Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM

ADAB BERHUTANG – PENTING DIBACA SEBELUM BERTRANSAKSI DENGAN KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

Adab-berhutang

Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc

“Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ?” ucap salah seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka beliau menjawab : “Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?”

Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah persepsi dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali seorang muslim memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga diapun terlihat taat ke masjid, melakukan hal-hal yang sunat, seperti ; shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia terkadang mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak dan jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan, agar sebagai muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim dalam mu’amalahnya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka seyogyanya juga harus muslim juga dalam mu’amalahnya dengan manusia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)” [al-Baqarah/2: 208]

Oleh karenanya, dialog murid terkenal Imam Abu Hanifah tadi layak dicerna dan dipahami. Seringkali zuhud diterjemahkan dengan pakaian lusuh, makanan sederhana, atau dalam arti kening selalu mengkerut dam mata tertunduk, supaya terlihat sedang tafakkur. Akan tetapi, kalau sudah berhubungan dengan urusan manusia, maka dia tidak menghiraukan yang terlarang dan yang tercela.

Hutang-pihutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan bahan kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-pihutang merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan mu’amalat. Di dalam Al-Qur’an, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah hutang-pihutang ini, dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan seseorang yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.

HUTANG HARUS DIPERSAKSIKAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [al-Baqarah/2: 282]

Mengenai ayat ini, Ibnul Arabi rahimahullah di dalam kitab Ahkam-nya menyatakan : “Ayat ini adalah ayat yang agung dalam mu’amalah yang menerangkan beberapa point tentang yang halal dan haram. Ayat ini menjadi dasar dari semua permasalahan jual beli dan hal yang menyangkut cabang (fikih)” [1]

Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan” [2]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Maka tulislah …” maksudnya adalah tanda pembayaran untuk megingat-ingat ketika telah datang waktu pembayarannya, karena adanya kemungkinan alpa dan lalai antara transaksi, tenggang waktu pembayaran, dikarenakan lupa selalu menjadi kebiasaan manusia, sedangkan setan kadang-kadang mendorongnya untuk ingkar dan beberapa penghalang lainnya, seperti kematian dan yang lainnya. Oleh karena itu, disyari’atkan untuk melakukan pembukuan hutang dan mendatangkan saksi” [3]

“Maka tulislah…”, secara zhahir menunjukkan, bahwa dia menuliskannya dengan semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan hakim, apabila suatu saat perkara hutang-pihutang ini diangkat kepadanya. [4]

BOLEHKAH BERHUTANG?
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan syari’at,dan merupakan salah satu bentuk realisasi dari hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Baragsiapa yang melapangkan seorang mukmin dari kedurhakaan dunia, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melapangkan untuknya kedukaan akhirat”

Para ulama mengangkat permasalahan ini, dengan memperbandingkan keutamaan antara menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih utama?

Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syari’at, akan tetapi dalam sudut kebutuhan yang dharurat, sesungguhnya orang yang berhutang selalu berada pada posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia berhutang. Sehingga menghutangkan disebutkan lebih utama dari sedekah, karena seseorang yang diberikan pinjaman hutang, orang tersebut pasti membutuhkan. Adapun bersedekah, belum tentu yang menerimanya pada saat itu membutuhkannya.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata kepada Jibril : “Kenapa hutang lebih utama dari sedekah?” Jibril menjawab, “Karena peminta, ketika dia meminta dia masih punya. Sedangkan orang yang berhutang, tidaklah mau berhutang, kecuali karena suatu kebutuhan”. Akan tetapi hadits ini dhaif, karena adanya Khalid bin Yazid Ad-Dimasyqi. [5]

Adapun hukum asal berhutang harta kepada orang lain adalah mubah, jika dilakukan sesuai tuntunan syari’at. Yang pantas disesalkan, saat sekarang ini orang-orang tidak lagi wara’ terhadap yang halal dan yang haram. Di antaranya, banyak yang mencari pinjaman bukan karena terdesak oleh kebutuhan, akan tetapi untuk memenuhi usaha dan bisnis yang menjajikan.

Hutang itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hutang baik. Yaitu hutang yang mengacu kepada aturan dan adab berhutang. Hutang baik inilah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; ketika wafat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berhutang kepada seorang Yahudi dengna agunan baju perang. Kedua, hutang buruk. Yaitu hutang yang aturan dan adabnya didasari dengan niat dan tujuan yang tidak baik.

ETIKA BERHUTANG
1. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan tabi’at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang yang mengerti membalas budi.

Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. [6]

2. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tertera dalam surat Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia telah memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut, saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.

كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللَّهُ بِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian” [7]

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي

“Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dan menambahkannya” [8]

3. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.
a. Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b. Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c. Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya” [9]

Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas [10] Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan azam untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang berazam pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang baqa (kekal)?

4. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang meminjamkan dengan harga lebih mahal dari biasanya.

5. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوْا اْلأَمَاناَتِ إِلىَ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيْراً

” Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. [an-Nisa/4 : 58]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah : “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang” [HR Bukhari no. 2390]

Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.

a. Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata. :

أَنَّ رَجُلًا تَقَاضَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَغْلَظَ لَهُ فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُهُ فَقَالَ دَعُوهُ فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا وَاشْتَرُوا لَهُ بَعِيرًا فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ وَقَالُوا لَا نَجِدُ إِلَّا أَفْضَلَ مِنْ سِنِّهِ قَالَ اشْتَرُوهُ فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya”. Mereka (para sahabat) berkata : “Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari untanya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling baik dalam pembayaran” [11]

Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20

b. Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْم

“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman” [12]

Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. :

لَيُّ الوَاجِدِ يَحِلُّ عُقُوْبَتَه ُوَعِرْضه

“Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) keehormatannya”.

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan ‘engkau telah menunda pebayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya” [13]

c.. Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ

“Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya” [14]

d. Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.

Hasan berkata, “Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh memerdekakan, menjual atau membeli” [15]

Bahkan Dawud berkata, “Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia tidak diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu dilakukan, maka dikembalikan” [16]

Kemungkinan –wallahu a’lam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi melunasinya.

6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.

Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

7. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan solusi terakhir setelah semuanya terbentur.

8. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ

“Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya” [17]

9. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh ditolak
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ

“Menunda pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu kezhaliman. Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka hendaklah dia menurutinya. [18]

10. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. [19]

BAGI YANG MENGHUTANGKAN AGAR MEMBERI KERINGANAN KEPADA YANG BERHUTANG
Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan dari yang menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi pemberian pinjamannya tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu pembayaran. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan tujuan yang sangat baik ini dikotori dengan mengambil keuntungan dibalik kesusahan yang berhutang.

Di antara yang dapat dilakukan oleh yang menghutangkan kepada yang berhutang ialah.

1. Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
Misalnya, dengan uang satu juta rupiah yang dipinjamkannya tersebut, dia dapat beramal dengan kebaikan berikutnya, seperti meringankan pembayaran si penghutang, atau dengan boleh membayarnya dengan jumlah di bawah satu juta rupiah, atau bisa juga mengizinkan pembayarannya dilakukan dengan cara mengangsur, sehingga si penghutang merasa lebih ringan bebannya.

2. Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
Si pemberi pinjaman dapat pula berbuat baik degan memberi kelonggaran waktu pembayaran, sampai si penghutang betul-betul sudah mampu melunasi hutangnya.

Dari Hudzaifah Radhyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Suatu hari ada seseorang meninggal. Dikatakan kepadanya (mayit di akhirar nanti). Apa yang engkau perbuat? Dia menjawab. :

كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فَأَتَجَوَّزُ عَنْ الْمُوسِرِ وَأُخَفِّفُ عَنْ الْمُعْسِرِ فَغُفِرَ لَهُ

“Aku melakukan transaksi, lalu aku menerima ala kadarnya bagi yang mampu membayar (hutang) dan meringankan bagi orang yang dalam kesulitan. Maka dia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)”. [20]

3. Pemberi pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan cara membebaskan hutang, sehingga si penghutang tidak perlu melunasi pinjamannya.

Beginilah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih. Jika mereka ingin memberi pemberian, maka mereka melakukan transaksi jual beli terlebih dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya atau dia pinjamkan, kemudian dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua kebahagian dan akan menambah pahala bagi yang memberi.

Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli onta dari Jabir bin Abdullah dengan harga yang cukup mahal. Setibanya di Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran dan menghadiahakn onta yang telah dibeli tersebut kepada Jabir.

Contoh kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu dirham. Lalu dia keluar menuju masjid dan bertemu dengan Utsman. Thalhah berkata, “Uangmu telah cukup, maka ambillah!”. Namun Utsman menjawab : “Dia untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga muruah (martabat)mu”.

Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu merasa bahwa saudara-saudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya : “Mereka malu dengan hutangnya kepadamu”, dia (Qais) pun menjawab, “Celakalah harta, dapat menghalangi saudara untuk menjenguk saudaranya!”, Kemudian dia memerintahkan agar mengumumkan : “Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia telah lunas”. Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena banyaknya orang yang menjenguk. [21]

Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa memahami, bahwa Islam menginginkan kaum Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup mereka dengan mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Dalam permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya selalu demawan menginfakkan harta Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dititipkan kepadanya kepada jalan-jalan kebaikan. Di sisi lain, seorang yang fakir, hendaklah hidup dengan qana’ah dan ridha dengan apa yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya.

Semoga kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang, dianugerahkanNya ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang halal dan baik.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
_______
Footnote.
[1]. Ahkamul Qur’an, Ibnul Arabi, Beirut, Darul Ma’rifah, 1/247
[2]. Tafsir Quranil Azhim, 3/316
[3]. Ahkamul Qur’an, Ibnu Katsir, Madinah, Maktabah Jami’ Ulum wal Hikam, 1993, 1/247
[4]. Ibid
[5]. Sunan Ibnu Majah, no. 2431
[6]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 1416-1995, hal. 2/51
[7]. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305
[8]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394
[9]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387
[10]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[11]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390
[12]. Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427
[13]. Ibid, no. 2401
[14]. Ibid, no. 2402
[15]. Fathul Bari (5/62)
[16]. Ibid (5/54)
[17}. HR Abu Dawud, Al-Buyu, Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain
[18]. HR Bukhari, Al-Hawalah, no. 2288
[19]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2405
[20]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2391
[21].Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah, Tahqiq Ali Hasan bin Abdul Hamid, Oman, Dar Ammar, cet II, 1415-1994 hal. 262-263

Sumber: https://almanhaj.or.id/2716-adab-berhutang.html

Categories
ARTIKEL UMUM

SOSIALISASI DAN EDUKASI INVESTASI HALAL KREDIT BEBAS RIBA BERSAMA IBU-IBU RT PEMURUS DALAM BANJARMASIN SELATAN SERTA PNS KANTOR KECAMATAN BANJARMASIN TIMUR

[smartslider3 slider=7]

 

Alhamdulillah,

Beberapa waktu lalu, koperasi syariah Arrahmah yang diwakili oleh marketing representative officer Muhammad Ihsan telah melakukan sosialisasi sekaligus edukasi investasi halal dan kredit bebas riba di depan PNS Kantor Kecamatan Banjarmasin Timur pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2016 dan bersama ibu-ibu RT di aula Kelurahan Pemurus Dalam Banjarmasin Selatan pada hari Jumat tanggal 3 Juni 2016. Peserta sosialisasi cukup antusias saat menyimak materi yang disampaikan oleh karyawan koperasi syariah Arrahmah akhi Muhammad Ihsan .

Kegiatan ini kami lakukan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam dalam rangka untuk menyampaikan kepada masyarakat mengenai bahaya dosa riba yang sangat besar, namun karena minimnya pengetahuan mereka tentang riba mengakibatkan mereka banyak yang terjerumus dalam transaksi yang berbahaya ini.

Firman Allah subhanahu wata’ala,
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan barang siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah:275)

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. (QS. Al-Baqarah:276)

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah:279)

Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam juga bersabda, “Jauhilah tujuh dosa besar yang membawa kepada kehancuran,” lalu beliau sebutkan salah satunya adalah memakan riba. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits yang lain Nabi shallahu ‘alahi wasallam mengancam pelaku riba dengan lebih tegas, beliau bersabda,
“Dosa riba memiliki 72 pintu, dan yang paling ringan adalah seperti seseorang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (Shahih, Silsilah Shahihah no.1871)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Hakim dan dishahihkan oleh beliau sendiri, dijelaskan, “Bahwa satu dirham dari hasil riba jauh lebih besar dosanya daripada berzina 33 kali”.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dengan sanad yang shahih dijelaskan, “Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari hasil riba dan dia paham bahwa itu adalah hasil riba maka lebih besar dosanya daripada berzina 36 kali”

Demikianlah penjelasan quran dan hadits shahih dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam mengenai dosa riba yang sungguh mengerikan, dan mungkin tidak terbayangkan bahwa saat ini banyak diantara kita, saudara kita, keluarga kita, sahabat dan teman-teman kita yang sudah terjerumus dan terlanjur terjebak didalamnya.

Alhamdulillah, bagi warga Kalimantan Selatan, kini sudah ada solusinya. Koperasi Syariah Arrahmah insya Allah telah berkomitmen untuk menjadi solusi investasi halal dan kredit bebas riba.

Bagi kaum muslimin lainnya yang ingin dikunjungi dan menyimak sosialisasi dan edukasi dari koperasi syariah arrahmah, penjelasan detail mengenai company profile koperasi yang komit diatas jalan syariah, insya Allah menjadi solusi investasi halal dan kredit bebas riba, maka bisa menghubungi kantor kami :

Jl. Arjuna IV no. 20 Kel. Pemurus Dalam, Depan Masjid Al-Ummah, Banjarmasin, Kalsel,
– Telp/Fax. 0511 3277000
– Telp. 0511 678 3099
– Hp. +62 821 4838 0991
Email : info@kopsyaharrahmah.co.id

Hari kerja : Senin s.d Sabtu
Jam kerja : 08.30 s.d 16.30 wita
Waktu sholat fardhu 5 waktu TUTUP

Atau bisa juga langsung menghubungi

Marketing Represetative Officer Koperasi Syariah Arrahmah

Muhammad Ihsan – 0813 4834 8481

Insya Allah kami siap berkunjung ke instansi / perusahaan / lembaga / rumah Bapak/Ibu/Saudara(i).

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

INVESTASIKAN DANA ANDA DI KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH INSYA ALLAH BEBAS RIBA

deposito koperasi syariah arrahmah

Kita hidup di jaman penuh fitnah dimana riba merajalela.

Rasulullah sudah menggambarkan keadaan kita saat ini jauh-jauh hari saat beliau masih hidup.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Suatu saat nanti manusia akan mengalami suatu masa, yang ketika itu semua orang memakan riba. Yang tidak makan secara langsung, akan terkena debunya.” (Hr. Nasa`i, no. 4455, namun dinilai dhaif oleh al-Albani)

Meski secara sanad, hadits di atas adalah hadits yang lemah, namun makna yang terkandung di dalamnya adalah benar, dan zaman tersebut pun telah tiba. Betapa riba dengan berbagai kedoknya saat ini telah menjadi konsumsi publik, bahkan menjadi suatu hal yang mendarah daging di tengah banyak kalangan.

Begitulah kondisi kita saat ini.

Saat ini bertransaksi dengan perbankan sudah merupakan kebutuhan. Harta-harta yang kita miliki mungkin sebagian atau bahkan semuanya telah disimpan di bank, entah bank syariah atau bank konvensional. Entah itu berupa tabungan, ataupun deposito.

Kami dari Koperasi Syariah Arrahmah mengajak kaum muslimin yang sudah mulai paham tentang dosa riba, khawatir terkena dosa riba baik langsung atau tidak langsung, memiliki kelebihan rejeki dan dana yang hanya tersimpan tanpa terkelola dengan baik. Kami mengajak kaum muslimin agar mengalihkan dana / harta yang dimilikinya, baik tabungan ataupun deposito, untuk diinvestasikan dan dikelola oleh koperasi kami. Keuntungan berinvestasi di koperasi syariah Arrahmah bisa anda baca disini.

KEANGGOTAAN & INVESTASI

Kenapa kami sampaikan permasalahan mengenai deposito disini. Karena kami ingin agar kaum muslimin juga paham mengenai Hukum Halal dan Haram hasil Deposito yang saat ini masih dinikmati. Kami berikan solusi untuk anda agar harta anda bermanfaat bukan hanya untuk anda, namun juga kaum muslimin lainnya.

Simak artikel berikut supaya tidak ada penyesalan dikemudian hari. Semoga bermanfaat.

Pengertian Deposito

Salah satu produk yang diterbitkan oleh bank adalah deposito. Deposito adalah tabungan berjangka yang tidak boleh diambil sampai habis jangka waktu yang disepakati dengan mendapatkan prosentasi keuntungan dari uang yang didepositokan. Apabila mengambil uang yang telah didepositokan, maka akan terkena denda yang telah ditetapkan oleh bank.

Contoh dari penerapan deposito ini dimisalkan sebagai berikut:

Joko ingin memanfaatkan produk deposito. Dia mendepositokan uangnya sebesar Rp 50 juta dalam jangka waktu 3 bulan. Bunga deposito selama setahun adalah 5 %. Jadi dalam sebulan dia mendapatkan = Rp 50 juta x 5 % : 12 bulan = Rp 208.333,33/bulan. Kemudian penghasilan tersebut dipotong pajak penghasilan 20 %. Dengan demikian Joko dalam tiga bulan mendapatkan Rp 208.333,33 x 3 bulan = Rp 625.000,00 , sebelum dipotong pajak.

Joko tidak perlu khawatir dengan uang yang didepositokannya. Uang tersebut pasti mendapatkan keuntungan walaupun tidak begitu besar. Meskipun bank sedang pailit atau merugi, bank tetap harus membayarkan keuntungan/bunga dari uang yang didepositokan Joko.

Di lain sisi ada juga produk serupa yang diterbitkan oleh beberapa Lembaga Keuangan Syariah. Mereka menamakannya dengan mudharabah atau bagi hasil. Mereka menyatakan bahwa uang modal yang di-mudharabah-kan akan digunakan untuk usaha yang halal, sehingga menghasilkan keuntungan yang dapat dibagi setiap bulannya. Mereka menetapkan keuntungan yang besarnya diprosentasekan dari modal. Meskipun mereka menyatakan bahwa prosentasenya bisa berubah-ubah tergantung keadaan bank, tetapi keuntungan masih didapatkan meskipun bank dalam keadaan merugi atau usahanya merugi.

Bagaimana sebenarnya memahami kasus seperti ini? Apakah hal ini termasuk keuntungan yang halal ataukah hal ini mengandung unsur riba? Jika ini riba, bagaimana seharusnya solusi terbaik yang diberikan?

Memahami Riba

Sebelum kita membahas permasalahan ini, penulis perlu tekankan bahwa kita jangan terpengaruh dengan istilah/penamaan yang digunakan oleh berbagai lembaga keuangan. Kita harus melihat kepada hakikat transaksinya sehingga kita bisa menghukumi setiap permasalahan dengan tepat.

Kita juga harus paham bahwasanya yang dimaksud dengan riba atau lebih spesifik disebut riba nasiah adalah mengambil keuntungan dari hutang yang dipinjamkan.

Riba diharamkan oleh Allah secara mutlak, baik tambahannya banyak maupun sedikit, baik berupa uang lebih maupun manfaat atau jasa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan:

وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ

“… Dan riba jahiliah dihapuskan. Riba pertama yang saya hapuskan dari riba-riba kita adalah riba ‘Abbas bin Abdil-Muththalib. Sesungguhnya riba tersebut dihapuskan semuanya.”[Muslim no. 1218.]

Imam Asy-Syafii rahimahullah pernah menerangkan:

وَكَانَ مِنْ رِبَا الجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُوْنَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الدَّيْنُ فَيَحِلُّ الدَّيْنُ ، فَيَقُوْلُ لَهُ صَاحِبُ الدَّيْنِ : تَقْضِيْ أَوْ تربي ، فَإِنْ أَخَّرَهُ زَادَ عَليْه وَأَخَّرَه

“Di antara bentuk riba jahiliah adalah seseorang memiliki hutang kepada orang lain, kemudian hutang tersebut jatuh tempo, kemudian orang yang meminjamkan uang berkata, ‘Engkau bayar atau engkau tambahkan (ribakan)?’ Jika dia ingin mengakhirkannya, maka dia menambahnya.”[Lihat: Ma’rifatu As-Sunan Wal-Atsar lil-Baihaqi VIII/29 no. 3395]

Zaid bin Aslam rahimahullah pernah berkata:

كَانَ الرِّبَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الْحَقُّ إِلَى أَجْلٍ فَإِذَا حَلَّ الْحَقُّ قَالَ أَتَقْضِى أَمْ تُرْبِى فَإِنْ قَضَاهُ أَخَذَ وَإِلاَّ زَادَهُ فِى حَقِّهِ وَزَادَهُ الآخَرُ فِى الأَجَلِ.

“Dulu riba di masa jahiliah, seseorang memiliki suatu hak kepada orang lain sampat tempo tertentu. Apabila telah jatuh tempo, maka dia berkata, ‘Engkau mau membayarnya atau engkau tambahkan (ribakan)?’ Apabila dia bayar, maka dia ambil haknya dan jika tidak, maka orang tersebut menambahnya dan bertambah pula temponya.”[Muwaththa’Al- Imam Malik. Bab Maa Jaa-a fir-Riba fid-Dain, II/672 no. 1353]

Kaidah Memahami Riba

Para ulama juga telah membuatkan kaidah fiqhiyah untuk mengenal semua jenis riba, kaidah tersebut berbunyi:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا

“Setiap perhutangan yang menghasilkan manfaat (untuk orang yang meminjamkannya), maka dia adalah riba.”

Kaidah ini sangat penting untuk mengenal berbagai macam jenis riba saat ini.

Hukum Deposito Bank

Kalau kita perhatikan kasus di atas, maka kita bisa menghukumi bahwa deposito bank dan mudharabah LKS di atas masih mengandung riba di dalamnya sehingga diharamkan. Karena sebenarnya orang yang mendepositokan uangnya di bank, dia sedang meminjamkan uangnya kepada bank, kemudian dia mendapatkan keuntungan dari uang yang dipinjamkan tersebut, keuntungan tersebut pasti dia dapatkan dan tidak ada resiko untuk rugi apabila bank rugi.

Jika keuntungan yang didapat tidak lebih dari 10 %, boleh atau tidak?

Sebagian orang menyangka bahwa boleh mendepositokan uang dengan alasan hasil yang didapat jika tidak besar, maka tidak mengapa. Sebagian orang mengatakan bahwa jika tidak lebih dari 10 % maka tidak mengapa. Bagaimana menanggapi hal ini?

Memang ada yang berpendapat demikian. Mereka salah dalam memahami ayat ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan!”, (QS Ali ‘Imran: 130)

Mereka mengatakan bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlipat-lipat keuntungannya, sedangkan yang tidak berlipat-lipat maka tidak mengapa.

Mereka salah memahami ayat ini karena mereka mungkin tidak mengetahui bahwa larangan riba dilakukan dengan empat tahap pelarangan, yaitu sebagai berikut:

Tahap I: Firman Allah ta’ala:

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (39)

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kalian berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kalian berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS Ar-Rum: 39)

Pada ayat ini Allah hanya menyindir pelaku riba.

Tahap II: Firman Allah ta’ala:

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)

“ (160) Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, (161) Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS An-Nisa’: 160-161)

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa riba dilarang kepada orang-orang Yahudi, tetapi mereka masih melakukannya. Dan belum dijelaskan apakah riba juga diharamkan pada kaum muslimin.

Tahap III: Firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan!”, (QS Ali ‘Imran: 130)

Pada ayat ini Allah mulai mengharamkan riba, tetapi yang disinggung hanyalah riba yang berlipat ganda, sehingga sebagian sahabat menyangka bahwa riba yang sedikit masih tidak mengapa.

Tahap IV: Firman Allah ta’ala:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (277) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)

“ (275) Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

(276) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (277) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

(278) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. (279) Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 275-279)

Dengan memahami tahap-tahap ini, seseorang akan paham bahwa pada akhirnya riba diharamkan secara mutlak oleh Allah subhanahu wa ta’ala, baik banyak maupun sedikit.[Lihat: Fiqh sunnah 3/174 dan At-Tadarruj fi Tahriim Ar-Riba (www.hablullah.com)]

Dan dengan jelas juga diterangkan pada hadits di atas, bahwa riba dihapuskan seluruhnya dan riba yang pertama kali dihapuskan adalah riba ‘Abbas radhiallahu ‘anhu. Dan hadits tersebut adalah potongan dari khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di ‘Arafah. Sehingga perharaman riba secara mutlak adalah pengharaman terakhir sebelum beliau wafat.

Jika demikian, bagaimana solusi yang ditawarkan dalam syariat kita?

Di dalam Islam, permasalahan penanaman modal untuk mendapatkan keuntungan sudah diatur. Permasalahan ini disebut dengan mudharabah (bagi hasil)[Mudharabah yang sebenarnya dan bukan versi beberapa Lembaga Keuangan Syariat, penj]. Di dalam mudharabah terdapat: pemilik modal (shahibul-mal), pengusaha (mudharib), modal yang dikeluarkan (ra’sul-mal) dan pembagian keuntungan (ribh).

Pembagian keuntungan diprosentasekan dari keuntungan dan bukan dari modal, misal untuk pemilik modal 40 % dan untuk pengusaha 60 % atau pemilik modal 55 % dan pengusaha 45 %, sesuai kesepakatan antara mereka berdua di awal akad.

Apabila terjadi kerugian, maka pengusaha tidak mendapatkan apa-apa dan pemilik modal kehilangan modalnya. Inilah yang tidak dimiliki oleh lembaga keuangan.

Apabila terjadi sengketa, maka bisa diselesaikan dengan melihat amanat dari pengusaha. Jika pengusaha amanat dalam menjalankan usaha dan ternyata usaha merugi, maka pemilik modal tidak boleh menuntutnya. Akan tetapi, seandainya pengusaha tidak amanat dalam menggunakan harta, seperti: menggunakan untuk keperluan pribadinya, menggunakan modal tidak sesuai kesepakatan, maka pemilik modal bisa menuntut untuk dikembalikan modalnya.

Inilah solusi yang tepat yang diberikan oleh syariat. Daripada menggunakan produk deposito bank, maka solusi yang terbaik adalah dengan menjadikannya sebagai modal usaha. Bahkan kalau dihitung-hitung, maka keuntungan yang diperoleh dari mudharabah lebih besar daripada deposito bank.

Bukankah Bank-Bank Syariat telah menerapkan mudharabah jenis ini?

Hal tersebut tidak benar, karena dalam praktiknya mereka masih belum bisa lepas dari riba. Salah satu alasannya adalah mereka tidak diberi hak untuk berusaha mencari keuntungan selain dengan cara simpan dan pinjam saja.

Jika mereka mampu atau diizinkan menjadi perusahaan sendiri yang memiliki berbagai usaha halal dan orang-orang yang memiliki uang bisa menanamkan sahamnya di sana dengan kesiapan menanggung kerugian jika ternyata usahanya rugi dan mendapatkan keuntungan dari prosentase keuntungan bukan dari modal, maka hal tersebut menjadi solusi untuk kasus seperti ini.

Demikian tulisan singkat ini. Mudahan bermanfaat.

Daftar Pustaka:

  1. Al-Asybah wa An-Nazhair ‘ala Madzhabi Abi Hanifah An-Nu’man. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
  2. Al-Farqu Baina Al-Bai’ Wa Ar-Riba. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Ar-Riyadh: Dar Al-Qasim.
  3. Al-Mudharabah fi Asy-Syari’atil-Islamiyah. ‘Abdullah bin Hamd bin ‘Utsman Al-Khuwaithir. Ar-Riyadh: Dar Kanuz Isybilia.
  4. Fiqh As-Sunnah. Sayyid Sabiq. Beirut: Muassasah Ar-Risalah.
  5. Muwaththa’ Al-Imam Malik. Mesir: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi.
  6. Dan lain-lain sebagian sudah dicantumkan di footnotes.

 

Oleh: ustadz Said Yai Ardiansyah, MA

Sumber artikel

Download PROPOSAL sekaligus PROFIL KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM HANYA ANGGOTA SEPUTAR KOPERASI

LURUSKAN NIAT DALAM BERGABUNG DENGAN KOMUNITAS ANTI RIBA KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

no riba

Koperasi Syariah Arrahmah bukan sekedar koperasi yang didirikan atas prinsip mencari untung / kesejahteraan dunia semata. Menurut definisi hukum di Indonsia, Koperasi adalah merupakan singkatan dari kata ko / co dan operasi / operation. Koperasi adalah suatu kumpulan orang-orang untuk bekerja sama demi kesejahteraan bersama. Berdasarkan undang-undang nomor 12 tahun 1967, koperasi indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan beranggotakan orang-orang, badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Namun, kembali kami tekankan disini, Koperasi Syariah Arrahmah bukan sekedar sebagaimana disampaikan pada definisi diatas, melainkan insya Allah lebih dari itu. Melalui koperasi ini, diharapkan terbangun sebuah komunitas yang beranggotakan kaum muslimin yang anti riba karena yang bertransaksi adalah orang-orang yang paham dan sadar dosa serta bahaya riba. Koperasi ini juga diharapkan menjadi komunitas yang menjunjung tinggi kepercayaan dan amanah dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat, karena salah satu persyaratan untuk bertransaksi di koperasi Syariah Arrahmah adalah memiliki PENJAMIN. Adapun, tidak mungkin anggota bisa menjadi penjamin jika dia tidak jujur dan amanah dan tidak mungkin pula dia MAU MENJAMIN saudaranya, keluarganya, sahabatnya, temannya, jika yang akan dijamin tidak jujur maupun amanah dalam menjaga kepercayaan yang diberikan oleh saudaranya melalui koperasi kepadanya.

Koperasi Syariah Arrahmah insya Allah lebih dari sekedar koperasi syariah biasa. Kami sangat berharap anggota koperasi Syariah Arrahmah yang bergabung dalam komunitas ini kembali meluruskan niat bahwa semua dilakukan semata-mata karena Allah Ta’ala, untuk menjaga diri dan keluarga dari memperoleh harta dengan transaksi riba, demi menolong saudara lainnya agar mereka tidak terperosok ke dalam jurang dosa riba, serta saling menjaga kepercayaan dan amanah harta investasi yang dititipkan saudaranya untuk dikelola koperasi demi kemaslahatan bersama, kesejahteraan bersama, di dunia maupun kelak di akhirat.

Agar kita berilmu dan benar-benar paham kenapa harus berkomunitas melalui koperasi Syariah Arrahmah ataupun koperasi lain yang semisal dengannya, komunitas lain yang semisal dengannya, sebagaimana dijelaskan pada paragraf sebelumnya, maka penting bagi anda untuk membaca ulasan artikel berikut yang insya Allah bermanfaat bagi kehidupan di dunia, terlebih lagi di akhirat kelak. Semoga bermanfaat.

Komunitas Tak Jelas

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Setiap komunitas, menanamkan loyalitas. Mereka saling mencintai, saling membantu, saling menolong, saling membela, karena mereka satu komunitas.

Mereka bisa melakukan seperti itu, karena mereka memiliki satu ikatan yang sama. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena kesamaan itu.

Yang menjadi masalah adalah ikatan apa yang melatar belakangi terjalinnya komunitas itu?

Ada banyak ragam kesamaan, yang membuat manusia membangun komunitas.

Ada yang membangun komunitas, karena ikatan batu akik. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, penggemar batu akik.

Ada yang membangun komunitas karena Moge. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, pemilik moge.

Ada juga yang membangun komunitas karena mobil VW. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, pemilik VW.

Pun ada komunitas yang dibentuk karena kamera. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, sama-sama penggemar fotografi.

Meskipun ada yang membangun komunitas karena islam. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, mereka muslim ahlus sunah.

Dan masih banyak aneka ikatan komunitas yang dibentuk masyarakat.

Kita tentu yakin, semua yang kita lakukan ini tidak ada yang sia-sia. Semua akan dipertanggung jawabkan kelak di yaumul akhir. Sampaipun kegiatan ber-komunitas yang kita lakukan. Allah menegaskan,

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.

Isi surat az-Zalzalah. Inilah yang menjadi keyakinan kita. Sekecil apapun yang kita lakukan, akan dipertanggung jawabkan. Terlebih, dalam masalah loyalitas, di sana ada amal besar yang seharusnya diperhatikan. Bahkan para ulama mencamtumkannya dalam pembahasan aqidah. Itulah al-Wala’ wal Bara’.

Islam mengajarkan kepada kita, agar sikap loyalitas yang kita bangun, dilakukan atas dasar islam. Loyalitas, karena Allah ta’ala. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena Allah.

Ada banyak keutamaan, ketika seseorang membangun loyalitas karena Allah.

Pertama,  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai amal yang paling utama

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الأَعْمَالِ الْحُبُّ فِى اللَّهِ وَالْبُغْضُ فِى اللَّهِ

“Amal yang paling afdhal adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Ahmad 21909, Abu Daud 4601 dan dishahihkan al-Albani).

Kedua, Allah berikan janji, orang yang membangun loyalitas dengan sesamanya karena Allah, akan diberi naungan kelak di hari kiamat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلاَلِى الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِى ظِلِّى يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّى

Allah berfirman pada hari kiamat, “Dimanakah orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini akan Aku naungi dia, di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Ahmad 7432 & Muslim 6713).

Ketiga, amalan ini dibanggakan di hari kiamat, hingga para nabi iri kepadanya

Dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ لأُنَاسًا مَا هُمْ بِأَنْبِيَاءَ وَلاَ شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمُ الأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِمَكَانِهِمْ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى

Ada diantara manusia biasa hamba Allah, yang mereka buka nabi, bukan pula para syuhada. Namun para nabi dan para syuhada, iri kepadanya pada hari kiamat, karena kedudukan mereka yang dekat di sisi Allah Ta’ala.

“Ya Rasulullah, sampaikan kepada kami, siapakah mereka?” tanya para sahabat.

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan,

هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا بِرُوحِ اللَّهِ عَلَى غَيْرِ أَرْحَامٍ بَيْنَهُمْ وَلاَ أَمْوَالٍ يَتَعَاطَوْنَهَا

Mereka adalah orang yang saling mencintai karena Allah, bukan karena hubungan kerabat, bukan pula karena harta benda yang mereka miliki. (HR. Abu Daud 352, Ibn Hibban 573 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Allahu akbar… betapa agungnya janji indah Allah untuk amalan ini. Loyal karena Allah. saling mencintai dan saling membela, karena Allah.

Di saat yang sama, islam juga melarang, manusia membangun fanatisme karena suku dan golongan. Karena ini sumber perpecahan kaum muslimin. Mereka diikat dengan satu ikatan agama, namun mereka bercerai karena ikatan ormas dan komunitas.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan mengancam, jika ada orang yang mati karena berjuang membela suku, kelompok, ormasnya, maka dia mati jahiliyah. Artinya, mati dalam kondisi membawa dosa.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُو إِلَى عَصَبِيَّةٍ أَوْ يَغْضَبُ لِعَصَبِيَّةٍ فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

Siapa yang berjuang di bawah bedera ‘immiyah’, mengajak masyarakat kepada fanatisme kelompok, membela fanatisme kelompok, lalu dia terbunuh, maka dia mati jahiliyah. (HR. Ahmad 8164, Muslim 4892, dan yang lainnya).

Makna bendera ‘Immiyah’. Kita simak keterangan Ibnul Atsir,

Kata Immiyah mengikuti wazan fi’liyah, dari kata al-‘Ama’ [العماء], yang artinya kesesatan. Seperti orang yang berperang karena fanatisme golongan dan hawa nafsu. (an-Nihayah, 3/304)

Kata Fuad Abdul Baqi mellanjutkan keterangan Ibnul Atsir,

كالقتال في العصبية والأهواء وهي الأمر الذي لا يستبين وجهه . وهو كناية عن جماعة مجتمعين على أمر مجهول لا يعرف أنه حق أو باطل

Seperti orang yang berperang karena fanatisme golongan dan hawa nafsu, yang urusannya tidak jelas arahnya. Ini merupakan isyarat tentang sekelompok kominitas yang diikat dengan sesuatu tak jelas. Dia tidak tahu, apakah itu benar atau bathil. (Hasyiyah Ibnu Majah, untuk hadis no. 3948)

Apa yang bisa kita bayangkan, ketika di hari kiamat kita diadili kemudian ditanya, mengapa kamu membela fulan? Akankah kita menjawabnya,

Karena kita sama-sama punya moge…

Karena kita sama-sama punya VW…

Karena kita sama-sama penggemar akik…

Karena kita sama-sama orang lamongan…??!

Komunitas Hanya Komunitas

Jika anda menjamin, komunitas ini hanya terkait masalah dunia, maka jangan sampai terbangun loyalitas dan fanatisme. Hingga saling mencintai dan saling membela karena ikatan tidak jelas.

Pokoknya yang ada di komunitas ini akan dibela, apapun agamanya, bahkan sekalipun dia melanggar. Sekalipun harus berhadapan dengan tuntutan di pengadilan. Ini jelas loyalitas.

Karena itu, seharusnya komunitas hanya dijadikan alat bantu. Saling membantu melengkapi kekurangan yang kita butuhkan.

Anda penganut komunitas mobil tua, boleh saja berkumpul dengan sesama penggemar mobil tua. Sehingga ketika ada bagian sparepart yang anda butuhkan, anda tidak perlu susah mencarinya.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Sumber Artikel

 

Categories
SEPUTAR KOPERASI

UNDANGAN RAT 2016 KOPERASI KONSUMEN SYARIAH ARRAHMAH

Surat undangan RAT 2016 Koperasi Syariah Arrahmah
Surat undangan RAT 2016 Koperasi Syariah Arrahmah
Categories
ARTIKEL MUAMALAH

MENGENAL JUAL BELI MURABAHAH

Dewasa ini lembaga keuangan berlabel syari’at berkembang dalam skala besar dengan menawarkan produk-produknya yang beraneka ragam dengan istilah-istilah berbahasa Arab. Banyak masyarakat yang masih bingung dengan istilah-istilah tersebut dan masih ragu apakah benar semua produk tersebut adalah benar-benar jauh dari pelanggaran syari’at ataukah hanya rekayasa semata. Melihat banyaknya pertanyaan seputar ini maka dalam rubrik fikih kali ini kami angkat salah satu produk tersebut untuk melihat kehalalannya dalam tinjauan fikih islami.

Jual beli Murabahah (Bai’ al-Murabahah) demikianlah istilah yang banyak diusung lembaga keuangan tersebut sebagai bentuk dari Financing (pembiayaan) yang memiliki prospek keuntungan yang cukup menjanjikan. Sehingga semua atau hampir semua lembaga keuangan syari’at menjadikannya sebagai produk financing dalam pengembangan modal mereka [1]

Nama lain Jual Beli Murabahah ini

Jual beli Murabahah yang dilakukan lembaga keuangan syari’at ini dikenal dengan nama-nama sebagai berikut:

  1. al-Murabahah lil Aamir bi Asy-Syira’
  2. al-Murabahah lil Wa’id bi Asy-Syira’
  3. Bai’ al-Muwa’adah
  4. al-Murabahah al-Mashrafiyah
  5. al-Muwaa’adah ‘Ala al-Murabahah. [2]

Sedangkan di negara indonesia dikenal dengan jual beli Murabahah atau Murabahah Kepada Pemesanan Pembelian (KPP) [3]

Definisi Jual-Beli Murabahah (Deferred Payment Sale)

Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan) [4] Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. [5] Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.

Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka: Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana disampaikan ibnu Qudaamah [6], bahkan Ibnu Hubairoh [7] menyampaikan ijma’ dalam hal itu demikian juga al-Kaasaani [8].) [9]

Inilah jual beli Murabahah yang ada dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Namun jual beli Murabahah yang sedang marak di masa ini tidaklah demikian bentuknya. Jual beli Murabahah sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari’at lebih komplek daripada yang berlaku dimasa lalu [10]. Oleh karena itu para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi islam memberikan definisi berbeda sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda? Diantara definisi yang disampaikan mereka adalah:

  1. Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itudibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebutdengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi). [11]
  2. Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka. [12]
  3. Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan nilai barang tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi. [13]
  4. Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli.Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka. [14]

Definis-definisi diatas cukup jelas memberikan gambaran jual beli murabahah KPP ini.

Bentuk Gambarannya

Dari definisi diatas dan praktek yang ada di lingkungan lembaga keuangan syariat didunia dapat disimpulkan ada tiga bentuk:

1. Pelaksanaan janji yang mengikat dengan kesepakatan antara dua pihak sebelumlembaga keuangan menerima barang dan menjadi miliknya dengan menyebutkan nilai keuntungannya dimuka [15].

Hal itu (terjadi) dengan datangnya nasabah kepada lembaga keuangan memohon darinya untuk membeli barang tertentu dengan sifat tertentu. Keduanya bersepakat dengan ketentuan lembaga keuangan terikat untuk membelikan barang dan nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut. Lembaga keuangan terikat harus menjualnya kepada nasabah dengan nilai harga yang telah disepakati keduanya baik nilai ukuran, tempo dan keuntungannya. [16]

2. Pelaksanaan janji (al-Muwaa’adah) tidak mengikat pada kedua belah pihak. Hal itu dengan ketentuan nasabah yang ingin membeli barang tertentu, lalu pergi ke lembaga keuangan dan terjadi antara keduanya perjanjian dari nasabah untuk membeli dan dari lembaga keuangan untuk membelinya. Janji ini tidak dianggap kesepakatan sebagaimana juga janji tersebut tidak mengikat pada kedua belah pihak. Bentuk gambaran ini bisa dibagi dalam dua keadaan: a. pelaksanaan janji tidak mengikattanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka. b. Pelaksanaan janji tidak mengikatdengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya. [17]

3. Pelaksanaan janji mengikat lembaga keuangan tanpa nasabah. Inilah yang diamalkan di bank Faishol al-Islami di Sudan. Hal itu dengan ketentuan akad transaksi mengikat bank dan tidak mengikat nasabah sehingga nasabah memiliki hak Khiyar (memilih) apabila melihat barangnya untuk menyempurnakan transaksi atau menggagalkannya. [18]

Pernyataan para Ulama terdahulu tentang Jenis jual beli ini

Permasalahan jual beli murabahah KPP ini sebenarnya bukanlah perkara kontemporer dan baru (Nawaazil) namun telah dijelaskan para ulama terdahulu. Berikut ini sebagian pernyataan mereka:

Imam As-Syafi’i menyatakan: Apabila seorang menunjukkan kepada orang lain satu barang seraya berkata: Belilah itu dan saya akan berikan keuntungan padamu sekian. Lalu ia membelinya maka jual belinya boleh dan yang menyatakan: Saya akan memberikan keuntungan kepadamu memiliki hak pilih (khiyaar), apabila ia ingin maka ia akan melakukan jual-beli dan bila tidak maka ia akan tinggalkan. Demikian juga jika ia berkata: ‘Belilah untukku barang tersebut’. –Lalu ia mensifatkan jenis barangnya atau ‘barang’ jenis apa saja yang kamu sukai– dan saya akan memberikan keuntungan kepadamu’, semua ini sama. Diperbolehkan pada yang pertama dan dalam semua yang diberikan ada hak pilih (khiyaar). Sama juga dalam hal ini yang disifatkan apabila menyatakan: Belilah dan aku akan membelinya darimu dengan kontan atau tempo. Jual beli pertama diperbolehkan dan harus ada hak memilih pada jual beli yang kedua. Apabila keduanya memperbaharui (akadnya) maka boleh dan bila berjual beli dengan itu dengan ketentuan adanya keduanya mengikat diri (dalam jual beli tersebut) maka ia termasuk dalam dua hal:

1. Berjual beli sebelum penjual memilikinya.

2. Berada dalam spekulasi (Mukhathorah). [19]

Imam ad-Dardier dalam kitab asy-Syarhu ash-Shaghir 3/129 menyatakan: al-‘Inahadalah jual beli orang yang diminta darinya satu barang untuk dibeli dan (barang tersebut) tidak ada padanya untuk (dijual) kepada orang yang memintanya setelah ia membelinya adalah boleh kecuali yang minta menyatakan: Belilah dengan sepuluh secara kontan dan saya akan ambil dari kamu dengan dua belas secara tempo. Maka ia dilarang padanya karena tuduhan (hutang yang menghasilkan manfaat), karena seakan-akan ia meminjam darinya senilai barang tersebut untuk mengambil darinya setelah jatuh tempo dua belas. [20]

Jelaslah dari sebagian pernyataan ulama fikih terdahulu ini bahwa mereka menyatakan pemesan tidak boleh diikat untuk memenuhi kewajiban membeli barang yang telah dipesan. Demikian juga the Islamic Fiqih Academy (Majma’ al-Fiqih al-Islami) menegaskan bahwa jual beli muwaada’ah yang ada dari dua pihak dibolehkan dalam jual beli murabahah dengan syarat al-Khiyaar untuk kedua transaktor seluruhnya atau salah satunya. Apa bila tidak ada hak al-Khiyaar di sana maka tidak boleh, karena al-Muwaa’adah yang mengikat (al-Mulzamah) dalam jual beli al-Murabahah menyerupai jual beli itu sendiri, dimana disyaratkan pada waktu itu penjual telah memiliki barang tersebut hingga tidak ada pelanggaran terhadap larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang menjual yang tidak dimilikinya. [21]

Syeikh Abdul Aziz bin Baaz ketika ditanya tentang jual beli ini menjawab: Apabila barang tidak ada di pemilikan orang yang menghutangkannya atau dalam kepemilikannya namun tidak mampu menyerahkannya maka ia tidak boleh menyempurnakan akad transaksi jual belinya bersama pembeli. Keduanya hanya boleh bersepakat atas harga dan tidak sempurna jual beli diantara keduanya hingga barang tersebut dikepemilikan penjual. [22]

Hukum Bai’ Murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat (Ghairu al-Mulzaam)

Telah lalu bentuk kedua dari murabahah dengan pelaksanaan janji yang tidak mengikat ada dua:

  1. Pelaksanaan janji tidak mengikat tanpa ada penentuan nilai keuntungan dimuka. Hal ini yang rojih adalah boleh dalam pendapat madzhab Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah. Hal itu karena tidak ada dalam bentuk ini ikatan kewajiban menyempurnakan janji untuk bertransaksi atau penggantian ganti kerugian. Seandainya barang tersebut hilang atau rusak maka nasabah tidak menanggungnya. Sehingga lembaga keuangan tersebut bersepekulasi dalam pembelian barang dan tidak yakin nasabah akan membelinya dengan memberikan keuntungan kepadanya. Seandainya salah satu dari keduanya berpaling dari keinginannya maka tidak ada ikatan kewajiban dan tidak ada satupun akibat yang ditanggungnya. [23]
  2. Pelaksanaan janji tidak mengikat dengan adanya penentuan nilai keuntungan yang akan diberikannya, maka ini dilarang karena masuk dalam kategori al-‘Inahsebagaimana disampaikan Ibnu Rusyd dalam kitabnya al-Muqaddimah dan inilah yang dirojihkan Syeikh Bakr Abu Zaid. [24]

Hukum Ba’i Murabahah dengan pelaksanaan janji yang mengikat

Untuk mengetahui hukum ini maka kami sampaikan beberapa hal yang berhubungan langsung dengannya.

Langkah proses Murabahah KPP bentuk ini

Mu’amalah jual beli murabahah KPP melalui beberapa langkah tahapan, diantara yang terpenting adalah:

1. Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.

a. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas.
b. Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu dalam pembelian barang tersebut.

2. Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan nasabah.

3. Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.

4. Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.

a. Mengadakan perjanjian yang mengikat.
b. Membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji.
c. Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.
d. Lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.

5. Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama)

6. Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.

7. Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.

a. Penentuan harga barang.
b. Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan kedalam harga.
c. Penentuan nisbat keuntungan (profit)
d. Penentuan syarat-syarat pembayaran.
e. Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.

Demikianlah secara umum langkah proses jual beli Murabahah KPP yang kami ambil secara bebas dari kitab al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 261-162. sedangkan dalam buku Bank Syari’at dari Teori ke Praktek hal. 107 memberikan skema bai’ Murabahah sebagai berikut:

Aqad ganda (Murakkab) dalam Murabahah KPP bentuk ini. [25]

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah KPP ini terdiri dari:

1. Ada tiga pihak yang terkait yaitu:

a. Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.
b. Penjual barang kepada lembaga keuangan.
c. Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.

2. Ada dua akad transaksi yaitu:

a. Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.
b. Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).

3. Ada tiga janji yaitu:

a. Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.
b. Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk pemohon.
c. Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.

Dari sini jelaslah bahwa jual beli murabahah KPP ini adalah jenis akad berganda (al-‘Uquud al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji dan ada tiga pihak. Setelah meneliti muamalah ini dan langkah prosesnya akan tampak jelas ada padanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh satu akad. Bisa saja disimpulkan bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan satu sebab yaitu janji yang mengikat dari kedua belah pihak yaitu lembaga keuangan dengan nasabahnya. Berdasarkan hal ini maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam satu transaksi dari sisi yang mengikat sehingga dapat dinyatakan dengan uangkapan: “Belikan untuk saya barang dan saya akan berikan untung kamu dengan sekian”. Hal ini karena barang pada akad pertama tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun akan dibeli dengan dasar janji mengikat untuk membelinya. Dengan melihat kepada muamalah ini dari seluruh tahapannya dan kewajiban-kewajiban yang ada padanya jelaslah bahwa ini adalah Mu’amalah Murakkabah secara umum dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang ada dalam muamalah ini. Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat janji yang mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad yang tidak saling terikat, sehingga jelas hukumnya berbeda.

Hukumnya

Yang rojih dalam masalah ini adalah tidak boleh dengan beberapa argumen di antaranya:

a. Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum kepemilikan penjual barang tersebut masuk dalam larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut pada hakekatnya adalah akad dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan maka ini adalah akad batil yang dilarang, karena lembaga keuangan ketika itu menjual kepada nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.

b. Muamalah seperti ini termasuk al-Hielah (rekayasa) atas hutang dengan bunga, karena hakekat transaksi adalah jual uang dengan uang lebih besar darinya secara tempu dengan adanya barang penghalal diantara keduanya.

c. Murabahah jenis ini masuk dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang berbunyi:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual beli (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil 5/149) Al-Muwaa’adah apabila mengikat kedua belah pihak maka menjadi aqad (transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga ada disana dua akad dalam satu jual beli. [26]

Ketentuan diperbolehkannya

Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli murabahah KPP ini dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa’adah diperbolehkan dengan tiga hal:

  1. Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.
  2. Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung jawab lembaga keuangan.
  3. Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya. [27]

Demikianlah hukum jual beli ini menurut pendapat ulama syari’at, mudah-mudahan dapat memperjelas permasalahan ini. Wabillahi Taufiq.

***

Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Sumber Artikel

Footnotes:

[1] Lihat al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at-Tathbiiq, Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar hal. 307.

[2] Kelima nama ini disebutkan dalam al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 260-261.

[3] Lihat Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi’I Antonio, hal 103.

[4] Lihat al-Qaamus al-Muhith hal. 279.

[5] Al-‘Uquud al-Murakkabah hal 257.

[6] Al-Mughni 4/259

[7] Al-Ifashoh 2/350 dinukil dari Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin Abdillah Abu Zaid 2/64.

[8] Bada’i ash-Shanaa’i 7/92 [9] Fiqhu an-Nawaazil, Bakr bin Abdillah Abu Zaid 2/64.

[10] Penulis pernah melakukan dialog tentang hal ini dengan dua orang pegawai salah satu lembaga keuangan syari’at di kediaman penulis pada hari Kamis tanggal 3 april 2008 M ba’da Ashar.

[11] Bai’ al-Murabahah lil Aamir bi asy-Syira’ karya Saami Hamud dalam kumpulan Majalah Majma’ al-Fiqh al-Islami edisi kelima (2/1092) dinukil dari al-‘Uquud al-Maaliyah al-Murakkabah hal. 257.

[12] Lihat Bai’ al-Murabahah Kamaa Tajriha al-Bunuuk al-Islamiyah Muhammad al-Asyqar hal. 6-7 dinukil dari al-‘Uquud al-maaliyah al-Murakabah hal. 257.

[13] al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 258.

[14] Ibid [15] Fikih Nawazil 2/90.

[16] al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 259.

[17] Lihat Fikih Nawazil 2/90 dan al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal 259.

[18] Lihat al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at-Tathbiiq hal. 308.

[19] Lihat al-Umm dan ini kami nukil dari Fikih Nawazil 2/88-89.

[20] Dinukil dari Fikih Nawazil 2/88.

[21] Lihat al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 267.

[22] Majalah al-Jami’ah al-Islamiyah edisi satu tahun kelima Rajab 1392 hal 118 dinukil dari al-Bunuuk al-Islamiyah hal. 308.

[23] Lihat Fikih Nawazil 2/90.

[24] ibid

[25]Lihat al-‘Uquud al-Maliyah al-Murakkabah hal. 265-266

[26] Untuk lebih lengkapnya silahkan merujuk pada kitab al-‘Uqud al-Maaliyah al-Murakkabah hal 267-284 dan Fikih Nawazil 2/ 83-96.

[27] Fikih Nawazil 2/97 dengan sedikit perubahan.

Referensi:

  1. al-‘Uqud al-Maaliyah al-Murakkabah –dirasah Fiqhiyah Ta’shiliyah wa Tathbiqiyah-, DR. Abdullah bin Muhammad bin Abdullah al-‘Imraani, cetakan pertama tahun 1427 H, Kunuz Isybiliya`
  2. Fiqhu an-Nawaazil –Qadhaya Fiqhiyah al-Mu’asharah-, DR. Bakr bin ABdillah abu Zaid, cetakan pertama tahun 1416 H, Muassasah ar-Risalah.
  3. al-Bunuuk al-Islamiyah Baina an-Nazhoriyah wa at -Tathbiiq, Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar, cetakan kedua tahun 1414 H , Dar al-Wathon.
  4. Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Muhammad Syafi’I Antonio, cetakan kesembilan tahun 2005 M, Gema Insani Press.
  5. Himpunan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional MUI, edisi revisi tahun 2006 M, cetakan ketiga tahun 1427 H.
  6. al-Fiqhu al-Muyassar-Qismu al-Mu’amalaat– Prof. DR. Abdullah Ath-Thoyaar, prof. DR. Abdulah bin Muhammad al-Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Al Musa, cetakan pertama tahun 1425 H , Dar al-Wathon.
  7. dll.