Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

MEMAHAMI PERBEDAAN AKAD UTANG PIUTANG (QARDH) DAN KERJASAMA (MUDHAROBAH ; MUSYAROKAH) DENGAN CONTOH KASUS

enak dibaca:

Yang masih bingung antara hutang piutang (qardh) n kerjasama (mudhorobah;musyarokah), silahkan disimak ilustrasi berikut:

▶▶▶▶

? Gimana kabarnya mbak?
? Sehat dek, alhamdulillah.

? Ini saya selain silaturahmi juga ada perlu mbak.
? Apa apa dek…apa yang bisa tak bantu.

? Anu..kalau ada uang 20juta saya mau pinjam.
? Dua puluh juta? Banyak sekali. Untuk apa dek?

?Tambahan modal mbak. Dapat order agak besar, modal saya masih kurang. Bisa bantu mbak?
? Mmm..mau dikembalikan kapan ya?

? InsyaAllah dua bulan lagi saya kembalikan.
? Gitu ya. Ini mbak ada sih 20juta. Rencana untuk beli sesuatu. Tapi kalau dua bulan sudah kembali ya gak apa-apa, pakai dulu aja.

? Wah, terimakasih mbak.
? Ini nanti mbak dapat bagian dek?

? Bagian apa ya mbak?
? Ya kan uangnya untuk usaha, jadi kan ada untungnya tuh. Naa..kalau mbak enggak kasih pinjem kan ya gak bisa jalan usahamu itu, iya kan?
*tersenyum penuh arti*

? Oh, bisa-bisa. Boleh saja kalau mbak pengennya begitu. Nanti saya kasih bagi hasil mbak.
?Besarannya bisa kita bicarakan.
Lha, gitu kan enak. Kamu terbantu, mbak juga dapat manfaat.

? Tapi akadnya ganti ya mbak. Bukan hutang piutang melainkan kerjasama.
? Iyaa..gak masalah. Sama aja lah itu. Cuman beda istilah doang.

?Bukan cuma istilah mbak, tapi pelaksanaannya juga beda.
?Maksudnya??

?Jadi gini mbak: kalau akadnya hutang, maka jika usaha saya lancar atau tidak lancar ya saya tetap wajib mengembalikan uang 20juta itu. Tapi jika akadnya kerjasama, maka kalau usaha saya lancar, mbak akan dapat bagian laba. Namun sebaliknya, jika usaha tidak lancar atau merugi maka mbak juga turut menanggung resiko. Bisa berupa kerugian materi→uangnya
tidak bisa saya kembalikan, atau rugi waktu→ kembali tapi lama.

?Waduh, kalau gitu ya mending uangnya saya deposito kan tho dek: gak ada resiko apa2, uang utuh, dapat bunga pula.

?Itulah riba mbak. Salah satu ciri2nya tidak ada resiko dan PASTI untung.

?Tapi kalau uangku dipinjam si A untuk usaha ya biasanya aku dapet bagi hasil kok dek. 2% tiap bulan. Jadi kalau dia pinjam 10juta selama dua bulan, maka dua bulan kemudian uangku kembali 10juta+400ribu.

?Itu juga riba mbak. Persentase bagi hasil ngitungnya dari laba, bukan berdasar modal yang disertakan.Kalau berdasar modal kan mbak gak tau apakah dia beneran untung atau tidak.

Dan disini selaku investor berarti mbak tidak menanggung resiko apapun donk. Mau dia untung atau rugi mbak tetep dapet 2%. Lalu apa bedanya sama deposito?

?Dia ikhlas lho dek, mbak gak matok harus sekian persen gitu kok.

?Meski ikhlas atau saling ridho kalau tidak sesuai syariat ya dosa mbak.

?Waduh…syariat kok ribet bener ya.

?Ya karena kita sudah terlanjur terbiasa dengan yang keliru mbak. Memang butuh perjuangan untuk mengikuti aturan yang benar. Banyak kalau tidak berkah bikin penyakit lho mbak.hehe.

?Hmmm…ya sudah, ini 20juta nya hutang aja. Mbak gak siap dengan resiko kerjasama. Nanti dikembalikan dalam dua bulan yaa.

?Iya mbak. Terimakasih banyak mbak. Meski tidak mendapat hasil berupa materi tapi insyaAllah
mbak tetap ada hasil berupa pahala.
Amiiin..

▶▶▶▶▶▶

Kalo cuma bicara anti riba…. burung beopun juga bisa.

Kalo cuma diskusi masalh ekonomi umat… ngbrol sama balita yg baru belajar bicara jauh lebih menarik.

Ayuuu hidupkan ekonomi mikro.. berikan pancingan bukan ikan.

investasi dunia akhirat

Notes : perhatikan dlm bisnis akad kerjasama kah?? Atau akad peminjaman uang.. ini 2 hukum islam yg berbeda dn efeknya pun di dunia dan akhirat juga berbeda.

“… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS.Al-baqarah:275)

Sebenarnya apa sih tujuan islam melarang riba? Seharusnya khan asal saling sepakat, saling rela, tidak kena dosa?

Hukum islam itu dibuat untuk mengatur agar manusia mendapatkan kemaslahatan sebesar-besarnya tanpa manusia merugikan siapapun sekecil-kecilnya.

Mari kita bahas contoh LABA dan RIBA agar anda mudah untuk memahami dengan bahasa yang umum:

  1. Saya membeli sebuah sepeda motor Rp. 10 Juta dan saya hendak menjual dengan mengambil untung dengan bunga 1% perbulan untuk jangka waktu pembayaran 1 tahun.
    Transaksi seperti ini tergolong transaksi RIBAWI.
  2. Saya membeli sepeda motor Rp. 10 juta, dan saya hendak menjual secara kredit selama setahun dengan harga Rp. 11.200.000,-. Transaksi ini termasuk transaksi SYARIAH.

Apa bedanya? Khan kalau dihitung2 ketemunya sama Untungnya Rp. 1.200.000?

Mari kita bahas kenapa transaksi pertama riba dan transaksi kedua syar’i.

TRANSAKSI PERTAMA RIBA karena:

  • Tidak ada kepastian harga, karena menggunakan sistem bunga. Misal dalam contoh diatas, bunga 1% perbulan. Jadi ketika dicicilnya disiplin memang ketemunya untungnya adalah Rp. 1.200.000,-. Tapi coba kalau ternyata terjadi keterlambatan pembayaran, misal ternyata anda baru bisa melunasi setelah 15 bulan, maka anda terkena bunganya menjadi 15% alias labanya bertambah menjadi Rp. 1.500.000,-.
  • Jadi semakin panjang waktu yang dibutuhkan untuk melunasi utang, semakin besar yang harus kita bayarkan.
  • Bahkan tidak jarang berbagai lembaga leasing ada yang menambahi embel2 DENDA dan BIAYA ADMINISTRASI, maka semakin riba yang kita bayarkan. Belum lagi ada juga yang menerapkan bunga yang tidak terbayar terakumulasi dan bunga ini akhirnya juga berbunga lagi.
  • Sistem riba seperti diatas jelas2 sistem yang menjamin penjual pasti untung dengan merugikan hak dari si pembeli. Padahal namanya bisnis, harus siap untung dan siap rugi.

TRANSAKSI KEDUA SYARIAH karena:

  • Sudah terjadi akad yang jelas, harga yang jelas dan pasti. Misal pada contoh sudah disepakati harga Rp. 11.200.000,- untuk diangsur selama 12 bulan.
  • Misal ternyata si pembeli baru mampu melunasi utangnya pada bulan ke-15, maka harga yang dibayarkan juga masih tetap Rp. 11.200.000,- tidak boleh ditambah. Apalagi diistilahkan biaya administrasi dan denda, ini menjadi tidak diperbolehkan.
  • Kalau begitu, si penjual jadi rugi waktu dong? Iya, bisnis itu memang harus siap untung siap rugi. Tidak boleh kita pasti untung dan orang lain yang merasakan kerugian.

Nah, ternyata sistem islam itu untuk melindungi semuanya, harus sama hak dan kewajiban antara si pembeli dan si penjual. Sama-sama bisa untung, sama-sama bisa rugi. Jadi kedudukan mereka setara. Bayangkan dengan sistem ribawi, kita sebagai pembeli ada pada posisi yang sangat lemah.

Nah, sudah lebih paham hikmahnya Alloh melarang RIBA?

Kalau menurut anda informasi ini akan bermanfaat untuk anda dan orang lain, silakan share status ini, untuk menebar kebaikan.

Dakwah anda hanya dengan meng-KLIK SHARE/BAGIKAN, maka anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share anda, dan juga jika dishare lagi anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share kawan anda.
Mungkin lebih tepatnya MULTI LEVEL PAHALA, Hehehe

Mudah khan cari pahala? Mudah tapi tak semua yang membaca status ini mau men-share, ada bisikan syetan: “Ga usah dishare, ngapain disuruh share mau aja……”

Iya, memang syetan dengan bisikan halusnya didalam sanubari kita, mengajak untuk malas untuk menebar kebaikan. Ya sudah, ga apa2 kalau anda tidak mau share. Semoga Alloh selalu meridhoi kita semua.

Semoga bermanfaat

Sumber : WA Group

Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH TIDAK MELAYANI SIMPAN PINJAM

Koperasi saat ini memang sangat identik dengan aktivitas simpan pinjam. Kebanyakan koperasi, baik konvensional maupun syariah bertopang pada kegiatan simpan pinjam sebagai produk andalan, terlepas dari namanya yang umum ataupun dengan label islami.

Namun Koperasi Syariah Arrahmah berbeda. Koperasi Syariah Arrahmah merupakan jenis koperasi konsumen yang yang beranggotakan para konsumen dengan menjalankan kegiatan jual beli, menjual barang konsumsi, dilakukan secara tunai/cash maupun kredit (cicil/tunda) Tujuan koperasi ini adalah untuk memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi anggotanya dengan cara mengadakan barang atau jasa yang murah, berkualitas, dan mudah didapat oleh koperasi.

Lantas timbul pertanyaan kenapa koperasi syariah arrahmah memilih jenis koperasi konsumen?

Hal ini disebabkan koperasi Konsumen Syariah Arrahmah sangat komitmen dengan transaksi yang tidak mengandung riba maupun transaksi yang bisa melanggar hukum syar’i. Koperasi Syariah Arrahmah memilih tranksasi yang selamat sehingga hasil yang diperoleh menjadi halal dan berkah. Sangat jelas sekali KAIDAH ISLAM mengatakan bahwa :

” Setiap Piutang yang Mendatangkan Keuntungan Adalah Riba”

Agar tidak dikatakan bahwa Koperasi Syariah Arrahmah hanya mengarang-ngarang suatu kaidah yang mungkin banyak berseberangan dengan yang lazimnya berlaku di masyarakat, silahkan simak tulisan dibawah sehingga kita menjadi paham kaidah diatas dan semakin berhati-hati saat akan bermuamalah dengan kaum muslimin atau lembaga semisal yang melayani transaksi simpan pinjam (utang piutang) namun ternyata mengandung riba.

Kaidah Penting Seputar Transaksi Riba: Setiap Keuntungan Dari Piutang Adalah Riba

 


Kaidah Pertama: Setiap Keuntungan dari Piutang Adalah Riba.

Ditinjau dari tujuannya, berbagai transaksi yang dilakukan oleh manusia dapat kita bagi menjadi tiga bagian:

  1. Transaksi yang bertujuan untuk mencari keuntungan, misalnya jual beli, sewa-menyewa, mudharabah dan lain-lain.
  2. Transaksi yang bertujuan memberikan bantuan uluran tangan dan meringankan kesusahan orang lain, misalnya hutang-piutang, peminjaman barang, penitipan barang, hibah dan lain-lain.
  3. Transaksi yang bertujuan memberikan jaminan kepada pihak lain, bahwa haknya tidak akan hilang, misalnya pegadaian, jaminan dan lain-lain.

Akad jenis kedua, biasanya terjadi antara orang yang sedang dalam kesusahan, sehingga ia membutuhkan pertolongan orang lain yang memiliki kelapangan dalam hal harta benda atau lainnya. Pada keadaan semacam ini, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk tidak memancing dalam air keruh. Bahkan bukan sekadar melarang, Islam juga menganjurkan umatnya untuk ikut andil dalam menjernihkan air yang sedang keruh; yaitu dengan cara memberikan pertolongan dan bantuan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ. رواه مسلم

“Dan Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama ia menolong saudaranya.” (HR Muslim)

Dalam hal hutang piutang, Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَة وأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُم تَعْلَمُون .البقرة: 280

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedakahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 280)

Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari al-Hanafi berkata, “Tidaklah ada orang yang sudi menanggung riba, selain orang yang sedang terhimpit oleh kebutuhan dan kesusahannya. Sehingga, seharusnya orang yang demikian ini dikasihani, disayangi dan ditolong. Oleh karena itu, orang-orang semacam ini biasanya berhak untuk menerima sedekah. Andaikata kita tidak bersedekah, maka paling tidak kita tidak meminta tambahan/bunga atas piutangnya. Akan tetapi, bila kita tetap juga meminta tambahan atas piutangnya, maka sikap ini menunjukkan, bahwa kita benar-benar tidak memiliki rasa iba dan sangat berambisi untuk menumpuk harta. Sudah barang tentu sikap ini tidak layak bagi orang yang beriman, bahwa ia akan meninggalkan kehidupan fana ini.” (Mahaasin al-Islam oleh Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari al-Hanafi, hal. 84)

Ucapan senada juga diutarakan oleh Ibnu Taimiyyah, “Pada asalnya, tidaklah ada orang yang sudi untuk bertransaksi dengan cara riba, selain orang yang sedang dalam kesusahan. Bila tidak, maka sudah barang tentu orang yang dalam kelapangan tidak mungkin rela untuk membeli barang seharga 1000 dengan harga 1200 dengan pembayaran dihutang, bila ia benar-benar sedang tidak membutuhkan uang 1000 tersebut. Orang yang rela untuk membeli barang dengan harga yang melebihi harga semestinya hanyalah orang yang sedang dalam kesusahan. Sehingga perbedaan harga kredit dengan kontan tersebut merupakan tindak kezhaliman kepada orang yang sedang mengalami kesusahan… dan riba benar-benar terwujud padanya tindak kezhaliman kepada orang yang sedang kesusahan. Oleh karenanya, riba sebagai lawan dari sedekah. Hal ini karena Allah tidaklah membebaskan orang-orang kaya, hingga mereka menyantuni orang-orang fakir karena kemaslahatan orang kaya dan juga fakir dalam urusan agama dan dunia tidak akan terwujud dengan sempurna, melainkan dengan cara tersebut.” (al-Qawaid an-Nuraniyah, hal. 116)

Dikarenakan alasan yang sangat mulia ini, syariat Islam mengharamkan setiap keuntungan yang dikeruk dari piutang, dan menyebutnya sebagai riba. Oleh karenanya, para ulama menegaskan hal ini dalam sebuah kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fikih, yaitu:

كل قرض جر نفعا فهو ربا

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.” (baca al-Muhadzdzaboleh asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 & 213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan lain-lain)

Imam asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata, “Tidak dibenarkan setiap piutang yang mendatangkan manfaat/keuntungan. Misalnya, ia menghutangi orang lain 1000 (dinar), dengan syarat penghutang menjual rumahnya kepada pemberi hutang, atau mengembalikannya dengan lempengan dinar yang lebih baik atau lebih banyak, atau menuliskan suftajah[1], sehingga ia diuntungkan dalam wujud rasa aman selama di perjalanan. Dalil hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نهى عن سلف وبيع

“Melarang salaf (piutang) bersama jual-beli.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan dihasankan oleh al-Albani)

Yang dimaksud dengan salaf ialah piutang, kata salaf adalah bahasa orang-orang Hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya -pen). Diriwayatkan dari sahabat Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhum, bahwa mereka semua melarang setiap piutang yang mendatangkan manfaat, karena piutang adalah suatu akad yang bertujuan untuk memberikan uluran tangan (pertolongan), sehingga bila pemberi piutang mensyaratkan suatu manfaat, maka akad piutang telah keluar dari tujuan utamanya.” (al-Muhadzdzab oleh Imam asy-Syairazy asy-Syafi’i, 1/304)

Muhammad Nawawi al-Bantaani berkata, “Tidak dibenarkan untuk berhutang uang atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan keuntungan bagi pemberi piutang, misalnya dengan syarat: pembayaran lebih atau dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudholah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu,

كل قرض جر منفعة فهو ربا

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan, maka itu adalah riba.” [2]

Maksudnya setiap piutang yang dipersyaratkan padanya suatu hal yang akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemberi piutang maka itu adalah riba. Bila ada orang yang melakukan hal itu, maka akad hutang-piutangnya batal, bila persyaratan itu terjadi pada saat akad berlangsung.” (Nihayatu az-Zain Fi Irsyad al-Mubtadiin oleh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi 242. Keterangan serupa juga dapat dibaca di Mughni al-Muhtaaj oleh asy-Syarbini, 2/119, Nihayatu al-Muhtaaj oleh ar-Ramli, 4/231)

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap keuntungan dalam hutang piutang, baik berupa materi atau jasa atau yang lainnya adalah haram, karena itu semua adalah riba. Bukan hanya mengharamkan riba, Islam juga membuka pintu-pintu kebaikan dan amal salih, yaitu dengan menganjurkan umatnya untuk menunda atau memaafkan haknya, Allah Ta’ala berfirman,

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan bila orang yang berhutang itu dalam kesusahan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 280)

Untuk sedikit mengetahui betapa besarnya pahala yang akan didapatkan oleh orang yang memberikan pertolongan kepada orang yang sedang kesusahan, maka saya mengajak pembaca untuk kembali merenungkan kisah berikut:

عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : أتى الله بعبد من عباده آتاه الله مالا، فقال له: ماذا عملت في الدنيا؟ قال: ]ولا يكتمون الله حديثا[ قال: يا رب آتيتني مالك، فكنت أبايع الناس، وكان من خلقي الجواز، فكنت أتيسر على الموسر وأنظر المعسر، فقال الله: أنا أحق بذا منك، تجاوزوا عن عبدي متفق عليه

“Sahabat Hudzaifah radhiallahu a’nhu menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘(Pada hari kiamat kelak) Allah mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah  bertanya kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan ketika di dunia?’ [Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian] (Qs. an-Nisa: 42) Ia pun menjawab, ‘Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan aku berjual beli dengan orang lain, dan kebiasaanku (akhlakku) adalah senantiasa memudahkan, aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu.’ Kemudian Allah berfirman, ‘Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Betapa indahnya syariat Islam dan betapa mulianya akhlak seseorang yang benar-benar mengamalkan ajaran agama Allah. Jika beranjak dari hati yang jernih dan objektif kita mau merenungkan syariat Islam yang berkaitan dengan hutang piutang ini, niscaya kita akan sampai pada keyakinan, bahwa syariat ini adalah syariat yang benar-benar datang dari Allah Ta’ala.

Footnote:

[1] Suftajah ialah semacam surat kuasa yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, sehingga dengan surat kuasa tersebut pemegang surat kuasa dapat mencairkan uangnya di tempat lain dari perwakilan pihak yang mengeluarkan surat tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa Suftajah pada zaman dahulu, berfungsi seperti fungsi cek pada zaman sekarang. Baca al-Misbah al-Munir oleh al-Fayyumi 1/278 dan al-Qamus al-Muhith oleh al-Fairuz Abadi 1/301.

[2] Ucapan Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu diriwayatkan oleh al-Baihaqi. Ucapan serupa juga diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salaam dan Anas bin Malik radhialahu ‘anhum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, di antaranya sahabat Abdullah bin Salaam dan Anas bin Maalik.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 29/334).

-bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri
Artikel www.PengusahaMuslim.com

Sumber artikel

Categories
ARTIKEL MUAMALAH

PENGEN PUNYA RUMAH (KPR) TAPI TIDAK RIBA & YANG PENTING BISA CICIL / KREDIT

Banyak nasabah kami datang ingin kredit rumah. Tahun 2012 ketika tahun awal pendirian koperasi, kami belum bisa melayani kredit kpr atau kredit pemilikan rumah. Hal ini berlangsung hingga tahun 2014. Alhamdulillah, di tahun 2015, kami sudah mulai membuka peluang bagi nasabah yang ingin kredit rumah atau ruko. Sudah beberapa transaksi kami lakukan dengan nasabah, namun karena masih terbatasnya modal yang kami miliki, kami hanya mampu melayani kpr dengan jangka waktu maksimal 3 (tiga) tahun. Seperti transaksi barang lainnya, diantara hal yang syariah di koperasi kami adalah kami tidak ada denda saat anda terlambat membayar, dan kami juga tidak mengenakan penalti ketika anda memiliki kelebihan rejeki sehingga hendak segera melunasi utang anda tersebut.

Insya Allah seiring dengan bertambahnya modal dan sdm kami, kami berharap ke depan kami bisa membuka kpr dengan jangka waktu yang lebih lama.

Ada baiknya, sebelum anda membeli rumah, baik melalui kami, atau selain kami, anda memiliki ilmu tentang persyaratan hukum KPR terlebih dahulu sehingga anda paham dan bisa selamat dari transaksi yang mungkin bisa menjerumuskan anda ke dalam dosa transaksi yang mengandung riba.

Berikut kami sampaikan artikel yang semoga bermanfaat.

Hukum Kredit Rumah KPR

Kita tahu kebutuhan akan rumah sangat ini begitu urgent. Ada yang menempuh jalan menunggu uangnya terkumpul dalam waktu lama barulah memiliki rumah. Dan ada yang ingin segera dapat rumah lewat cara kredit. Salah satu cara yang ditempuh adalah kredit KPR. Bagaimana hukum kredit rumah KPR tersebut?

Berutang Memang Tidak Masalah Ketika Tidak Merasa Sulit

Dari Ummul Mukminin Maimunah,

كَانَتْ تَدَّانُ دَيْنًا فَقَالَ لَهَا بَعْضُ أَهْلِهَا لاَ تَفْعَلِى وَأَنْكَرَ ذَلِكَ عَلَيْهَا قَالَتْ بَلَى إِنِّى سَمِعْتُ نَبِيِّى وَخَلِيلِى -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ  مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَدَّانُ دَيْنًا يَعْلَمُ اللَّهُ مِنْهُ أَنَّهُ يُرِيدُ أَدَاءَهُ إِلاَّ أَدَّاهُ اللَّهُ عَنْهُ فِى الدُّنْيَا

Dulu Maimunah ingin berhutang. Lalu di antara kerabatnya ada yang mengatakan, “Jangan kamu lakukan itu!” Sebagian kerabatnya ini mengingkari perbuatan Maimunah tersebut. Lalu Maimunah mengatakan, “Iya. Sesungguhnya aku mendengar Nabi dan kekasihku shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang muslim memiliki hutang dan Allah mengetahui bahwa dia berniat ingin melunasi hutang tersebut, maka Allah akan memudahkan baginya untuk melunasi hutang tersebut di dunia”. (HR. Ibnu Majah no. 2408 dan An Nasai no. 4690. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Dari hadits ini ada pelajaran yang sangat berharga yaitu boleh saja kita berhutang, namun harus berniat untuk mengembalikannya. Perhatikanlah perkataan Maimunah di atas.

Juga terdapat hadits dari ‘Abdullah bin Ja’far, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الدَّائِنِ حَتَّى يَقْضِىَ دَيْنَهُ مَا لَمْ يَكُنْ فِيمَا يَكْرَهُ اللَّهُ

Allah akan bersama (memberi pertolongan pada) orang yang berhutang (yang ingin melunasi hutangnya) sampai dia melunasi hutang tersebut selama hutang tersebut bukanlah sesuatu yang dilarang oleh Allah.” (HR. Ibnu Majah no. 2400. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih)

Sedangkan ada dalil yang menegaskan tentang bahaya berutang, di antaranya adalah do’a Nabi  shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam shalat yang meminta perlindungan pada Allah dari sulitnya utang.

Dari ‘Urwah, dari ‘Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

كَانَ يَدْعُو فِى الصَّلاَةِ وَيَقُولُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْمَأْثَمِ وَالْمَغْرَمِ » . فَقَالَ لَهُ قَائِلٌ مَا أَكْثَرَ مَا تَسْتَعِيذُ يَا رَسُولَ اللَّهِ مِنَ الْمَغْرَمِ قَالَ « إِنَّ الرَّجُلَ إِذَا غَرِمَ حَدَّثَ فَكَذَبَ وَوَعَدَ فَأَخْلَفَ  .

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a di dalam shalat: Allahumma inni a’udzu bika minal ma’tsami wal maghrom (Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat dosa dan banyak hutang).” Lalu ada yang berkata kepada beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Kenapa engkau sering meminta perlindungan dari hutang?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda, “Jika orang yang berhutang berkata, dia akan sering berdusta. Jika dia berjanji, dia akan mengingkari.” (HR. Bukhari no. 2397 dan Muslim no. 589).

Kata Ibnu Hajar, dalam Hasyiyah Ibnul Munir disebutkan bahwa hadits meminta perlindungan dari utang tidaklah bertolak belakang dengan hadits yang membicarakan tentang bolehnya berutang. Sedangkan yang dimaksud dengan meminta perlindungan adalah dari kesusahan saat berutang. Namun jika yang berutang itu mudah melunasinya, maka ia berarti telah dilindungi oleh Allah dari kesulitan dan ia pun melakukan sesuatu yang sifatnya boleh (mubah). Lihat Fathul Bari, 5: 61.

Berutanglah dengan Jalan yang Benar

Jika berutang dibolehkan saat mudah untuk melunasinya, bukan berarti kita asal-asalan saja dalam berutang dan di antara bentuknya adalah mengambil kredit. Karena jika di dalam utang dipersyaratkan mesti dilebihkan saat pengembelian, maka itu adalah riba dan hukumnya haram.

Ibnu Qudamah rahimahullah berkata,

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ

Setiap utang yang dipersyaratkan ada tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tanpa diperselisihkan oleh para ulama.” (Al Mughni, 6: 436)

Kemudian Ibnu Qudamah membawakan perkataan berikut ini,

“Ibnul Mundzir berkata, “Para ulama sepakat bahwa jika orang yang memberikan pinjaman memberikan syarat kepada yang meminjam supaya memberikan tambahan atau hadiah, lalu transaksinya terjadi demikian, maka tambahan tersebut adalah riba.”

Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Abbas bahwasanya mereka melarang dari utang piutang yang ditarik keuntungan karena utang piutang adalah bersifat sosial dan ingin cari pahala. Jika di dalamnya disengaja mencari keuntungan, maka sudah keluar dari konteks tujuannya. Tambahan tersebut bisa jadi tambahan dana atau manfaat.” Lihat Al Mughni, 6: 436.

Nyata dalam Kredit KPR

Kenyataan yang terjadi dalam kredit KPR adalah pihak bank meminjamkan uang kepada nasabah dan ingin dikembalikan lebih. Jadi realitanya, bukanlah transaksi jual beli rumah karena pihak bank sama sekali belum memiliki rumah tersebut. Yang terjadi dalam transaksi KPR adalah meminjamkan uang dan di dalamnya ada tambahan dan ini nyata-nyata riba. Itu sudah jelas. Kita sepakat bahwa hukum riba adalah haram.

Penyetor Riba Terkena Laknat

Bukan hanya pemakan riba (rentenir) saja yang terkena celaan. Penyetor riba yaitu nasabah yang meminjam pun tak lepas dari celaan. Ada hadits dalam Shahih Muslim, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris) dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba.” Kata beliau, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR. Muslim no. 1598).

Mengapa sampai penyetor riba pun terkena laknat? Karena mereka telah menolong dalam kebatilan. Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hadits di atas bisa disimpulkan mengenai haramnya saling menolong dalam kebatilan.” (Syarh Shahih Muslim, 11: 23).

Sehingga jika demikian sudah sepantasnya penyetor riba bertaubat dan bertekad kuat untuk segera melunasi utangnya.

Sudah Seharusnya Menghindari Riba

Jika telah jelas bahwa riba itu haram dan kita dilarang turut serta dalam transaksi riba termasuk pula menjadi peminjam, maka sudah sepantasnya kita sebagai seorang muslim mencari jalan yang halal untuk memenuhi kebutuhan primer kita termasuk dalam hal papan. Memiliki rumah dengan kredit KPR bukanlah darurat. Karena kita masih ada banyak cara halal yang bisa ditempuh dengan tinggal di rumah beratap melalui rumah kontrakan, sembari belajar untuk “nyicil” sehingga bisa tinggal di rumah sendiri. Atau pintar-pintarlah menghemat pengeluaran sehingga dapat membangun rumah perlahan-lahan dari mulai membeli tanah sampai mendirikan bangunan yang layak huni. Ingatlah sabda Rasul,

إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئًا لِلَّهِ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ

Sesunggunya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, maka Allah akan mengganti bagimu dengan yang lebih baik bagimu.” (HR. Ahmad 5: 363. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits inishahih).

Siapa saja yang menempuh jalan yang halal, pasti Allah akan selalu beri yang terbaik. Yang mau bersabar dengan menempuh cara yang halal, tentu Allah akan mudahkan. Yo sabar … Yakin dan terus yakinlah!

Hanya Allah yang memberi taufik.

 

Referensi:

Al Mughni, Ibnu Qudamah Al Hambali, terbitan Dar ‘Alamil Kutub, cetakan tahun 1432 H.

Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, Abu Zakariya Yahya bin Syarf An Nawawi, terbitan Dar Ibni Hazm, cetakan pertama, tahun 1433 H.

Selesai disusun selepas Zhuhur, 3 Dzulqo’dah 1434 H @ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang-Gunungkidul

Sumber artikel

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

TIDAK ADA DENDA DI KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

denda di koperasi syariah arrahmah

Percaya tidak bahwa Tidak Ada Denda di Koperasi Syariah Arrahmah.

Kalau tidakmengalami sendiri mungkin tidak akan percaya karena TRANSAKSI KREDIT YANG SYAR’I HARUSNYA TIDAK ADA DENDA.

Koperasi Syariah Arrahmah memang agak berbeda dengan koperasi atau lembaga finansial kebanyakan yang sejenis. Sejak awal pendirian koperasi ini, kami berkomitmen bahwa kami harus syar’i, tidak boleh ada denda keterlambatan bagi nasabah yang telat membayar cicilan. Beberapa relasi kami sangsi bahwa kami bisa mendirikan koperasi ini, namun kenyataannya, alhamdulillah, sejak Januari 2012 hingga sekarang tulisan ini ditulis, tidak ada nasabah kami yang pernah didenda gara-gara terlambat bayar.

Lantas, bagaimana solusi kami menghadapi nasabah seperti itu? Banyak komponen yang perlu terlibat dalam hal ini, Secara ringkas kami sampaikan :

  • Sebelum aqad, nasabah harus lulus persyaratan administrasi murabahah, nasabah harus punya penjamin yang dipercaya, dan nasabah memiliki jaminan sesuatu yang berharga untuk kriteria barang murabahah diatas harga sesuai ketentuan yang berlaku di koperasi.
  • Saat aqad, nasabah benar-benar memahami isi aqad yang ditandatangani diatas materai yang mengandung konsekuensi hukum. Aqad yang menjunjung tinggi nilai keadilan yang terkandung didalamnya, baik untuk nasabah maupun koperasi.
  • Setelah aqad, kami juga mengajak kepada nasabah untuk hadir dalam kajian-kajian islam ilmiah yang rutin diselenggarakan oleh yayasan al-umm banjarmasin, atau pun kajian islam lainnya. Intinya, dengan nasabah yang bertauhid, takut kepada Allah, maka mereka tidak akan berani main-main dengan utang.

Jika qadarullah nasabah ternyata telat bayar denda, maka akan kami ingatkan dengan hadits” Rasulullah yang berkaitan dengan utang, minta bantuan Penjamin untuk ikut mengingatkannya agar segera bayar, dan jika memang nasabah memiliki udzur sehingga tidak bisa bayar cicilan, maka ada Form Permohonan Penundaan Cicilan Karena Udzur yang harus diisi dan ditandatangani. Adil bukan ?

Alhamdulillah, hal ini cukup efektif dalam menghadapi nasabah kami.

Kembali kepada masalah Denda, maka kami ingin memberikan ulasan kepada anda kenapa koperasi kami tidak menerapkan denda pada nasabah. Sebaiknya anda pun membacanya sehingga paham sehingga saat akan bertransaksi dengan kami atau pun pihak lain yang sejenis, tidak sampai terjerumus dalam dosa riba. Selamat membaca, semoga bermanfaat.

=======================================================================

DENDA DALAM KACAMATA SYARIAT

 

Di tengah-tengah masyarakat sering kita jumpai berbagai bentuk denda berkaitan dengan transaksi muamalah. Seorang karyawan yang tidak masuk kerja tanpa izin akan diberikan sanksi berupa pemotongan gaji. Telat membayar angsuran kredit motor juga akan mendapatkan denda setiap hari, dengan nominal rupiah tertentu. Seorang penerjemah buku juga akan didenda dengan nominal tertentu setiap harinya oleh penerbit, jika buku ternyata belum selesai diterjemahkan sampai batas waktu yang telah disepakati. Percetakan yang tidak tepat waktu juga dituntut untuk membayar denda dengan jumlah tertentu. Bayar listrik sesudah tanggal 20 juga akan dikenai denda oleh pihak PLN.

Bagaimanakah hukum dari berbagai jenis denda di atas, apakah diperbolehkan secara mutlak, ataukah terlarang secara mutlak, ataukah perlu rincian? Inilah tema bahasan kita pada edisi ini. Persyaratan denda sebagaimana di atas diistilahkan oleh para ulama dengan nama syarth jaza’i.

Hukum persyaratan semisal ini berkaitan erat dengan hukum syarat dalam transaksi dalam pandangan para ulama. Ulama tidak memiliki titik pandang yang sama terkait dengan hukum asal berbagai bentuk transaksi dan persyaratan di dalamnya, ada dua pendapat.

Pendapat pertama menyatakan bahwa hukum asalnya adalah terlarang, kecuali persyaratan-persyaratan yang dibolehkan oleh syariat. Adapun pendapat kedua menegaskan bahwa hukum asal dalam masalah ini adalah sah dan boleh, tidak haram dan tidak pula batal, kecuali terdapat dalil dari syariat yang menunjukkan haram dan batalnya.

Singkat kata, pendapat yang lebih tepat adalah pendapat yang kedua, dengan alasan sebagai berikut:

a. Dalam banyak ayat dan hadits, kita dapatkan perintah untuk memenuhi perjanjian, transaksi, dan persyaratan, serta menunaikan amanah. Jika memenuhi dan memperhatikan perjanjian secara umum adalah perkara yang diperintahkan, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa hukum asal transaksi dan persyaratan adalah sah. Makna dari sahnya transaksi adalah maksud diadakannya transaksi itu terwujud, sedangkan maksud pokok dari transaksi adalah dijalankan.

b. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Kaum muslimin itu berkewajiban melaksanakan persyaratan yang telah mereka sepakati.” (Hr. Abu Daud dan Tirmidzi)

Makna kandungan hadits ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Quran dan as-Sunnah. Maksud dari persyaratan adalah mewajibkan sesuatu yang pada asalnya tidak wajib, tidak pula haram. Segala sesuatu yang hukumnya mubah akan berubah menjadi wajib jika terdapat persyaratan.

Pendapat inilah yang dipilih oleh Syekhul Islam Ibnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim. Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Segala syarat yang tidak menyelisihi syariat adalah sah, dalam semua bentuk transaksi. Semisal penjual yang diberi syarat agar melakukan sesuatu atau meninggalkan sesuatu dalam transaksi jual-beli, baik maksud pokoknya adalah penjual ataupun barang yang diperdagangkan. Syarat dan transaksi jual-belinya adalah sah.”

Ibnul Qayyim mengatakan, “Kaidah yang sesuai dengan syariat adalah segala syarat yang menyelisihi hukum Allah dan kitab-Nya adalah syarat yang dinilai tidak ada (batil). Adapun syarat yang tidak demikian adalah tergolong syarat yang harus dilaksanakan, karena kaum muslimin berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama, kecuali persyaratan yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Inilah pendapat yang dipilih oleh guru kami, Ibnu Taimiyyah.”

Berdasar keterangan di atas, maka syarth jaza’i adalah diperbolehkan, asalkan hakikat transaksi tersebut bukanlah transaksi utang-piutang dan nominal dendanya wajar, sesuai dengan besarnya kerugian secara riil.

Berikut ini adalah kutipan dua fatwa para ulama:

Yang pertama adalah keputusan Majma’ Fikih Islami yang bernaung di bawah Munazhamah Mu’tamar Islami, yang merupakan hasil pertemuan mereka yang ke-12 di Riyadh, Arab Saudi, yang berlangsung dari tgl 23–28 September 2000. Hasil keputusannya adalah sebagai berikut:

Keputusan pertama. Syarth jaza’i adalah kesepakatan antara dua orang yang mengadakan transaksi untuk menetapkan kompensasi materi yang berhak didapatkan oleh pihak yang membuat persyaratan, disebabkan kerugian yang diterima karena pihak kedua tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Keputusan kedua. Adanya syarth jaza’i (denda) yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan barang dalam transaksi salam tidak dibolehkan, karena hakikat transaksi salam adalah utang, sedangkan persyaratan adanya denda dalam utang-piutang dikarenakan faktor keterlambatan adalah suatu hal yang terlarang. Sebaliknya, adanya kesepakatan denda sesuai kesepakatan kedua belah pihak dalam transaksi istishna’ adalah hal yang dibolehkan, selama tidak ada kondisi tak terduga.

Istishna’ adalah kesepakatan bahwa salah satu pihak akan membuatkan benda tertentu untuk pihak kedua, sesuai dengan pesanan yang diminta. Namun bila pembeli dalam transaksi ba’i bit-taqshith (jual-beli kredit) terlambat menyerahkan cicilan dari waktu yang telah ditetapkan, maka dia tidak boleh dipaksa untuk membayar tambahan (denda) apa pun, baik dengan adanya perjanjian sebelumnya ataupun tanpa perjanjian, karena hal tersebut adalah riba yang haram.

Keputusan ketiga. Perjanjian denda ini boleh diadakan bersamaan dengan transaksi asli, boleh pula dibuat kesepakatan menyusul, sebelum terjadinya kerugian.

Keputusan keempat. Persyaratan denda ini dibolehkan untuk semua bentuk transaksi finansial, selain transaksi-transaksi yang hakikatnya adalah transaksi utang-piutang, karena persyaratan denda dalam transaksi utang adalah riba senyatanya.

Berdasarkan hal ini, maka persyaratan ini dibolehkan dalam transaksi muqawalah bagi muqawil (orang yang berjanji untuk melakukan hal tertentu untuk melengkapi syarat tertentu, semisal membangun rumah atau memperbaiki jalan raya).

Muqawalah adalah kesepakatan antara dua belah pihak, pihak pertama berjanji melakukan hal tertentu untuk kepentingan pihak kedua dengan jumlah upah tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula. Demikian pula, persyaratan denda dalam transaksi taurid (ekspor impor) adalah syarat yang dibolehkan, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak pengekspor.

Demikian juga dalam transaksi istishna’, asalkan syarat tersebut ditujukan untuk pihak produsen, jika pihak-pihak tersebut tidak melaksanakan kewajibannya atau terlambat dalam melaksanakan kewajibannya.

Akan tetapi, tidak boleh diadakan persyaratan denda dalam jual-beli kredit sebagai akibat pembeli yang terlambat untuk melunasi sisa cicilan, baik karena faktor kesulitan ekonomi ataupun keengganan. Demikian pula dalam transaksi istishna’ untuk pihak pemesan barang, jika dia terlambat menunaikan kewajibannya.

Keputusan kelima. Kerugian yang boleh dikompensasikan adalah kerugian finansial yang riil atau lepasnya keuntungan yang bisa dipastikan. Jadi, tidak mencakup kerugian etika atau kerugian yang bersifat abstrak.

Keputusan keenam. Persyaratan denda ini tidak berlaku, jika terbukti bahwa inkonsistensi terhadap transaksi itu disebabkan oleh faktor yang tidak diinginkan, atau terbukti tidak ada kerugian apa pun disebabkan adanya pihak yang inkonsisten dengan transaksi.

Keputusan ketujuh. Berdasarkan permintaan salah satu pihak pengadilan, dibolehkan untuk merevisi nominal denda jika ada alasan yang bisa dibenarkan dalam hal ini, atau disebabkan jumlah nominal tersebut sangat tidak wajar.

Yang kedua
adalah fatwa Haiah Kibar Ulama Saudi. Secara ringkas, keputusan mereka adalah sebagai berikut, “Syarth Jaza’i yang terdapat dalam berbagai transaksi adalah syarat yang benar dan diakui sehingga wajib dijalankan, selama tidak ada alasan pembenar untuk inkonsistensi dengan perjanjian yang sudah disepakati.

Jika ada alasan yang diakui secara syar’i, maka alasan tersebut mengugurkan kewajiban membayar denda sampai alasan tersebut berakhir.

Jika nominal denda terlalu berlebihan menurut konsesus masyarakat setempat, sehingga tujuan pokoknya adalah ancaman dengan denda, dan nominal tersebut jauh dari tuntutan kaidah syariat, maka denda tersebut wajib dikembalikan kepada jumlah nominal yang adil, sesuai dengan besarnya keuntungan yang hilang atau besarnya kerugian yang terjadi.

Jika nilai nominal tidak kunjung disepakati, maka denda dikembalikan kepada keputusan pengadilan, setelah mendengarkan saran dari pakar dalam bidangnya, dalam rangka melaksanakan firman Allah, yaitu surat an-Nisa’: 58.” (Taudhih al-Ahkam: 4/253–255)

Jadi, anggapan sebagian orang bahwa syarth jaza’i secara mutlak itu mengandung unsur riba nasi’ah adalah anggapan yang tidak benar. Anggapan ini tidaklah salah jika ditujukan untuk transaksi-transaksi yang pada asalnya adalah UTANG-PIUTANG, semisal JUAL BELI KREDIT (MURABAHAH) dan transaksi SALAM.

Penulis: Ustadz Abu ‘Ukkasyah Aris Munandar, S.S.

Artikel: www.pengusahamuslim.com

Categories
SEPUTAR KOPERASI

SOP JUAL BELI KREDIT DENGAN KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

SOP Murobahah
SOP Murobahah
Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

ATURAN PENJAMIN PADA JUAL BELI KREDIT DENGAN KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

PENJAMIN menjadi dasar paling penting saat hendak bermuamalah jual beli cara angsuran (kredit) dengan Koperasi Syariah Arrahmah.

Oleh karena itu sebaiknya calon nasabah memahami dulu mengenai kedudukan PENJAMIN dan bisa mengajukan seorang PENJAMIN yang akan menjamin dirinya ketika hendak melakukan aqad jual beli cara angsuran dengan KS ARRAHMAH.

Berikut penjelasannya.

Menjadi PENJAMIN di KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH berarti memahami segala tugas dan konsekwensi PENJAMIN sebagai berikut :

  1. Mengerti dan paham bahwa tujuan didirikan KS ARRAHMAH adalah sebagai salah satu solusi menghindari riba bagi kaum muslimin dan dibangun atas prinsip syariah dan ta’awun.
  2. Mengerti dan paham bahwa KS ARRAHMAH menghimpun dana dari anggota koperasi yang harus dikelola dengan baik, jujur dan amanah.
  3. Mengerti dan paham bahwa KS ARRAHMAH merupakan badan usaha komersil yang bertujuan memperoleh keuntungan dalam rambu-rambu yang diijinkan syariah.
  4. Mengerti dan paham bahwa KS ARRAHMAH bisa untung bisa rugi, namun kerugian diusahakan agar seminimal mungkin dan dapat dipertanggungjawabkan.
  5. Mengerti dan paham bahwa PENJAMIN tidak mendapat gaji atau fee dari KS ARRAHMAH selain ketika SHU untuk PENJAMIN jika KS ARRAHMAH mendapat laba sebagaimana ketentuan yang berlaku di KS ARRAHMAH.
  6. Mengerti dan paham bahwa PENJAMIN adalah pengurus/anggota KS ARRAHMAH yang telah dianggap layak oleh Dewan Syariah, Dewan Pembina, Dewan Keuangan, dan Pengurus Inti untuk diberi amanah menjadi PENJAMIN.
  7. Mengerti dan paham bahwa menjadi PENJAMIN berarti  memiliki hak untuk merekomendasikan jamaah kaum muslimin menjadi NASABAH YANG DIJAMIN untuk bertransaksi dengan KS ARRAHMAH dengan prinsip Ta’awun / tolong menolong agar saudara yang dijamin tidak terjatuh dalam dosa riba.
  8. Mengerti dan paham bahwa sebagai PENJAMIN, niat  menjadi PENJAMIN adalah ikhlas karena ALLAH TA’ALA demi menolong agar saudara NASABAH YANG DIJAMIN selamat dan tidak terjatuh dalam dosa riba.
  9. Mengerti dan paham bahwa sebagai PENJAMIN, berarti penjamin menjamin bahwa saudara NASABAH YANG DIJAMINnya adalah saudara muslim(ah) yang sudah dikenal baik dan dekat dari sisi agama, akhlak, tempat tinggal, pekerjaan dan kesanggupannya membayar utang dengan KKS ARRAHMAH.
  10. Mengerti dan paham bahwa sebagai PENJAMIN berarti jika nasabah yang dijamin ternyata mengalami tunggakan pada KS ARRAHMAH maka PENJAMIN bersedia :
  11. Ikut menghubungi dan mengingatkan NASABAH YANG DIJAMIN agar bisa segera menyelesaikan utang piutangnya dengan KS ARRAHMAH hingga tunggakan bisa diselesaikan.
  12. Membantu KKS ARRAHMAH mencari solusi agar utang NASABAH YANG DIJAMIN bisa dibayar, semisal dengan menjual barang jaminan milik NASABAH YANG DIJAMIN dan membayarkan hasilnya sesuai utangnya kepada KS ARRAHMAH.
  13. Jika ternyata barang jaminan milik NASABAH YANG DIJAMIN (yang dikredit) tidak ada, maka PENJAMIN bersedia membantu KS ARRAHMAH mengambil harta berharga lainnya milik NASABAH YANG DIJAMIN untuk dijual guna menyelesaikan utang piutangnya dengan KS ARRAHMAH hingga tunggakan bisa diselesaikan.
  14. Jika ternyata poin 12 dan 13 tidak bisa dilakukan, maka PENJAMIN BERSEDIA MEMBAYAR UTANG NASABAH YANG DIJAMIN kepada KS ARRAHMAH.
    Dikoreksi dan klausul ini ditiadakan setelah kedatangan ustadz Erwandi ke Banjarmasin agar tidak terjatuh pada riba.

 

Dengan melihat poin-poin diatas, maka menjadi PENJAMIN bukan hal yang mudah, karena akan dimintai pertanggungjawaban dunia dan akhirat.

Setiap PENJAMIN wajib mengisi FORM BERSEDIA MENJADI PENJAMIN yang ditandatangani diatas materai.