan adanya jaminan pada jual beli kredit dengan minimal nominal tertentu. Namun keberadaan jaminan tersebut bukan dalam rangka merugikan salah satu pihak, melainkan untuk menjaga hak kedua belah pihak agar tidak mendzolimi dan terdzolimi. Prinsip keadilan benar-benar berusaha kami terapkan pada transaksi ini.

Koperasi syariah Arrahmah yang telah diberi amanah oleh anggota dan investor untuk mengelola harta mereka, maka wajib berupaya semaksimal mungkin jangan sampai usaha yang dikelola mendatangkan kerugian. Nasabah yang masih memiliki utang agar utangnya pada koperasi syariah Arrahmah tidak terbawa mati, karena di akhirat nanti, utang tersebut akan dibayar menggunakan pahala dari amal ibadahnya, atau menerima limpahan dosa dari pihak yang memiliki piutang. Maka keberadaan barang jaminan berupa apapun yang berharga, semisal surat berharga perlu diadakan agar mendatangkan kelegaan, serta untuk melindungi kedua belah pihak, di dunia dan di akhirat.

Timbul pertanyaan sebagian pihak, bolehkan barang yang dikredit (kreditan) dijadikan jaminan padahal belum lunas, maka silahkan simak tulisan dibawah ini yang semoga bermanfaat menambah khazanah ilmu kita.

===============================================================

Kredit dengan Jaminan Barang yang Dibeli?

Bolehkah menjadikan barang yang dijual sebagai barang gadai? Misalkan begini tadz, saya beli rumah dg kredit ke developer, dan sertifikat rumah dipegang developer sebagai jaminan.. bolehkah seperti itu? Sukron

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Dalam hadis dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَهْوَ بَاطِلٌ

Siapa yang mengajukan syarat, yang bertentangan dengan kitabullah maka statusnya batil. (HR. Bukhari 2155 & Muslim 3852)

Melihat dari sababul wurud hadis ini, salah satu diantara bentuk syarat yang bertentangan syariat adalah syarat yang tidak sejalan dengan konsekuensi akad.

Keberadaan gadai dalam akad jual beli, statusnya adalah bagian dari syarat dalam jual beli. Mengenai hukum menjaminkan barang yang dibeli secara kredit, di sana ada 2 pendapat ulama. perbedaan ini didasari pada perbedaan mereka dalam memahami keberadaan syarat ini, apakah bertentangan dengan konsekuensi akad ataukah tidak. Bagi yang menganggap ini bertentangan dengan konsekuensi akad menilai bahwa syarat penjaminan semacam ini tidak berlaku. Meskipun tidak mempengaruhi keabsahan jual beli.

Kita simak pendapat mereka masing-masing,

Pertama, syarat ini hukumnya terlarang objek transaksi sebagai barang gadai, bertentangan dengan konsekuensi akad. Karena tidak terjadi pemindahan kepemilikan dengan sempurna. Penjual masih menahan barang itu sebagai barang gadai.

Ini merupakan pendapat al-Ghazali, salah satu pendapat Imam Syafii, dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad.

Ibnu Hajar al-Haitami – ulama Syafiiyah w. 974 H –dalam fatwanya menyatakan,

لا يصح البيع بشرط رهن المبيع سواء أشرط أن يرهنه إياه قبل قبضه أم بعده

“Tidak boleh jual beli dengan syarat menjaminkan barang yang dibeli. Baik dia mensyaratkan agar digadaikan kepada penjual setelah diterima atau sebelum diterima.” (al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, 2/287).

Ibnu Qudamah menyebutkan perbedaan pedapat ini,

إذا تبايعا بشرط أو يكون المبيع رهنا على ثمنه لم يصح قاله ابن حامد وهو قول الشافعي لأن المبيع حين شرط رهنه لم يكن ملكا له سواء شرط أن يقبضه ثم يرهنه، أو شرط رهنه قبل قبضه

“Jika dua orang melakukan jual beli dengan syarat menjadikan barang yang dibeli sebagai jaminan atas harganya, maka syarat ini tidak sah. Ini pendapat Abu Hamid (al-Ghazali), dan pendapat as-Syafii. Karena ketika  barang yang dibeli dijadikan jaminan, berarti barang itu belum menjadi milik pembeli. Baik dia mempersyaratkan diterima dulu kemudian digadaikan atau mempersyaratkan digadaikan sebelum diterima.” (Al-Mughni, 4/461).

Kedua, dibolehkan menjadikan objek transaksi kredit sebagai barang gadai

Ini merupakan pendapat Abu Hanifah, Malik, salah satu pendapat as-Syafi’i, dan pendapat yang shahih dari Ahmad. Pendapat ini yang dinilai kuat oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Ibnul Qoyim, dan Ibnu Utsaimin.

Ibnul Qoyim mengatakan,

وهكذا في المبيع يشترط على المشتري رهنه على ثمنه حتى يسلمه إليه، ولا محذور في ذلك أصلاً، ولا معنىً، ولا مأخذاً قوياً يمنع صحة هذا الشرط والرهن، وقد اتفقوا أنه لو شرط عليه رهن عين أخرى على الثمن جاز، فما الذي يمنع جواز رهن المبيع على ثمنه؟

Demikian pula (dibolehkan)barang yang telah dijual (kredit), penjual mensyaratkan ke pembeli untuk menggadaikan barang tersebut hingga lunas pembayaran barang. Tidak ada larangan sama sekali. Tidak ada alasan kuat untuk menghalangi sahnya syarat dan barang gadai ini. Para ulama sepakat jika disyaratkan yang menjadi barang gadaian atas utang kredit adalah barang lain hukum persyaratannya boleh,  maka begitu juga hukumnya jika disyaratkan sebagai barang gadaian atas utang kredit barang yang dibeli itu.

Ibnul Qoyim juga menegaskan bahwa hukum ini berlaku baik barang telah diterima maupun belum diterima.

لا فرق بين أن يقبضه أو لا يقبضه على أصح القولين، وقد نص الإمام أحمد على جواز اشتراط رهن المبيع على ثمنه… وهو مذهب مالك وأبي حنيفة، وأحد قولي الشافعي، وبعض أصحاب الإمام أحمد، وهو الصحيح” (4/33)

Tidak ada beda, baik barangnya sudah diterima atau belum diterima, menurut pendapat yang kuat. Imam Ahmad menegaskan, bolehnya mempersyaratkan gadai barang yang dijual untuk harga yang belum lunas… ini pendapat Malik, Abu Hanifah, Ahmad, salah satu pendapat Syafiiyah, dan sebagian ulama hambali. Dan ini pendapat yang kuat.  (I’lam al-Muwaqqi’in, 4/33).

Inilah yang mejadi acuan keputusan Majma’ al-Fiqh al-Islami (divisi fikih OKI) dengan keputusan No. 51 (2/6) tahun 1990, menyatakan,

لا حق للبائع الاحتفاظ بملكية المبيع، ولكن يجوز للبائع أن يشترط على المشتري رهن المبيع عنده لضمان حقه في استيفاء الأقساط المؤجلة

Penjual tidak dibenarkan menahan kepemilikan barang yang dijual. Namun penjual boleh mensyaratkan kepada pembeli agar barang yang dibeli digadaikan sebagai jaminan untuk haknya selama masa pelunasan angsuran.   (Majalah al-Majma’, volume 6, 1/453)

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina PengusahaMuslim.com dan Konsultasisyariah.com)

Sumber

Tanya jawab lainnya :

Assalaamu’alaikum.

Ustadz, ada sebuah kasus: A meminjam uang kepada B.
A menjadikan barangnya sebagai jaminan, sedangkan barang tersebut dibeli oleh A secara kredit dan belum lunas pembayarannya. Apakah hal tersebut diperbolehkan? Jazaakumullohu khoiron

(Ummu Saif)

Jawab:

Wa’alaikum salam warahmatullahi wabarakatuhu.
Barang tersebut sudah menjadi miliknya dan menjadi tanggungannya, baik sudah lunas pembayarannya atau belum. Dengan demikian boleh baginya menjadikannya barang jaminan.

Wallahu a’lam.

Ustadz Abdullah Roy, Lc.

Sumber: tanyajawabagamaislam.blogspot.com

***

Keterangan:

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli kredit, dan pendapat yang insya Allah lebih kuat/rajih adalah BOLEH, dengan syarat tidak ada tambahan pembayaran apabila pembayaran angsurannya terlambat. Dan realitanya, banyak sekali praktek jual beli kredit yang ada sekarang ini (terutama di negara kita) TIDAK SESUAI dengan syariah Islam, oleh karena itu seyogyanya kita sebagai seorang muslim harus meneliti dan mencermati setiap akad yang akan kita jalankan.

Berikut ini kami kutip sebagian dari tulisan ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. tentang Jual Beli Kredit:

Hukum Perkreditan Langsung

Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:

Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)

Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.

Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.

اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.

Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.

Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).

Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).

Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:

من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه

“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره

“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.

Hukum Perkreditan Segitiga

Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:

Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.

Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.

Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.

Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?

Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.

Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.

Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.

Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:

Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:

عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم

Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)

Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.

عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه

“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berikut:

“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)([3])

Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.

Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:

قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ.

Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”([4])

Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])

Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.

Solusi

Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang. Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.

Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7

“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)

Artikel lengkap dapat dibaca pada link: Hukum Jual Beli Kredit di PengusahaMuslim.com

Sumber

Categories
SEPUTAR KOPERASI

UNDANGAN RAT 2016 KOPERASI KONSUMEN SYARIAH ARRAHMAH

Surat undangan RAT 2016 Koperasi Syariah Arrahmah
Surat undangan RAT 2016 Koperasi Syariah Arrahmah
Categories
ARTIKEL MUAMALAH

BELI LAPTOP TERBARU, HANDPHONE, MOTOR, ATAU LAINNYA SECARA KREDIT SEBAIKNYA BAGAIMANA ?

Koperasi Syariah Arrahmah memang memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang ingin membeli barang secara kredit dengan berbagai alasan, dan alasan utama adalah karena beli lewat koperasi syariah Arrahmah insya Allah selamat dari transaksi riba dan tidak ada denda terlambat bayar. Silahkan anda beli laptop keluaran terbaru, handphone terbaru, motor, tablet android,  atau lainnya melalui koperasi kami. Bisa secara kredit atau cash.

Alhamdulillah sudah banyak produk barang yang bisa dibeli melalui koperasi syariah arrahmah. Transaksi Murabahah yang sudah bisa dilakukan melalui koperasi Syariah Arrahmah yakni :

  1. Rumah (jangka waktu maksimal 3 tahun)
  2. Tanah (jangka waktu maksimal 3 tahun)
  3. Mobil (jangka waktu maksimal 3 tahun)
  4. Motor (jangka waktu maksimal 3 tahun)
  5. Elektronik (jangka waktu maksimal 1 tahun)
  6. Komputer & Laptop (jangka waktu maksimal 1 tahun)
  7. Gadget (jangka waktu maksimal 1 tahun)
  8. Handphone & Smartphone (jangka waktu maksimal 1 tahun)
  9. Perabot Rumah Tangga (jangka waktu maksimal 1 tahun)
  10. Lainnya

 

Insya Allah semua mudah jika seluruh persyaratan terpenuhi.

Namun kami kembali mengingatkan kaum muslimin agar selalu membeli barang sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Ketika anda benar-benar membutuhkan, maka silahkan beli dan manfaatkan kemudahan dari kami, membeli secara kredit yang syar’i. Dan hendaklah  jangan sampai anda memperturutkan semua keinginan hati. Hal ini disebabkan Islam bahkan sudah mengatur bagaimana seorang muslim membelanjakan rizki/hartanya. Simak tulisan dibawah ini agar anda paham bagaimana sebaiknya anda mengatur dan memanfaatkan rejeki yang sudah dianugerahkan Allah kepada kita.

Selamat membaca, semoga bermanfaat.

========================================================================

Agama Islam yang sempurna telah mengatur dan menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk menyelenggarakan semua urusan dalam hidup mereka, untuk kemaslahatan dan kebaikan mereka dalam urusan dunia maupun agama.

Allah Ta’ala berfirman,

{وَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ}

Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri” (QS an-Nahl:89).

Dan ketika sahabat yang mulia, Salman al-Farisy ditanya oleh seorang musyrik: Sungguhkah nabi kalian (nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar? Salman menjawab: “Benar, beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau ketika buang air kecil…[1].

Tidak terkecuali dalam hal ini, masalah yang berhubungan dengan mengatur dan membelanjakan rizki/penghasilan, semua telah diatur dalam al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.

Misalnya, tentang keutamaan menginfakkan harta untuk kebutuhan keluarga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ»

Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampaipun makanan yang kamu berikan kepada istrimu[2].

Kewajiban Mengatur Pembelanjaan Harta

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

«لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ»

Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya[3].

Hadits yang agung ini menunjukkan kewajiban mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hal-hal yang baik dan diridhai oleh Allah, karena pada hari kiamat nanti manusia akan dimintai pertanggungjawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di dunia[4].

Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai bagi kalian tiga perkara…(di antaranya) idho’atul maal (menyia-nyiakan harta)[5].

Arti “idho’atul maal” (menyia-nyiakan harta) adalah menggunakannya untuk selain ketaatan kepada Allah Ta’ala, atau membelanjakannya secara boros dan berlebihan[6].

Antara Pemborosan dan Penghematan yang Berlebihan

Sebaik-baik cara mengatur pembelanjaan harta adalah dengan mengikuti petunjuk AllahTa’ala, sebagaimana dalam firman-Nya:

{وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا}

Dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS al-Furqaan:67).

Artinya: mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan)[7].

Juga dalam firman-Nya,

{وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا}

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu (terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu boros), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal” (QS al-Israa’:29).

Imam asy-Syaukani ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata: “Arti ayat ini: larangan bagi manusia untuk menahan (hartanya secara berlebihan) sehingga mempersulit dirinya sendiri dan keluarganya, dan larangan berlebihan dalam berinfak (membelanjakan harta) sampai melebihi kebutuhan, sehingga menjadikannnya musrif (berlebih-lebihan/mubazir). Maka ayat ini (berisi) larangan dari sikap ifrath (melampaui batas) dan tafrith (terlalu longgar), yang ini melahirkan kesimpulan disyariatkannya bersikap moderat, yaitu (sikap) adil (seimbang) yang dianjurkan oleh Allah”[8].

Waspadai Fitnah (Kerusakan) Harta!

Perlu diwaspadai dalam hal yang berhubungan dengan pembelanjaan harta, fitnah (kerusakan) yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta tersebut, sebagaimana yang telah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,

«إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ»

Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta”.[9]

Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya,

{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ}

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS at-Tagaabun:15)[10].

Kerusakan lain yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah sifat tamak/rakus dan ambisi untuk mengejar dunia, karena secara tabiat asal nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya[11], kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau: “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga[12].

Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut. Sehingga tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada akhirnya[13].

Dalam hal ini, salah seorang ulama salaf  berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan[14].

Zuhud dalam Masalah Harta

Zuhud dalam harta dan dunia bukanlah dengan meninggalkannya, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Ta’ala. Akan tetapi zuhud dalam harta adalah dengan menggunakan harta tersebut sesuai dengan petunjuk Allah Ta’ala, tanpa adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta tersebut. Atau dengan kata lain, zuhud dalam harta adalah tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta yang dimiliki, dengan segera menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah Ta’ala.

Inilah arti zuhud yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata: “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi”[15].

Salah seorang ulama salaf berkata: “Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal, dan juga bukan dengan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud di dunia adalah dengan kamu lebih yakin dengan (balasan kebaikan) di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika kamu ditimpa suatu musibah (kehilangan sesuatu yang dicintai) maka kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanan (kebaikannya diakhirat kelak) daripada jika sesuatu yang hilang itu tetap ada padamu”[16].

Jangan Lupa Menyisihkan Sebagian Harta untuk Sedekah

Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ}

Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya” (QS Sabaa’:39).

Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya” yaitu dengan keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat[17].

Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ»

Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya[18].

Arti “tidak berkurangnya harta dengan sedekah” adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Ta’ala jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hal-hal yang akan merusaknya di dunia, juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah Ta’ala di akhirat kelak, meskipun harta tersebut berkurang secara kasat mata”[19].

Maka keutamaan besar ini jangan sampai diabaikan oleh keluarga muslim ketika mereka mengatur pembelanjaan harta, dengan cara menyisihkan sebagian dari rizki yang Allah Ta’alaberikan kepada mereka, untuk disedekahkan kepada fakir miskin.

Harta yang disisihkan untuk sedekah tidak mesti besar, meskipun kecil tapi jika dilakukan dengan ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya, maka akan bernilai besar di sisi Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kalian (selamatkanlah diri kalian) dari api nereka walaupun dengan (bersedekah dengan) separuh buah kurma[20].

Dalam hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik (meskipun) kecil, walaupun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria[21].

Dan lebih utama lagi jika sedekah tersebut dijadikan anggaran tetap dan amalan rutin, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal (ibadah) yang paling dicintai AllahTa’ala adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit[22].

Nasehat dan Penutup

Kemudian yang menentukan cukup atau tidaknya anggaran belanja keluarga bukanlah dari banyaknya jumlah anggaran harta yang disediakan, karena berapa pun banyaknya harta yang disediakan untuk pengeluaran, nafsu manusia tidak akan pernah puas dan selalu memuntut lebih.

Oleh karena itu, yang menentukan dalam hal ini adalah justru sifat qana’ah (merasa cukup dan puas dengan rezki yang Allah berikan) yang akan melahirkan rasa ridha dan selalu merasa cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Sebagaimana sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam,Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)[23].

Sifat qana’ah ini adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya[24].

Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[25].

Lebih daripada itu, orang yang memiliki sifat qana’ah dialah yang akan meraih kebaikan dan kemuliaan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak banyak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang AllahTa’ala berikan kepadanya”[26].

Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita semua sifat qana’ah dan semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, serta memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dengan baik dan benar, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 27 Jumadal ula 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id


[1] HSR Muslim (no. 262).

[2] HSR al-Bukhari (no. 56) dan Muslim (1628).

[3] HR at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam “as-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.

[4] Lihat kitab “Bahjatun naazhirin syarhu riyaadhish shaalihin” (1/479).

[5] HSR al-Bukhari (no.1407) dan Muslim (no.593).

[6] Lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadits wal atsar” (3/237).

[7] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/433).

[8] Kitab “Fathul Qadiir” (3/318).

[9] HR. Tirmidzi no. 2336, shahih.

[10] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/507).

[11] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 84 – Mawaaridul amaan).

[12] HSR al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116).

[13] Kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83-84, Mawaaridul amaan).

[14] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83 – Mawaaridul amaan).

[15] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/384).

[16] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/179).

[17] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/713).

[18] HSR Muslim (no. 2588).

[19] Lihat kitab “Syarhu shahihi Muslim” (16/141) dan “Faidhul Qadiir” (5/503).

[20] HSR al-Bukhari (no. 1351) dan Muslim (no. 1016).

[21] HSR Muslim (no. 2626).

[22] HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).

[23] HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 120).

[24] HSR Muslim (no. 34).

[25] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 81).

[26] HSR Muslim (no. 1054).

Sumber artikel

Categories
ARTIKEL MUAMALAH

PENGEN PUNYA RUMAH (KPR) TAPI TIDAK RIBA & YANG PENTING BISA CICIL / KREDIT

Banyak nasabah kami datang ingin kredit rumah. Tahun 2012 ketika tahun awal pendirian koperasi, kami belum bisa melayani kredit kpr atau kredit pemilikan rumah. Hal ini berlangsung hingga tahun 2014. Alhamdulillah, di tahun 2015, kami sudah mulai membuka peluang bagi nasabah yang ingin kredit rumah atau ruko. Sudah beberapa transaksi kami lakukan dengan nasabah, namun karena masih terbatasnya modal yang kami miliki, kami hanya mampu melayani kpr dengan jangka waktu maksimal 3 (tiga) tahun. Seperti transaksi barang lainnya, diantara hal yang syariah di koperasi kami adalah kami tidak ada denda saat anda terlambat membayar, dan kami juga tidak mengenakan penalti ketika anda memiliki kelebihan rejeki sehingga hendak segera melunasi utang anda tersebut.

Insya Allah seiring dengan bertambahnya modal dan sdm kami, kami berharap ke depan kami bisa membuka kpr dengan jangka waktu yang lebih lama.

Ada baiknya, sebelum anda membeli rumah, baik melalui kami, atau selain kami, anda memiliki ilmu tentang persyaratan hukum KPR terlebih dahulu sehingga anda paham dan bisa selamat dari transaksi yang mungkin bisa menjerumuskan anda ke dalam dosa transaksi yang mengandung riba.

Berikut kami sampaikan artikel yang semoga bermanfaat.

Hukum Kredit Rumah KPR

Kita tahu kebutuhan akan rumah sangat ini begitu urgent. Ada yang menempuh jalan menunggu uangnya terkumpul dalam waktu lama barulah memiliki rumah. Dan ada yang ingin segera dapat rumah lewat cara kredit. Salah satu cara yang ditempuh adalah kredit KPR. Bagaimana hukum kredit rumah KPR tersebut?

Berutang Memang Tidak Masalah Ketika Tidak Merasa Sulit

Dari Ummul Mukminin Maimunah,

كَانَتْ تَدَّانُ دَيْنًا فَقَالَ لَهَا بَعْضُ أَهْلِهَا لاَ تَفْعَلِى وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَالَتْ بَلَى إِنِّى سَمِعْتُ نَبِيِّى وَخَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ  مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا

Dulu Maimunah ingin berhutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kekasihku shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkan baginya untuk melunasi hutang tersebut di dunia”. (HR. Ibnu Majah no. 2408 dan An Nasai no. 4690. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dari hadits ini ada pelajaran yang sangat berharga yaitu boleh saja kita berhutang, namun harus berniat untuk mengembalikannya. Perhatikanlah perkataan Maimunah di atas.

Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ

Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Sedangkan ada dalil yang menegaskan tentang bahaya berutang, di antaranya adalah do’a Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat yang meminta perlindungan pada Allah dari sulitnya utang.

Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ  .

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di dalam shalat: Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak hutang).” Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan dari hutang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589).

Kata Ibnu Hajar, dalam Hasyiyah Ibnul Munir disebutkan bahwa hadits meminta perlindungan dari utang tidaklah bertolak belakang dengan hadits yang membicarakan tentang bolehnya berutang. Sedangkan yang dimaksud dengan meminta perlindungan adalah dari kesusahan saat berutang. Namun jika yang berutang itu mudah melunasinya, maka ia berarti telah dilindungi oleh Allah dari kesulitan dan ia pun melakukan sesuatu yang sifatnya boleh (mubah). Lihat Fathul Bari, 5: 61.

Berutanglah dengan Jalan yang Benar

Jika berutang dibolehkan saat mudah untuk melunasinya, bukan berarti kita asal-asalan saja dalam berutang dan di antara bentuknya adalah mengambil kredit. Karena jika di dalam utang dipersyaratkan mesti dilebihkan saat pengembelian, maka itu adalah riba dan hukumnya haram.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ

Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)

Kemudian Ibnu Qudamah membawakan perkataan berikut ini,

“Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah, lalu transaksinya terjadi demikian, maka tambahan tersebut adalah riba.”

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Abbas bahwasanya mereka melarang dari utang piutang yang ditarik keuntungan karena utang piutang adalah bersifat sosial dan ingin cari pahala. Jika di dalamnya disengaja mencari keuntungan, maka sudah keluar dari konteks tujuannya. Tambahan tersebut bisa jadi tambahan dana atau manfaat.” Lihat Al Mughni, 6: 436.

Nyata dalam Kredit KPR

Kenyataan yang terjadi dalam kredit KPR adalah pihak bank meminjamkan uang kepada nasabah dan ingin dikembalikan lebih. Jadi realitanya, bukanlah transaksi jual beli rumah karena pihak bank sama sekali belum memiliki rumah tersebut. Yang terjadi dalam transaksi KPR adalah meminjamkan uang dan di dalamnya ada tambahan dan ini nyata-nyata riba. Itu sudah jelas. Kita sepakat bahwa hukum riba adalah haram.

Penyetor Riba Terkena Laknat

Bukan hanya pemakan riba (rentenir) saja yang terkena celaan. Penyetor riba yaitu nasabah yang meminjam pun tak lepas dari celaan. Ada hadits dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).

Mengapa sampai penyetor riba pun terkena laknat? Karena mereka telah menolong dalam kebatilan. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits di atas bisa disimpulkan mengenai haramnya saling menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23).

Sehingga jika demikian sudah sepantasnya penyetor riba bertaubat dan bertekad kuat untuk segera melunasi utangnya.

Sudah Seharusnya Menghindari Riba

Jika telah jelas bahwa riba itu haram dan kita dilarang turut serta dalam transaksi riba termasuk pula menjadi peminjam, maka sudah sepantasnya kita sebagai seorang muslim mencari jalan yang halal untuk memenuhi kebutuhan primer kita termasuk dalam hal papan. Memiliki rumah dengan kredit KPR bukanlah darurat. Karena kita masih ada banyak cara halal yang bisa ditempuh dengan tinggal di rumah beratap melalui rumah kontrakan, sembari belajar untuk “nyicil” sehingga bisa tinggal di rumah sendiri. Atau pintar-pintarlah menghemat pengeluaran sehingga dapat membangun rumah perlahan-lahan dari mulai membeli tanah sampai mendirikan bangunan yang layak huni. Ingatlah sabda Rasul,

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesunggunya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan mengganti bagimu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad 5: 363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits inishahih).

Siapa saja yang menempuh jalan yang halal, pasti Allah akan selalu beri yang terbaik. Yang mau bersabar dengan menempuh cara yang halal, tentu Allah akan mudahkan. Yo sabar … Yakin dan terus yakinlah!

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

Referensi:

Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Hambali, terbitan Dar ‘Alamil Kutub, cetakan tahun 1432 H.

Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Selesai disusun selepas Zhuhur, 3 Dzulqo’dah 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul

Sumber artikel

Categories
ARTIKEL MUAMALAH

INGIN BELI MOBIL SECARA KREDIT TAPI KOK ADA ASURANSI, BAGAIMANA SOLUSINYA ?

Alhamdulillah,

Atas berkat rahmat dan pertolongan Allah, transaksi kredit di koperasi syariah arrahmah tidak menyertakan asuransi di dalamnya, sehingga selain harga menjadi jauh lebih murah, pemilik barang pun harus bertanggung jawab terhadap kendaraan motor atau mobil yang telah dibelinya melalui koperasi.

Agar semakin paham alasan kenapa koperasi syariah arrahmah tidak menerapkan asuransi dalam transaksi muamalah yang diterapkan bersama nasabah anggota koperasi, maka sebaiknya simak penjelasan dibawah ini

Pertanyaan:

Ada seseorang yang membeli mobil dengan cara mengangsur karena dia tidak bisa membeli mobil dengan cara mengangsur karena dia tidak bisa membelinya dengan cara tunai. Pada saat itu dia dipaksa oleh agen mobil ini untuk ikut asuransi yang menjamin mobilnya. Bagaimanakah pendapat Anda mengenai asuransi seperti ini dan asuransi-asuransi lainnya, sepeerti asuransi jiwa dan lain-lainnya?

Jawaban:

Pembelian mobil yang Anda lakukan dengan cara mengangsur itu boleh, jika keberadaan mobil itu diketahui dengan pasti, harganya pun diketahui dengan pasti, dan setiap angsuran dengan batas waktunya pun diketahui dengan pasti, dan setiap angsuran dengan batas waktunya pun diketahui dengan pasti. Adapun mengenai asuransi jaminan terhadap mobil Anda adalah haram. Demikian juga dengan asuransi jiwa, asuransi anggota tubuh atau asuransi barang dan segala asuransi perdagangan. Sebab, di dalamnya terkandung tipu daya dan unsur judi, serta memakan harta orang lain dengan cara tidak benar.

Wabillahit Taufiq. Dan mudah-mudahan Allah senantiasa melimpahkan kesejahteraan dan keselamatan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan para Sahabatnya.

Sumber: Fatwa-Fatwa Jual Beli, Pustaka Imam Syafii, 1424 H – 2004 M

Dipublikasikan oleh: KonsultasiSyariah.com

***

Keterangan:

Para ulama berbeda pendapat tentang hukum jual beli kredit, dan pendapat yang insya Allah lebih kuat/rajih adalah BOLEH, dengan syarat tidak ada tambahan pembayaran apabila pembayaran angsurannya terlambat. Dan realitanya, banyak sekali praktek jual beli kredit yang ada sekarang ini (terutama di negara kita) TIDAK SESUAI dengan syariah Islam, oleh karena itu seyogyanya kita sebagai seorang muslim harus meneliti dan mencermati setiap akad yang akan kita jalankan.

Berikut ini kami kutip sebagian dari tulisan ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A. tentang Jual Beli Kredit:

Hukum Perkreditan Langsung

Perkreditan yang dilakukan secara langsung antara pemilik barang dengan pembeli adalah suatu transaksi perniagaan yang dihalalkan dalam syari’at. Hukum akad perkreditan ini tetap berlaku, walaupun harga pembelian dengan kredit lebih besar dibanding dengan harga pembelian dengan cara kontan. Inilah pendapat -sebatas ilmu yang saya miliki-, yang paling kuat, dan pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama’. Kesimpulan hukum ini berdasarkan beberapa dalil berikut:

Dalil pertama: Keumuman firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمّىً فَاكْتُبُوهُ. البقرة: 282

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (Qs. Al Baqarah: 282)

Ayat ini adalah salah satu dalil yang menghalalkan adanya praktek hutang-piutang, sedangkan akad kredit adalah salah satu bentuk hutang, maka dengan keumuman ayat ini menjadi dasar dibolehkannya perkreditan.

Dalil kedua: Hadits riwayat ‘Aisyah radhiaalahu ‘anha.

اشترى رسول الله صلى الله عليه و سلم من يهوديٍّ طعاماً نسيئةً ورهنه درعَه. متفق عليه

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli sebagian bahan makanan dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang, dan beliau menggadaikan perisai beliau kepadanya.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli bahan makanan dengan pembayaran dihutang, dan sebagai jaminannya, beliau menggadaikan perisainya. Dengan demikian hadits ini menjadi dasar dibolehkannya jual-beli dengan pembayaran dihutang, dan perkreditan adalah salah satu bentuk jual-beli dengan pembayaran dihutang.

Dalil ketiga: Hadits Abdullah bin ‘Amer bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhu.

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم أمره أن يجهز جيشا قال عبد الله بن عمرو وليس عندنا ظهر قال فأمره النبي صلى الله عليه و سلم أن يبتاع ظهرا إلى خروج المصدق فابتاع عبد الله بن عمرو البعير بالبعيرين وبالأبعرة إلى خروج المصدق بأمر رسول الله صلى الله عليه و سلم. رواه أحمد وأبو داود والدارقطني وحسنه الألباني

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkanku untuk mempersiapkan suatu pasukan, sedangkan kita tidak memiliki tunggangan, Maka Nabi memerintahkan Abdullah bin Amer bin Al ‘Ash untuk membeli tunggangan dengan pembayaran ditunda hingga datang saatnya penarikan zakat. Maka Abdullah bin Amer bin Al ‘Ashpun seperintah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta yang akan dibayarkan ketika telah tiba saatnya penarikan zakat. Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ad Daraquthni dan dihasankan oleh Al Albani.

Pada kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan sahabat Abdullah bin ‘Amer Al ‘Ash untuk membeli setiap ekor onta dengan harga dua ekor onta dengan pembayaran dihutang. Sudah dapat ditebak bahwa beliau tidak akan rela dengan harga yang begitu mahal, (200 %) bila beliau membeli dengan pembayaran tunai. Dengan demikian, pada kisah ini, telah terjadi penambahan harga barang karena pembayaran yang ditunda (terhutang).

Dalil keempat: Keumuman hadits salam (jual-beli dengan pemesanan).

Diantara bentuk perniagaan yang diijinkan syari’at adalah dengan cara salam, yaitu memesan barang dengan pembayaran di muka (kontan). Transaksi ini adalah kebalikan dari transaksi kredit. Ketika menjelaskan akan hukum transaksi ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyaratkan agar harga barang tidak berubah dari pembelian dengan penyerahan barang langsung. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya bersabda:

من أسلف فليسلف في كيل معلوم ووزن معلوم إلى أجل معلوم. متفق عليه

“Barang siapa yang membeli dengan cara memesan (salam), hendaknya ia memesan dalam takaran yang jelas dan timbangan yang jelas dan hingga batas waktu yang jelas pula.” (Muttafaqun ‘Alaih)

Pemahaman dari empat dalil di atas dan juga lainnya selaras dengan kaedah dalam ilmu fiqih, yang menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal. Berdasarkan kaedah ini, para ulama’ menyatakan bahwa: selama tidak ada dalil yang shahih nan tegas yang mengharamkan suatu bentuk perniagaan, maka perniagaan tersebut boleh atau halal untuk dilakukan.

Adapun sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

من بَاعَ بَيْعَتَيْنِ في بَيْعَةٍ فَلَهُ أَوْكَسُهُمَا أو الرِّبَا. رواه الترمذي وغيره

“Barang siapa yang menjual jual penjualan dalam satu penjualan maka ia hanya dibenarkan mengambil harga yang paling kecil, kalau tidak, maka ia telah terjatuh ke dalam riba.” Riwayat At Tirmizy dan lain-lain, maka penafsirannya yang lebih tepat ialah apa yang dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dan lainnya([1]) , bahwa makna hadits ini adalah larangan dari berjual beli dengan cara ‘inah. Jual beli ‘Innah ialah seseorang menjual kepada orang lain suatu barang dengan pembayaran dihutang, kemudian seusai barang diserahkan, segera penjual membeli kembali barang tersebut dengan dengan pembayaran kontan dan harga yang lebih murah.

Hukum Perkreditan Segitiga

Agar lebih mudah memahami hukum perkreditian jenis ini, maka berikut saya sebutkan contoh singkat tentang perkreditan jenis ini:

Bila pak Ahmad hendak membeli motor dengan pembayaran dicicil/kredit, maka ia dapat mendatangi salah satu showrom motor yang melayani penjualan dengan cara kredit. Setelah ia memilih motor yang diinginkan, dan menentukan pilihan masa pengkreditan, ia akan diminta mengisi formulir serta manandatanganinya, dan biasanya dengan menyertakan barang jaminan, serta uang muka.([2]) Bila harga motor tersebut dangan pembayaran tunai, adalah Rp 10.000.000,-, maka ketika pembeliannya dengan cara kredit, harganya Rp 12.000.000,- atau lebih.

Setelah akad jual-beli ini selesai ditanda tangani dan pembelipun telah membawa pulang motor yang ia beli, maka pembeli tersebut berkewajiban untuk menyetorkan uang cicilan motornya itu ke bank atau ke PT perkreditan, dan bukan ke showrom tempat ia mengadakan transkasi dan menerima motor yang ia beli tersebut.

Praktek serupa juga dapat kita saksikan pada perkreditan rumah, atau lainnya.

Keberadaan dan peranan pihak ketiga ini menimbulkan pertanyaan di benak kita: mengapa pak Ahmad harus membayarkan cicilannya ke bank atau PT perkreditan, bukan ke showrom tempat ia bertransaksi dan menerima motornya?

Jawabannya sederhana: karena Bank atau PT Perkreditannya telah mengadakan kesepakatan bisnis dengan pihak showrom, yang intinya: bila ada pembeli dengan cara kredit, maka pihak bank berkewajiban membayarkan harga motor tersebut dengan pembayaran kontan, dengan konsekwensi pembeli tersebut dengan otomatis menjadi nasabah bank, sehingga bank berhak menerima cicilannya. Dengan demikian, seusai pembeli menandatangani formulir pembelian, pihak showrom langsung mendapatkan haknya, yaitu berupa pembayaran tunai dari bank. Sedangkan pembeli secara otomatis telah menjadi nasabah bank terkait.

Praktek semacam ini dalam ilmu fiqih disebut dengan hawalah, yaitu memindahkan piutang kepada pihak ketiga dengan ketentuan tertentu.

Pada dasarnya, akad hawalah dibenarkan dalam syari’at, akan tetatpi permasalahannya menjadi lain, tatkala hawalah digabungkan dengan akad jual-beli dalam satu transaksi. Untuk mengetahui dengan benar hukum perkreditan yang menyatukan antara akad jual beli dengan akad hawalah, maka kita lakukan dengan memahami dua penafsiran yang sebanarnya dari akad perkreditan segitiga ini.

Bila kita berusaha mengkaji dengan seksama akad perkreditan segitiga ini, niscaya akan kita dapatkan dua penafsiran yang saling mendukung dan berujung pada kesimpulan hukum yang sama. Kedua penafsiran tersebut adalah:

Penafsiran pertama: Bank telah menghutangi pembeli motor tersebut uang sejumlah Rp 10.000.000,- dan dalam waktu yang sama Bank langsung membayarkannya ke showrom tempat ia membeli motornya itu. Kemudian Bank menuntut pembeli ini untuk membayar piutang tersebut dalam jumlah Rp 13.000.000,-. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka ini jelas-jelas riba nasi’ah (riba jahiliyyah). Dan hukumnya seperti yang disebutkan dalam hadits berikut:

عن جابر قال: لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم آكل الربا وموكله وكاتبه وشاهديه، وقال: هم سواء. رواه مسلم

Dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaknati pemakan riba (rentenir), orang yang memberikan/membayar riba (nasabah), penulisnya (sekretarisnya), dan juga dua orang saksinya. Dan beliau juga bersabda: “Mereka itu sama dalam hal dosanya.” (Muslim)

Penafsiran kedua: Bank telah membeli motor tersebut dari Show Room, dan menjualnya kembali kepada pembeli tersebut. Sehingga bila penafsiran ini yang benar, maka Bank telah menjual motor yang ia beli sebelum ia pindahkan dari tempat penjual yaitu showrom ke tempatnya sendiri, sehingga Bank telah menjual barang yang belum sepenuhnya menjadi miliknya. Sebagai salah satu buktinya, surat-menyurat motor tersebut semuanya langsung dituliskan dengan nama pembeli tersebut, dan bukan atas nama bank yang kemudian di balik nama ke pembeli tersebut. Bila penafsiran ini yang terjadi, maka perkreditan ini adalah salah satu bentuk rekasaya riba yang jelas-jelas diharamkan dalam syari’at.

عن ابن عباس رضي الله عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم: من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه. قال ابن عباس: وأحسب كل شيء بمنزلة الطعام. متفق عليه

“Dari sahabat Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu, ia menuturkan: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” Ibnu ‘Abbas berkata: “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.” (Muttafaqun ‘alaih)

Pendapat Ibnu ‘Abbas ini selaras dengan hadits Zaid bin Tsabit radhiallahu ‘anhu berikut:

“Dari sahabat Ibnu Umar ia mengisahkan: Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemuiku dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberiku keuntungan yang cukup banyak, maka akupun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut) tiba-tiba ada seseorang dari belakangku yang memegang lenganku. Maka akupun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata: “Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.” (Riwayat Abu dawud dan Al Hakim)([3])

Para ulama’ menyebutkan beberapa hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah, karena kepemilikan penjual terhadap barang yang belum ia terima bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air dll, sehingga ketika ia telah menjualnya kembali, ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.

Dan hikmah kedua: Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma ketika muridnya yang bernama Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:

قلت لابن عباس: كيف ذاك؟ قال: ذاك دراهم بدراهم والطعام مرجأ.

Saya bertanya kepada Ibnu ‘Abbas: “Bagaimana kok demikian?” Ia menjawab: “Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”([4])

Ibnu Hajar menjelaskan perkatan Ibnu ‘Abbas di atas dengan berkata: “Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar –misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan yang ia jual masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual/ menukar (menghutangkan) uang 100 dinar dengan pembayaran/harga 120 dinar. Dan sebagai konsekwensi penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja, (akan tetapi berlaku juga pada komoditi perniagaan lainnya-pen).”([5])

Dengan penjelasan ini, dapat kita simpulkan bahwa pembelian rumah atau kendaraan dengan melalui perkreditan yang biasa terjadi di masyarakat adalah terlarang karena merupakan salah satu bentuk perniagaan riba.

Solusi

Sebagai solusi dari perkreditan riba yang pasti tidak akan diberkahi Allah, maka kita dapat menggunakan metode perkreditan pertama, yaitu dengan membeli langsung dari pemilik barang, tanpa menyertakan pihak ketiga. Misalnya dengan menempuh akad al wa’du bis syira’ (janji pembelian) yaitu dengan meminta kepada seorang pengusaha yang memiliki modal agar ia membeli terlebih dahulu barang yang dimaksud. Setelah barang yang dimaksud terbeli dan berpindah tangan kepada pengusaha tersebut, kita membeli barang itu darinya dengan pembayaran dicicil/terhutang. Tentu dengan memberinya keuntungan yang layak.

Dan bila solusi pertama ini tidak dapat diterapkan karena suatu hal, maka saya menganjurkan kepada pembaca untuk bersabar dan tidak melanggar hukum Allah Ta’ala demi mendapatkan barang yang diinginkan tanpa memperdulikan faktor keberkahan dan keridhaan ilahi. Tentunya dengan sambil menabung dan menempuh hidup hemat, dan tidak memaksakan diri dalam pemenuhan kebutuhan. Berlatihlah untuk senantiasa bangga dan menghargai rizqi yang telah Allah Ta’ala karuniakan kepada kita, sehingga kita akan lebih mudah untuk mensyukuri setiap nikmat yang kita miliki. Bila kita benar-benar mensyukuri kenikmatan Allah, niscaya Allah Ta’ala akan melipatgandakan karunia-Nya kepada kita:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ . إبراهيم 7

“Dan ingatlah tatkala Tuhanmu mengumandangkan: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku) maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (Qs. Ibrahim: 7)

Artikel lengkap dapat dibaca pada link: Hukum Jual Beli Kredit di PengusahaMuslim.com

Sumber