Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

BAGI HASIL INVESTASI HALAL BERDASARKAN APA ? MODAL DISETOR ATAU KEUNTUNGAN USAHA ?

Kebanyakan kaum muslimin saat ini masih belum paham bagaimana sebenarnya cara berinvestasi halal. Umumnya masyarakat, telah terbawa dengan kebiasaan buruk yang dibawa oleh yahudi sejak berabad-abad lalu hingga sekarang, yang telah memoles kebiasaan buruk mereka sedemikian rupa, sehingga RIBA yang telah NYATA-NYATA diHARAMkan oleh Allah dan Rasul-Nya, menjadi TAMPAK HALAL dimata masyarakat, bahkan oleh sebagian kaum muslimin.

Padahal Allah Ta’ala telah berfirman :

“Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda seseorang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.”(QS. Al Baqoroh : 161)

Dosa riba sangatlah besar, bahkan Allah dan Rasul-Nya telah mengancam akan memerangi pelaku riba.

Maka, sudah seharusnya ketika seseorang bermaksud menginvestasikan hartanya, semisal dengan cara MEMBUKA DEPOSITO, membeli SUKUK, mudhorobah kepada perorangan (mudhorib/pengusaha), atau mudhorobah dengan lembaga (perbankan/bmt/koperasi), atau cara investasi lainnya, maka dia HARUS PAHAM cara berinvestasi yang halal.

Seorang muslim khususnya, WAJIB PAHAM apakah saat deposito atau SUKUK-nya telah jatuh tempo, keuntungan atau bagi hasil yang akan diperolehnya dari deposito, SUKUK atau mudhorobah, dihitung berdasarkan modal yang telah disetornya ataukah berdasarkan keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha jika usah tersebut dapat laba.

Sejak awal didirikan, Koperasi Syariah Arrahmah, telah berkomitmen melaksanakan transaksi yang syar’i dan bebas tanpa tercampur riba, baik pada transaksi cash (salam) dan murobahah, maupun bagi hasil mudhorobah muthlaqoh dengan anggota yang dihitung berdasarkan keuntungan (SHU) yang diperoleh, bukan berdasarkan nominal modal yang disetorkan oleh anggota, sebagaimana yang banyak terjadi di perbankan konvensional atau lembaga keuangan lain yang menerapkan sistem berdasarkan modal.

Berikut ini artikel yang bagus dibaca insya Allah agar kita paham bagaimana seharusnya berinvestasi yang halal, sehingga hasil yang diperoleh pun halal.

Semoga bermanfaat.

==============================================================

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Dalam beberapa praktek mudharabah (transaksi permodalan) atau musyarakah (usaha bersama) di msyarakat, seringkali kita melihat poin aturan prosentase bagi hasil dengan mengacu pada modal. Ada yang besar dan ada yang kecil. Misal, ada yang menawarkan, tanam modal minimal 10 juta, akan mendapatkan 2% perbulan.

Apa yang terbayang dari angka 2% itu?

Umumnya orang memahami, angka 2% dari modal. Karena itu yang lebih pasti. Bukan 2% keuntungan. Karena keuntungan tidak bisa diprediksikan.

Dan umumnya seorang pemodal akan memperhitungkan nilai kepastian dari modal yang dia kucurkan.

Salah Satu Indikator Riba

Tahukah anda, ternyata kesepakatan semacam ini termasuk salah satu indikator transaksi riba. Dan ini salah satu pembeda antara bagi hasil yang syar’i dengan transaksi riba dalam akad mudharabah atau musyarakah.

  • Ketika bagi hasil mengacu pada keuntungan, ini akad mudharabah yang syar’i
  • Ketika bagi hasil mengacu pada modal, ini transaksi riba

Mengapa Riba? Sementara itu Lebih Pasti?

Anda bisa perhatikan, ketika pemodal mendapatkan jaminan n% dari modal yang dia berikan, tidak ada bedanya dengan orang memberikan utang kepada orang lain, sementara dia mendapat jaminan kelebihan dari utangnya. Dan ini riba.

Atau, ketika usaha itu sama sekali tidak untung, sementara pemodal mendapat bagian berdasarkan prosentase modal, maka pihak pelaku usaha di posisi rugi. Sementara pihak pemodal selalu diuntungkan.

Dan itulah prinsip riba, sohibul mal (pemillik modal) selalu dalam posisi aman.

Karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang adanya keuntungan tanpa ada pengorbanan.

Dari Itab bin Usaid, beliau mengatakan,

أن النبي صلى الله عليه وسلم نهاه عن ربح ما لم يضمن

Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya untuk mengambil keuntungan tanpa menanggung kerugian. (HR. Baihaqi dalam Sunan as-Shugra 1509, at-Thahawi dalam Syarh Ma’ani al-Atsar 4/39, dan yang lainnya)

Keterangan Ulama yang Melarangnya

Salah satu bentuk bagi hasil dalam transaksi musyarakah atau mudharabah yang dikritik para ulama adalah memberikan sejumlah uang yang disepakati kepada salah satu pemodal. Misalnya, 5 orang patungan modal untuk usaha. Si A siap memberikan modal terbesar, dengan syarat, dia mendapatkan tambahan 1 juta di luar bagi hasil yang dia dapatkan. Artinya, si A mendapatkan dua bagian:

  1. Bagi hasil berdasarkan prosentase keuntungan yang disepakati
  2. Uang 1 juta tambahannya, tanpa melihat nilai keutungan

Ibnu Qudamah dalam al-mughni menyatakan,

ولا يجوز أن يجعل لأحد من الشركاء فضل دراهم، وجملته أنه متى جعل نصيب أحد الشركاء دراهم معلومة , أو جعل مع نصيبه دراهم , مثل أن يشترط لنفسه جزءا وعشرة دراهم , بطلت الشركة

Tidak boleh menetapkan adanya kelebihan sekian dirham untuk salah satu pemodal. Ringkasnya, ketika dia menetapkan adanya bagian salah satu pemodal uang dengan nilai tertentu, atau menetapkan untuk salah satu pemodal, nilai bagi hasil plus beberapa dirham, misal: dia mempersyaratkan dirinya mendapat bagian dari bagi hasil ditambah uang 10 dirham, maka musyarakah menjadi batal.

Kemudian, Ibnu Qudamah menukil keterangan Ibnul Mundzir,

أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم على إبطال القراض إذا شرط أحدهما أو كلاهما لنفسه دراهم معلومة ، وممن حفظنا ذلك عنه مالك والأوزاعي والشافعي , وأبو ثور وأصحاب الرأي

Ulama yang kami ketahui pendapatnya telah sepakat tentang batalnya transaksi qiradh, apabila salah satu  atau kedua belah pihak mempersyaratkan adanya bagian sekian dirham untuk dirinya. Diantara yang kami ketahui pendapatnya yang menyebutkan masalah ini adalah Imam Malik, al-Auza’i, as-Syafii, Abu Tsaur, dan ashabur Ra’yi (ulama Kufah).

Kemudian, Ibnu Qudamah menyebutkan sisi negatif persyaratan semacam ini, sehingga transaksinya tidak sah,

أنه إذا شرط دراهم معلومة , احتمل أن لا يربح غيرها , فيحصل على جميع الربح , واحتمل أن لا يربحها , فيأخذ من رأس المال جزءا ، وقد يربح كثيرا , فيستضر من شرطت له الدراهم

Ketika dia mempersyaratkan mendapatkan tambahan sekian dirham, bisa jadi usaha itu hanya untung sekian dirham, sehingga dia mendapatkan seluruh keuntungan. Atau usaha itu sama sekali tidak untung, sehingga dia mengambil bagian dari modal. Atau usaha itu untung besar, sehingga dia merasa rugi dengan syarat sekian dirham yang dia utarakan.

(al-Mughni, 5/148).

Anda bisa perhatikan, mendapatkan jatah pasti dalam transaksi mudharabah atau musyarakah, memicu timbulnya sengketa. Sehingga bisa merugikan pihak lain. Yang lebih tepat, prosentase mengikuti nilai keuntungan di akhir transaksi.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh ustadz Ammi Nur Baits (Beliau adalah pengasuh wesbsite KonsultasiSyariah.com sekaligus pembina KPMI)

Sumber