Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

TERNYATA UNTUK BER-INVESTASI PUN BUTUH ILMU, AGAR TIDAK TERJERUMUS RIBA

Ilustrasi-orang-kaya-investasi-syariah

Ternyata menjadi orang kaya atau memiliki kelebihan harta juga tidak mudah. Syariat mengajarkan bahwa orang yang diberikan kelebihan harta agar berilmu sehingga bisa mengelola dan membelanjakan hartanya dengan baik.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

«لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ»

Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya[HR at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam “as-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.].

Hadits yang agung ini menunjukkan kewajiban setiap hamba agar bisa mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hal-hal yang baik dan diridhai oleh Allah, karena pada hari kiamat nanti manusia akan dimintai pertanggungjawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di dunia [Lihat kitab “Bahjatun naazhirin syarhu riyaadhish shaalihin” (1/479)]

Bagi kaum muslimin yang memiliki kesulitan dalam mengelola harta anda, kami berikan solusi buat anda. Harta yang berlebih, hanya tersimpan bertahun-tahun, dimana setiap tahun anda diwajibkan membayar zakat, agar bisa dikelola dengan baik dan bermanfaat bagi anda kaum muslimin lainnya..

Kami dari Koperasi Syariah Arrahmah mengajak kaum muslimin yang sudah mulai paham tentang syariat Islam dan bahaya dosa riba.

Kami mengajak kaum muslimin agar mengalihkan dana / harta yang dimilikinya, baik tabungan ataupun deposito, untuk diinvestasikan dan dikelola oleh koperasi kami. Keuntungan berinvestasi di koperasi syariah Arrahmah bisa anda baca disini.

KEANGGOTAAN & INVESTASI

Silahkan simak artikel yang berisi Ilmu Sederhana Sebelum anda melakukan Investasi. Semoga bermanfaat.

 

Setiap orang yang beramal mesti mendahulukan ilmu. Karena jika tanpa ilmu, setiap amalan yang dikerjakan bisa rusak. Termasuk pula dalam hal muamalah. Menanam investasi di suatu bidang usaha adalah di antara bentuk muamalah, yang di mana mesti diawali pula dengan ilmu. Seseorang yang menanam modal dalam suatu investasi mesti mengetahui bagaimanakah cara investasi yang islami. Karena jika tidak mengetahui hal ini, seseorang bisa terjerumus dalam perkara haram, yaitu riba.

Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- Mengawali Pagi Harinya dengan Meminta Ilmu yang Bermanfaat

Di antara dalil yang menunjukkan pentingnya berilmu sebelum bertindak adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di pagi harinya yang selalu meminta pada Allah ilmu yang bermanfaat terlebih dahulu, setelah itu barulah beliau meminta rizki yang halal dan amalan yang diterima.

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً »

Dari Ummu Salamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a setelah shalat Shubuh seusai salam, “Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’a wa rizqon thoyyibaa, wa ‘amalan mutaqobbalaa (Ya Allah, aku meminta pada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amalan yang diterima)”. (HR. Ibnu Majah no. 925. Al Hafizh Abu Thohir dan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

Syaikh ‘Abdur Rozaq bin ‘Abdul Muhsin Al Abbad hafizhohullah berkata, lihatlah dalam hadits ini didahulukan meminta ilmu terlebih dahulu dibanding dengan meminta rizki yang halal dan amalan yang mutaqobbal (yang diterima), sebagaimana yang beliau sampaikan ketika kajian umum mengenai harta haram, 11 Jumadal Akhiroh 1434 H (22 April 2013) di Islamic Center Bin Baz Piyungan, Bantul, Yogyakarta.

Inilah yang menunjukkan urgensi meminta ilmu yang bermanfaat dalam do’a kita, namun kadang kita lalai akan meminta hal ini karena seputar do’a kita hanyalah permintaan hal dunia semata. Padahal jika seseorang meraih ilmu yang bermanfaat, ia telah meraih kebahagiaan hati. ilmu yang bermanfaat itu sebagaimana kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Manzhumah Qowa’idil Fiqhiyyah dapat menghilangkan keraguan dan kekotoran hati. Keraguan yang beliau maksud adalah penyakit syubhat (racun pemikiran) dan kekotoran hati disebabkan karena penyakit syahwat (hawa nafsu yang cenderung pada maksiat).

Salaf Memotivasi untuk Berilmu Sebelum Berdagang

Ibnu Taimiyah dalam Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar menukilkan perkataan Ibnu Mas’ud di mana beliau berkata,

العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ

“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.”

Imam Bukhari, di awal-awal kitab shahihnya, beliau membawakan bab, “Al ‘ilmu qoblal qouli wal ‘amali (ilmu sebelum berkata dan berbuat).” Setelah itu beliau membawakan firman Allah Ta’ala,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19). Lalu Imam Bukhari mengatakan, “Dalam ayat ini, Allah memerintahkan memulai dengan ilmu sebelum amalan.” Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu harus ada lebih dahulu sebelum amalan.

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan surat Muhammad ayat 19 untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat (yang artinya), “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu”, lalu beliau mengatakan,

أَلَمْ تَسْمَع أَنَّهُ بَدَأَ بِهِ فَقَالَ : ” اِعْلَمْ ” ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْعَمَلِ ؟

“Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 1: 160).

Ibnul Munir rahimahullah menjelaskan maksud Imam Bukhari di atas,

أَرَادَ بِهِ أَنَّ الْعِلْم شَرْط فِي صِحَّة الْقَوْل وَالْعَمَل ، فَلَا يُعْتَبَرَانِ إِلَّا بِهِ ، فَهُوَ مُتَقَدِّم عَلَيْهِمَا لِأَنَّهُ مُصَحِّح لِلنِّيَّةِ الْمُصَحِّحَة لِلْعَمَلِ

“Yang dimaksudkan oleh Imam Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (idem).

Jika demikian, sama halnya ketika berdagang. Dalam kita melakukan muamalah semacam ini, jika tidak didasari dengan ilmu, maka bisa jadi jual beli kita rusak atau tidak sah. Seperti yang membuat jual beli tidak sah adalah jual beli ghoror (yang mengandung spekulasi tinggi). Al Jarjaniyy mengatakan bahwa yang dimaksud ghoror adalah,

بأنّه ما يكون مجهول العاقبة لا يدرى أيكون أم لا

“Ghoror itu hasil akhir (akibatnya) majhul (tidak diketahui), tidak diketahui akan ada ataukah tidak.” Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah. Kalau jual beli dikatakan tidak sah, artinya barang dagangan milik penjual masih tetap miliknya, uang milik pembeli juga masih tetap miliknya. Tentang larangan jual beli yang mengandung ghoror terdapat dalam hadits berikut,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari ghoror” (HR. Muslim no. 1513).

Umar bin Khottob pernah memperingatkan orang-orang yang tidak paham fikih muamalah agar tidak berjualan di pasar. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا

“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (LihatMughnil Muhtaj, 6: 310). ‘Umar menghendaki demikian, agar supaya jual beli yang dilakukan di pasar tidak asal-asalan.

Akibat jika tidak mengenal hukum riba -misalnya- saat berdagang, maka dapat membuat akad yang dilakukan rusak atau cacat. Sebagaimana ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah berkata,

مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” Dinukil Ibnu Taimiyah dalam Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar.

‘Ali bin Abi Tholib lebih tegas lagi mengatakan,

مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ

“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.” (Lihat Mughnil Muhtaj, 6: 310)

Dua Akad yang Bisa Dimanfaatkan Jika Kita Memiliki Modal

1- Bagi hasil dalam untung dan rugi (Mudharabah)

Dasar dalil mengenai dibolehkannya mudharabah (bagi hasil) diambil dari hadits mengenai musaaqoh yaitu bagi hasil dengan cara menyerahkan tanaman kepada petani yang mengerjakan dengan pembagian tertentu dari hasil panennya.

عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ دَفَعَ إِلَى يَهُودِ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَلِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَطْرُ ثَمَرِهَا

“Dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan kepada bangsa Yahudi Khaibar kebun kurma dan ladang daerah Khaibar, agar mereka yang menggarapnya dengan biaya dari mereka sendiri, dengan perjanjian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan separuh dari hasil panennya.” (HR. Bukhari no. 2329 dan Muslim no. 1551).

Pada hadits ini dengan jelas dinyatakan bahwa perkebunan kurma dan ladang daerah Khaibar yang telah menjadi milik umat Islam dipercayakan kepada orang Yahudi setempat, agar dirawat dan ditanami. Adapun perjanjiannya adalah  dengan bagi hasil 50% banding 50%. Pembagian bagi hasil ini ditetapkan dari hasil panen, bukan dari modal yang ditanam oleh si pemodal.

Pada akad mudharabah, asas keadilan benar-benar harus dapat diwujudkan. Yang demikian itu dikarenakan kedua belah pihak yang terkait, sama-sama merasakan keuntungan yang diperoleh. Sebagaimana mereka semua menanggung kerugian bila terjadi secara bersama-sama, pemodal menanggung kerugian materi (modal), sedangkan pelaku usaha menanggung kerugian non-materi (tenaga dan pikiran). Sehingga pada akad mudharabah tidak ada seorang pun yang dibenarkan untuk mengeruk keuntungan tanpa harus menanggung resiko usaha.

2- Melalui jalan mengupahi (ijaroh)

Akad kedua ini bukan artinya memodali, namun mempekerjakan orang. Jalan ini pun bisa ditempuh bagi yang memiliki modal.

Ijaroh atau jual beli jasa adalah suatu transaksi yang objeknya adalah manfaat atau jasa yang mubah dalam syariat dan manfaat tersebut jelas diketahui, dalam jangka waktu yang jelas serta dengan uang sewa yang jelas. Ijaroh termasuk transaksi yang mengikat kedua belah pihak yang mengadakan transaksi yaitu pembeli dan penjual jasa. Artinya salah satu dari keduanya tidak boleh membatalkan transaksi tanpa persetujuan pihak kedua.

Ijaroh itu ada dua macam:

a- ijaroh dengan objek transaksi benda tertentu semisal menyewakan rumah, kamar kost, menyewakan mobil (rental mobil, taksi, bis kota dll).

b- ijaroh dengan objek transaksi pekerjaan tertentu semisal mempekerjakan orang untuk membangun rumah, mencangkul kebun dll.

Contoh misalnya dalam memanfaatkan modal untuk ternak kambing. Cara seperti ini yang dipilih. Juragan mempekerjakan dua orang, lantas dalam waktu per hari dihitung mendapatkan upah Rp. 30.000,- dan upahnya diserahkan di akhir pekan sesuai perjanjian atau kesepakatan.

Di antara ketentuan dari bentuk ijaroh seperti di atas:

a- Dalam ijaroh seorang pekerja berhak atas upah atau gaji jika dia telah menyelesaikan pekerjaan yang menjadi kewajibannya secara sempurna dan professional. Pekerja semacam ini harus segera diberi upah begitu pekerjaannya selesai sampai-sampai nabi katakan sebelum keringatnya kering.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).  Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.

Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718)

b- Pada dasarnya pekerja tidaklah memiliki kewajiban mengganti barang yang rusak yang diamanahkan oleh pihak yang mempekerjakan atau barang yang disewakan asalkan kerusakan barang tersebut bukan karena kecerobohan penyewa atau pekerja.

Untuk transaksi ini berarti kerugian usaha ditanggung oleh pemilik modal, bukan para pekerjanya selama kerusakan bukan terjadi karena kecerobohan pekerja. Sedangkan keuntungan usaha semuanya menjadi hak pemilik modal.

Jika Memilih Meminjamkan Modal

Cara ini bisa ditempuh jika kita memiliki modal besar dan khawatir menyimpan di bank, maka kita bisa pinjamkan pada orang yang amanat untuk mengembalikannya di waktu akan datang. Namun dengan syarat, peminjaman modal di sini bukan untuk meraup keuntungan. Karena keuntungan yang ada dalam utang piutang, itu termasuk riba. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa riba adalah:

الزِّيَادَةُ فِي أَشْيَاءَ مَخْصُوصَةٍ

“Penambahan pada barang dagangan/komoditi tertentu.” (Al Mughni, 6: 51)

Para ulama pun bersepakat (berijma’),

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.

Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal dalam Al Mughni (6: 436),

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ .

“Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”

Di halaman yang sama Ibnu Qudamah mengatakan,

قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ : أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمُسَلِّفَ إذَا شَرَطَ عَلَى الْمُسْتَسْلِفِ زِيَادَةً أَوْ هَدِيَّةً ، فَأَسْلَفَ عَلَى ذَلِكَ ، أَنَّ أَخْذَ الزِّيَادَةِ عَلَى ذَلِكَ رَبًّا .وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ، وَابْنِ عَبَّاسٍ ، وَابْنِ مَسْعُودٍ ، أَنَّهُمْ نَهَوْا عَنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً .وَلِأَنَّهُ عَقْدُ إرْفَاقٍ وَقُرْبَةٍ ، فَإِذَا شَرَطَ فِيهِ الزِّيَادَةَ أَخْرَجَهُ عَنْ مَوْضُوعِهِ .

“Ibnul Mundzir berkata: Para ulama sepakat bahwa jika seseorang meminjamkan uang lantas ia memberi syarat pada si peminjam uang untuk adanya tambahan atau hadiah, lalu ia pinjam dan tunaikan sedemikian rupa, maka pengambilan tambahan di sini adalah riba. Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud bahwa mereka melarang dari bentuk utang piutang yang terdapat keuntungan. Karena utang piutang termasuk akad tolong menolong dan cari pahala karena menolong yang lain. Jika menolong ‘kok’ malah cari untung, ini sudah keluar dari maksud untuk meringankan beban orang lain.” (Al Mughni, 6: 436).

Jika pemilik uang punya keinginan uangnya kembali utuh dan mesti seperti itu, tanpa sama sekali ingin menanggung kerugian, ditambah ia ingin ada tambahan, ini sama saja mencari untung dalam utang piutang.

Hal ini juga berlaku jika utang piutang menggunakan gadaian. Barang gadaian pun tidak boleh dimanfaatkan oleh si pemberi pinjaman. Karena kaedah di atas tetap berlaku dalam gadai, “Setiap utang piutang yang meraup keuntungan, maka itu riba.”

Namun ada gadaian yang boleh dimanfaatkan jika dikhawatirkan begitu saja ia akan rusak atau binasa. Seperti hewan yang memiliki susu dan hewan tunggangan bisa dimanfaatkan sesuai pengeluaran yang diberikan si pemberi utang dan tidak boleh lebih dari itu. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

Barang gadaian berupa hewan tunggangan boleh ditunggangi sesuai nafkah yang diberikan. Susu yang diperas dari barang gadaian berupa hewan susuan boleh diminum sesuai nafkah yang diberikan. Namun, orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan” (HR. Bukhari no. 2512).

Kaedah Penting: Keuntungan bagi yang Berani Menanggung Resiko

Dalam kaedah fikih disebutkan,

الخراج بالضمان

“Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian”.

Maksud kaedah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian -jika hal itu terjadi-. Keuntungan ini menjadi milik orang yang berani menanggung kerugian karena jika barang tersebut suatu waktu rusak, maka dialah yang merugi. Jika kerugian berani  ditanggung, maka keuntungan menjadi miliknya.

Asal kaedah di atas berasal dari hadits berikut,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا، فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم: الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

“Dari sahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka penjual berkata, ‘Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Keuntungan adalah imbalan atas kerugian.’” (HR. Abu Daud no. 3510, An Nasai no. 4490, Tirmidzi no. 1285, Ibnu Majah no. 2243 dan Ahmad 6: 237. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dari kaedah di atas kita bisa mengambil dua pelajaran penting:

1- Dalam akad mudhorobah, jika sama-sama mendapat untung, maka pihak pemodal dan pelaku usaha harus sama-sama menanggung rugi. Jika pelaku usaha, sudah mendapatkan rugi karena usahanya gagal, maka pemodal pun harus menanggung rugi. Karena jika pemodal mendapat untung, maka kerugian pun -artinya: tidak mendapatkan apa-apa- harus berani ia tanggung. Termasuk kekeliruan jika si pemodal minta modalnya itu kembali selama bukan karena kecerobohan pelaku usaha.

2- Bermasalahnya transaksi riba, simpan pinjam yang menarik keuntungan. Jika pihak kreditur  dalam posisi aman, hanya mau ingin uangnya kembali, tanpa mau menanggung resiko karena boleh jadi yang meminjam uang adalah orang yang susah, maka berarti ini masalah. Karena kalau ia ingin uangnya kembali, maka ia pun harus berani menanggung resiko tertundanya utang tersebut. Alasannya adalah kaedah yang kita bahas saat ini.

Bahaya Riba

Jika kita tidak mengetahui transaksi halal dan haram, kita bisa terjerumus dalam riba sebagaimana akibatnya disebutkan dalam dua hadits berikut,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً

Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hadits lain juga menyebutkan,

الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya)

Semoga penjelasan di atas bermanfaat bagi kita yang ingin berinvestasi.

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 22 Jumadal Akhiroh 1434 H (ditulis selepas shalat Fajar hingga 07: 40, sebelum beranjak ke Seminar di UIN Yogyakarta)

Sumber Artikel

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

MEMAHAMI PERBEDAAN AKAD UTANG PIUTANG (QARDH) DAN KERJASAMA (MUDHAROBAH ; MUSYAROKAH) DENGAN CONTOH KASUS

enak dibaca:

Yang masih bingung antara hutang piutang (qardh) n kerjasama (mudhorobah;musyarokah), silahkan disimak ilustrasi berikut:

▶▶▶▶

? Gimana kabarnya mbak?
? Sehat dek, alhamdulillah.

? Ini saya selain silaturahmi juga ada perlu mbak.
? Apa apa dek…apa yang bisa tak bantu.

? Anu..kalau ada uang 20juta saya mau pinjam.
? Dua puluh juta? Banyak sekali. Untuk apa dek?

?Tambahan modal mbak. Dapat order agak besar, modal saya masih kurang. Bisa bantu mbak?
? Mmm..mau dikembalikan kapan ya?

? InsyaAllah dua bulan lagi saya kembalikan.
? Gitu ya. Ini mbak ada sih 20juta. Rencana untuk beli sesuatu. Tapi kalau dua bulan sudah kembali ya gak apa-apa, pakai dulu aja.

? Wah, terimakasih mbak.
? Ini nanti mbak dapat bagian dek?

? Bagian apa ya mbak?
? Ya kan uangnya untuk usaha, jadi kan ada untungnya tuh. Naa..kalau mbak enggak kasih pinjem kan ya gak bisa jalan usahamu itu, iya kan?
*tersenyum penuh arti*

? Oh, bisa-bisa. Boleh saja kalau mbak pengennya begitu. Nanti saya kasih bagi hasil mbak.
?Besarannya bisa kita bicarakan.
Lha, gitu kan enak. Kamu terbantu, mbak juga dapat manfaat.

? Tapi akadnya ganti ya mbak. Bukan hutang piutang melainkan kerjasama.
? Iyaa..gak masalah. Sama aja lah itu. Cuman beda istilah doang.

?Bukan cuma istilah mbak, tapi pelaksanaannya juga beda.
?Maksudnya??

?Jadi gini mbak: kalau akadnya hutang, maka jika usaha saya lancar atau tidak lancar ya saya tetap wajib mengembalikan uang 20juta itu. Tapi jika akadnya kerjasama, maka kalau usaha saya lancar, mbak akan dapat bagian laba. Namun sebaliknya, jika usaha tidak lancar atau merugi maka mbak juga turut menanggung resiko. Bisa berupa kerugian materi→uangnya
tidak bisa saya kembalikan, atau rugi waktu→ kembali tapi lama.

?Waduh, kalau gitu ya mending uangnya saya deposito kan tho dek: gak ada resiko apa2, uang utuh, dapat bunga pula.

?Itulah riba mbak. Salah satu ciri2nya tidak ada resiko dan PASTI untung.

?Tapi kalau uangku dipinjam si A untuk usaha ya biasanya aku dapet bagi hasil kok dek. 2% tiap bulan. Jadi kalau dia pinjam 10juta selama dua bulan, maka dua bulan kemudian uangku kembali 10juta+400ribu.

?Itu juga riba mbak. Persentase bagi hasil ngitungnya dari laba, bukan berdasar modal yang disertakan.Kalau berdasar modal kan mbak gak tau apakah dia beneran untung atau tidak.

Dan disini selaku investor berarti mbak tidak menanggung resiko apapun donk. Mau dia untung atau rugi mbak tetep dapet 2%. Lalu apa bedanya sama deposito?

?Dia ikhlas lho dek, mbak gak matok harus sekian persen gitu kok.

?Meski ikhlas atau saling ridho kalau tidak sesuai syariat ya dosa mbak.

?Waduh…syariat kok ribet bener ya.

?Ya karena kita sudah terlanjur terbiasa dengan yang keliru mbak. Memang butuh perjuangan untuk mengikuti aturan yang benar. Banyak kalau tidak berkah bikin penyakit lho mbak.hehe.

?Hmmm…ya sudah, ini 20juta nya hutang aja. Mbak gak siap dengan resiko kerjasama. Nanti dikembalikan dalam dua bulan yaa.

?Iya mbak. Terimakasih banyak mbak. Meski tidak mendapat hasil berupa materi tapi insyaAllah
mbak tetap ada hasil berupa pahala.
Amiiin..

▶▶▶▶▶▶

Kalo cuma bicara anti riba…. burung beopun juga bisa.

Kalo cuma diskusi masalh ekonomi umat… ngbrol sama balita yg baru belajar bicara jauh lebih menarik.

Ayuuu hidupkan ekonomi mikro.. berikan pancingan bukan ikan.

investasi dunia akhirat

Notes : perhatikan dlm bisnis akad kerjasama kah?? Atau akad peminjaman uang.. ini 2 hukum islam yg berbeda dn efeknya pun di dunia dan akhirat juga berbeda.

“… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS.Al-baqarah:275)

Sebenarnya apa sih tujuan islam melarang riba? Seharusnya khan asal saling sepakat, saling rela, tidak kena dosa?

Hukum islam itu dibuat untuk mengatur agar manusia mendapatkan kemaslahatan sebesar-besarnya tanpa manusia merugikan siapapun sekecil-kecilnya.

Mari kita bahas contoh LABA dan RIBA agar anda mudah untuk memahami dengan bahasa yang umum:

  1. Saya membeli sebuah sepeda motor Rp. 10 Juta dan saya hendak menjual dengan mengambil untung dengan bunga 1% perbulan untuk jangka waktu pembayaran 1 tahun.
    Transaksi seperti ini tergolong transaksi RIBAWI.
  2. Saya membeli sepeda motor Rp. 10 juta, dan saya hendak menjual secara kredit selama setahun dengan harga Rp. 11.200.000,-. Transaksi ini termasuk transaksi SYARIAH.

Apa bedanya? Khan kalau dihitung2 ketemunya sama Untungnya Rp. 1.200.000?

Mari kita bahas kenapa transaksi pertama riba dan transaksi kedua syar’i.

TRANSAKSI PERTAMA RIBA karena:

  • Tidak ada kepastian harga, karena menggunakan sistem bunga. Misal dalam contoh diatas, bunga 1% perbulan. Jadi ketika dicicilnya disiplin memang ketemunya untungnya adalah Rp. 1.200.000,-. Tapi coba kalau ternyata terjadi keterlambatan pembayaran, misal ternyata anda baru bisa melunasi setelah 15 bulan, maka anda terkena bunganya menjadi 15% alias labanya bertambah menjadi Rp. 1.500.000,-.
  • Jadi semakin panjang waktu yang dibutuhkan untuk melunasi utang, semakin besar yang harus kita bayarkan.
  • Bahkan tidak jarang berbagai lembaga leasing ada yang menambahi embel2 DENDA dan BIAYA ADMINISTRASI, maka semakin riba yang kita bayarkan. Belum lagi ada juga yang menerapkan bunga yang tidak terbayar terakumulasi dan bunga ini akhirnya juga berbunga lagi.
  • Sistem riba seperti diatas jelas2 sistem yang menjamin penjual pasti untung dengan merugikan hak dari si pembeli. Padahal namanya bisnis, harus siap untung dan siap rugi.

TRANSAKSI KEDUA SYARIAH karena:

  • Sudah terjadi akad yang jelas, harga yang jelas dan pasti. Misal pada contoh sudah disepakati harga Rp. 11.200.000,- untuk diangsur selama 12 bulan.
  • Misal ternyata si pembeli baru mampu melunasi utangnya pada bulan ke-15, maka harga yang dibayarkan juga masih tetap Rp. 11.200.000,- tidak boleh ditambah. Apalagi diistilahkan biaya administrasi dan denda, ini menjadi tidak diperbolehkan.
  • Kalau begitu, si penjual jadi rugi waktu dong? Iya, bisnis itu memang harus siap untung siap rugi. Tidak boleh kita pasti untung dan orang lain yang merasakan kerugian.

Nah, ternyata sistem islam itu untuk melindungi semuanya, harus sama hak dan kewajiban antara si pembeli dan si penjual. Sama-sama bisa untung, sama-sama bisa rugi. Jadi kedudukan mereka setara. Bayangkan dengan sistem ribawi, kita sebagai pembeli ada pada posisi yang sangat lemah.

Nah, sudah lebih paham hikmahnya Alloh melarang RIBA?

Kalau menurut anda informasi ini akan bermanfaat untuk anda dan orang lain, silakan share status ini, untuk menebar kebaikan.

Dakwah anda hanya dengan meng-KLIK SHARE/BAGIKAN, maka anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share anda, dan juga jika dishare lagi anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share kawan anda.
Mungkin lebih tepatnya MULTI LEVEL PAHALA, Hehehe

Mudah khan cari pahala? Mudah tapi tak semua yang membaca status ini mau men-share, ada bisikan syetan: “Ga usah dishare, ngapain disuruh share mau aja……”

Iya, memang syetan dengan bisikan halusnya didalam sanubari kita, mengajak untuk malas untuk menebar kebaikan. Ya sudah, ga apa2 kalau anda tidak mau share. Semoga Alloh selalu meridhoi kita semua.

Semoga bermanfaat

Sumber : WA Group

Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM HANYA ANGGOTA SEPUTAR KOPERASI

LURUSKAN NIAT DALAM BERGABUNG DENGAN KOMUNITAS ANTI RIBA KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

no riba

Koperasi Syariah Arrahmah bukan sekedar koperasi yang didirikan atas prinsip mencari untung / kesejahteraan dunia semata. Menurut definisi hukum di Indonsia, Koperasi adalah merupakan singkatan dari kata ko / co dan operasi / operation. Koperasi adalah suatu kumpulan orang-orang untuk bekerja sama demi kesejahteraan bersama. Berdasarkan undang-undang nomor 12 tahun 1967, koperasi indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan beranggotakan orang-orang, badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Namun, kembali kami tekankan disini, Koperasi Syariah Arrahmah bukan sekedar sebagaimana disampaikan pada definisi diatas, melainkan insya Allah lebih dari itu. Melalui koperasi ini, diharapkan terbangun sebuah komunitas yang beranggotakan kaum muslimin yang anti riba karena yang bertransaksi adalah orang-orang yang paham dan sadar dosa serta bahaya riba. Koperasi ini juga diharapkan menjadi komunitas yang menjunjung tinggi kepercayaan dan amanah dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat, karena salah satu persyaratan untuk bertransaksi di koperasi Syariah Arrahmah adalah memiliki PENJAMIN. Adapun, tidak mungkin anggota bisa menjadi penjamin jika dia tidak jujur dan amanah dan tidak mungkin pula dia MAU MENJAMIN saudaranya, keluarganya, sahabatnya, temannya, jika yang akan dijamin tidak jujur maupun amanah dalam menjaga kepercayaan yang diberikan oleh saudaranya melalui koperasi kepadanya.

Koperasi Syariah Arrahmah insya Allah lebih dari sekedar koperasi syariah biasa. Kami sangat berharap anggota koperasi Syariah Arrahmah yang bergabung dalam komunitas ini kembali meluruskan niat bahwa semua dilakukan semata-mata karena Allah Ta’ala, untuk menjaga diri dan keluarga dari memperoleh harta dengan transaksi riba, demi menolong saudara lainnya agar mereka tidak terperosok ke dalam jurang dosa riba, serta saling menjaga kepercayaan dan amanah harta investasi yang dititipkan saudaranya untuk dikelola koperasi demi kemaslahatan bersama, kesejahteraan bersama, di dunia maupun kelak di akhirat.

Agar kita berilmu dan benar-benar paham kenapa harus berkomunitas melalui koperasi Syariah Arrahmah ataupun koperasi lain yang semisal dengannya, komunitas lain yang semisal dengannya, sebagaimana dijelaskan pada paragraf sebelumnya, maka penting bagi anda untuk membaca ulasan artikel berikut yang insya Allah bermanfaat bagi kehidupan di dunia, terlebih lagi di akhirat kelak. Semoga bermanfaat.

Komunitas Tak Jelas

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Setiap komunitas, menanamkan loyalitas. Mereka saling mencintai, saling membantu, saling menolong, saling membela, karena mereka satu komunitas.

Mereka bisa melakukan seperti itu, karena mereka memiliki satu ikatan yang sama. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena kesamaan itu.

Yang menjadi masalah adalah ikatan apa yang melatar belakangi terjalinnya komunitas itu?

Ada banyak ragam kesamaan, yang membuat manusia membangun komunitas.

Ada yang membangun komunitas, karena ikatan batu akik. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, penggemar batu akik.

Ada yang membangun komunitas karena Moge. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, pemilik moge.

Ada juga yang membangun komunitas karena mobil VW. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, pemilik VW.

Pun ada komunitas yang dibentuk karena kamera. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, sama-sama penggemar fotografi.

Meskipun ada yang membangun komunitas karena islam. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, mereka muslim ahlus sunah.

Dan masih banyak aneka ikatan komunitas yang dibentuk masyarakat.

Kita tentu yakin, semua yang kita lakukan ini tidak ada yang sia-sia. Semua akan dipertanggung jawabkan kelak di yaumul akhir. Sampaipun kegiatan ber-komunitas yang kita lakukan. Allah menegaskan,

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.

Isi surat az-Zalzalah. Inilah yang menjadi keyakinan kita. Sekecil apapun yang kita lakukan, akan dipertanggung jawabkan. Terlebih, dalam masalah loyalitas, di sana ada amal besar yang seharusnya diperhatikan. Bahkan para ulama mencamtumkannya dalam pembahasan aqidah. Itulah al-Wala’ wal Bara’.

Islam mengajarkan kepada kita, agar sikap loyalitas yang kita bangun, dilakukan atas dasar islam. Loyalitas, karena Allah ta’ala. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena Allah.

Ada banyak keutamaan, ketika seseorang membangun loyalitas karena Allah.

Pertama,  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai amal yang paling utama

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الأَعْمَالِ الْحُبُّ فِى اللَّهِ وَالْبُغْضُ فِى اللَّهِ

“Amal yang paling afdhal adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Ahmad 21909, Abu Daud 4601 dan dishahihkan al-Albani).

Kedua, Allah berikan janji, orang yang membangun loyalitas dengan sesamanya karena Allah, akan diberi naungan kelak di hari kiamat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلاَلِى الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِى ظِلِّى يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّى

Allah berfirman pada hari kiamat, “Dimanakah orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini akan Aku naungi dia, di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Ahmad 7432 & Muslim 6713).

Ketiga, amalan ini dibanggakan di hari kiamat, hingga para nabi iri kepadanya

Dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ لأُنَاسًا مَا هُمْ بِأَنْبِيَاءَ وَلاَ شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمُ الأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِمَكَانِهِمْ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى

Ada diantara manusia biasa hamba Allah, yang mereka buka nabi, bukan pula para syuhada. Namun para nabi dan para syuhada, iri kepadanya pada hari kiamat, karena kedudukan mereka yang dekat di sisi Allah Ta’ala.

“Ya Rasulullah, sampaikan kepada kami, siapakah mereka?” tanya para sahabat.

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan,

هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا بِرُوحِ اللَّهِ عَلَى غَيْرِ أَرْحَامٍ بَيْنَهُمْ وَلاَ أَمْوَالٍ يَتَعَاطَوْنَهَا

Mereka adalah orang yang saling mencintai karena Allah, bukan karena hubungan kerabat, bukan pula karena harta benda yang mereka miliki. (HR. Abu Daud 352, Ibn Hibban 573 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Allahu akbar… betapa agungnya janji indah Allah untuk amalan ini. Loyal karena Allah. saling mencintai dan saling membela, karena Allah.

Di saat yang sama, islam juga melarang, manusia membangun fanatisme karena suku dan golongan. Karena ini sumber perpecahan kaum muslimin. Mereka diikat dengan satu ikatan agama, namun mereka bercerai karena ikatan ormas dan komunitas.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan mengancam, jika ada orang yang mati karena berjuang membela suku, kelompok, ormasnya, maka dia mati jahiliyah. Artinya, mati dalam kondisi membawa dosa.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُو إِلَى عَصَبِيَّةٍ أَوْ يَغْضَبُ لِعَصَبِيَّةٍ فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

Siapa yang berjuang di bawah bedera ‘immiyah’, mengajak masyarakat kepada fanatisme kelompok, membela fanatisme kelompok, lalu dia terbunuh, maka dia mati jahiliyah. (HR. Ahmad 8164, Muslim 4892, dan yang lainnya).

Makna bendera ‘Immiyah’. Kita simak keterangan Ibnul Atsir,

Kata Immiyah mengikuti wazan fi’liyah, dari kata al-‘Ama’ [العماء], yang artinya kesesatan. Seperti orang yang berperang karena fanatisme golongan dan hawa nafsu. (an-Nihayah, 3/304)

Kata Fuad Abdul Baqi mellanjutkan keterangan Ibnul Atsir,

كالقتال في العصبية والأهواء وهي الأمر الذي لا يستبين وجهه . وهو كناية عن جماعة مجتمعين على أمر مجهول لا يعرف أنه حق أو باطل

Seperti orang yang berperang karena fanatisme golongan dan hawa nafsu, yang urusannya tidak jelas arahnya. Ini merupakan isyarat tentang sekelompok kominitas yang diikat dengan sesuatu tak jelas. Dia tidak tahu, apakah itu benar atau bathil. (Hasyiyah Ibnu Majah, untuk hadis no. 3948)

Apa yang bisa kita bayangkan, ketika di hari kiamat kita diadili kemudian ditanya, mengapa kamu membela fulan? Akankah kita menjawabnya,

Karena kita sama-sama punya moge…

Karena kita sama-sama punya VW…

Karena kita sama-sama penggemar akik…

Karena kita sama-sama orang lamongan…??!

Komunitas Hanya Komunitas

Jika anda menjamin, komunitas ini hanya terkait masalah dunia, maka jangan sampai terbangun loyalitas dan fanatisme. Hingga saling mencintai dan saling membela karena ikatan tidak jelas.

Pokoknya yang ada di komunitas ini akan dibela, apapun agamanya, bahkan sekalipun dia melanggar. Sekalipun harus berhadapan dengan tuntutan di pengadilan. Ini jelas loyalitas.

Karena itu, seharusnya komunitas hanya dijadikan alat bantu. Saling membantu melengkapi kekurangan yang kita butuhkan.

Anda penganut komunitas mobil tua, boleh saja berkumpul dengan sesama penggemar mobil tua. Sehingga ketika ada bagian sparepart yang anda butuhkan, anda tidak perlu susah mencarinya.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Sumber Artikel