Categories
ARTIKEL UMUM

SOSIALISASI DAN EDUKASI INVESTASI HALAL KREDIT BEBAS RIBA BERSAMA IBU-IBU RT PEMURUS DALAM BANJARMASIN SELATAN SERTA PNS KANTOR KECAMATAN BANJARMASIN TIMUR

[smartslider3 slider=7]

 

Alhamdulillah,

Beberapa waktu lalu, koperasi syariah Arrahmah yang diwakili oleh marketing representative officer Muhammad Ihsan telah melakukan sosialisasi sekaligus edukasi investasi halal dan kredit bebas riba di depan PNS Kantor Kecamatan Banjarmasin Timur pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2016 dan bersama ibu-ibu RT di aula Kelurahan Pemurus Dalam Banjarmasin Selatan pada hari Jumat tanggal 3 Juni 2016. Peserta sosialisasi cukup antusias saat menyimak materi yang disampaikan oleh karyawan koperasi syariah Arrahmah akhi Muhammad Ihsan .

Kegiatan ini kami lakukan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam dalam rangka untuk menyampaikan kepada masyarakat mengenai bahaya dosa riba yang sangat besar, namun karena minimnya pengetahuan mereka tentang riba mengakibatkan mereka banyak yang terjerumus dalam transaksi yang berbahaya ini.

Firman Allah subhanahu wata’ala,
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan barang siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah:275)

“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. (QS. Al-Baqarah:276)

“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah:279)

Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam juga bersabda, “Jauhilah tujuh dosa besar yang membawa kepada kehancuran,” lalu beliau sebutkan salah satunya adalah memakan riba. (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Dalam hadits yang lain Nabi shallahu ‘alahi wasallam mengancam pelaku riba dengan lebih tegas, beliau bersabda,
“Dosa riba memiliki 72 pintu, dan yang paling ringan adalah seperti seseorang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (Shahih, Silsilah Shahihah no.1871)

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Hakim dan dishahihkan oleh beliau sendiri, dijelaskan, “Bahwa satu dirham dari hasil riba jauh lebih besar dosanya daripada berzina 33 kali”.

Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dengan sanad yang shahih dijelaskan, “Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari hasil riba dan dia paham bahwa itu adalah hasil riba maka lebih besar dosanya daripada berzina 36 kali”

Demikianlah penjelasan quran dan hadits shahih dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam mengenai dosa riba yang sungguh mengerikan, dan mungkin tidak terbayangkan bahwa saat ini banyak diantara kita, saudara kita, keluarga kita, sahabat dan teman-teman kita yang sudah terjerumus dan terlanjur terjebak didalamnya.

Alhamdulillah, bagi warga Kalimantan Selatan, kini sudah ada solusinya. Koperasi Syariah Arrahmah insya Allah telah berkomitmen untuk menjadi solusi investasi halal dan kredit bebas riba.

Bagi kaum muslimin lainnya yang ingin dikunjungi dan menyimak sosialisasi dan edukasi dari koperasi syariah arrahmah, penjelasan detail mengenai company profile koperasi yang komit diatas jalan syariah, insya Allah menjadi solusi investasi halal dan kredit bebas riba, maka bisa menghubungi kantor kami :

Jl. Arjuna IV no. 20 Kel. Pemurus Dalam, Depan Masjid Al-Ummah, Banjarmasin, Kalsel,
– Telp/Fax. 0511 3277000
– Telp. 0511 678 3099
– Hp. +62 821 4838 0991
Email : info@kopsyaharrahmah.co.id

Hari kerja : Senin s.d Sabtu
Jam kerja : 08.30 s.d 16.30 wita
Waktu sholat fardhu 5 waktu TUTUP

Atau bisa juga langsung menghubungi

Marketing Represetative Officer Koperasi Syariah Arrahmah

Muhammad Ihsan – 0813 4834 8481

Insya Allah kami siap berkunjung ke instansi / perusahaan / lembaga / rumah Bapak/Ibu/Saudara(i).

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH BELUM ADA PRODUK MUDHOROBAH, KENAPA ? – BAGIAN 2

Konsep Mudharabah

Sebagaimana sudah kami sampaikan pada tulisan sebelumnya, KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH BELUM ADA PRODUK MUDHOROBAH, KENAPA ? – BAGIAN 1 maka kami akan melanjutkan alasan kami berikutnya.

Tahukah anda, bahwa kebanyakan transaksi mudhorobah yang lazim saat ini mengandung riba? Tentunya kecuali mereka yang dirahmati Allah, yang sudah berilmu dan berhati-hati dalam bertransaksi.

Kami akan ambil contoh alasan kami lainnya, bahwa kebanyakan Pemilik Modal (shohibul maal) saat akan bermuamalah mudhorobah, mereka terkesan hanya mau BAGI UNTUNG namun TIDAK MAU BAGI RUGI. Padahal, yang namanya akad MUDHOROBAH, kedua belah pihak harus paham untuk SIAP UNTUNG & SIAP RUGI. Namun, kami pun tidak menafikan banyaknya Pelaku Usaha (mudhorib) saat ini  yang tidak amanah, yang berimbas pada tingkat kepercayaan yang semakin turun dari Pemilik Modal. Padahal Pemilik Modal hanya  ingin agar uangnya aman diperuntukkan sesuai perjanjian yang disepakati.

Namun pada tulisan ini kami belum membahas tentang Pelaku Usaha (mudharib), hanya sebatas Pemilik Modal, dalam hal ini semisal kami, koperasi syariah arrahmah, yang kami akui saat tulisan ini kami buat, kami juga belum siap bertransaksi mudhorobah.

Silahkan saja anda cek keumuman transaksi yang terjadi di masyarakat saat ini, baik perorangan maupun lembaga yang melabelkan dirinya “SYARIAH”. Apakah SUDAH SIAP RUGI atau belum.

Salah satu tujuan tulisan kami ini sekaligus ingin agar pembaca paham, bagaimana MUDHOROBAH yang SYAR’I, sehingga jika memang koperasi, lembaga pembiayaan, perbankan yang katanya berlabel “SYARIAH” belum siap secara ilmu atau SDM untuk transaksi ini, maka lebih baik menahan diri agar tidak terjerumus dalam dosa riba, sebagaimana yang kami lakukan saat ini di koperasi kami.

Kali ini kami ingin mengangkat artikel yang sedikit lebih panjang dari sebelumnya, sehingga pengunjung website kopsyaharrahmah menjadi semakin paham kenapa kami belum membuka produk MUDHORBAH. Simak tulisan dibawah ini, semoga bermanfaat.

————————————————————–

Empat bulan sebelum Idul Adha 2010, saya mengajukan proposal “gaduh” sapi – Semacam penggemukan sapi yang sudah mencapai usia kurban–. Diharapkan dengan datangnya moment idul adha, harga sapi menjadi naik pesat. Proposal itu saya ajukan ke salah satu BMT – sebut saja BMT X – dengan akad mudharabah. Ketika proposal disetujui, pihak BMT memberi beberapa pilihan kerja sama. Saya-pun memilih mudharabah murni. Harapan saya, dengan pilihan ini saya bisa terbebas dari transaksi riba. Akhirnya, pihak BMT X merujuk ke rekanan BMT lain yang lebih besar di daerah Jalan Gedongkuning, Yogyakarta. Karena untuk penawaran pembiayaan 50 juta ke atas, BMT X belum siap menyediakan.

Singkat cerita, saya-pun datang ke BMT yang dirujuk, melalui perantara BMT X. Dengan suka rela, petugas menerima tawaran saya. Hanya saja mereka meminta agar saya memberikan jaminan dan terdaftar sebagai anggota BMT (baca: nasabah). Ketika saya tanya alasannya, mereka menjawab bahwa semua itu hanya sebatas untuk jaminan keamanan dan kepercayaan. Saya-pun menyanggupinya, dan saya serahkan BPKB motor sebagai jaminannya. Sebelum deal transaksi, saya bertanya: Andaikan dalam usaha saya ini mengalami kegagalan, yang sama sekali BUKAN karena keteledoran saya. Anggap saja, beberapa sapi mati karena sakit, apa saya harus mengembalikan modal utuh? “Ya, tetap harus mengembalikan. Minimal modalnya, meskipun tanpa keuntungan.” Jawab petugas BMT itu.

Berbekal dengan beberapa pengetahuan tentang ekonomi syariah, saya mencoba mengkritisi, “Maaf Pak,kalo akadnya semacam ini, saya nyatakan itu bukan mudharabah. Tapi ini akad riba. Pihak BMT hanya menyediakan bagi keuntungan, dan tidak mau bagi kerugian. Ini riba.” Petugas itu beralasan, “Lalu dari mana saya harus mengembalikan uang nasabah. Itu uang banyak orang. Kecuali kalo rugi karena bencana alam. Jelas itu nanti kami semua yang nanggung. Tapi, biasanya jarang kok sampai mengalami kerugian.” Saya mulai berani menjelaskan, “Sebenarnya, bukan masalah untuk rugi ketika usaha, tapi yang lebih penting adalah menentukan akad. Karena ini yang membedakan riba dan bukan riba. Meskipun, andaikan usaha saya untung, namun akad di awal, pihak pemodal tidak siap menanggung kerugian, maka itu bukan akad mudharabah yang sesuai syari’at. Itu akad pinjam uang (baca: utang), bukan mudharabah.” Akhirnya, sang petugas itu-pun mengakui, “Ya, kami paham semacam ini belum sesuai syari’at. Tapi dari mana kami harus mengembalikan uang nasabah.”

Ya, itulah sekelumit kejadian yang selalu terngiang-ngiang dalam diri saya. Perasaan saya meledak-ledak untuk menulis kejadian itu. Kamuflase label syariah tidak menjamin 100% sesuai syariah. Karena, hukum halal-haram ditentukan dari hakikat transaksi dan bukan labelnya. Bangkai selamanya dihukumi haram, meskipun dikemas dengan disertai label halal. Namun, ada satu hal yang sedikit membanggakan, petugas BMT telah mengakui, akad mudharabah yang selama ini mereka jalankan pada hakikatnya tidak sesuai syariat. Meskipun, mereka belum berani melakukan perubahan.

Sekilas, bagi hasil mudharabah mirip dengan riba. Karena dalam mudharabah, pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pelaku usaha, dan jika untung dia mendapat kembalian yang lebih banyak dari modal yang dia serahkan. Akan tetapi, hukumnya bertolak belakang. Bagi hasil mudharabah hukumnya halal, sementara riba hukumnya haram. Bagi hasil diperoleh karena transaksi pemodalan, sementara riba diperoleh karena transaksi utang-piutang. Karena itu, penting bagi setiap pelaku usaha yang akrab dengan transaksi bagi hasil untuk memahami perbedaan antara mudharabah dengan utang piutang. Bagi yang ingin mempelajari perbedaan dua transaksi ini, bisa merujuk ke halaman berikut:https://www.pengusahamuslim.com/baca/artikel/995/perbandingan-antara-mudharabah-dengan-riba

Barangkali, ada satu hal lain yang juga patut untuk diluruskan, terkait perbedaan antara akad pembiayaan dengan proses penggunaan dana. Akad pembiayaan merupakan kesepakatan di awal yang disetujui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Inilah yang menentukan apakah transaksi yang dilakukan itu utang-piutang ataukah mudharabah.

Sebagai contoh, ketika ada dua orang melakukan transaksi pembiayaan, dengan kesepakatan, apapun yang terjadi pemilik modal minimal harus mendapatkan uangnya kembali secara utuh maka ini adalah akad utang-piutang. Meskipun pelaku usaha menggunakan uang yang dia pinjam untuk mengembangkan usahanya. Bahkan, meskipun dia mendapat keuntungan dari usahanya dengan memutar uang yang dia pinjam. Dalam keadaan ini, sang pemilik modal tidak berhak mendapat pembagian dari keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha.

Ulama Sepakat Pelaku Usaha Tidak Menanggung Kerugian Modal

Barangkali ada sebagian orang yang ingin mengetahui keterangan ulama tentang tanggung jawab kerugian dalam usaha bagi hasil. Berikut saya bawakan keterangan yang disebutkan dalam buku Fiqhul Muamalat, yang ditulis oleh sekelompok ulama (Majmu’ah al-Muallifin), jilid 1, halaman 456:

فقد اتفق الفقهاء على أن المضارب أمين على ما بيده من مال المضاربة , لأن هذا المال في حكم الوديعة , وإنما قبضه المضارب بأمر رب المال لا على وجه البدل والوثيقة. فلا يضمن المضارب إلا بالتفريط والتعدي شأنه في ذلك شأن الوكيل والوديع وسائر الأمناء

“Para ahli fiqh sepakat bahwa mudharib (pelaku usaha) adalah orang yang mendapatkan kepercayaan terhadap uang modal yang dia bawa. Karena, uang ini statusnya sebagaimana wadi’ah (barang titipan). Hanya saja, uang ini dia bawa atas rekomendasi dari pemilik modal, bukan untuk diganti dan dengan adanya jaminan. Karena itu, mudharib (pelaku usaha) tidak menanggung (kerugian), kecuali jika hal itu disebabkan karena keteledoran dan kesalahannya. Kondisi mereka sebagaimana wakil (orang yang mendapat amanah), atau wadi’ (orang yang dititipi barang).”

Demikian, semoga bermanfaat.

***

Penulis: Ust. Ammi Nur Baits, S.T.

Sumber Artikel