Categories
ARTIKEL MUAMALAH

KETIKA UTANG SUDAH JADI BISNIS DAN TANPA ETIKA

Ketika utang dijadikan bisnis dan tanpa etika

Salah satu diantara perbedaan antara Koperasi Syariah Arrahmah dan yang sejenis dengan kami dibandingkan dengan koperasi konvensional dan koperasi yang hanya berlabel syariah namun kenyataannya mereka bertransaksi riba adalah koperasi syariah Arrahmah hanya melakukan transaksi jual beli (barang), adapun yang terjadi pada tetangga umumnya adalah transaksi utang piutang berbunga alias riba. Mengapa demikian ?

Menurut Jumhur Ulama, rukun jual beli ada empat :

  1. Orang yang berakad (Penjual dan pembeli)
  2. Sighat (lafal ijab dan kabul)
  3. Benda-benda yang diperjual belikan
  4. Ada nilai tukar pengganti barang.

 

Alhamdulillah, keempat rukun tersebut diatas dipenuhi koperasi syariah arrahmah, namun sebaliknya, koperasi tetangga yang tidak memenuhi salah satu dari keempat rukun tersebut, akhirnya mereka terjebak dalam transaksi utang piutang, yang mengakibatkan mereka terjerumus dalam riba karena pada utang piutangnya terdapat keuntungan.

Dalam Al Qur’an dan sudah sangat jelas sekali bahwa Allah berfirman :

“… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS.Al-baqarah:275)

“ Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…”(QS.Al-baqarah:198)

…kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (QS.An-nisa:29)

“… dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli “(QS.Al-Baqarah:282)

Dalam sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam disebutkan:

Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam pernah ditanya: apakah profesi yang paling baik? Rasulullah menjawab: “usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual-beli yang diberkati”. (HR. Al-Barzaar dan Al-Hakim)

DIbawah ini ada artikel menarik yang membahas panjang lebar mengenai Utang Piutang yang dijadikan lahan bisnis sebagaimana yang marak terjadi saat ini. Silahkan disimak. Semoga bermanfaat

=====================================================================

Hutang-Piutang Kok Jadi Jadi Lahan Bisnis?

“Praktek pengambilan bunga saat ini lebih parah dibanding pada zaman jahiliyah dulu. Berikut ini adab atau etika utang-piutang menurut Islam.

“Ustad, para rentenir itu ketika dinasihati malah berargumen bahwa wong tujuan kami baik, membantu orang-orang yang sedang terjepit, kok. Masak ndak boleh? Bagaimana menurut ustadz?” tanya seorang anggota jamaah pengajian saya.

Sebelumnya saya menjelaskan perilaku tercela para lintah darat yang menjadikan utang-piutang sebagai bisnis. Terhadap pertanyaan itu, saya menjawab dengan bertanya, “Nulung (membantu) atau menthung (memukul)? Berniat murni membantu orang yang kesusahan, atau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan? Kalau benar-benar untuk membantu, mengapa mesti disyaratkan di awal bahwa kelak peminjam harus mengembalikan utang beserta bunganya?”

Islam membolehkan utang-piutang jika sesuai etika bukanlah tanpa tujuan. Banyak hikmah mulia yang bisa dipetik oleh pemberi pinjaman maupun peminjam. Di antaranya menumbuhkan ruh saling membantu dan kepedulian sosial terhadap sesama.[1] Karena itu, pemberian piutang sebenarnya harus bermotif sosial (ihsan) dan ibadah untuk mengharap pahala dari Allah semata. Bukan bermotif bisnis dan mengeruk untung duniawi (baca: bunga) karena menjadikan piutang sebagai bisnis merupakan perilaku jahiliyah yang diperangi Islam.

Alkisah, orang-orang jahiliyah dahulu, ketika memberi utang, menentukan jatuh tempo pengembalian. Apabila peminjam tidak bisa melunasi utang pada waktu yang telah ditentukan, mereka mengenakan bunga sebagai kompensasi tambahan waktu pembayaran.[2] Bunga itu akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu sehingga peminjam sangat sengsara karena terbebani utang yang berlipat ganda.[3] Lalu datanglah Islam yang rahmatan lil ‘âlamîn dan melarang praktek itu, serta mengkategorikannya sebagai riba.

Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.”(QS. Ali Imran: 130)

Praktek utang berbunga sekarang lebih parah dibanding pada zaman jahiliyah. Pada riba jahiliyah, bunga baru dikenakan ketika peminjam tidak bisa melunasi utang pada waktu yang telah ditentukan, sebagai kompensasi pengunduran waktu pembayaran. Sedangkan perbankan dan rentenir menetapkan bunga pada saat kesepakatan dibuat, atau sejak peminjam menerima utang. Praktek riba oleh perbankan dan para lintah darat saat ini lebih jahiliyah dibandingkan praktek riba di era jahiliyah.

Etika Utang-Piutang

Di antara bukti yang menguatkan pengertian bahwa pemberian piutang dalam Islam itu berdimensi sosial dan bukan bisnis minded adalah etika yang Allah ajarkan ketika peminjam belum mampu saat utang jatuh tempo.

Ada dua pilihan yang Allah berikan:

  • pelunasan utang diundur sampai debitur mampu melunasinya, atau
  • utang dibebaskan setelah peminjam benar-benar tidak mampu membayar utangnya.

 

Allah Ta’ala memerintahkan pengunduran waktu pelunasan utang sebagaimana firman-Nya, yang artinya: “Jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.” (QS. Al-Baqarah: 280).

Sementara itu jika setelah ditunda peminjam tetap tidak mampu melunasi utangnya, Allah berfirman dalam lanjutkan ayat tersebut, yang artinya: “Bila kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kalian mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 280). Maksud “sedekah” dalam ayat itu adalah membebaskan peminjam dari kewajiban mengembalikan utangnya, total maupun parsial.[4]

Apa gerangan yang mendorong muslim melakukan etika itu?

Apa pula keuntungan duniawi yang akan diunduhnya manakala ia mengundur tenggang waktu pelunasan atau bahkan membebaskan utang peminjam? Motifnya tidak lain karena mengharap pahala ukhrawi, sebagaimana dijanjikan Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Barang siapa menangguhkan pembayaran utang orang yang sedang kesulitan, atau membebaskan utangnya, maka Allah akan menaungi dia dengan naungan-Nya (pada hari kiamat).” (HR. Muslim dari sahabat Ubâdah bin Shâmit)

Ntar Jadi Ketagihan,  Dong!

Mempraktekkan etika tadi apa tidak mengakibatkan para peminjam semakin menjadi-jadi berutang dan tetap tidak melunasi utangnya? Kita perlu melihat tipe peminjam. Apakah ia berutang karena betul-betul kepepet dan bertekad bulat melunasinya. Ataukah terkenal hobi berutang, butuh atau ndak butuh. Dan dari awal telah tercium ia tidak punya itikad baik untuk membayar utangnya. Atau bahkan sudah terkenal di seantero kampong sebagai jago utang plus malas membayar?

Jika termasuk tipe kedua, kita memiliki tanggung jawab moral untuk memberinya pelajaran dan merubah perilaku buruknya. Yakni dengan tidak membebaskan utangnya. Atau bahkan mungkin sejak awal tidak memberinya utang. Menilai dan membedakan tipe orang sebenarnya telah diisyaratkan Allah dalam akhir QS. Al-Baqarah: 280 tadi, yakni  “Jika kalian mengetahui.” Mengetahui apa? “Mengetahui bahwa pembebasan utang tersebut positif.”[5]

Manakala kita terdesak karena kebutuhan, misal istri harus segera dioperasi, padahal kantong lagi kempis, tak dinyana seorang teman berbaik hati meminjamkan uangnya. Kita pun diberi keluasan tenggang waktu. Tanpa bunga pula. Bukankah dia telah berbuat baik pada kita? Bagaimana cara kita membalas budi baiknya? Apakah tidak dibenarkan mengembalikan pinjaman itu dengan melebihkan jumlah pinjaman, dengan niat balas budi?

Boleh, bahkan disunnahkan.[6] Sebab Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam pun dalam banyak hadis sahih diceritakan bahwa beliau sering mempraktekkannya ketika membayar utang.[7] Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling baik ketika membayar utang.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Hanya saja, para ulama menjelaskan bahwa boleh memberi kelebihan ketika pelunasan utang, dengan syarat:

  1. Tidak ada kesepakatan di muka;
  2. Bukan menjadi kebiasaan masyarakat yang tidak tertulis;
  3. Benar-benar inisiatif sepihak dari debitur; dan
  4. Diberikan pasca pelunasan utang. Inilah yang membedakan antara tambahan pelunasan utang sebagai balas budi dan praktek tercela yang dilakukan perbankan dan rentenir sebagaimana dijelaskan sebelumnya, yang mempersyaratkan pengembalian pinjaman dengan melebihkan jumlah pinjaman sejak awal transaksi.[8]

 

Wallahu ta’ala a’lam.***

Oleh Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA

 

Catatan redaksi (pengusahamuslim.com) :

Etika Utang-Piutang

Utang-piutang dalam Islam berdimensi sosial dan bukan bisnis minded. Etika yang Allah ajarkan adalah pelunasan utang diundur sampai debitur mampu melunasinya, atau utang dibebaskan setelah peminjam benar-benar tidak mampu membayar utangnya.“Jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.” (QS. Al-Baqarah: 280).  “Bila kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kalian mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 280). Maksud “sedekah” dalam ayat itu adalah membebaskan peminjam dari kewajiban mengembalikan utangnya, total maupun parsial.Seorang muslim melakukan etika utang-piutang dengan mengundur tenggang waktu pelunasan atau bahkan membebaskan utang peminjam adalah mengharap pahala ukhrawi.Dibenarkan mengembalikan pinjaman dengan melebihkan jumlah pinjaman, dengan niat balas budi kepada yang meminjami. Boleh dan disunahkan. Tapi ada syaratnya. Etika inilah yang membedakan antara tambahan pelunasan utang sebagai balas budi dan praktek tercela yang dilakukan bank dan rentenir.

Keterangan:
[1]   Baca: Ahkâm ad-Dain – Dirâsah Hadîtsiyyah Fiqhiyyah karya Sulaiman al-Qushayyir (hal. 21-22).
[2]  Lihat: Tafsîr ath-Thabary (VI/49).
[3]  Baca: Ar-Ribâ, Khatharuhu wa Sabîl al-Khalâsh minhu, karya Dr. Hamd al-Hammad (hal. 10).
[4]  Periksa: Tafsîr as-Sa’dy (hal. 98).
[5]  Tafsîr al-Jalâlain (hal. 56).
[6]  Baca: Syarh Shahîh Muslim karya Imam an-Nawawy (XI/39).
[7]  Lihat berbagai hadits tersebut beserta takhrijnya dalam Ahkâm ad-Dain (hal. 235-250).
[8]  Syarh Shahih Muslim (XI/39).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published.