Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM SEPUTAR KOPERASI

KETIKA TIDAK SANGGUP BAYAR UTANG/CICILAN, BAGAIMANA SEHARUSNYA SOLUSI KOPERASI SYARIAH

Pernah dengar berita tentang rumah seharga 700juta disita gara-gara tidak bisa melunasi utang sebesar 55juta ?

Mojokerto – Nasib mengenaskan menimpa eks kepala desa (Kades) Jetis Edi Sasmito di Dusun Wonoayu, Desa/Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Gara-gara tidak bisa melunasi sisa utang di Bank Danamon, rumah yang dinilai seharga Rp 700 juta itu dilelang hanya seharga Rp 50 juta.

Akibatnya, eksekusi pun sempat berlangsung ricuh, Selasa (3/5/2016). Edi bersama anak dan istrinya berusaha melawan petugas juru sita PN Mojokerto. Namun perlawanan mereka sia-sia.

Bahkan Edi mengancam akan bunuh diri dengan menenggak racun jika petugas juru sita memaksa masuk.

Eksekusi rumah seharga ratusasn juta yang dihuni Edi dan keluarganya berjalan alot. Juru sita PN Mojokerto yang datang dikawal puluhan anggota polisi dan TNI ke rumah mewah itu dihadang di pintu gerbang. Penghuni rumah memasang rantai dengan kunci gembok pada pintu gerbang dan menutup rapat semua pintu rumah.

 

http://news.detik.com/berita-jawa-timur/3202733/utang-rp-55-juta-rumah-mewah-eks-kades-dilelang-danamon-rp-50-juta

Lantas bagaimana sistem yang berjalan di Koperasi Syariah Arrahmah ?

Alhamdulillah, kami telah menerapkan sistem syariah dalam setiap transaksi kami. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi riba maupun kedzoliman antara kedua belah pihak, baik pihak anggota maupun pihak koperasi sebagaimana yang mungkin telah terjadi pada contoh kasus diatas.

Memang, untuk menjaga investasi anggota, kami, koperasi Syariah Arrahmah, tetap menerapkan adanya jaminan dalam setiap transaksi nominal tertentu, khususnya transaksi > 5 juta. Namun insya Allah sistem jaminan ini diperbolehkan oleh syariat Islam. Silahkan baca disini hukum bolehkan jaminan / barang yang dikredit dijadikan jaminan

Ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan karena takdir Allah, dan ternyata anggota tidak sanggup lagi melanjutkan pembayaran / melunasi utangnya ke koperasi, maka koperasi boleh menyita barang jaminan milik anggota, namun keadilan tetap berlaku bagi kedua pihak.

Ketika hasil penjualan atas barang jaminan milik anggota lebih besar dari nominal utang ke koperasi, maka koperasi wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada anggota. Demikian sebaliknya ketika ternyata hasil penjualan kurang dari nominal utang anggota kepada koperasi, maka anggota tetap berkewajiban membayar utang tersebut hingga lunas disaat dia memiliki kemampuan untuk membayar utang tersebut.

Demikianlah Islam sangat menjaga unsur keadilan dan menutup keran terjadinya kecurangan dan kedzoliman atas hak hamba.

Berikut kami sampaikan tulisan yang insya Allah bermanfaat terkait perihal barang jaminan yang kami ambil dari sumber terpercaya yang menjadi rujukan dalam kegiatan transaksi di koperasi syariah arrahmah kalsel.

Semoga bermanfaat.

============================================================

Bagaimana dengan kasus gara-gara tidak bisa melunasi sisa utang di Bank Doremon, rumah yang dinilai seharga Rp 700 juta itu dilelang hanya seharga Rp 50 juta.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Sebelumnya kita awali dengan memahami skema transaksi utang bergadai,

Pertama, bahwa transaksi nasabah dengan bank adalah utang piutang. Sementara jaminan sertifikat yang diserahkan nasabah ke bank berstatus sebagai barang gadai (rahn). Nasabah sebagai penggadai (rahin), sementara bank sebagai penerima gadai (murtahin).

Kedua, dalam transaksi gadai, barang yang menjadi agunan tidak berpindah kepemilikan ke Murtahin. Barang itu tetap menjadi milik nasabah (rahin), sehingga dia yang paling berhak atas barang itu. Meskipun utang belum lunas ketika jatuh tempo.

Ini berbeda dengan kejadian masa jahiliyah. Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran utang dan orang yang menggadaikan belum bisa melunasi utangnya maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya.

Ketika Islam datang, sistem dzalim semacam ini dibatalkan. Karena status barang gadai tersebut adalah amanah dari pemilik yang ada di tangan pihak yang berpiutang (murtahin). (Taudhihul Ahkam, Syarh Bulughul Maram, 4/467).

Ketiga, Dibolehkan bagi bank untuk meminta nasabah agar segera melunasi utangnya. Jika tidak memungkinkan, bank boleh meminta untuk menjual aset yang digadaikan.

Dalam Taudhih al-Ahkam dinyatakan,

لا يجبر الراهن على بيعه إلاَّ إذا تعذر الوفاء، حينئذٍ تأتي الفائدة من الرهن فيباع ويوفى الدين، فإن بقي من الثمن شيء فهو للراهن

Nasabah gadai (rahin) tidak boleh dipaksa untuk menjual barang gadai, kecuali jika tidak memungkinkan baginya untuk melunasi utangnya. Di sinilah fungsi gadai itu terlihat. Barang gadai bisa dijual untuk menutupi utangnya. Jika masih ada yang tersisa dari hasil penjualan setelah dikurangi utang, maka diserahkan ke pemilik barang (rahin). (Taudhihul Ahkam, Syarh Bulughul Maram, 4/467).

Keempat, mengingat pelepasan gadai dilakukan dengan cara menjual aset, maka yang paling berhak menentukan harga adalah pemiliknya. Jika tidak memungkinkan, pemerintah berhak mengambil tindakan, membekukan aset itu. Pemerintah bisa melakukan lelang terhadap aset dengan harga standar, untuk menutupi utang nasabah.

Di sinilah peran pemerintah sangat diharapkan. Pihaknya berkewajiban melidungi kedua belah pihak. Melindungi hak orang memiliki utang (nasabah) dan melindungi hak pemberi utang (lembaga keuangan). Tidak boleh dilelang dengan harga yang bisa mendzalimi pemiliknya. Misalnya, dijual dengan harga jauh di bawah harga pasar. Di tempat kita, salah satu standar yang digunakan adalah NJOP (Nilai Jual Objek PaJak).

Di negara kita, tanggung jawab ini dipegang oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Kita berharap, kantor semacam ini bisa bekerja lebih maksimal, dan bersih dari mafia.

Lelang Bank

Kebijakan lelang bank, salah satunya dengan melihat pertimbangan kolektibilitas. Beberapa bank, nasabah yang tingkat kolektibilitas 5, untuk rentang penunggakan lebih dari 6 bulan, berhak untuk dilakukan penyitaan aset. Menurut informasi, ketika nasabah berada pada tingkat kolektibilitas 3 sampai 5, maka masuk kategori NPF (Non Performing Financing) atau loan (utang).

Yang menyedihkan adalah prinsip pihak bank adalah yang penting barang itu laku, sehingga bisa menutupi nilai utang berikut bunganya. Atau bahkan yang penting cukup untuk melunasi pokok utangnya. Sehingga, untuk harga lelang, bank tidak terlalu ambil pusing.

Realita ini menunjukkan bahwa lelang hasil sitaan bank maupun lembaga keunangan, adalah lelang yang tidak sehat. Sangat mendzalimi nasabah. Sehingga dijual dengan harga yang sangat murah. Dan semua kedzaliman, pengadilannya akan berlanjut di akhirat.

Alah berfirman,

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ

Janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menunda hukuman untuk mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. (QS. Ibrahim: 42)

Mereka para pemenang lelang, bisa berbahagia dengan menguasai harta orang lain dengan cara legal dan murah. Bisa jadi di dunia dia menang ketika eksekusi, tapi ingat ketika di akhirat, bisa jadi urusan ini akan kembali dilanjutkan dan diselesaikan di pengadilan akhirat.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Hukum Ikut Lelang Sitaan Bank dan Leasing

2 replies on “KETIKA TIDAK SANGGUP BAYAR UTANG/CICILAN, BAGAIMANA SEHARUSNYA SOLUSI KOPERASI SYARIAH”

Leave a Reply to zul Cancel reply

Your email address will not be published.