Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM

ADAB BERHUTANG – PENTING DIBACA SEBELUM BERTRANSAKSI DENGAN KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

Adab-berhutang

Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc

“Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ?” ucap salah seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka beliau menjawab : “Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?”

Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah persepsi dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali seorang muslim memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga diapun terlihat taat ke masjid, melakukan hal-hal yang sunat, seperti ; shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia terkadang mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak dan jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan, agar sebagai muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim dalam mu’amalahnya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka seyogyanya juga harus muslim juga dalam mu’amalahnya dengan manusia.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)” [al-Baqarah/2: 208]

Oleh karenanya, dialog murid terkenal Imam Abu Hanifah tadi layak dicerna dan dipahami. Seringkali zuhud diterjemahkan dengan pakaian lusuh, makanan sederhana, atau dalam arti kening selalu mengkerut dam mata tertunduk, supaya terlihat sedang tafakkur. Akan tetapi, kalau sudah berhubungan dengan urusan manusia, maka dia tidak menghiraukan yang terlarang dan yang tercela.

Hutang-pihutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan bahan kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-pihutang merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan mu’amalat. Di dalam Al-Qur’an, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah hutang-pihutang ini, dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan seseorang yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.

HUTANG HARUS DIPERSAKSIKAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [al-Baqarah/2: 282]

Mengenai ayat ini, Ibnul Arabi rahimahullah di dalam kitab Ahkam-nya menyatakan : “Ayat ini adalah ayat yang agung dalam mu’amalah yang menerangkan beberapa point tentang yang halal dan haram. Ayat ini menjadi dasar dari semua permasalahan jual beli dan hal yang menyangkut cabang (fikih)” [1]

Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan” [2]

Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Maka tulislah …” maksudnya adalah tanda pembayaran untuk megingat-ingat ketika telah datang waktu pembayarannya, karena adanya kemungkinan alpa dan lalai antara transaksi, tenggang waktu pembayaran, dikarenakan lupa selalu menjadi kebiasaan manusia, sedangkan setan kadang-kadang mendorongnya untuk ingkar dan beberapa penghalang lainnya, seperti kematian dan yang lainnya. Oleh karena itu, disyari’atkan untuk melakukan pembukuan hutang dan mendatangkan saksi” [3]

“Maka tulislah…”, secara zhahir menunjukkan, bahwa dia menuliskannya dengan semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan hakim, apabila suatu saat perkara hutang-pihutang ini diangkat kepadanya. [4]

BOLEHKAH BERHUTANG?
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan syari’at,dan merupakan salah satu bentuk realisasi dari hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Baragsiapa yang melapangkan seorang mukmin dari kedurhakaan dunia, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melapangkan untuknya kedukaan akhirat”

Para ulama mengangkat permasalahan ini, dengan memperbandingkan keutamaan antara menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih utama?

Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syari’at, akan tetapi dalam sudut kebutuhan yang dharurat, sesungguhnya orang yang berhutang selalu berada pada posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia berhutang. Sehingga menghutangkan disebutkan lebih utama dari sedekah, karena seseorang yang diberikan pinjaman hutang, orang tersebut pasti membutuhkan. Adapun bersedekah, belum tentu yang menerimanya pada saat itu membutuhkannya.

Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata kepada Jibril : “Kenapa hutang lebih utama dari sedekah?” Jibril menjawab, “Karena peminta, ketika dia meminta dia masih punya. Sedangkan orang yang berhutang, tidaklah mau berhutang, kecuali karena suatu kebutuhan”. Akan tetapi hadits ini dhaif, karena adanya Khalid bin Yazid Ad-Dimasyqi. [5]

Adapun hukum asal berhutang harta kepada orang lain adalah mubah, jika dilakukan sesuai tuntunan syari’at. Yang pantas disesalkan, saat sekarang ini orang-orang tidak lagi wara’ terhadap yang halal dan yang haram. Di antaranya, banyak yang mencari pinjaman bukan karena terdesak oleh kebutuhan, akan tetapi untuk memenuhi usaha dan bisnis yang menjajikan.

Hutang itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hutang baik. Yaitu hutang yang mengacu kepada aturan dan adab berhutang. Hutang baik inilah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; ketika wafat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berhutang kepada seorang Yahudi dengna agunan baju perang. Kedua, hutang buruk. Yaitu hutang yang aturan dan adabnya didasari dengan niat dan tujuan yang tidak baik.

ETIKA BERHUTANG
1. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan tabi’at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang yang mengerti membalas budi.

Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. [6]

2. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tertera dalam surat Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia telah memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut, saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.

كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللَّهُ بِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian” [7]

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.

أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي

“Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dan menambahkannya” [8]

3. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.
a. Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b. Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c. Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ

“Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya” [9]

Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas [10] Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan azam untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang berazam pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang baqa (kekal)?

4. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang meminjamkan dengan harga lebih mahal dari biasanya.

5. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.

إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوْا اْلأَمَاناَتِ إِلىَ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيْراً

” Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. [an-Nisa/4 : 58]

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah : “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang” [HR Bukhari no. 2390]

Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.

a. Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata. :

أَنَّ رَجُلًا تَقَاضَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَغْلَظَ لَهُ فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُهُ فَقَالَ دَعُوهُ فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا وَاشْتَرُوا لَهُ بَعِيرًا فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ وَقَالُوا لَا نَجِدُ إِلَّا أَفْضَلَ مِنْ سِنِّهِ قَالَ اشْتَرُوهُ فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً

“Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya”. Mereka (para sahabat) berkata : “Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari untanya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling baik dalam pembayaran” [11]

Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20

b. Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْم

“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman” [12]

Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. :

لَيُّ الوَاجِدِ يَحِلُّ عُقُوْبَتَه ُوَعِرْضه

“Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) keehormatannya”.

Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan ‘engkau telah menunda pebayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya” [13]

c.. Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ

“Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya” [14]

d. Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.

Hasan berkata, “Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh memerdekakan, menjual atau membeli” [15]

Bahkan Dawud berkata, “Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia tidak diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu dilakukan, maka dikembalikan” [16]

Kemungkinan –wallahu a’lam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi melunasinya.

6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.

Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.

7. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan solusi terakhir setelah semuanya terbentur.

8. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ

“Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya” [17]

9. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh ditolak
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :

مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ

“Menunda pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu kezhaliman. Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka hendaklah dia menurutinya. [18]

10. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.

Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. [19]

BAGI YANG MENGHUTANGKAN AGAR MEMBERI KERINGANAN KEPADA YANG BERHUTANG
Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan dari yang menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi pemberian pinjamannya tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu pembayaran. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan tujuan yang sangat baik ini dikotori dengan mengambil keuntungan dibalik kesusahan yang berhutang.

Di antara yang dapat dilakukan oleh yang menghutangkan kepada yang berhutang ialah.

1. Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
Misalnya, dengan uang satu juta rupiah yang dipinjamkannya tersebut, dia dapat beramal dengan kebaikan berikutnya, seperti meringankan pembayaran si penghutang, atau dengan boleh membayarnya dengan jumlah di bawah satu juta rupiah, atau bisa juga mengizinkan pembayarannya dilakukan dengan cara mengangsur, sehingga si penghutang merasa lebih ringan bebannya.

2. Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
Si pemberi pinjaman dapat pula berbuat baik degan memberi kelonggaran waktu pembayaran, sampai si penghutang betul-betul sudah mampu melunasi hutangnya.

Dari Hudzaifah Radhyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Suatu hari ada seseorang meninggal. Dikatakan kepadanya (mayit di akhirar nanti). Apa yang engkau perbuat? Dia menjawab. :

كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فَأَتَجَوَّزُ عَنْ الْمُوسِرِ وَأُخَفِّفُ عَنْ الْمُعْسِرِ فَغُفِرَ لَهُ

“Aku melakukan transaksi, lalu aku menerima ala kadarnya bagi yang mampu membayar (hutang) dan meringankan bagi orang yang dalam kesulitan. Maka dia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)”. [20]

3. Pemberi pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan cara membebaskan hutang, sehingga si penghutang tidak perlu melunasi pinjamannya.

Beginilah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih. Jika mereka ingin memberi pemberian, maka mereka melakukan transaksi jual beli terlebih dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya atau dia pinjamkan, kemudian dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua kebahagian dan akan menambah pahala bagi yang memberi.

Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli onta dari Jabir bin Abdullah dengan harga yang cukup mahal. Setibanya di Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran dan menghadiahakn onta yang telah dibeli tersebut kepada Jabir.

Contoh kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu dirham. Lalu dia keluar menuju masjid dan bertemu dengan Utsman. Thalhah berkata, “Uangmu telah cukup, maka ambillah!”. Namun Utsman menjawab : “Dia untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga muruah (martabat)mu”.

Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu merasa bahwa saudara-saudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya : “Mereka malu dengan hutangnya kepadamu”, dia (Qais) pun menjawab, “Celakalah harta, dapat menghalangi saudara untuk menjenguk saudaranya!”, Kemudian dia memerintahkan agar mengumumkan : “Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia telah lunas”. Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena banyaknya orang yang menjenguk. [21]

Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa memahami, bahwa Islam menginginkan kaum Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup mereka dengan mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Dalam permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya selalu demawan menginfakkan harta Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dititipkan kepadanya kepada jalan-jalan kebaikan. Di sisi lain, seorang yang fakir, hendaklah hidup dengan qana’ah dan ridha dengan apa yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya.

Semoga kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang, dianugerahkanNya ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang halal dan baik.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
_______
Footnote.
[1]. Ahkamul Qur’an, Ibnul Arabi, Beirut, Darul Ma’rifah, 1/247
[2]. Tafsir Quranil Azhim, 3/316
[3]. Ahkamul Qur’an, Ibnu Katsir, Madinah, Maktabah Jami’ Ulum wal Hikam, 1993, 1/247
[4]. Ibid
[5]. Sunan Ibnu Majah, no. 2431
[6]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 1416-1995, hal. 2/51
[7]. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305
[8]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394
[9]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387
[10]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[11]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390
[12]. Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427
[13]. Ibid, no. 2401
[14]. Ibid, no. 2402
[15]. Fathul Bari (5/62)
[16]. Ibid (5/54)
[17}. HR Abu Dawud, Al-Buyu, Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain
[18]. HR Bukhari, Al-Hawalah, no. 2288
[19]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2405
[20]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2391
[21].Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah, Tahqiq Ali Hasan bin Abdul Hamid, Oman, Dar Ammar, cet II, 1415-1994 hal. 262-263

Sumber: https://almanhaj.or.id/2716-adab-berhutang.html

Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH TIDAK MELAYANI SIMPAN PINJAM

Koperasi saat ini memang sangat identik dengan aktivitas simpan pinjam. Kebanyakan koperasi, baik konvensional maupun syariah bertopang pada kegiatan simpan pinjam sebagai produk andalan, terlepas dari namanya yang umum ataupun dengan label islami.

Namun Koperasi Syariah Arrahmah berbeda. Koperasi Syariah Arrahmah merupakan jenis koperasi konsumen yang yang beranggotakan para konsumen dengan menjalankan kegiatan jual beli, menjual barang konsumsi, dilakukan secara tunai/cash maupun kredit (cicil/tunda) Tujuan koperasi ini adalah untuk memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi anggotanya dengan cara mengadakan barang atau jasa yang murah, berkualitas, dan mudah didapat oleh koperasi.

Lantas timbul pertanyaan kenapa koperasi syariah arrahmah memilih jenis koperasi konsumen?

Hal ini disebabkan koperasi Konsumen Syariah Arrahmah sangat komitmen dengan transaksi yang tidak mengandung riba maupun transaksi yang bisa melanggar hukum syar’i. Koperasi Syariah Arrahmah memilih tranksasi yang selamat sehingga hasil yang diperoleh menjadi halal dan berkah. Sangat jelas sekali KAIDAH ISLAM mengatakan bahwa :

” Setiap Piutang yang Mendatangkan Keuntungan Adalah Riba”

Agar tidak dikatakan bahwa Koperasi Syariah Arrahmah hanya mengarang-ngarang suatu kaidah yang mungkin banyak berseberangan dengan yang lazimnya berlaku di masyarakat, silahkan simak tulisan dibawah sehingga kita menjadi paham kaidah diatas dan semakin berhati-hati saat akan bermuamalah dengan kaum muslimin atau lembaga semisal yang melayani transaksi simpan pinjam (utang piutang) namun ternyata mengandung riba.

Kaidah Penting Seputar Transaksi Riba: Setiap Keuntungan Dari Piutang Adalah Riba

 


Kaidah Pertama: Setiap Keuntungan dari Piutang Adalah Riba.

Ditinjau dari tujuannya, berbagai transaksi yang dilakukan oleh manusia dapat kita bagi menjadi tiga bagian:

  1. Transaksi yang bertujuan untuk mencari keuntungan, misalnya jual beli, sewa-menyewa, mudharabah dan lain-lain.
  2. Transaksi yang bertujuan memberikan bantuan uluran tangan dan meringankan kesusahan orang lain, misalnya hutang-piutang, peminjaman barang, penitipan barang, hibah dan lain-lain.
  3. Transaksi yang bertujuan memberikan jaminan kepada pihak lain, bahwa haknya tidak akan hilang, misalnya pegadaian, jaminan dan lain-lain.

Akad jenis kedua, biasanya terjadi antara orang yang sedang dalam kesusahan, sehingga ia membutuhkan pertolongan orang lain yang memiliki kelapangan dalam hal harta benda atau lainnya. Pada keadaan semacam ini, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk tidak memancing dalam air keruh. Bahkan bukan sekadar melarang, Islam juga menganjurkan umatnya untuk ikut andil dalam menjernihkan air yang sedang keruh; yaitu dengan cara memberikan pertolongan dan bantuan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ. رواه مسلم

“Dan Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama ia menolong saudaranya.” (HR Muslim)

Dalam hal hutang piutang, Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَة وأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُم تَعْلَمُون .البقرة: 280

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedakahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 280)

Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari al-Hanafi berkata, “Tidaklah ada orang yang sudi menanggung riba, selain orang yang sedang terhimpit oleh kebutuhan dan kesusahannya. Sehingga, seharusnya orang yang demikian ini dikasihani, disayangi dan ditolong. Oleh karena itu, orang-orang semacam ini biasanya berhak untuk menerima sedekah. Andaikata kita tidak bersedekah, maka paling tidak kita tidak meminta tambahan/bunga atas piutangnya. Akan tetapi, bila kita tetap juga meminta tambahan atas piutangnya, maka sikap ini menunjukkan, bahwa kita benar-benar tidak memiliki rasa iba dan sangat berambisi untuk menumpuk harta. Sudah barang tentu sikap ini tidak layak bagi orang yang beriman, bahwa ia akan meninggalkan kehidupan fana ini.” (Mahaasin al-Islam oleh Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari al-Hanafi, hal. 84)

Ucapan senada juga diutarakan oleh Ibnu Taimiyyah, “Pada asalnya, tidaklah ada orang yang sudi untuk bertransaksi dengan cara riba, selain orang yang sedang dalam kesusahan. Bila tidak, maka sudah barang tentu orang yang dalam kelapangan tidak mungkin rela untuk membeli barang seharga 1000 dengan harga 1200 dengan pembayaran dihutang, bila ia benar-benar sedang tidak membutuhkan uang 1000 tersebut. Orang yang rela untuk membeli barang dengan harga yang melebihi harga semestinya hanyalah orang yang sedang dalam kesusahan. Sehingga perbedaan harga kredit dengan kontan tersebut merupakan tindak kezhaliman kepada orang yang sedang mengalami kesusahan… dan riba benar-benar terwujud padanya tindak kezhaliman kepada orang yang sedang kesusahan. Oleh karenanya, riba sebagai lawan dari sedekah. Hal ini karena Allah tidaklah membebaskan orang-orang kaya, hingga mereka menyantuni orang-orang fakir karena kemaslahatan orang kaya dan juga fakir dalam urusan agama dan dunia tidak akan terwujud dengan sempurna, melainkan dengan cara tersebut.” (al-Qawaid an-Nuraniyah, hal. 116)

Dikarenakan alasan yang sangat mulia ini, syariat Islam mengharamkan setiap keuntungan yang dikeruk dari piutang, dan menyebutnya sebagai riba. Oleh karenanya, para ulama menegaskan hal ini dalam sebuah kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fikih, yaitu:

كل قرض جر نفعا فهو ربا

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.” (baca al-Muhadzdzaboleh asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 & 213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan lain-lain)

Imam asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata, “Tidak dibenarkan setiap piutang yang mendatangkan manfaat/keuntungan. Misalnya, ia menghutangi orang lain 1000 (dinar), dengan syarat penghutang menjual rumahnya kepada pemberi hutang, atau mengembalikannya dengan lempengan dinar yang lebih baik atau lebih banyak, atau menuliskan suftajah[1], sehingga ia diuntungkan dalam wujud rasa aman selama di perjalanan. Dalil hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نهى عن سلف وبيع

“Melarang salaf (piutang) bersama jual-beli.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan dihasankan oleh al-Albani)

Yang dimaksud dengan salaf ialah piutang, kata salaf adalah bahasa orang-orang Hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya -pen). Diriwayatkan dari sahabat Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhum, bahwa mereka semua melarang setiap piutang yang mendatangkan manfaat, karena piutang adalah suatu akad yang bertujuan untuk memberikan uluran tangan (pertolongan), sehingga bila pemberi piutang mensyaratkan suatu manfaat, maka akad piutang telah keluar dari tujuan utamanya.” (al-Muhadzdzab oleh Imam asy-Syairazy asy-Syafi’i, 1/304)

Muhammad Nawawi al-Bantaani berkata, “Tidak dibenarkan untuk berhutang uang atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan keuntungan bagi pemberi piutang, misalnya dengan syarat: pembayaran lebih atau dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudholah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu,

كل قرض جر منفعة فهو ربا

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan, maka itu adalah riba.” [2]

Maksudnya setiap piutang yang dipersyaratkan padanya suatu hal yang akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemberi piutang maka itu adalah riba. Bila ada orang yang melakukan hal itu, maka akad hutang-piutangnya batal, bila persyaratan itu terjadi pada saat akad berlangsung.” (Nihayatu az-Zain Fi Irsyad al-Mubtadiin oleh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi 242. Keterangan serupa juga dapat dibaca di Mughni al-Muhtaaj oleh asy-Syarbini, 2/119, Nihayatu al-Muhtaaj oleh ar-Ramli, 4/231)

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap keuntungan dalam hutang piutang, baik berupa materi atau jasa atau yang lainnya adalah haram, karena itu semua adalah riba. Bukan hanya mengharamkan riba, Islam juga membuka pintu-pintu kebaikan dan amal salih, yaitu dengan menganjurkan umatnya untuk menunda atau memaafkan haknya, Allah Ta’ala berfirman,

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan bila orang yang berhutang itu dalam kesusahan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 280)

Untuk sedikit mengetahui betapa besarnya pahala yang akan didapatkan oleh orang yang memberikan pertolongan kepada orang yang sedang kesusahan, maka saya mengajak pembaca untuk kembali merenungkan kisah berikut:

عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : أتى الله بعبد من عباده آتاه الله مالا، فقال له: ماذا عملت في الدنيا؟ قال: ]ولا يكتمون الله حديثا[ قال: يا رب آتيتني مالك، فكنت أبايع الناس، وكان من خلقي الجواز، فكنت أتيسر على الموسر وأنظر المعسر، فقال الله: أنا أحق بذا منك، تجاوزوا عن عبدي متفق عليه

“Sahabat Hudzaifah radhiallahu a’nhu menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘(Pada hari kiamat kelak) Allah mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah  bertanya kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan ketika di dunia?’ [Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian] (Qs. an-Nisa: 42) Ia pun menjawab, ‘Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan aku berjual beli dengan orang lain, dan kebiasaanku (akhlakku) adalah senantiasa memudahkan, aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu.’ Kemudian Allah berfirman, ‘Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Betapa indahnya syariat Islam dan betapa mulianya akhlak seseorang yang benar-benar mengamalkan ajaran agama Allah. Jika beranjak dari hati yang jernih dan objektif kita mau merenungkan syariat Islam yang berkaitan dengan hutang piutang ini, niscaya kita akan sampai pada keyakinan, bahwa syariat ini adalah syariat yang benar-benar datang dari Allah Ta’ala.

Footnote:

[1] Suftajah ialah semacam surat kuasa yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, sehingga dengan surat kuasa tersebut pemegang surat kuasa dapat mencairkan uangnya di tempat lain dari perwakilan pihak yang mengeluarkan surat tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa Suftajah pada zaman dahulu, berfungsi seperti fungsi cek pada zaman sekarang. Baca al-Misbah al-Munir oleh al-Fayyumi 1/278 dan al-Qamus al-Muhith oleh al-Fairuz Abadi 1/301.

[2] Ucapan Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu diriwayatkan oleh al-Baihaqi. Ucapan serupa juga diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salaam dan Anas bin Malik radhialahu ‘anhum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, di antaranya sahabat Abdullah bin Salaam dan Anas bin Maalik.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 29/334).

-bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri
Artikel www.PengusahaMuslim.com

Sumber artikel

Categories
ARTIKEL MUAMALAH

BELI LAPTOP TERBARU, HANDPHONE, MOTOR, ATAU LAINNYA SECARA KREDIT SEBAIKNYA BAGAIMANA ?

Koperasi Syariah Arrahmah memang memberikan kemudahan bagi kaum muslimin yang ingin membeli barang secara kredit dengan berbagai alasan, dan alasan utama adalah karena beli lewat koperasi syariah Arrahmah insya Allah selamat dari transaksi riba dan tidak ada denda terlambat bayar. Silahkan anda beli laptop keluaran terbaru, handphone terbaru, motor, tablet android,  atau lainnya melalui koperasi kami. Bisa secara kredit atau cash.

Alhamdulillah sudah banyak produk barang yang bisa dibeli melalui koperasi syariah arrahmah. Transaksi Murabahah yang sudah bisa dilakukan melalui koperasi Syariah Arrahmah yakni :

  1. Rumah (jangka waktu maksimal 3 tahun)
  2. Tanah (jangka waktu maksimal 3 tahun)
  3. Mobil (jangka waktu maksimal 3 tahun)
  4. Motor (jangka waktu maksimal 3 tahun)
  5. Elektronik (jangka waktu maksimal 1 tahun)
  6. Komputer & Laptop (jangka waktu maksimal 1 tahun)
  7. Gadget (jangka waktu maksimal 1 tahun)
  8. Handphone & Smartphone (jangka waktu maksimal 1 tahun)
  9. Perabot Rumah Tangga (jangka waktu maksimal 1 tahun)
  10. Lainnya

 

Insya Allah semua mudah jika seluruh persyaratan terpenuhi.

Namun kami kembali mengingatkan kaum muslimin agar selalu membeli barang sesuai kebutuhan, bukan sesuai keinginan. Ketika anda benar-benar membutuhkan, maka silahkan beli dan manfaatkan kemudahan dari kami, membeli secara kredit yang syar’i. Dan hendaklah  jangan sampai anda memperturutkan semua keinginan hati. Hal ini disebabkan Islam bahkan sudah mengatur bagaimana seorang muslim membelanjakan rizki/hartanya. Simak tulisan dibawah ini agar anda paham bagaimana sebaiknya anda mengatur dan memanfaatkan rejeki yang sudah dianugerahkan Allah kepada kita.

Selamat membaca, semoga bermanfaat.

========================================================================

Agama Islam yang sempurna telah mengatur dan menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh kaum muslimin untuk menyelenggarakan semua urusan dalam hidup mereka, untuk kemaslahatan dan kebaikan mereka dalam urusan dunia maupun agama.

Allah Ta’ala berfirman,

{وَنزلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ}

Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang berserah diri” (QS an-Nahl:89).

Dan ketika sahabat yang mulia, Salman al-Farisy ditanya oleh seorang musyrik: Sungguhkah nabi kalian (nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) telah mengajarkan kepada kalian segala sesuatu sampai (masalah) adab buang air besar? Salman menjawab: “Benar, beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami menghadap ke kiblat ketika buang air besar atau ketika buang air kecil…[1].

Tidak terkecuali dalam hal ini, masalah yang berhubungan dengan mengatur dan membelanjakan rizki/penghasilan, semua telah diatur dalam al-Qur’an dan hadits-hadits yang shahih.

Misalnya, tentang keutamaan menginfakkan harta untuk kebutuhan keluarga, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«إِنَّكَ لَنْ تُنْفِقَ نَفَقَةً تَبْتَغِى بِهَا وَجْهَ اللَّهِ إِلاَّ أُجِرْتَ عَلَيْهَا، حَتَّى مَا تَجْعَلُ فِي فِي امْرَأَتِكَ»

Sungguh tidaklah engkau menginfakkan nafkah (harta) dengan tujuan mengharapkan (melihat) wajah Allah (pada hari kiamat nanti) kecuali kamu akan mendapatkan ganjaran pahala (yang besar), sampaipun makanan yang kamu berikan kepada istrimu[2].

Kewajiban Mengatur Pembelanjaan Harta

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

«لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ»

Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya[3].

Hadits yang agung ini menunjukkan kewajiban mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hal-hal yang baik dan diridhai oleh Allah, karena pada hari kiamat nanti manusia akan dimintai pertanggungjawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di dunia[4].

Dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai bagi kalian tiga perkara…(di antaranya) idho’atul maal (menyia-nyiakan harta)[5].

Arti “idho’atul maal” (menyia-nyiakan harta) adalah menggunakannya untuk selain ketaatan kepada Allah Ta’ala, atau membelanjakannya secara boros dan berlebihan[6].

Antara Pemborosan dan Penghematan yang Berlebihan

Sebaik-baik cara mengatur pembelanjaan harta adalah dengan mengikuti petunjuk AllahTa’ala, sebagaimana dalam firman-Nya:

{وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا}

Dan (hamba-hamba Allah yang beriman adalah) orang-orang yang apabila mereka membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan mereka) di tengah-tengah antara yang demikian” (QS al-Furqaan:67).

Artinya: mereka tidak mubazir (berlebihan) dalam membelanjakan harta sehingga melebihi kebutuhan, dan (bersamaan dengan itu) mereka juga tidak kikir terhadap keluarga mereka sehingga kurang dalam (menunaikan) hak-hak mereka dan tidak mencukupi (keperluan) mereka, tetapi mereka (bersikap) adil (seimbang) dan moderat (dalam pengeluaran), dan sebaik-baik perkara adalah yang moderat (pertengahan)[7].

Juga dalam firman-Nya,

{وَلا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا}

Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenngu pada lehermu (terlalu kikir) dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya (terlalu boros), karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal” (QS al-Israa’:29).

Imam asy-Syaukani ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata: “Arti ayat ini: larangan bagi manusia untuk menahan (hartanya secara berlebihan) sehingga mempersulit dirinya sendiri dan keluarganya, dan larangan berlebihan dalam berinfak (membelanjakan harta) sampai melebihi kebutuhan, sehingga menjadikannnya musrif (berlebih-lebihan/mubazir). Maka ayat ini (berisi) larangan dari sikap ifrath (melampaui batas) dan tafrith (terlalu longgar), yang ini melahirkan kesimpulan disyariatkannya bersikap moderat, yaitu (sikap) adil (seimbang) yang dianjurkan oleh Allah”[8].

Waspadai Fitnah (Kerusakan) Harta!

Perlu diwaspadai dalam hal yang berhubungan dengan pembelanjaan harta, fitnah (kerusakan) yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta tersebut, sebagaimana yang telah diingatkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau,

«إِنَّ لِكُلِّ أُمَّةٍ فِتْنَةٌ، وَفِتْنَةَ أُمَّتِي الْمَالُ»

Sesungguhnya pada setiap umat (kaum) ada fitnah (yang merusak/menyesatkan mereka) dan fitnah (pada) umatku adalah harta”.[9]

Maksudnya: menyibukkan diri dengan harta secara berlebihan adalah fitnah (yang merusak agama seseorang) karena harta dapat melalaikan pikiran manusia dari melaksanakan ketaatan kepada Allah Ta’ala dan membuatnya lupa kepada akhirat, sebagaimana firman-Nya,

{إِنَّمَا أَمْوَالُكُمْ وَأَوْلادُكُمْ فِتْنَةٌ}

Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu merupakan fitnah (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar” (QS at-Tagaabun:15)[10].

Kerusakan lain yang ditimbulkan dari kecintaan yang berlebihan terhadap harta adalah sifat tamak/rakus dan ambisi untuk mengejar dunia, karena secara tabiat asal nafsu manusia tidak akan pernah merasa puas/cukup dengan harta dan kemewahan dunia yang dimilikinya, bagaimanapun berlimpahnya[11], kecuali orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah Ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan hal ini dalam sabda beliau: “Seandainya seorang manusia memiliki dua lembah (yang penuh berisi) harta/emas maka dia pasti akan menginginkan lembah (harta) yang ketiga[12].

Sifat rakus inilah yang akan terus memacunya untuk mengejar harta dan mengumpulkannya siang dan malam, dengan mengorbankan apapun untuk tujuan tersebut. Sehingga tenaga dan pikirannya akan terus terkuras untuk mengejar ambisi tersebut, dan ini merupakan kerusakan sekaligus siksaan besar bagi dirinya di dunia.

Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata, “Orang yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) tidak akan lepas dari tiga (kerusakan dan penderitaan): Kekalutan (pikiran) yang tidak pernah hilang, keletihan yang berkepanjangan dan penyesalan yang tiada akhirnya[13].

Dalam hal ini, salah seorang ulama salaf  berkata, “Barangsiapa yang mencintai dunia/harta (secara berlebihan) maka hendaknya dia mempersiapkan dirinya untuk menanggung berbagai macam penderitaan[14].

Zuhud dalam Masalah Harta

Zuhud dalam harta dan dunia bukanlah dengan meninggalkannya, juga bukan dengan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah Ta’ala. Akan tetapi zuhud dalam harta adalah dengan menggunakan harta tersebut sesuai dengan petunjuk Allah Ta’ala, tanpa adanya keterikatan hati dan kecintaan yang berlebihan kepada harta tersebut. Atau dengan kata lain, zuhud dalam harta adalah tidak menggantungkan angan-angan yang panjang pada harta yang dimiliki, dengan segera menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai oleh Allah Ta’ala.

Inilah arti zuhud yang sesungguhnya, sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hambal ketika beliau ditanya: Apakah makna zuhud di dunia (yang sebenarnya)? Beliau berkata: “(Maknanya adalah) tidak panjang angan-angan, (yaitu) seorang yang ketika dia (berada) di waktu pagi dia berkata: Aku (khawatir) tidak akan (bisa mencapai) waktu sore lagi”[15].

Salah seorang ulama salaf berkata: “Zuhud di dunia bukanlah dengan mengharamkan yang halal, dan juga bukan dengan menyia-nyiakan harta. Akan tetapi zuhud di dunia adalah dengan kamu lebih yakin dengan (balasan kebaikan) di tangan Allah daripada apa yang ada di tanganmu, dan jika kamu ditimpa suatu musibah (kehilangan sesuatu yang dicintai) maka kamu lebih mengharapkan pahala dan simpanan (kebaikannya diakhirat kelak) daripada jika sesuatu yang hilang itu tetap ada padamu”[16].

Jangan Lupa Menyisihkan Sebagian Harta untuk Sedekah

Allah Ta’ala berfirman,

{وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ}

Dan apa saja yang kamu nafkahkan (sedekahkan), maka Allah akan menggantinya, dan Dia-lah Pemberi rezki yang sebaik-baiknya” (QS Sabaa’:39).

Makna firman-Nya “Allah akan menggantinya” yaitu dengan keberkahan harta di dunia dan pahala yang besar di akhirat[17].

Dan dalam hadits yang shahih Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

«مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلاَّ رَفَعَهُ اللَّهُ»

Tidaklah sedekah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah bagi seorang hamba dengan pemberian maafnya (kepada saudaranya) kecuali kemuliaan, serta tidaklah seseorang merendahkan diri di (hadapan) Allah kecuali Dia akan meninggikan (derajat)nya[18].

Arti “tidak berkurangnya harta dengan sedekah” adalah dengan tambahan keberkahan yang Allah Ta’ala jadikan pada harta dan terhindarnya harta dari hal-hal yang akan merusaknya di dunia, juga dengan didapatkannya pahala dan tambahan kebaikan yang berlipat ganda di sisi Allah Ta’ala di akhirat kelak, meskipun harta tersebut berkurang secara kasat mata”[19].

Maka keutamaan besar ini jangan sampai diabaikan oleh keluarga muslim ketika mereka mengatur pembelanjaan harta, dengan cara menyisihkan sebagian dari rizki yang Allah Ta’alaberikan kepada mereka, untuk disedekahkan kepada fakir miskin.

Harta yang disisihkan untuk sedekah tidak mesti besar, meskipun kecil tapi jika dilakukan dengan ikhlas untuk mengharapkan wajah-Nya, maka akan bernilai besar di sisi Allah Ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takutlah kalian (selamatkanlah diri kalian) dari api nereka walaupun dengan (bersedekah dengan) separuh buah kurma[20].

Dalam hadits lain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah sekali-kali engkau menganggap remeh suatu perbuatan baik (meskipun) kecil, walaupun (perbuatan baik itu) dengan engkau menjumpai saudaramu (sesama muslim) dengan wajah yang ceria[21].

Dan lebih utama lagi jika sedekah tersebut dijadikan anggaran tetap dan amalan rutin, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal (ibadah) yang paling dicintai AllahTa’ala adalah amal yang paling kontinyu dikerjakan meskipun sedikit[22].

Nasehat dan Penutup

Kemudian yang menentukan cukup atau tidaknya anggaran belanja keluarga bukanlah dari banyaknya jumlah anggaran harta yang disediakan, karena berapa pun banyaknya harta yang disediakan untuk pengeluaran, nafsu manusia tidak akan pernah puas dan selalu memuntut lebih.

Oleh karena itu, yang menentukan dalam hal ini adalah justru sifat qana’ah (merasa cukup dan puas dengan rezki yang Allah berikan) yang akan melahirkan rasa ridha dan selalu merasa cukup dalam diri manusia, dan inilah kekayaan yang sebenarnya. Sebagaimana sabda Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam,Bukanlah kekayaan itu karena banyaknya kemewahan dunia (harta), akan tetapi kekayaan (yang hakiki) adalah kekayaan (kecukupan) dalam jiwa (hati)[23].

Sifat qana’ah ini adalah salah satu ciri yang menunjukkan kesempurnaan iman seseorang, karena sifat ini menunjukkan keridhaan orang yang memilikinya terhadap segala ketentuan dan takdir Allah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan merasakan kemanisan (kesempurnaan) iman, orang yang ridha kepada Allah Ta’ala sebagai Rabb-nya dan islam sebagai agamanya serta (nabi) Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai rasulnya[24].

Arti “ridha kepada Allah sebagai Rabb” adalah ridha kepada segala perintah dan larangan-Nya, kepada ketentuan dan pilihan-Nya, serta kepada apa yang diberikan dan yang tidak diberikan-Nya[25].

Lebih daripada itu, orang yang memiliki sifat qana’ah dialah yang akan meraih kebaikan dan kemuliaan dalam hidupnya di dunia dan di akhirat nanti, meskipun harta yang dimilikinya tidak banyak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh sangat beruntung seorang yang masuk Islam, kemudian mendapatkan rizki yang secukupnya dan Allah menganugrahkan kepadanya sifat qana’ah (merasa cukup dan puas) dengan rezki yang AllahTa’ala berikan kepadanya”[26].

Akhirnya kami akhiri tulisan ini dengan memohon kepada Allah dengan nama-nama-Nya yang maha indah dan sifat-sifat-Nya yang maha sempurna, agar dia menganugerahkan kepada kita semua sifat qana’ah dan semua sifat-sifat baik yang diridhai-Nya, serta memudahkan kita untuk memahami dan mengamalkan petunjuk-Nya dengan baik dan benar, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 27 Jumadal ula 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id


[1] HSR Muslim (no. 262).

[2] HSR al-Bukhari (no. 56) dan Muslim (1628).

[3] HR at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam “as-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.

[4] Lihat kitab “Bahjatun naazhirin syarhu riyaadhish shaalihin” (1/479).

[5] HSR al-Bukhari (no.1407) dan Muslim (no.593).

[6] Lihat kitab “an-Nihaayah fi gariibil hadits wal atsar” (3/237).

[7] Kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/433).

[8] Kitab “Fathul Qadiir” (3/318).

[9] HR. Tirmidzi no. 2336, shahih.

[10] Lihat kitab “Faidhul Qadiir” (2/507).

[11] Lihat keterangan imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 84 – Mawaaridul amaan).

[12] HSR al-Bukhari (no. 6075) dan Muslim (no. 116).

[13] Kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83-84, Mawaaridul amaan).

[14] Dinukil oleh imam Ibnul Qayyim dalam kitab “Igaatsatul lahfan” (hal. 83 – Mawaaridul amaan).

[15] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/384).

[16] Dinukil oleh oleh Ibnu Rajab dalam kitab beliau “Jaami’ul ‘uluumi wal hikam” (2/179).

[17] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/713).

[18] HSR Muslim (no. 2588).

[19] Lihat kitab “Syarhu shahihi Muslim” (16/141) dan “Faidhul Qadiir” (5/503).

[20] HSR al-Bukhari (no. 1351) dan Muslim (no. 1016).

[21] HSR Muslim (no. 2626).

[22] HSR al-Bukhari (no. 6099) dan Muslim (no. 783).

[23] HSR al-Bukhari (no. 6081) dan Muslim (no. 120).

[24] HSR Muslim (no. 34).

[25] Lihat kitab “Fiqhul asma-il husna” (hal. 81).

[26] HSR Muslim (no. 1054).

Sumber artikel

Categories
ARTIKEL MUAMALAH

PENGEN PUNYA RUMAH (KPR) TAPI TIDAK RIBA & YANG PENTING BISA CICIL / KREDIT

Banyak nasabah kami datang ingin kredit rumah. Tahun 2012 ketika tahun awal pendirian koperasi, kami belum bisa melayani kredit kpr atau kredit pemilikan rumah. Hal ini berlangsung hingga tahun 2014. Alhamdulillah, di tahun 2015, kami sudah mulai membuka peluang bagi nasabah yang ingin kredit rumah atau ruko. Sudah beberapa transaksi kami lakukan dengan nasabah, namun karena masih terbatasnya modal yang kami miliki, kami hanya mampu melayani kpr dengan jangka waktu maksimal 3 (tiga) tahun. Seperti transaksi barang lainnya, diantara hal yang syariah di koperasi kami adalah kami tidak ada denda saat anda terlambat membayar, dan kami juga tidak mengenakan penalti ketika anda memiliki kelebihan rejeki sehingga hendak segera melunasi utang anda tersebut.

Insya Allah seiring dengan bertambahnya modal dan sdm kami, kami berharap ke depan kami bisa membuka kpr dengan jangka waktu yang lebih lama.

Ada baiknya, sebelum anda membeli rumah, baik melalui kami, atau selain kami, anda memiliki ilmu tentang persyaratan hukum KPR terlebih dahulu sehingga anda paham dan bisa selamat dari transaksi yang mungkin bisa menjerumuskan anda ke dalam dosa transaksi yang mengandung riba.

Berikut kami sampaikan artikel yang semoga bermanfaat.

Hukum Kredit Rumah KPR

Kita tahu kebutuhan akan rumah sangat ini begitu urgent. Ada yang menempuh jalan menunggu uangnya terkumpul dalam waktu lama barulah memiliki rumah. Dan ada yang ingin segera dapat rumah lewat cara kredit. Salah satu cara yang ditempuh adalah kredit KPR. Bagaimana hukum kredit rumah KPR tersebut?

Berutang Memang Tidak Masalah Ketika Tidak Merasa Sulit

Dari Ummul Mukminin Maimunah,

كَانَتْ تَدَّانُ دَيْنًا فَقَالَ لَهَا بَعْضُ أَهْلِهَا لاَ تَفْعَلِى وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَالَتْ بَلَى إِنِّى سَمِعْتُ نَبِيِّى وَخَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ  مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا

Dulu Maimunah ingin berhutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kekasihku shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkan baginya untuk melunasi hutang tersebut di dunia”. (HR. Ibnu Majah no. 2408 dan An Nasai no. 4690. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dari hadits ini ada pelajaran yang sangat berharga yaitu boleh saja kita berhutang, namun harus berniat untuk mengembalikannya. Perhatikanlah perkataan Maimunah di atas.

Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ

Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Sedangkan ada dalil yang menegaskan tentang bahaya berutang, di antaranya adalah do’a Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat yang meminta perlindungan pada Allah dari sulitnya utang.

Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ  .

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di dalam shalat: Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak hutang).” Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan dari hutang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589).

Kata Ibnu Hajar, dalam Hasyiyah Ibnul Munir disebutkan bahwa hadits meminta perlindungan dari utang tidaklah bertolak belakang dengan hadits yang membicarakan tentang bolehnya berutang. Sedangkan yang dimaksud dengan meminta perlindungan adalah dari kesusahan saat berutang. Namun jika yang berutang itu mudah melunasinya, maka ia berarti telah dilindungi oleh Allah dari kesulitan dan ia pun melakukan sesuatu yang sifatnya boleh (mubah). Lihat Fathul Bari, 5: 61.

Berutanglah dengan Jalan yang Benar

Jika berutang dibolehkan saat mudah untuk melunasinya, bukan berarti kita asal-asalan saja dalam berutang dan di antara bentuknya adalah mengambil kredit. Karena jika di dalam utang dipersyaratkan mesti dilebihkan saat pengembelian, maka itu adalah riba dan hukumnya haram.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ

Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)

Kemudian Ibnu Qudamah membawakan perkataan berikut ini,

“Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah, lalu transaksinya terjadi demikian, maka tambahan tersebut adalah riba.”

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Abbas bahwasanya mereka melarang dari utang piutang yang ditarik keuntungan karena utang piutang adalah bersifat sosial dan ingin cari pahala. Jika di dalamnya disengaja mencari keuntungan, maka sudah keluar dari konteks tujuannya. Tambahan tersebut bisa jadi tambahan dana atau manfaat.” Lihat Al Mughni, 6: 436.

Nyata dalam Kredit KPR

Kenyataan yang terjadi dalam kredit KPR adalah pihak bank meminjamkan uang kepada nasabah dan ingin dikembalikan lebih. Jadi realitanya, bukanlah transaksi jual beli rumah karena pihak bank sama sekali belum memiliki rumah tersebut. Yang terjadi dalam transaksi KPR adalah meminjamkan uang dan di dalamnya ada tambahan dan ini nyata-nyata riba. Itu sudah jelas. Kita sepakat bahwa hukum riba adalah haram.

Penyetor Riba Terkena Laknat

Bukan hanya pemakan riba (rentenir) saja yang terkena celaan. Penyetor riba yaitu nasabah yang meminjam pun tak lepas dari celaan. Ada hadits dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).

Mengapa sampai penyetor riba pun terkena laknat? Karena mereka telah menolong dalam kebatilan. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits di atas bisa disimpulkan mengenai haramnya saling menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23).

Sehingga jika demikian sudah sepantasnya penyetor riba bertaubat dan bertekad kuat untuk segera melunasi utangnya.

Sudah Seharusnya Menghindari Riba

Jika telah jelas bahwa riba itu haram dan kita dilarang turut serta dalam transaksi riba termasuk pula menjadi peminjam, maka sudah sepantasnya kita sebagai seorang muslim mencari jalan yang halal untuk memenuhi kebutuhan primer kita termasuk dalam hal papan. Memiliki rumah dengan kredit KPR bukanlah darurat. Karena kita masih ada banyak cara halal yang bisa ditempuh dengan tinggal di rumah beratap melalui rumah kontrakan, sembari belajar untuk “nyicil” sehingga bisa tinggal di rumah sendiri. Atau pintar-pintarlah menghemat pengeluaran sehingga dapat membangun rumah perlahan-lahan dari mulai membeli tanah sampai mendirikan bangunan yang layak huni. Ingatlah sabda Rasul,

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesunggunya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan mengganti bagimu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad 5: 363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits inishahih).

Siapa saja yang menempuh jalan yang halal, pasti Allah akan selalu beri yang terbaik. Yang mau bersabar dengan menempuh cara yang halal, tentu Allah akan mudahkan. Yo sabar … Yakin dan terus yakinlah!

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

Referensi:

Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Hambali, terbitan Dar ‘Alamil Kutub, cetakan tahun 1432 H.

Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Selesai disusun selepas Zhuhur, 3 Dzulqo’dah 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul

Sumber artikel

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

TIDAK ADA DENDA DI KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

denda di koperasi syariah arrahmah

Percaya tidak bahwa Tidak Ada Denda di Koperasi Syariah Arrahmah.

Kalau tidakmengalami sendiri mungkin tidak akan percaya karena TRANSAKSI KREDIT YANG SYAR’I HARUSNYA TIDAK ADA DENDA.

Koperasi Syariah Arrahmah memang agak berbeda dengan koperasi atau lembaga finansial kebanyakan yang sejenis. Sejak awal pendirian koperasi ini, kami berkomitmen bahwa kami harus syar’i, tidak boleh ada denda keterlambatan bagi nasabah yang telat membayar cicilan. Beberapa relasi kami sangsi bahwa kami bisa mendirikan koperasi ini, namun kenyataannya, alhamdulillah, sejak Januari 2012 hingga sekarang tulisan ini ditulis, tidak ada nasabah kami yang pernah didenda gara-gara terlambat bayar.

Lantas, bagaimana solusi kami menghadapi nasabah seperti itu? Banyak komponen yang perlu terlibat dalam hal ini, Secara ringkas kami sampaikan :

  • Sebelum aqad, nasabah harus lulus persyaratan administrasi murabahah, nasabah harus punya penjamin yang dipercaya, dan nasabah memiliki jaminan sesuatu yang berharga untuk kriteria barang murabahah diatas harga sesuai ketentuan yang berlaku di koperasi.
  • Saat aqad, nasabah benar-benar memahami isi aqad yang ditandatangani diatas materai yang mengandung konsekuensi hukum. Aqad yang menjunjung tinggi nilai keadilan yang terkandung didalamnya, baik untuk nasabah maupun koperasi.
  • Setelah aqad, kami juga mengajak kepada nasabah untuk hadir dalam kajian-kajian islam ilmiah yang rutin diselenggarakan oleh yayasan al-umm banjarmasin, atau pun kajian islam lainnya. Intinya, dengan nasabah yang bertauhid, takut kepada Allah, maka mereka tidak akan berani main-main dengan utang.

Jika qadarullah nasabah ternyata telat bayar denda, maka akan kami ingatkan dengan hadits” Rasulullah yang berkaitan dengan utang, minta bantuan Penjamin untuk ikut mengingatkannya agar segera bayar, dan jika memang nasabah memiliki udzur sehingga tidak bisa bayar cicilan, maka ada Form Permohonan Penundaan Cicilan Karena Udzur yang harus diisi dan ditandatangani. Adil bukan ?

Alhamdulillah, hal ini cukup efektif dalam menghadapi nasabah kami.

Kembali kepada masalah Denda, maka kami ingin memberikan ulasan kepada anda kenapa koperasi kami tidak menerapkan denda pada nasabah. Sebaiknya anda pun membacanya sehingga paham sehingga saat akan bertransaksi dengan kami atau pun pihak lain yang sejenis, tidak sampai terjerumus dalam dosa riba. Selamat membaca, semoga bermanfaat.

=======================================================================

DENDA DALAM KACAMATA SYARIAT

 

Di tengah-tengah masyarakat sering kita jumpai berbagai bentuk denda berkaitan dengan transaksi muamalah. Seorang karyawan yang tidak masuk kerja tanpa izin akan diberikan sanksi berupa pemotongan gaji. Telat membayar angsuran kredit motor juga akan mendapatkan denda setiap hari, dengan nominal rupiah tertentu. Seorang penerjemah buku juga akan didenda dengan nominal tertentu setiap harinya oleh penerbit, jika buku ternyata belum selesai diterjemahkan sampai batas waktu yang telah disepakati. Percetakan yang tidak tepat waktu juga dituntut untuk membayar denda dengan jumlah tertentu. Bayar listrik sesudah tanggal 20 juga akan dikenai denda oleh pihak PLN.

Bagaimanakah hukum dari berbagai jenis denda di atas, apakah diperbolehkan secara mutlak, ataukah terlarang secara mutlak, ataukah perlu rincian? Inilah tema bahasan kita pada edisi ini. Persyaratan denda sebagaimana di atas diistilahkan oleh para ulama dengan nama syarth jaza’i.

Hukum persyaratan semisal ini berkaitan erat dengan hukum syarat dalam transaksi dalam pandangan para ulama. Ulama tidak memiliki titik pandang yang sama terkait dengan hukum asal berbagai bentuk transaksi dan persyaratan di dalamnya, ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum asalnya adalah terlarang, kecuali persyaratan-persyaratan yang dibolehkan oleh syariat. Adapun pendapat kedua menegaskan bahwa hukum asal dalam masalah ini adalah sah dan boleh, tidak haram dan tidak pula batal, kecuali terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan haram dan batalnya.

Singkat kata, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua, dengan alasan sebagai berikut:

a. Dalam banyak ayat dan hadits, kita dapatkan perintah untuk memenuhi perjanjian, transaksi, dan persyaratan, serta menunaikan amanah. Jika memenuhi dan memperhatikan perjanjian secara umum adalah perkara yang diperintahkan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa hukum asal transaksi dan persyaratan adalah sah. Makna dari sahnya transaksi adalah maksud diadakannya transaksi itu terwujud, sedangkan maksud pokok dari transaksi adalah dijalankan.

b. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kaum muslimin itu berkewajiban melaksanakan persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Hr. Abu Daud dan Tirmidzi)

Makna kandungan hadits ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Quran dan as-Sunnah. Maksud dari persyaratan adalah mewajibkan sesuatu yang pada asalnya tidak wajib, tidak pula haram. Segala sesuatu yang hukumnya mubah akan berubah menjadi wajib jika terdapat persyaratan.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim. Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Segala syarat yang tidak menyelisihi syariat adalah sah, dalam semua bentuk transaksi. Semisal penjual yang diberi syarat agar melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu dalam transaksi jual-beli, baik maksud pokoknya adalah penjual ataupun barang yang diperdagangkan. Syarat dan transaksi jual-belinya adalah sah.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Kaidah yang sesuai dengan syariat adalah segala syarat yang menyelisihi hukum Allah dan kitab-Nya adalah syarat yang dinilai tidak ada (batil). Adapun syarat yang tidak demikian adalah tergolong syarat yang harus dilaksanakan, karena kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Inilah pendapat yang dipilih oleh guru kami, Ibnu Taimiyyah.”

Berdasar keterangan di atas, maka syarth jaza’i adalah diperbolehkan, asalkan hakikat transaksi tersebut bukanlah transaksi utang-piutang dan nominal dendanya wajar, sesuai dengan besarnya kerugian secara riil.

Berikut ini adalah kutipan dua fatwa para ulama:

Yang pertama adalah keputusan Majma’ Fikih Islami yang bernaung di bawah Munazhamah Mu’tamar Islami, yang merupakan hasil pertemuan mereka yang ke-12 di Riyadh, Arab Saudi, yang berlangsung dari tgl 23–28 September 2000. Hasil keputusannya adalah sebagai berikut:

Keputusan pertama. Syarth jaza’i adalah kesepakatan antara dua orang yang mengadakan transaksi untuk menetapkan kompensasi materi yang berhak didapatkan oleh pihak yang membuat persyaratan, disebabkan kerugian yang diterima karena pihak kedua tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Keputusan kedua. Adanya syarth jaza’i (denda) yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan barang dalam transaksi salam tidak dibolehkan, karena hakikat transaksi salam adalah utang, sedangkan persyaratan adanya denda dalam utang-piutang dikarenakan faktor keterlambatan adalah suatu hal yang terlarang. Sebaliknya, adanya kesepakatan denda sesuai kesepakatan kedua belah pihak dalam transaksi istishna’ adalah hal yang dibolehkan, selama tidak ada kondisi tak terduga.

Istishna’ adalah kesepakatan bahwa salah satu pihak akan membuatkan benda tertentu untuk pihak kedua, sesuai dengan pesanan yang diminta. Namun bila pembeli dalam transaksi ba’i bit-taqshith (jual-beli kredit) terlambat menyerahkan cicilan dari waktu yang telah ditetapkan, maka dia tidak boleh dipaksa untuk membayar tambahan (denda) apa pun, baik dengan adanya perjanjian sebelumnya ataupun tanpa perjanjian, karena hal tersebut adalah riba yang haram.

Keputusan ketiga. Perjanjian denda ini boleh diadakan bersamaan dengan transaksi asli, boleh pula dibuat kesepakatan menyusul, sebelum terjadinya kerugian.

Keputusan keempat. Persyaratan denda ini dibolehkan untuk semua bentuk transaksi finansial, selain transaksi-transaksi yang hakikatnya adalah transaksi utang-piutang, karena persyaratan denda dalam transaksi utang adalah riba senyatanya.

Berdasarkan hal ini, maka persyaratan ini dibolehkan dalam transaksi muqawalah bagi muqawil (orang yang berjanji untuk melakukan hal tertentu untuk melengkapi syarat tertentu, semisal membangun rumah atau memperbaiki jalan raya).

Muqawalah adalah kesepakatan antara dua belah pihak, pihak pertama berjanji melakukan hal tertentu untuk kepentingan pihak kedua dengan jumlah upah tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula. Demikian pula, persyaratan denda dalam transaksi taurid (ekspor impor) adalah syarat yang dibolehkan, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak pengekspor.

Demikian juga dalam transaksi istishna’, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak produsen, jika pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Akan tetapi, tidak boleh diadakan persyaratan denda dalam jual-beli kredit sebagai akibat pembeli yang terlambat untuk melunasi sisa cicilan, baik karena faktor kesulitan ekonomi ataupun keengganan. Demikian pula dalam transaksi istishna’ untuk pihak pemesan barang, jika dia terlambat menunaikan kewajibannya.

Keputusan kelima. Kerugian yang boleh dikompensasikan adalah kerugian finansial yang riil atau lepasnya keuntungan yang bisa dipastikan. Jadi, tidak mencakup kerugian etika atau kerugian yang bersifat abstrak.

Keputusan keenam. Persyaratan denda ini tidak berlaku, jika terbukti bahwa inkonsistensi terhadap transaksi itu disebabkan oleh faktor yang tidak diinginkan, atau terbukti tidak ada kerugian apa pun disebabkan adanya pihak yang inkonsisten dengan transaksi.

Keputusan ketujuh. Berdasarkan permintaan salah satu pihak pengadilan, dibolehkan untuk merevisi nominal denda jika ada alasan yang bisa dibenarkan dalam hal ini, atau disebabkan jumlah nominal tersebut sangat tidak wajar.

Yang kedua
adalah fatwa Haiah Kibar Ulama Saudi. Secara ringkas, keputusan mereka adalah sebagai berikut, “Syarth Jaza’i yang terdapat dalam berbagai transaksi adalah syarat yang benar dan diakui sehingga wajib dijalankan, selama tidak ada alasan pembenar untuk inkonsistensi dengan perjanjian yang sudah disepakati.

Jika ada alasan yang diakui secara syar’i, maka alasan tersebut mengugurkan kewajiban membayar denda sampai alasan tersebut berakhir.

Jika nominal denda terlalu berlebihan menurut konsesus masyarakat setempat, sehingga tujuan pokoknya adalah ancaman dengan denda, dan nominal tersebut jauh dari tuntutan kaidah syariat, maka denda tersebut wajib dikembalikan kepada jumlah nominal yang adil, sesuai dengan besarnya keuntungan yang hilang atau besarnya kerugian yang terjadi.

Jika nilai nominal tidak kunjung disepakati, maka denda dikembalikan kepada keputusan pengadilan, setelah mendengarkan saran dari pakar dalam bidangnya, dalam rangka melaksanakan firman Allah, yaitu surat an-Nisa’: 58.” (Taudhih al-Ahkam: 4/253–255)

Jadi, anggapan sebagian orang bahwa syarth jaza’i secara mutlak itu mengandung unsur riba nasi’ah adalah anggapan yang tidak benar. Anggapan ini tidaklah salah jika ditujukan untuk transaksi-transaksi yang pada asalnya adalah UTANG-PIUTANG, semisal JUAL BELI KREDIT (MURABAHAH) dan transaksi SALAM.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.

Artikel: www.pengusahamuslim.com

Categories
SEPUTAR KOPERASI

SISTEM MURABAHAH KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

Pertama : Ketentuan Umum Murabahah dalam Koperasi Syari’ah Arrahmah:

  1. Koperasi dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
  2. Barang yang diperjualbelikan tidak diharamkan oleh syari’ah Islam.
  3. Koperasi membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama Koperasi sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.
  4. Koperasi harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang.
  5. Koperasi kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli plus keuntungannya. Dalam kaitan ini Koperasi harus memberitahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.
  6. Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.
  7. Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau kerusakan akad tersebut, pihak Koperasi dapat mengadakan perjanjian khusus dengan nasabah.

 

Kedua :Ketentuan Murabahah kepada Nasabah:

  1. Nasabah mengajukan permohonan dan janji pembelian suatu barang atau aset kepada Koperasi.
  2. Jika Koperasi menerima permohonan tersebut, koperasi harus membeli terlebih dahulu aset yang dipesannya secara sah dengan pedagang.
  3. Koperasi kemudian menawarkan aset tersebut kepada nasabah dan nasabah akan membelinya sesuai dengan janji yang telah disepakatinya, dan secara hukum asal,janji tersebut mengikat;

 

Ketiga : Jaminan dalam Murabahah:

  1. Jaminan dalam murabahah dibolehkan, agar nasabahserius dengan pesanannya.
  2. Koperasi dapat meminta nasabah untuk menyediakan jaminan yang dapat dipegang.

 

Keempat : Utang dalam Murabahah:

  1. Secara prinsip, penyelesaian utang nasabah dalam transaksi murabahah tidak ada kaitannya dengan transaksi lain yang dilakukan nasabah dengan pihak ketiga atas barang tersebut. Jika nasabah menjual kembali barang tersebut dengan keuntungan atau kerugian, ia tetap berkewajiban untuk menyelesaikan utangnya kepada Koperasi.
  2. Jika nasabah menjual barang tersebut sebelum masa angsuran berakhir, ia tidak wajib segera melunasi seluruh angsurannya.
  3. Jika penjualan barang tersebut menyebabkan kerugian, nasabah tetap harus menyelesaikan utangnya sesuai kesepakatan awal. Ia tidak boleh memperlambat pembayaran angsuran atau meminta kerugian itu diperhitungkan.

 

Kelima :  Penundaan Pembayaran dalam Murabahah:

  1. Nasabah yang memiliki kemampuan tidak dibenarkan menunda penyelesaian utangnya.
  2. Jika nasabah menunda-nunda pembayaran dengan sengaja, atau jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

 

Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

  1. Orang yang mampu membayar utang namun menunda-nundanya disebut sebagai pelaku kezaliman.Rasulullah bersabda, “Perbuatan orang kaya yang menunda-nunda pembayaran utangnya adalah suatu kezhaliman” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
  2. Orang yang sengaja menolak melunasi utang kelak berjumpa dengan Allah sebagai pencuri. Rasulullah bersabda, “Siapa saja yang berutang dengan niat tidak akan melunasinya,niscaya dia akan bertemu Allah (pada hari Kiamat) dalam keadaan sebagai pencuri” (HR. Ibnu Majah dengan sanad Shahih).
  3. Jiwa orang yang berutang dan belum melunasinya tertahan. Rasulullah bersabda, “Jiwa seorang mukmin tertahan oleh utangnya hingga utang tersebut terlunasi” (HR.at-Tirmidzi dengan sanad shahih).
  4. Rasulullah enggan menshalatkan Jenazah orang yang mempunyai utang hingga utangnya dilunasi atau adanya seseorang yang menjamin untuk melunasinya.

 

Dari Jabir bin Abdillah, ia berkata, ‘Rasulullah biasanya menolak menshalatkan seseorang yang wafat dalam keadaan masih memiliki utang. Suatu ketika dihadirkan ke hadapan beliau mayat seseorang, lalu beliau bertanya, ‘Apakah dia mempunyai utang?’ Para sahabat menjawab, ‘Ya, dua dinar.’ Beliau bersabda, ‘(Kalau begitu) shalatkanlah saudara kalian ini.’ Maka Abu Qatadah berkata, ‘Wahai Rasulullah, biarlah aku yang menanggung dua dinar itu.’Maka beliau pun menshalatkannya” (HR. Ahmad, Abu Dawud dan an-Nasa’i, dengan sanad shahih).

5.    Dosa menanggung (tidak membayar) utang tidak akan diampuni sekalipun pelakunya mati syahid. Rasulullah bersabda,“Seluruh dosa orang yang mati syahid akan diampuni kecuali utang.” (HR. Muslim)
Sungguh sangat memprihatinkan sikap sebagian orang yang menganggap remeh kewajiban untuk menunaikan hak orang lain, khususnya dalam masalah utang piutang. Padahal begitu besar ancaman bagi orang yang menyepelekan masalah ini.Karena itu hendaknya orang yang berutang berupaya keras untuk melunasi utangnya dan segera menyelesaikan kewajibannya begitu ada kemampuan untuk itu. Barangsiapa memiliki kesungguhan untuk melunasi utangnya niscaya Allah akan membantunya. Rasulullah bersabda, “Tidaklah seorang hamba mempunyai niatuntuk melunasi utangnya kecuali ia akan mendapatkan pertolongan dari Allah”(HR. al-Hakim dengan sanad Shahih)

6.    Amal kebaikan orangyang mempunyai utang akan digunakan untuk melunasi utangnya kelak di akherat. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mati dalam keadaan menanggung utang satu Dinar atau satu Dirham, maka akan dilunasi dari kebaikannya, karena disana tidak ada lagi Dinar maupun Dirham.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad Shahih).

Rujukan : Himpunan Fatwa Dewan syariah Nasional MUI