Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

APAKAH KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH MELAYANI OPER KREDIT ?

Over kredit, opera kredit, kpr, kpm

Beberapa anggota dan calon anggota Koperasi Syariah Arrahmah datang kepada kami menanyakan apakah koperasi bisa membantu mereka keluar dari jeratan riba yang sudah terlanjur terjadi disaat mereka belum paham hukumnya. Mereka ingin mengalihkan utang KPR (Kredit Pemilikan Rumah), atau KPM (Kredit Pemilikan Mobil) yang mereka sudah terlanjur bertransaksi agar dialihkan ke Koperasi Syariah Arrahmah, sehingga dengan demikian mereka beranggapan bahwa hal tersebut membuat mereka keluar dari dosa riba.

Jawaban kami kepada anggota dan calon anggota tersebut setelah sebelumnya minta maaf, yang kami sampaikan dengan halus dan tegas, bahwa kami Koperasi Syariah Arrahmah tidak bisa melayani transaksi OPER KREDIT. Karena transaksi oper kredit berpotensi mengandung riba.

Kok bisa ???!!!

Lantas bagaimana solusinya ??!!!

Semoga artikel dibawah ini bisa membuat kita jadi paham kenapa koperasi syariah arrahmah tidak bisa melayani oper kredit.

Semoga bermanfaat.

Tanya Jawab: Hukum Transaksi Oper Kredit


Berikut ini kami nukilkan dialog yang terjadi di milis Pengusaha Muslim, dengan topik pembicaraan seputar Oper Kredit rumah.

Dialog:

Assalamu ‘alaikum warohmatullah wabarokatuh
Saya hendak membeli rumah di daerah Cileunyi Bandung atau Tanah Baru Depok dengan kisaran harga Rp 200jt ke bawah dan saya lebih mengutamakan rumah yang sekaligus bisa untuk usaha/bisnis. Mungkin teman-teman punya info, tolong diinformasikan, atas bantuannya saya ucapkan terimakasih banyak, semoga Allah membalas kebaikannya. Wassalam.

Abu Naufal

Direspon oleh Aris Mukmin, dengan pesannya:

Kebetulan saya ada rumah kpr BTN di daerah Serpong, Cisauk, komplek Suradita yang ingin saya oper kredit, mungkin bpk/ibu berminat atau saudara muslim ada yg berminat bisa langsung menghubungi saya untuk informasi selanjutnya.

Pertanyaan:

Bagaimana pandangan syariat terhadap transaksi Oper Kredit? Simak penjelasan ustadz Muhammad Arifin Badri berikut ini:

Jawaban:

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Perlu diketahui bahwa dalam syari’at Islam, akad jual beli, baik dengan pembayaran kontan alias lunas atau dicicil/kredit adalah salah satu bentuk akad yang mengikat, dan bersifat otomatis. Bersifat mengikat maksudnya adalah masing-masing dari pihak terkait tidak dapat membatalkan akadnya kecuali atas izin dari pihak kedua. Dan bersifat otomatis maksudnya adalah memindahkan hak; hak terhadap barang berpindah kepada pembeli seusai akad dan hak atas pembayaran/uang berpindah langsung kepada penjual.

Dengan demikian, pada kasus di atas, hak kepemilikan rumah sepenuhnya telah menjadi milik pembeli, yaitu saudara Aris Mukmin. Dan selanjutnya secara syariat, saudara Aris Mukmin berhak sepenuhnya untuk menjual kembali rumah tersebut atau menghibahkannya kepada orang lain.

Bila hal ini telah diketahui, maka saudara Aris Mukmin secara hukum syari’at pada kasus di atas memiliki dua solusi:

1. Menjual rumah kepada orang lain dengan pembayaran kontan, dan dengan hasil penjualan ini ia bisa melunasi sisa kredit yang belum terbayar, sehingga segera bisa mendapatkan surat kepemilikan rumah dan surat tersebut segera ia serahkan kepada pembeli kedua rumah tersebut. Masalah surat menyurat rumah, itu adalah sebatas urusan admisnistrasi, tidak merubah status kepemilikan dalam syari’at. Sehingga bila pembeli rela untuk menunggu penyerahan surat menyurat hingga beberapa waktu, sampai pembeli pertama selesai melunasi tagihannya, maka itu tidak mengapa.

2. Menjual rumah dengan segala tanggung jawab yang berkaitan dengan rumah itu. Yaitu kewajiban melunasi sisa cicilan kredit yang belum terbayar. Kasus oper kredit seperti ini, merupakan salah satu aplikasi nyata transaksi hawalah (transfer piutang). Dan Hawalah ialah salah satu akad yang dibenarkan dalam syari’at, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىءٍ فَلْيَتْبَعْ. متفق عليه

“Penunda-nundaan orang yang telah kecukupan adalah perbuatan zhalim, dan bila tagihan salah seorang darimu dipindahkan kepada orang lain yang berkecukupan, hendaknya ia menurut/menerima.” (Muttafaqun ‘alaih)

Hanya saja pada kasus diatas, yang terjadi bukan hanya transfer piutang belaka, akan tetapi bersatu dengan akad jual beli dalam satu waktu. Karena pada kasus semacam ini, kreditur pertama biasanya telah membayar cicilan beberapa kali, dan sisa cicilannyalah yang hendak ditransferkan kepada orang lain. Tapi itu tidak mengapa, karena tidak menyebabkan terjadinya riba atau penipuan atau ketidak jelasan.

Hanya saja yang perlu diwaspadai pada kasus perkreditan rumah atau kendaraan bermotor atau yang serupa, biasanya tidak dilakukan langsung kepada pemilik barang, yaitu developer atau dealer. Perkreditan biasanya melibatkan pihak ketiga, sebagaimana yang diisyaratkan pada kasus di atas, yaitu BTN atau yang serupa. Pada kasus ini biasanya BTN bukanlah pemilik barang (rumah) akan tetapi BTN hanya sebatas membiayai perkreditan ini. BTN memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan praktek ribanya. BTN  mengiming-imingi pemilik barang yaitu perusahaan developer dengan mendapatkan haknya berupa pembayaran tunai. Sebagaimana BTN juga mengiming-imingi pembeli (nasabah) dengan pembayaran secara bertahap alias dicicil, bukan ke developer akan tetapi cicilan dibayarkan ke BTN.

Bila itu yang terjadi maka perkreditan semacam ini adalah perkreditan yang tidak dibenarkan dalam syari’at karena mengandung unsur riba, sebagaimana yang pernah saya jelaskan pada kesempatan lain. Wallahu a’alam bishowab.

Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.

Sumber

Pertanyaan:

Ada orang yang kredit mobil via bank yang menjual mobilnya sebelum angsuran bank yang menjadi kewajibannya lunas. Bolehkah saya membelinya? Saya akan menanggung angsuran bank yang belum selesai. Perlu diketahui bahwa saya memiliki cadangan uang yang cukup sehingga saya tidak akan pernah terlambat membayar angsuran sehingga bisa dipastikan saya tidak akan terkena pinalti karena keterlambatan membayar angsuran. Apakah tindakanku semacam ini dibenarkan dalam syariat?

Jawaban:

Penanya mengatakan bahwa dia mengadakan kesepakatan dengan penjual, dia tidak membeli melalui bank namun dialah yang akan melunasi angsuran di bank. Dia memiliki cadangan uang yang cukup sehingga dia bisa membayarkan angsuran tepat waktu di awal bulan, dengan demikian saya tidak terjerumus dalam riba (baca: membayar pinalti karena keterlambatan membayar angsuran). Di manakah letak keharaman hal ini?

Jawaban:

Transaksi di atas hukumnya haram.

Ada dua hal penting yang perlu dicermati:

Pertama, apa yang kita katakan mengenai orang yang ingin pinjam uang dengan sistem riba namun dia tidak jadi karena adanya riba (baca: bunga) lantas ada orang yang mengatakan “Anda bisa pinjam atas nama saya dan sayalah yang akan membayar bunganya”. Apakah dengan cara semacam ini utang piutang tersebut menjadi halal? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Adanya pihak yang menanggung riba (baca: bunga). Tidaklah menyebabkan transaksi tersebut menjadi halal.

 

Kedua, yang penting dalam kasus ini adalah ridha dengan riba adalah haram meski kita tidak pernah membayar riba (baca: pinalti). Menandatangani transaksi ribawi adalah bentuk ridha terhadap riba, meskipun orang yang tanda tangan tersebut tidak terjerumus dalam riba.
Solusi halal dalam kasus ini adalah kita keluarkan bank dari proses transaksi. Kita tutup keterkaitan kita dengan bank. Kewajiban angsuran di bank diselesaikan terlebih dahulu baru ada transaksi antara penjual dengan pembeli berlandaskan kaidah syariat bukan kaidah riba yaitu firman Allah,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ

“Jika orang yang berutang itu dalam kondisi kesulitan maka berilah penangguhan tempo sampai dia dalam kemudahan financial.” (QS. Al Baqarah: 280).

Tanpa hal ini, selama bank masih berperan dalam transaksi yang terjadi, maka pelaku transaksi masih terjerumus dalam dosa, meskipun tidak terjerumus dalam riba namun terjerumus dalam dosa ridha dengan transaksi riba (Fatwa Syaikh Masyhur Hasan al Salman, no pertanyaan 222).

Sumber