Categories
VIDEO MUAMALAH

CARA MENDAPATKAN MODAL USAHA HALAL

Semoga Video ini bermanfaat.

Cara Mendapatkan Modal Usaha Halal

Ustadz Dr. ErwandiTarmidzi, MA

[embedyt] http://www.youtube.com/watch?v=at-qOoAm6Dg[/embedyt]

Reposting by :

Koperasi Syariah Arrahmah

Investasi Halal & Kredit Bebas Riba

Categories
VIDEO MUAMALAH

SUKSES TANPA RIBA

Semoga Video ini bermanfaat.

Sukses Tanpa Riba

Bersama Ustadz Dr. Erwandi tirmidzi, MA

[embedyt] http://www.youtube.com/watch?v=6T_Swj_W4Do[/embedyt]

Reposting by :

Koperasi Syariah Arrahmah

Investasi Halal & Kredit Bebas Riba

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

INVESTASIKAN DANA ANDA DI KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH INSYA ALLAH BEBAS RIBA

deposito koperasi syariah arrahmah

Kita hidup di jaman penuh fitnah dimana riba merajalela.

Rasulullah sudah menggambarkan keadaan kita saat ini jauh-jauh hari saat beliau masih hidup.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Suatu saat nanti manusia akan mengalami suatu masa, yang ketika itu semua orang memakan riba. Yang tidak makan secara langsung, akan terkena debunya.” (Hr. Nasa`i, no. 4455, namun dinilai dhaif oleh al-Albani)

Meski secara sanad, hadits di atas adalah hadits yang lemah, namun makna yang terkandung di dalamnya adalah benar, dan zaman tersebut pun telah tiba. Betapa riba dengan berbagai kedoknya saat ini telah menjadi konsumsi publik, bahkan menjadi suatu hal yang mendarah daging di tengah banyak kalangan.

Begitulah kondisi kita saat ini.

Saat ini bertransaksi dengan perbankan sudah merupakan kebutuhan. Harta-harta yang kita miliki mungkin sebagian atau bahkan semuanya telah disimpan di bank, entah bank syariah atau bank konvensional. Entah itu berupa tabungan, ataupun deposito.

Kami dari Koperasi Syariah Arrahmah mengajak kaum muslimin yang sudah mulai paham tentang dosa riba, khawatir terkena dosa riba baik langsung atau tidak langsung, memiliki kelebihan rejeki dan dana yang hanya tersimpan tanpa terkelola dengan baik. Kami mengajak kaum muslimin agar mengalihkan dana / harta yang dimilikinya, baik tabungan ataupun deposito, untuk diinvestasikan dan dikelola oleh koperasi kami. Keuntungan berinvestasi di koperasi syariah Arrahmah bisa anda baca disini.

KEANGGOTAAN & INVESTASI

Kenapa kami sampaikan permasalahan mengenai deposito disini. Karena kami ingin agar kaum muslimin juga paham mengenai Hukum Halal dan Haram hasil Deposito yang saat ini masih dinikmati. Kami berikan solusi untuk anda agar harta anda bermanfaat bukan hanya untuk anda, namun juga kaum muslimin lainnya.

Simak artikel berikut supaya tidak ada penyesalan dikemudian hari. Semoga bermanfaat.

Pengertian Deposito

Salah satu produk yang diterbitkan oleh bank adalah deposito. Deposito adalah tabungan berjangka yang tidak boleh diambil sampai habis jangka waktu yang disepakati dengan mendapatkan prosentasi keuntungan dari uang yang didepositokan. Apabila mengambil uang yang telah didepositokan, maka akan terkena denda yang telah ditetapkan oleh bank.

Contoh dari penerapan deposito ini dimisalkan sebagai berikut:

Joko ingin memanfaatkan produk deposito. Dia mendepositokan uangnya sebesar Rp 50 juta dalam jangka waktu 3 bulan. Bunga deposito selama setahun adalah 5 %. Jadi dalam sebulan dia mendapatkan = Rp 50 juta x 5 % : 12 bulan = Rp 208.333,33/bulan. Kemudian penghasilan tersebut dipotong pajak penghasilan 20 %. Dengan demikian Joko dalam tiga bulan mendapatkan Rp 208.333,33 x 3 bulan = Rp 625.000,00 , sebelum dipotong pajak.

Joko tidak perlu khawatir dengan uang yang didepositokannya. Uang tersebut pasti mendapatkan keuntungan walaupun tidak begitu besar. Meskipun bank sedang pailit atau merugi, bank tetap harus membayarkan keuntungan/bunga dari uang yang didepositokan Joko.

Di lain sisi ada juga produk serupa yang diterbitkan oleh beberapa Lembaga Keuangan Syariah. Mereka menamakannya dengan mudharabah atau bagi hasil. Mereka menyatakan bahwa uang modal yang di-mudharabah-kan akan digunakan untuk usaha yang halal, sehingga menghasilkan keuntungan yang dapat dibagi setiap bulannya. Mereka menetapkan keuntungan yang besarnya diprosentasekan dari modal. Meskipun mereka menyatakan bahwa prosentasenya bisa berubah-ubah tergantung keadaan bank, tetapi keuntungan masih didapatkan meskipun bank dalam keadaan merugi atau usahanya merugi.

Bagaimana sebenarnya memahami kasus seperti ini? Apakah hal ini termasuk keuntungan yang halal ataukah hal ini mengandung unsur riba? Jika ini riba, bagaimana seharusnya solusi terbaik yang diberikan?

Memahami Riba

Sebelum kita membahas permasalahan ini, penulis perlu tekankan bahwa kita jangan terpengaruh dengan istilah/penamaan yang digunakan oleh berbagai lembaga keuangan. Kita harus melihat kepada hakikat transaksinya sehingga kita bisa menghukumi setiap permasalahan dengan tepat.

Kita juga harus paham bahwasanya yang dimaksud dengan riba atau lebih spesifik disebut riba nasiah adalah mengambil keuntungan dari hutang yang dipinjamkan.

Riba diharamkan oleh Allah secara mutlak, baik tambahannya banyak maupun sedikit, baik berupa uang lebih maupun manfaat atau jasa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan:

وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ

“… Dan riba jahiliah dihapuskan. Riba pertama yang saya hapuskan dari riba-riba kita adalah riba ‘Abbas bin Abdil-Muththalib. Sesungguhnya riba tersebut dihapuskan semuanya.”[Muslim no. 1218.]

Imam Asy-Syafii rahimahullah pernah menerangkan:

وَكَانَ مِنْ رِبَا الجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُوْنَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الدَّيْنُ فَيَحِلُّ الدَّيْنُ ، فَيَقُوْلُ لَهُ صَاحِبُ الدَّيْنِ : تَقْضِيْ أَوْ تربي ، فَإِنْ أَخَّرَهُ زَادَ عَليْه وَأَخَّرَه

“Di antara bentuk riba jahiliah adalah seseorang memiliki hutang kepada orang lain, kemudian hutang tersebut jatuh tempo, kemudian orang yang meminjamkan uang berkata, ‘Engkau bayar atau engkau tambahkan (ribakan)?’ Jika dia ingin mengakhirkannya, maka dia menambahnya.”[Lihat: Ma’rifatu As-Sunan Wal-Atsar lil-Baihaqi VIII/29 no. 3395]

Zaid bin Aslam rahimahullah pernah berkata:

كَانَ الرِّبَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الْحَقُّ إِلَى أَجْلٍ فَإِذَا حَلَّ الْحَقُّ قَالَ أَتَقْضِى أَمْ تُرْبِى فَإِنْ قَضَاهُ أَخَذَ وَإِلاَّ زَادَهُ فِى حَقِّهِ وَزَادَهُ الآخَرُ فِى الأَجَلِ.

“Dulu riba di masa jahiliah, seseorang memiliki suatu hak kepada orang lain sampat tempo tertentu. Apabila telah jatuh tempo, maka dia berkata, ‘Engkau mau membayarnya atau engkau tambahkan (ribakan)?’ Apabila dia bayar, maka dia ambil haknya dan jika tidak, maka orang tersebut menambahnya dan bertambah pula temponya.”[Muwaththa’Al- Imam Malik. Bab Maa Jaa-a fir-Riba fid-Dain, II/672 no. 1353]

Kaidah Memahami Riba

Para ulama juga telah membuatkan kaidah fiqhiyah untuk mengenal semua jenis riba, kaidah tersebut berbunyi:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا

“Setiap perhutangan yang menghasilkan manfaat (untuk orang yang meminjamkannya), maka dia adalah riba.”

Kaidah ini sangat penting untuk mengenal berbagai macam jenis riba saat ini.

Hukum Deposito Bank

Kalau kita perhatikan kasus di atas, maka kita bisa menghukumi bahwa deposito bank dan mudharabah LKS di atas masih mengandung riba di dalamnya sehingga diharamkan. Karena sebenarnya orang yang mendepositokan uangnya di bank, dia sedang meminjamkan uangnya kepada bank, kemudian dia mendapatkan keuntungan dari uang yang dipinjamkan tersebut, keuntungan tersebut pasti dia dapatkan dan tidak ada resiko untuk rugi apabila bank rugi.

Jika keuntungan yang didapat tidak lebih dari 10 %, boleh atau tidak?

Sebagian orang menyangka bahwa boleh mendepositokan uang dengan alasan hasil yang didapat jika tidak besar, maka tidak mengapa. Sebagian orang mengatakan bahwa jika tidak lebih dari 10 % maka tidak mengapa. Bagaimana menanggapi hal ini?

Memang ada yang berpendapat demikian. Mereka salah dalam memahami ayat ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan!”, (QS Ali ‘Imran: 130)

Mereka mengatakan bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlipat-lipat keuntungannya, sedangkan yang tidak berlipat-lipat maka tidak mengapa.

Mereka salah memahami ayat ini karena mereka mungkin tidak mengetahui bahwa larangan riba dilakukan dengan empat tahap pelarangan, yaitu sebagai berikut:

Tahap I: Firman Allah ta’ala:

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (39)

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kalian berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kalian berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS Ar-Rum: 39)

Pada ayat ini Allah hanya menyindir pelaku riba.

Tahap II: Firman Allah ta’ala:

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)

“ (160) Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, (161) Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS An-Nisa’: 160-161)

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa riba dilarang kepada orang-orang Yahudi, tetapi mereka masih melakukannya. Dan belum dijelaskan apakah riba juga diharamkan pada kaum muslimin.

Tahap III: Firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan!”, (QS Ali ‘Imran: 130)

Pada ayat ini Allah mulai mengharamkan riba, tetapi yang disinggung hanyalah riba yang berlipat ganda, sehingga sebagian sahabat menyangka bahwa riba yang sedikit masih tidak mengapa.

Tahap IV: Firman Allah ta’ala:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (277) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)

“ (275) Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

(276) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (277) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

(278) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. (279) Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 275-279)

Dengan memahami tahap-tahap ini, seseorang akan paham bahwa pada akhirnya riba diharamkan secara mutlak oleh Allah subhanahu wa ta’ala, baik banyak maupun sedikit.[Lihat: Fiqh sunnah 3/174 dan At-Tadarruj fi Tahriim Ar-Riba (www.hablullah.com)]

Dan dengan jelas juga diterangkan pada hadits di atas, bahwa riba dihapuskan seluruhnya dan riba yang pertama kali dihapuskan adalah riba ‘Abbas radhiallahu ‘anhu. Dan hadits tersebut adalah potongan dari khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di ‘Arafah. Sehingga perharaman riba secara mutlak adalah pengharaman terakhir sebelum beliau wafat.

Jika demikian, bagaimana solusi yang ditawarkan dalam syariat kita?

Di dalam Islam, permasalahan penanaman modal untuk mendapatkan keuntungan sudah diatur. Permasalahan ini disebut dengan mudharabah (bagi hasil)[Mudharabah yang sebenarnya dan bukan versi beberapa Lembaga Keuangan Syariat, penj]. Di dalam mudharabah terdapat: pemilik modal (shahibul-mal), pengusaha (mudharib), modal yang dikeluarkan (ra’sul-mal) dan pembagian keuntungan (ribh).

Pembagian keuntungan diprosentasekan dari keuntungan dan bukan dari modal, misal untuk pemilik modal 40 % dan untuk pengusaha 60 % atau pemilik modal 55 % dan pengusaha 45 %, sesuai kesepakatan antara mereka berdua di awal akad.

Apabila terjadi kerugian, maka pengusaha tidak mendapatkan apa-apa dan pemilik modal kehilangan modalnya. Inilah yang tidak dimiliki oleh lembaga keuangan.

Apabila terjadi sengketa, maka bisa diselesaikan dengan melihat amanat dari pengusaha. Jika pengusaha amanat dalam menjalankan usaha dan ternyata usaha merugi, maka pemilik modal tidak boleh menuntutnya. Akan tetapi, seandainya pengusaha tidak amanat dalam menggunakan harta, seperti: menggunakan untuk keperluan pribadinya, menggunakan modal tidak sesuai kesepakatan, maka pemilik modal bisa menuntut untuk dikembalikan modalnya.

Inilah solusi yang tepat yang diberikan oleh syariat. Daripada menggunakan produk deposito bank, maka solusi yang terbaik adalah dengan menjadikannya sebagai modal usaha. Bahkan kalau dihitung-hitung, maka keuntungan yang diperoleh dari mudharabah lebih besar daripada deposito bank.

Bukankah Bank-Bank Syariat telah menerapkan mudharabah jenis ini?

Hal tersebut tidak benar, karena dalam praktiknya mereka masih belum bisa lepas dari riba. Salah satu alasannya adalah mereka tidak diberi hak untuk berusaha mencari keuntungan selain dengan cara simpan dan pinjam saja.

Jika mereka mampu atau diizinkan menjadi perusahaan sendiri yang memiliki berbagai usaha halal dan orang-orang yang memiliki uang bisa menanamkan sahamnya di sana dengan kesiapan menanggung kerugian jika ternyata usahanya rugi dan mendapatkan keuntungan dari prosentase keuntungan bukan dari modal, maka hal tersebut menjadi solusi untuk kasus seperti ini.

Demikian tulisan singkat ini. Mudahan bermanfaat.

Daftar Pustaka:

  1. Al-Asybah wa An-Nazhair ‘ala Madzhabi Abi Hanifah An-Nu’man. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
  2. Al-Farqu Baina Al-Bai’ Wa Ar-Riba. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Ar-Riyadh: Dar Al-Qasim.
  3. Al-Mudharabah fi Asy-Syari’atil-Islamiyah. ‘Abdullah bin Hamd bin ‘Utsman Al-Khuwaithir. Ar-Riyadh: Dar Kanuz Isybilia.
  4. Fiqh As-Sunnah. Sayyid Sabiq. Beirut: Muassasah Ar-Risalah.
  5. Muwaththa’ Al-Imam Malik. Mesir: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi.
  6. Dan lain-lain sebagian sudah dicantumkan di footnotes.

 

Oleh: ustadz Said Yai Ardiansyah, MA

Sumber artikel

Download PROPOSAL sekaligus PROFIL KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

MEMAHAMI PERBEDAAN AKAD UTANG PIUTANG (QARDH) DAN KERJASAMA (MUDHAROBAH ; MUSYAROKAH) DENGAN CONTOH KASUS

enak dibaca:

Yang masih bingung antara hutang piutang (qardh) n kerjasama (mudhorobah;musyarokah), silahkan disimak ilustrasi berikut:

▶▶▶▶

? Gimana kabarnya mbak?
? Sehat dek, alhamdulillah.

? Ini saya selain silaturahmi juga ada perlu mbak.
? Apa apa dek…apa yang bisa tak bantu.

? Anu..kalau ada uang 20juta saya mau pinjam.
? Dua puluh juta? Banyak sekali. Untuk apa dek?

?Tambahan modal mbak. Dapat order agak besar, modal saya masih kurang. Bisa bantu mbak?
? Mmm..mau dikembalikan kapan ya?

? InsyaAllah dua bulan lagi saya kembalikan.
? Gitu ya. Ini mbak ada sih 20juta. Rencana untuk beli sesuatu. Tapi kalau dua bulan sudah kembali ya gak apa-apa, pakai dulu aja.

? Wah, terimakasih mbak.
? Ini nanti mbak dapat bagian dek?

? Bagian apa ya mbak?
? Ya kan uangnya untuk usaha, jadi kan ada untungnya tuh. Naa..kalau mbak enggak kasih pinjem kan ya gak bisa jalan usahamu itu, iya kan?
*tersenyum penuh arti*

? Oh, bisa-bisa. Boleh saja kalau mbak pengennya begitu. Nanti saya kasih bagi hasil mbak.
?Besarannya bisa kita bicarakan.
Lha, gitu kan enak. Kamu terbantu, mbak juga dapat manfaat.

? Tapi akadnya ganti ya mbak. Bukan hutang piutang melainkan kerjasama.
? Iyaa..gak masalah. Sama aja lah itu. Cuman beda istilah doang.

?Bukan cuma istilah mbak, tapi pelaksanaannya juga beda.
?Maksudnya??

?Jadi gini mbak: kalau akadnya hutang, maka jika usaha saya lancar atau tidak lancar ya saya tetap wajib mengembalikan uang 20juta itu. Tapi jika akadnya kerjasama, maka kalau usaha saya lancar, mbak akan dapat bagian laba. Namun sebaliknya, jika usaha tidak lancar atau merugi maka mbak juga turut menanggung resiko. Bisa berupa kerugian materi→uangnya
tidak bisa saya kembalikan, atau rugi waktu→ kembali tapi lama.

?Waduh, kalau gitu ya mending uangnya saya deposito kan tho dek: gak ada resiko apa2, uang utuh, dapat bunga pula.

?Itulah riba mbak. Salah satu ciri2nya tidak ada resiko dan PASTI untung.

?Tapi kalau uangku dipinjam si A untuk usaha ya biasanya aku dapet bagi hasil kok dek. 2% tiap bulan. Jadi kalau dia pinjam 10juta selama dua bulan, maka dua bulan kemudian uangku kembali 10juta+400ribu.

?Itu juga riba mbak. Persentase bagi hasil ngitungnya dari laba, bukan berdasar modal yang disertakan.Kalau berdasar modal kan mbak gak tau apakah dia beneran untung atau tidak.

Dan disini selaku investor berarti mbak tidak menanggung resiko apapun donk. Mau dia untung atau rugi mbak tetep dapet 2%. Lalu apa bedanya sama deposito?

?Dia ikhlas lho dek, mbak gak matok harus sekian persen gitu kok.

?Meski ikhlas atau saling ridho kalau tidak sesuai syariat ya dosa mbak.

?Waduh…syariat kok ribet bener ya.

?Ya karena kita sudah terlanjur terbiasa dengan yang keliru mbak. Memang butuh perjuangan untuk mengikuti aturan yang benar. Banyak kalau tidak berkah bikin penyakit lho mbak.hehe.

?Hmmm…ya sudah, ini 20juta nya hutang aja. Mbak gak siap dengan resiko kerjasama. Nanti dikembalikan dalam dua bulan yaa.

?Iya mbak. Terimakasih banyak mbak. Meski tidak mendapat hasil berupa materi tapi insyaAllah
mbak tetap ada hasil berupa pahala.
Amiiin..

▶▶▶▶▶▶

Kalo cuma bicara anti riba…. burung beopun juga bisa.

Kalo cuma diskusi masalh ekonomi umat… ngbrol sama balita yg baru belajar bicara jauh lebih menarik.

Ayuuu hidupkan ekonomi mikro.. berikan pancingan bukan ikan.

investasi dunia akhirat

Notes : perhatikan dlm bisnis akad kerjasama kah?? Atau akad peminjaman uang.. ini 2 hukum islam yg berbeda dn efeknya pun di dunia dan akhirat juga berbeda.

“… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS.Al-baqarah:275)

Sebenarnya apa sih tujuan islam melarang riba? Seharusnya khan asal saling sepakat, saling rela, tidak kena dosa?

Hukum islam itu dibuat untuk mengatur agar manusia mendapatkan kemaslahatan sebesar-besarnya tanpa manusia merugikan siapapun sekecil-kecilnya.

Mari kita bahas contoh LABA dan RIBA agar anda mudah untuk memahami dengan bahasa yang umum:

  1. Saya membeli sebuah sepeda motor Rp. 10 Juta dan saya hendak menjual dengan mengambil untung dengan bunga 1% perbulan untuk jangka waktu pembayaran 1 tahun.
    Transaksi seperti ini tergolong transaksi RIBAWI.
  2. Saya membeli sepeda motor Rp. 10 juta, dan saya hendak menjual secara kredit selama setahun dengan harga Rp. 11.200.000,-. Transaksi ini termasuk transaksi SYARIAH.

Apa bedanya? Khan kalau dihitung2 ketemunya sama Untungnya Rp. 1.200.000?

Mari kita bahas kenapa transaksi pertama riba dan transaksi kedua syar’i.

TRANSAKSI PERTAMA RIBA karena:

  • Tidak ada kepastian harga, karena menggunakan sistem bunga. Misal dalam contoh diatas, bunga 1% perbulan. Jadi ketika dicicilnya disiplin memang ketemunya untungnya adalah Rp. 1.200.000,-. Tapi coba kalau ternyata terjadi keterlambatan pembayaran, misal ternyata anda baru bisa melunasi setelah 15 bulan, maka anda terkena bunganya menjadi 15% alias labanya bertambah menjadi Rp. 1.500.000,-.
  • Jadi semakin panjang waktu yang dibutuhkan untuk melunasi utang, semakin besar yang harus kita bayarkan.
  • Bahkan tidak jarang berbagai lembaga leasing ada yang menambahi embel2 DENDA dan BIAYA ADMINISTRASI, maka semakin riba yang kita bayarkan. Belum lagi ada juga yang menerapkan bunga yang tidak terbayar terakumulasi dan bunga ini akhirnya juga berbunga lagi.
  • Sistem riba seperti diatas jelas2 sistem yang menjamin penjual pasti untung dengan merugikan hak dari si pembeli. Padahal namanya bisnis, harus siap untung dan siap rugi.

TRANSAKSI KEDUA SYARIAH karena:

  • Sudah terjadi akad yang jelas, harga yang jelas dan pasti. Misal pada contoh sudah disepakati harga Rp. 11.200.000,- untuk diangsur selama 12 bulan.
  • Misal ternyata si pembeli baru mampu melunasi utangnya pada bulan ke-15, maka harga yang dibayarkan juga masih tetap Rp. 11.200.000,- tidak boleh ditambah. Apalagi diistilahkan biaya administrasi dan denda, ini menjadi tidak diperbolehkan.
  • Kalau begitu, si penjual jadi rugi waktu dong? Iya, bisnis itu memang harus siap untung siap rugi. Tidak boleh kita pasti untung dan orang lain yang merasakan kerugian.

Nah, ternyata sistem islam itu untuk melindungi semuanya, harus sama hak dan kewajiban antara si pembeli dan si penjual. Sama-sama bisa untung, sama-sama bisa rugi. Jadi kedudukan mereka setara. Bayangkan dengan sistem ribawi, kita sebagai pembeli ada pada posisi yang sangat lemah.

Nah, sudah lebih paham hikmahnya Alloh melarang RIBA?

Kalau menurut anda informasi ini akan bermanfaat untuk anda dan orang lain, silakan share status ini, untuk menebar kebaikan.

Dakwah anda hanya dengan meng-KLIK SHARE/BAGIKAN, maka anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share anda, dan juga jika dishare lagi anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share kawan anda.
Mungkin lebih tepatnya MULTI LEVEL PAHALA, Hehehe

Mudah khan cari pahala? Mudah tapi tak semua yang membaca status ini mau men-share, ada bisikan syetan: “Ga usah dishare, ngapain disuruh share mau aja……”

Iya, memang syetan dengan bisikan halusnya didalam sanubari kita, mengajak untuk malas untuk menebar kebaikan. Ya sudah, ga apa2 kalau anda tidak mau share. Semoga Alloh selalu meridhoi kita semua.

Semoga bermanfaat

Sumber : WA Group

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH BELUM ADA PRODUK MUDHOROBAH, KENAPA ? – BAGIAN 2

Konsep Mudharabah

Sebagaimana sudah kami sampaikan pada tulisan sebelumnya, KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH BELUM ADA PRODUK MUDHOROBAH, KENAPA ? – BAGIAN 1 maka kami akan melanjutkan alasan kami berikutnya.

Tahukah anda, bahwa kebanyakan transaksi mudhorobah yang lazim saat ini mengandung riba? Tentunya kecuali mereka yang dirahmati Allah, yang sudah berilmu dan berhati-hati dalam bertransaksi.

Kami akan ambil contoh alasan kami lainnya, bahwa kebanyakan Pemilik Modal (shohibul maal) saat akan bermuamalah mudhorobah, mereka terkesan hanya mau BAGI UNTUNG namun TIDAK MAU BAGI RUGI. Padahal, yang namanya akad MUDHOROBAH, kedua belah pihak harus paham untuk SIAP UNTUNG & SIAP RUGI. Namun, kami pun tidak menafikan banyaknya Pelaku Usaha (mudhorib) saat ini  yang tidak amanah, yang berimbas pada tingkat kepercayaan yang semakin turun dari Pemilik Modal. Padahal Pemilik Modal hanya  ingin agar uangnya aman diperuntukkan sesuai perjanjian yang disepakati.

Namun pada tulisan ini kami belum membahas tentang Pelaku Usaha (mudharib), hanya sebatas Pemilik Modal, dalam hal ini semisal kami, koperasi syariah arrahmah, yang kami akui saat tulisan ini kami buat, kami juga belum siap bertransaksi mudhorobah.

Silahkan saja anda cek keumuman transaksi yang terjadi di masyarakat saat ini, baik perorangan maupun lembaga yang melabelkan dirinya “SYARIAH”. Apakah SUDAH SIAP RUGI atau belum.

Salah satu tujuan tulisan kami ini sekaligus ingin agar pembaca paham, bagaimana MUDHOROBAH yang SYAR’I, sehingga jika memang koperasi, lembaga pembiayaan, perbankan yang katanya berlabel “SYARIAH” belum siap secara ilmu atau SDM untuk transaksi ini, maka lebih baik menahan diri agar tidak terjerumus dalam dosa riba, sebagaimana yang kami lakukan saat ini di koperasi kami.

Kali ini kami ingin mengangkat artikel yang sedikit lebih panjang dari sebelumnya, sehingga pengunjung website kopsyaharrahmah menjadi semakin paham kenapa kami belum membuka produk MUDHORBAH. Simak tulisan dibawah ini, semoga bermanfaat.

————————————————————–

Empat bulan sebelum Idul Adha 2010, saya mengajukan proposal “gaduh” sapi – Semacam penggemukan sapi yang sudah mencapai usia kurban–. Diharapkan dengan datangnya moment idul adha, harga sapi menjadi naik pesat. Proposal itu saya ajukan ke salah satu BMT – sebut saja BMT X – dengan akad mudharabah. Ketika proposal disetujui, pihak BMT memberi beberapa pilihan kerja sama. Saya-pun memilih mudharabah murni. Harapan saya, dengan pilihan ini saya bisa terbebas dari transaksi riba. Akhirnya, pihak BMT X merujuk ke rekanan BMT lain yang lebih besar di daerah Jalan Gedongkuning, Yogyakarta. Karena untuk penawaran pembiayaan 50 juta ke atas, BMT X belum siap menyediakan.

Singkat cerita, saya-pun datang ke BMT yang dirujuk, melalui perantara BMT X. Dengan suka rela, petugas menerima tawaran saya. Hanya saja mereka meminta agar saya memberikan jaminan dan terdaftar sebagai anggota BMT (baca: nasabah). Ketika saya tanya alasannya, mereka menjawab bahwa semua itu hanya sebatas untuk jaminan keamanan dan kepercayaan. Saya-pun menyanggupinya, dan saya serahkan BPKB motor sebagai jaminannya. Sebelum deal transaksi, saya bertanya: Andaikan dalam usaha saya ini mengalami kegagalan, yang sama sekali BUKAN karena keteledoran saya. Anggap saja, beberapa sapi mati karena sakit, apa saya harus mengembalikan modal utuh? “Ya, tetap harus mengembalikan. Minimal modalnya, meskipun tanpa keuntungan.” Jawab petugas BMT itu.

Berbekal dengan beberapa pengetahuan tentang ekonomi syariah, saya mencoba mengkritisi, “Maaf Pak,kalo akadnya semacam ini, saya nyatakan itu bukan mudharabah. Tapi ini akad riba. Pihak BMT hanya menyediakan bagi keuntungan, dan tidak mau bagi kerugian. Ini riba.” Petugas itu beralasan, “Lalu dari mana saya harus mengembalikan uang nasabah. Itu uang banyak orang. Kecuali kalo rugi karena bencana alam. Jelas itu nanti kami semua yang nanggung. Tapi, biasanya jarang kok sampai mengalami kerugian.” Saya mulai berani menjelaskan, “Sebenarnya, bukan masalah untuk rugi ketika usaha, tapi yang lebih penting adalah menentukan akad. Karena ini yang membedakan riba dan bukan riba. Meskipun, andaikan usaha saya untung, namun akad di awal, pihak pemodal tidak siap menanggung kerugian, maka itu bukan akad mudharabah yang sesuai syari’at. Itu akad pinjam uang (baca: utang), bukan mudharabah.” Akhirnya, sang petugas itu-pun mengakui, “Ya, kami paham semacam ini belum sesuai syari’at. Tapi dari mana kami harus mengembalikan uang nasabah.”

Ya, itulah sekelumit kejadian yang selalu terngiang-ngiang dalam diri saya. Perasaan saya meledak-ledak untuk menulis kejadian itu. Kamuflase label syariah tidak menjamin 100% sesuai syariah. Karena, hukum halal-haram ditentukan dari hakikat transaksi dan bukan labelnya. Bangkai selamanya dihukumi haram, meskipun dikemas dengan disertai label halal. Namun, ada satu hal yang sedikit membanggakan, petugas BMT telah mengakui, akad mudharabah yang selama ini mereka jalankan pada hakikatnya tidak sesuai syariat. Meskipun, mereka belum berani melakukan perubahan.

Sekilas, bagi hasil mudharabah mirip dengan riba. Karena dalam mudharabah, pemilik modal menyerahkan sejumlah uang kepada pelaku usaha, dan jika untung dia mendapat kembalian yang lebih banyak dari modal yang dia serahkan. Akan tetapi, hukumnya bertolak belakang. Bagi hasil mudharabah hukumnya halal, sementara riba hukumnya haram. Bagi hasil diperoleh karena transaksi pemodalan, sementara riba diperoleh karena transaksi utang-piutang. Karena itu, penting bagi setiap pelaku usaha yang akrab dengan transaksi bagi hasil untuk memahami perbedaan antara mudharabah dengan utang piutang. Bagi yang ingin mempelajari perbedaan dua transaksi ini, bisa merujuk ke halaman berikut:https://www.pengusahamuslim.com/baca/artikel/995/perbandingan-antara-mudharabah-dengan-riba

Barangkali, ada satu hal lain yang juga patut untuk diluruskan, terkait perbedaan antara akad pembiayaan dengan proses penggunaan dana. Akad pembiayaan merupakan kesepakatan di awal yang disetujui oleh kedua belah pihak yang melakukan akad. Inilah yang menentukan apakah transaksi yang dilakukan itu utang-piutang ataukah mudharabah.

Sebagai contoh, ketika ada dua orang melakukan transaksi pembiayaan, dengan kesepakatan, apapun yang terjadi pemilik modal minimal harus mendapatkan uangnya kembali secara utuh maka ini adalah akad utang-piutang. Meskipun pelaku usaha menggunakan uang yang dia pinjam untuk mengembangkan usahanya. Bahkan, meskipun dia mendapat keuntungan dari usahanya dengan memutar uang yang dia pinjam. Dalam keadaan ini, sang pemilik modal tidak berhak mendapat pembagian dari keuntungan yang didapatkan oleh pelaku usaha.

Ulama Sepakat Pelaku Usaha Tidak Menanggung Kerugian Modal

Barangkali ada sebagian orang yang ingin mengetahui keterangan ulama tentang tanggung jawab kerugian dalam usaha bagi hasil. Berikut saya bawakan keterangan yang disebutkan dalam buku Fiqhul Muamalat, yang ditulis oleh sekelompok ulama (Majmu’ah al-Muallifin), jilid 1, halaman 456:

فقد اتفق الفقهاء على أن المضارب أمين على ما بيده من مال المضاربة , لأن هذا المال في حكم الوديعة , وإنما قبضه المضارب بأمر رب المال لا على وجه البدل والوثيقة. فلا يضمن المضارب إلا بالتفريط والتعدي شأنه في ذلك شأن الوكيل والوديع وسائر الأمناء

“Para ahli fiqh sepakat bahwa mudharib (pelaku usaha) adalah orang yang mendapatkan kepercayaan terhadap uang modal yang dia bawa. Karena, uang ini statusnya sebagaimana wadi’ah (barang titipan). Hanya saja, uang ini dia bawa atas rekomendasi dari pemilik modal, bukan untuk diganti dan dengan adanya jaminan. Karena itu, mudharib (pelaku usaha) tidak menanggung (kerugian), kecuali jika hal itu disebabkan karena keteledoran dan kesalahannya. Kondisi mereka sebagaimana wakil (orang yang mendapat amanah), atau wadi’ (orang yang dititipi barang).”

Demikian, semoga bermanfaat.

***

Penulis: Ust. Ammi Nur Baits, S.T.

Sumber Artikel

 

Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH BELUM ADA PRODUK MUDHOROBAH, KENAPA ? – BAGIAN 1

mudharabah koperasi syariah arrahmah

Hingga saat ini, koperasi Syariah Arrahmah belum berani membuka produk mudhorobah, tahukan anda sebabnya ?

Bukan tanpa alasan, melainkan kami menyadari hingga tahun keempat operasional kami, kami belum siap untuk bertransaksi mudhorobah. Perlu persiapan yang matang, secara ilmu maupun sdm agar saat bertransaksi mudhorobah, kami tidak terjebak dalam transaksi riba.

Tahukah anda, bahwa kebanyakan transaksi mudhorobah yang lazim saat ini mengandung riba? Tentunya kecuali mereka yang dirahmati Allah, yang sudah berilmu dan berhati-hati dalam bertransaksi.

Kami ambil contoh saja, bahwa kebanyakan pemilik modal saat akan bermuamalah mudhorobah, mereka akan meminta jaminan atas modal mereka ? Sehingga jika terjadi kerugian, maka pemilik modal akan menuntut atas jaminan tersebut. Padahal, mungkin saja kerugian bukan disebabkan karena kelalaian pelaku usaha. Silahkan saja anda cek umumnya transaksi yang terjadi di masyarakat saat ini, baik perorangan maupun lembaga yang melabelkan dirinya “SYARIAH”

Padahal itu BERBAHAYA, karena bisa menjadikan transaksi tersebut berubah hukum dari HALAL menjadi HARAM.

Sehingga, sangat perlu sekali berilmu sebelum beramal.

Simak tanya jawab dibawah ini agar anda semakin paham.

Hukum Memberi Jaminan Untuk Modal Dalam Mudharabah

 

Pertanyaan:

Bolehkah meminta syarat jaminan keamanan modal dalam akad mudharabah? Sehingga ketika proyek usaha gagal, dia wajib mengembalikan modal dan keuntungan yg pernah didapat?

Semoga Allah memberikan taufiq…

Jawaban:

Jawaban Syaikh Dr. Sa’d Al-Khatslan

لايصح اشتراط ضمان رأس المال ولا اشتراط نسبة مقطوعة من الأرباح ؛ لأن هذا يحولها من كونها مضاربة إلى قرض بفائدة وهو محرم

Tidak sah mengajukan syarat adanya penjaminan untuk modal, tidak pula syarat untuk keuntungan yang didapatkan. Karena persyaratan semacam ini akan mengubah status transaksi mudaharabah menjadi transaksi utang dengan bunga, dan itu haram.

وإنما الجائز هو اشتراط نسبة مشاعة من الأربح (كالربع أو الثلث مثلا أو بالنسبة المئوية 18%أو30% مثلا )، وفي حال الخسارة لايضمن المضارب شيئا لأنه قد خسر جهده ، والخسارة إنما تكون على رب المال

Yang dibolehkan adalah mempersyaratkan nisbah pembagian keuntungan (misal: 1/4 atau 1/3 atau berdasarkan prosentase: 18 %, atau 30 %).

Kemudian, jika terjadi kerugian, pelaku usaha (mudharib) tidak menanggung modal sedikitpun. Karena dia juga sudah rugi dengan kerja yang dia lakukan. Sehingga kerugaian finansial ditanggung pemilik modal.

Sumber: http://www.saad-alkthlan.com/text-91

Sumber Artikel

Pembahasan mengenai KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH BELUM ADA PRODUK MUDHOROBAH, KENAPA ?

Akan bersambung insya Allah. Semoga bermanfaat.

Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM HANYA ANGGOTA SEPUTAR KOPERASI

LURUSKAN NIAT DALAM BERGABUNG DENGAN KOMUNITAS ANTI RIBA KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH

no riba

Koperasi Syariah Arrahmah bukan sekedar koperasi yang didirikan atas prinsip mencari untung / kesejahteraan dunia semata. Menurut definisi hukum di Indonsia, Koperasi adalah merupakan singkatan dari kata ko / co dan operasi / operation. Koperasi adalah suatu kumpulan orang-orang untuk bekerja sama demi kesejahteraan bersama. Berdasarkan undang-undang nomor 12 tahun 1967, koperasi indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial dan beranggotakan orang-orang, badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Namun, kembali kami tekankan disini, Koperasi Syariah Arrahmah bukan sekedar sebagaimana disampaikan pada definisi diatas, melainkan insya Allah lebih dari itu. Melalui koperasi ini, diharapkan terbangun sebuah komunitas yang beranggotakan kaum muslimin yang anti riba karena yang bertransaksi adalah orang-orang yang paham dan sadar dosa serta bahaya riba. Koperasi ini juga diharapkan menjadi komunitas yang menjunjung tinggi kepercayaan dan amanah dalam kehidupan bersosial dan bermasyarakat, karena salah satu persyaratan untuk bertransaksi di koperasi Syariah Arrahmah adalah memiliki PENJAMIN. Adapun, tidak mungkin anggota bisa menjadi penjamin jika dia tidak jujur dan amanah dan tidak mungkin pula dia MAU MENJAMIN saudaranya, keluarganya, sahabatnya, temannya, jika yang akan dijamin tidak jujur maupun amanah dalam menjaga kepercayaan yang diberikan oleh saudaranya melalui koperasi kepadanya.

Koperasi Syariah Arrahmah insya Allah lebih dari sekedar koperasi syariah biasa. Kami sangat berharap anggota koperasi Syariah Arrahmah yang bergabung dalam komunitas ini kembali meluruskan niat bahwa semua dilakukan semata-mata karena Allah Ta’ala, untuk menjaga diri dan keluarga dari memperoleh harta dengan transaksi riba, demi menolong saudara lainnya agar mereka tidak terperosok ke dalam jurang dosa riba, serta saling menjaga kepercayaan dan amanah harta investasi yang dititipkan saudaranya untuk dikelola koperasi demi kemaslahatan bersama, kesejahteraan bersama, di dunia maupun kelak di akhirat.

Agar kita berilmu dan benar-benar paham kenapa harus berkomunitas melalui koperasi Syariah Arrahmah ataupun koperasi lain yang semisal dengannya, komunitas lain yang semisal dengannya, sebagaimana dijelaskan pada paragraf sebelumnya, maka penting bagi anda untuk membaca ulasan artikel berikut yang insya Allah bermanfaat bagi kehidupan di dunia, terlebih lagi di akhirat kelak. Semoga bermanfaat.

Komunitas Tak Jelas

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Setiap komunitas, menanamkan loyalitas. Mereka saling mencintai, saling membantu, saling menolong, saling membela, karena mereka satu komunitas.

Mereka bisa melakukan seperti itu, karena mereka memiliki satu ikatan yang sama. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena kesamaan itu.

Yang menjadi masalah adalah ikatan apa yang melatar belakangi terjalinnya komunitas itu?

Ada banyak ragam kesamaan, yang membuat manusia membangun komunitas.

Ada yang membangun komunitas, karena ikatan batu akik. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, penggemar batu akik.

Ada yang membangun komunitas karena Moge. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, pemilik moge.

Ada juga yang membangun komunitas karena mobil VW. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, pemilik VW.

Pun ada komunitas yang dibentuk karena kamera. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, sama-sama penggemar fotografi.

Meskipun ada yang membangun komunitas karena islam. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena satu kesamaan, mereka muslim ahlus sunah.

Dan masih banyak aneka ikatan komunitas yang dibentuk masyarakat.

Kita tentu yakin, semua yang kita lakukan ini tidak ada yang sia-sia. Semua akan dipertanggung jawabkan kelak di yaumul akhir. Sampaipun kegiatan ber-komunitas yang kita lakukan. Allah menegaskan,

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ . وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.

Isi surat az-Zalzalah. Inilah yang menjadi keyakinan kita. Sekecil apapun yang kita lakukan, akan dipertanggung jawabkan. Terlebih, dalam masalah loyalitas, di sana ada amal besar yang seharusnya diperhatikan. Bahkan para ulama mencamtumkannya dalam pembahasan aqidah. Itulah al-Wala’ wal Bara’.

Islam mengajarkan kepada kita, agar sikap loyalitas yang kita bangun, dilakukan atas dasar islam. Loyalitas, karena Allah ta’ala. Mereka saling mencintai dan saling membela, karena Allah.

Ada banyak keutamaan, ketika seseorang membangun loyalitas karena Allah.

Pertama,  Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya sebagai amal yang paling utama

Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَفْضَلُ الأَعْمَالِ الْحُبُّ فِى اللَّهِ وَالْبُغْضُ فِى اللَّهِ

“Amal yang paling afdhal adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah.” (HR. Ahmad 21909, Abu Daud 4601 dan dishahihkan al-Albani).

Kedua, Allah berikan janji, orang yang membangun loyalitas dengan sesamanya karena Allah, akan diberi naungan kelak di hari kiamat.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللَّهَ يَقُولُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَيْنَ الْمُتَحَابُّونَ بِجَلاَلِى الْيَوْمَ أُظِلُّهُمْ فِى ظِلِّى يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلِّى

Allah berfirman pada hari kiamat, “Dimanakah orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku? Pada hari ini akan Aku naungi dia, di mana tidak ada naungan kecuali naungan-Ku.” (HR. Ahmad 7432 & Muslim 6713).

Ketiga, amalan ini dibanggakan di hari kiamat, hingga para nabi iri kepadanya

Dari Umar bin Khatab radhiyallahu ‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ لأُنَاسًا مَا هُمْ بِأَنْبِيَاءَ وَلاَ شُهَدَاءَ يَغْبِطُهُمُ الأَنْبِيَاءُ وَالشُّهَدَاءُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِمَكَانِهِمْ مِنَ اللَّهِ تَعَالَى

Ada diantara manusia biasa hamba Allah, yang mereka buka nabi, bukan pula para syuhada. Namun para nabi dan para syuhada, iri kepadanya pada hari kiamat, karena kedudukan mereka yang dekat di sisi Allah Ta’ala.

“Ya Rasulullah, sampaikan kepada kami, siapakah mereka?” tanya para sahabat.

Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melanjutkan,

هُمْ قَوْمٌ تَحَابُّوا بِرُوحِ اللَّهِ عَلَى غَيْرِ أَرْحَامٍ بَيْنَهُمْ وَلاَ أَمْوَالٍ يَتَعَاطَوْنَهَا

Mereka adalah orang yang saling mencintai karena Allah, bukan karena hubungan kerabat, bukan pula karena harta benda yang mereka miliki. (HR. Abu Daud 352, Ibn Hibban 573 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Allahu akbar… betapa agungnya janji indah Allah untuk amalan ini. Loyal karena Allah. saling mencintai dan saling membela, karena Allah.

Di saat yang sama, islam juga melarang, manusia membangun fanatisme karena suku dan golongan. Karena ini sumber perpecahan kaum muslimin. Mereka diikat dengan satu ikatan agama, namun mereka bercerai karena ikatan ormas dan komunitas.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahkan mengancam, jika ada orang yang mati karena berjuang membela suku, kelompok, ormasnya, maka dia mati jahiliyah. Artinya, mati dalam kondisi membawa dosa.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَدْعُو إِلَى عَصَبِيَّةٍ أَوْ يَغْضَبُ لِعَصَبِيَّةٍ فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ

Siapa yang berjuang di bawah bedera ‘immiyah’, mengajak masyarakat kepada fanatisme kelompok, membela fanatisme kelompok, lalu dia terbunuh, maka dia mati jahiliyah. (HR. Ahmad 8164, Muslim 4892, dan yang lainnya).

Makna bendera ‘Immiyah’. Kita simak keterangan Ibnul Atsir,

Kata Immiyah mengikuti wazan fi’liyah, dari kata al-‘Ama’ [العماء], yang artinya kesesatan. Seperti orang yang berperang karena fanatisme golongan dan hawa nafsu. (an-Nihayah, 3/304)

Kata Fuad Abdul Baqi mellanjutkan keterangan Ibnul Atsir,

كالقتال في العصبية والأهواء وهي الأمر الذي لا يستبين وجهه . وهو كناية عن جماعة مجتمعين على أمر مجهول لا يعرف أنه حق أو باطل

Seperti orang yang berperang karena fanatisme golongan dan hawa nafsu, yang urusannya tidak jelas arahnya. Ini merupakan isyarat tentang sekelompok kominitas yang diikat dengan sesuatu tak jelas. Dia tidak tahu, apakah itu benar atau bathil. (Hasyiyah Ibnu Majah, untuk hadis no. 3948)

Apa yang bisa kita bayangkan, ketika di hari kiamat kita diadili kemudian ditanya, mengapa kamu membela fulan? Akankah kita menjawabnya,

Karena kita sama-sama punya moge…

Karena kita sama-sama punya VW…

Karena kita sama-sama penggemar akik…

Karena kita sama-sama orang lamongan…??!

Komunitas Hanya Komunitas

Jika anda menjamin, komunitas ini hanya terkait masalah dunia, maka jangan sampai terbangun loyalitas dan fanatisme. Hingga saling mencintai dan saling membela karena ikatan tidak jelas.

Pokoknya yang ada di komunitas ini akan dibela, apapun agamanya, bahkan sekalipun dia melanggar. Sekalipun harus berhadapan dengan tuntutan di pengadilan. Ini jelas loyalitas.

Karena itu, seharusnya komunitas hanya dijadikan alat bantu. Saling membantu melengkapi kekurangan yang kita butuhkan.

Anda penganut komunitas mobil tua, boleh saja berkumpul dengan sesama penggemar mobil tua. Sehingga ketika ada bagian sparepart yang anda butuhkan, anda tidak perlu susah mencarinya.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Sumber Artikel

 

Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM

TERLANJUR TERJERAT RIBA, BAGAIMANA SOLUSI DAN JALAN KELUARNYA ?

Di jaman yang penuh dengan fitnah ini, riba sudah menjadi bagian dari kehidupan. Kebanyakan diantara kaum muslimin pasti pernah terjebak dalam transaksi riba, kecuali mereka yang dirahmati Allah. Bagi yang sudah sadar, alhamdulillah, namun bagi yang sudah terlanjur terjebak, dan terjerat, maka segeralah bertobat dan berhenti dari dosa riba.

Sudah tidak bisa dinafikan bahwa telah terpatri dalam benak kebanyakan orang istilah “Jika tidak berhutang (kredit) maka sulit memiliki harta”. Sehingga berhutang sudah menjadi gaya hidup sebagian orang. Mereka seperti tidak yakin, dan juga tidak sabar sehingga untuk memiliki suatu barang/harta, dan akhirnya terpaksa berhutang.

Permasalahan muncul ketika cara berhutang kredit dilakukan dengan cara riba. Mengingat belum ada suatu lembaga pembiayaan, entah perbankan syariah, ataupun leasing, serta koperasi syariah yang benar-benar menerapkan solusi transaksi bebas riba. Kalaupun ada, mungkin masih banyak yang tidak mengetahui atau banyak keterbatasan-keterbatasan yang akhirnya membuat muslim tidak bisa bertransaksi yang selamat dari riba.

Alhamdulillah, sejak tahun 2012 koperasi Syariah Arrahmah telah didirikan dalam rangka menjadi solusi alternatif untuk kaum muslimin agar bisa bertransaksi selamat dan bebas dari riba. Kesadaran tersebut muncul setelah di Banjarmasin kedatangan ustadz DR. Muhammad Arifin Baderi dalam rangka dauroh di Banjarmasin yang banyak menyampaikan tentang fiqih muamalah.

Koperasi Syariah Arrahmah berupaya menjadi solusi bagi yang ingin memiliki barang namun bingung / galau kemana harus bertransaksi kredit yang selamat dari dosa riba. Namun bagi yang sudah terlanjur terjerat riba, maka kami belum bisa membantu, karena tidak ada solusi over kredit di koperasi kami. Satu-satunya solusi yang bisa diambil adalah dengan menjual barang/harta anda, baru kemudian memulai lagi dari nol dengan bertransaksi melalui koperasi syariah Arrahmah.

Berikut ada tulisa menarik, kisah inspiratif, seseorang yang sudah terjebak dari riba dan berusaha untuk keluar darinya. Semoga kisah ini bermanfaat bagi pengunjung website koperasi syariah Arrahmah,

Selamat membaca

Tobat dari Riba, Hutangpun Sirna!!

Dalam sebuah milis yang dikelola oleh PengusaMuslim.com ada sebuah pertanyaan yang diajukan oleh member sebagai berikut:

Assalaamu’alaikum warahmatullah.

Ustadz yang saya hormati,
Akhir-akhir ini saya beserta istri sedang galau. Ceritanya begini. Saya seorang pegawai yang bekerja di instansi pemerintah yang alhamdulillah telah beristri (Insya Allah) salehah dan Allah mengaruniakan kami 5 orang anak.

3 tahun yang lalu kami meneken akad kredit pada salah satu bank pemerintah dengan nominal lumayan besar untuk mendaftar haji 2 orang (saya dan istri) dengan perhitungan ketika tahun pemberangkatan haji, hutang kami telah lunas.

Setelah kami banyak membaca dan belajar hukum Islam, kami meyakini bahwa kami telah menanggung dosa riba (astaghfirullah). Kami kemudian berusaha keluar dari belitan dosa riba, diantaranya dengan keluar dari Koperasi (KPRI) dan sekarang mencoba keluar dari kubangan riba yang lain, yakni hutang kami ke bank tersebut, dengan cara kami berencana menjual barang-barang yang kami miliki, namun menurut hitung-hitungan saya tidak akan mencukupi untuk melunasi hutang tersebut, sedangkan apabila mencari pinjaman kepada Saudara tidak mungkin mengingat semua keluarga kami dalam kondisi ekonomi yang alhamdulillah pas-pasan.

Apakah saya harus menjual sebidang tanah yang saya miliki agar dapat melunasi hutang kami? (Saya memiliki sebidang tanah yang apabila dijual mungkin hampir dapat melunasi hutang).
Demikian, mohon solusinya. Terima kasih.

Wassalaam,
Hamba Allah-Purbalingga, Jawa Tengah.

Tanggapan dari ikhwan member milis PM-Fatwa:

Bismillah ,sekedar berbagi pengalaman tentang terjerat riba.  Pengalaman bapak pernah saya alami sebelumnya dan saya selain hutang riba juga terjerat kartu kredit sampai 11 kartu. Setelah saya mengikuti pengajian sana sini dan membaca buku akhirnya saya bertobat dari riba. Karena riba membuat hidup kita merasa hina dikejar kejar hutang dan debitur.

Walaupun orang lain melihat kehidupan kita punya mobil ,rumah besar dll. tapi semua itu hasil riba. Dan itu semua tidak akan membawa berkah dan ketenangan bagi hidup kami. Maka akhirnya saya sekeluarga bertobat untuk menghindari riba dan kartu kredit.

Akhirnya saya jual semuanya yang saya miliki mobil, trayek jemputan, rumah, motor dan semua yang saya miliki dari hasil riba saya jual guna menutupi hutang-hutang riba. Saya mulai dari kehidupan dasar lagi dengan mengontrak rumah kecil di area pesantren karena anak-anak kami sekolah di pesantren .

Dengan keikhlasan kita dan benar-benar taubat, maka Allah mengabulkan permintaan saya sekeluarga. Dan saat itu pula setelah saya jual semua yang saya punyai dari hasil riba, saya dapat panggilan kerja ke Saudi arabia di sebuah perusahaan perminyakan. Dan akhirnya saya sekeluarga hijrah ke Saudi Arabia sampai sekarang. Dan Alhamdulilah, Allah kembalikan harta kami dengan segala kelebihannya dan saya sekeluarga bisa pergi haji bersama setelah tinggal satu tahun di Saudi. Alhamdulillah, semuanya dimudahkan segala urusan saya sekeluarga serta bisa melunasi semua hutang-hutang riba dan kartu kredit. Dan yang membuat saya sangat bahagia adalah tempat kerja sekarang dekat dengan Mekkah dan Madinah, sehingga tiap bulan kami bisa umroh .

Inilah kisah pengalaman saya yang terjerat riba semoga Bapak sekeluarga tidak usah ragu untuk menutup hutang riba, pertolongan Allah sangat cepat

Wassalamualaikum

Dari Bpk Edi di Saudi Arabia

========

Sumber artikel

Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH TIDAK MELAYANI SIMPAN PINJAM

Koperasi saat ini memang sangat identik dengan aktivitas simpan pinjam. Kebanyakan koperasi, baik konvensional maupun syariah bertopang pada kegiatan simpan pinjam sebagai produk andalan, terlepas dari namanya yang umum ataupun dengan label islami.

Namun Koperasi Syariah Arrahmah berbeda. Koperasi Syariah Arrahmah merupakan jenis koperasi konsumen yang yang beranggotakan para konsumen dengan menjalankan kegiatan jual beli, menjual barang konsumsi, dilakukan secara tunai/cash maupun kredit (cicil/tunda) Tujuan koperasi ini adalah untuk memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi anggotanya dengan cara mengadakan barang atau jasa yang murah, berkualitas, dan mudah didapat oleh koperasi.

Lantas timbul pertanyaan kenapa koperasi syariah arrahmah memilih jenis koperasi konsumen?

Hal ini disebabkan koperasi Konsumen Syariah Arrahmah sangat komitmen dengan transaksi yang tidak mengandung riba maupun transaksi yang bisa melanggar hukum syar’i. Koperasi Syariah Arrahmah memilih tranksasi yang selamat sehingga hasil yang diperoleh menjadi halal dan berkah. Sangat jelas sekali KAIDAH ISLAM mengatakan bahwa :

” Setiap Piutang yang Mendatangkan Keuntungan Adalah Riba”

Agar tidak dikatakan bahwa Koperasi Syariah Arrahmah hanya mengarang-ngarang suatu kaidah yang mungkin banyak berseberangan dengan yang lazimnya berlaku di masyarakat, silahkan simak tulisan dibawah sehingga kita menjadi paham kaidah diatas dan semakin berhati-hati saat akan bermuamalah dengan kaum muslimin atau lembaga semisal yang melayani transaksi simpan pinjam (utang piutang) namun ternyata mengandung riba.

Kaidah Penting Seputar Transaksi Riba: Setiap Keuntungan Dari Piutang Adalah Riba

 


Kaidah Pertama: Setiap Keuntungan dari Piutang Adalah Riba.

Ditinjau dari tujuannya, berbagai transaksi yang dilakukan oleh manusia dapat kita bagi menjadi tiga bagian:

  1. Transaksi yang bertujuan untuk mencari keuntungan, misalnya jual beli, sewa-menyewa, mudharabah dan lain-lain.
  2. Transaksi yang bertujuan memberikan bantuan uluran tangan dan meringankan kesusahan orang lain, misalnya hutang-piutang, peminjaman barang, penitipan barang, hibah dan lain-lain.
  3. Transaksi yang bertujuan memberikan jaminan kepada pihak lain, bahwa haknya tidak akan hilang, misalnya pegadaian, jaminan dan lain-lain.

Akad jenis kedua, biasanya terjadi antara orang yang sedang dalam kesusahan, sehingga ia membutuhkan pertolongan orang lain yang memiliki kelapangan dalam hal harta benda atau lainnya. Pada keadaan semacam ini, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk tidak memancing dalam air keruh. Bahkan bukan sekadar melarang, Islam juga menganjurkan umatnya untuk ikut andil dalam menjernihkan air yang sedang keruh; yaitu dengan cara memberikan pertolongan dan bantuan.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ. رواه مسلم

“Dan Allah akan senantiasa menolong seorang hamba, selama ia menolong saudaranya.” (HR Muslim)

Dalam hal hutang piutang, Allah Ta’ala berfirman,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَة وأَنْ تَصَدَّقُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُم تَعْلَمُون .البقرة: 280

“Dan jika (orang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedakahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 280)

Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari al-Hanafi berkata, “Tidaklah ada orang yang sudi menanggung riba, selain orang yang sedang terhimpit oleh kebutuhan dan kesusahannya. Sehingga, seharusnya orang yang demikian ini dikasihani, disayangi dan ditolong. Oleh karena itu, orang-orang semacam ini biasanya berhak untuk menerima sedekah. Andaikata kita tidak bersedekah, maka paling tidak kita tidak meminta tambahan/bunga atas piutangnya. Akan tetapi, bila kita tetap juga meminta tambahan atas piutangnya, maka sikap ini menunjukkan, bahwa kita benar-benar tidak memiliki rasa iba dan sangat berambisi untuk menumpuk harta. Sudah barang tentu sikap ini tidak layak bagi orang yang beriman, bahwa ia akan meninggalkan kehidupan fana ini.” (Mahaasin al-Islam oleh Abu Abdillah Muhammad al-Bukhari al-Hanafi, hal. 84)

Ucapan senada juga diutarakan oleh Ibnu Taimiyyah, “Pada asalnya, tidaklah ada orang yang sudi untuk bertransaksi dengan cara riba, selain orang yang sedang dalam kesusahan. Bila tidak, maka sudah barang tentu orang yang dalam kelapangan tidak mungkin rela untuk membeli barang seharga 1000 dengan harga 1200 dengan pembayaran dihutang, bila ia benar-benar sedang tidak membutuhkan uang 1000 tersebut. Orang yang rela untuk membeli barang dengan harga yang melebihi harga semestinya hanyalah orang yang sedang dalam kesusahan. Sehingga perbedaan harga kredit dengan kontan tersebut merupakan tindak kezhaliman kepada orang yang sedang mengalami kesusahan… dan riba benar-benar terwujud padanya tindak kezhaliman kepada orang yang sedang kesusahan. Oleh karenanya, riba sebagai lawan dari sedekah. Hal ini karena Allah tidaklah membebaskan orang-orang kaya, hingga mereka menyantuni orang-orang fakir karena kemaslahatan orang kaya dan juga fakir dalam urusan agama dan dunia tidak akan terwujud dengan sempurna, melainkan dengan cara tersebut.” (al-Qawaid an-Nuraniyah, hal. 116)

Dikarenakan alasan yang sangat mulia ini, syariat Islam mengharamkan setiap keuntungan yang dikeruk dari piutang, dan menyebutnya sebagai riba. Oleh karenanya, para ulama menegaskan hal ini dalam sebuah kaidah yang sangat masyhur dalam ilmu fikih, yaitu:

كل قرض جر نفعا فهو ربا

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan, maka itu adalah riba.” (baca al-Muhadzdzaboleh asy-Syairazi 1/304, al-Mughni oleh Ibnu Qudamah 4/211 & 213, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah29/533, Ghamzu ‘Uyun al-Basha’ir 5/187, asy-Syarhul Mumthi’ 9/108-109 dan lain-lain)

Imam asy-Syairazi asy-Syafi’i berkata, “Tidak dibenarkan setiap piutang yang mendatangkan manfaat/keuntungan. Misalnya, ia menghutangi orang lain 1000 (dinar), dengan syarat penghutang menjual rumahnya kepada pemberi hutang, atau mengembalikannya dengan lempengan dinar yang lebih baik atau lebih banyak, atau menuliskan suftajah[1], sehingga ia diuntungkan dalam wujud rasa aman selama di perjalanan. Dalil hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

نهى عن سلف وبيع

“Melarang salaf (piutang) bersama jual-beli.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah, dan dihasankan oleh al-Albani)

Yang dimaksud dengan salaf ialah piutang, kata salaf adalah bahasa orang-orang Hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya -pen). Diriwayatkan dari sahabat Ubay bin Ka’ab, Ibnu Mas’ud dan Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhum, bahwa mereka semua melarang setiap piutang yang mendatangkan manfaat, karena piutang adalah suatu akad yang bertujuan untuk memberikan uluran tangan (pertolongan), sehingga bila pemberi piutang mensyaratkan suatu manfaat, maka akad piutang telah keluar dari tujuan utamanya.” (al-Muhadzdzab oleh Imam asy-Syairazy asy-Syafi’i, 1/304)

Muhammad Nawawi al-Bantaani berkata, “Tidak dibenarkan untuk berhutang uang atau lainnya bila disertai persyaratan yang mendatangkan keuntungan bagi pemberi piutang, misalnya dengan syarat: pembayaran lebih atau dengan barang yang lebih bagus dari yang dihutangi. Hal ini berdasarkan ucapan sahabat Fudholah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu,

كل قرض جر منفعة فهو ربا

“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan, maka itu adalah riba.” [2]

Maksudnya setiap piutang yang dipersyaratkan padanya suatu hal yang akan mendatangkan kemanfaatan bagi pemberi piutang maka itu adalah riba. Bila ada orang yang melakukan hal itu, maka akad hutang-piutangnya batal, bila persyaratan itu terjadi pada saat akad berlangsung.” (Nihayatu az-Zain Fi Irsyad al-Mubtadiin oleh Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi 242. Keterangan serupa juga dapat dibaca di Mughni al-Muhtaaj oleh asy-Syarbini, 2/119, Nihayatu al-Muhtaaj oleh ar-Ramli, 4/231)

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap keuntungan dalam hutang piutang, baik berupa materi atau jasa atau yang lainnya adalah haram, karena itu semua adalah riba. Bukan hanya mengharamkan riba, Islam juga membuka pintu-pintu kebaikan dan amal salih, yaitu dengan menganjurkan umatnya untuk menunda atau memaafkan haknya, Allah Ta’ala berfirman,

وَإِن كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan bila orang yang berhutang itu dalam kesusahan, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua hutang) itu lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (Qs. al-Baqarah: 280)

Untuk sedikit mengetahui betapa besarnya pahala yang akan didapatkan oleh orang yang memberikan pertolongan kepada orang yang sedang kesusahan, maka saya mengajak pembaca untuk kembali merenungkan kisah berikut:

عن حذيفة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم : أتى الله بعبد من عباده آتاه الله مالا، فقال له: ماذا عملت في الدنيا؟ قال: ]ولا يكتمون الله حديثا[ قال: يا رب آتيتني مالك، فكنت أبايع الناس، وكان من خلقي الجواز، فكنت أتيسر على الموسر وأنظر المعسر، فقال الله: أنا أحق بذا منك، تجاوزوا عن عبدي متفق عليه

“Sahabat Hudzaifah radhiallahu a’nhu menuturkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘(Pada hari kiamat kelak) Allah mendatangkan salah seorang hamba-Nya yang pernah Ia beri harta kekayaan, kemudian Allah  bertanya kepadanya, ‘Apa yang engkau lakukan ketika di dunia?’ [Dan mereka tidak dapat menyembunyikan dari Allah suatu kejadian] (Qs. an-Nisa: 42) Ia pun menjawab, ‘Wahai Tuhanku, Engkau telah mengaruniakan kepadaku harta kekayaan, dan aku berjual beli dengan orang lain, dan kebiasaanku (akhlakku) adalah senantiasa memudahkan, aku meringankan (tagihan) orang yang mampu dan menunda (tagihan kepada) orang yang tidak mampu.’ Kemudian Allah berfirman, ‘Aku lebih berhak untuk melakukan ini daripada engkau, mudahkanlah hamba-Ku ini.’” (Muttafaqun ‘alaih)

Betapa indahnya syariat Islam dan betapa mulianya akhlak seseorang yang benar-benar mengamalkan ajaran agama Allah. Jika beranjak dari hati yang jernih dan objektif kita mau merenungkan syariat Islam yang berkaitan dengan hutang piutang ini, niscaya kita akan sampai pada keyakinan, bahwa syariat ini adalah syariat yang benar-benar datang dari Allah Ta’ala.

Footnote:

[1] Suftajah ialah semacam surat kuasa yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain, sehingga dengan surat kuasa tersebut pemegang surat kuasa dapat mencairkan uangnya di tempat lain dari perwakilan pihak yang mengeluarkan surat tersebut. Sehingga dapat dipahami bahwa Suftajah pada zaman dahulu, berfungsi seperti fungsi cek pada zaman sekarang. Baca al-Misbah al-Munir oleh al-Fayyumi 1/278 dan al-Qamus al-Muhith oleh al-Fairuz Abadi 1/301.

[2] Ucapan Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu diriwayatkan oleh al-Baihaqi. Ucapan serupa juga diriwayatkan dari sahabat Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Salaam dan Anas bin Malik radhialahu ‘anhum. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Dan piutang yang mendatangkan kemanfaatan, telah tetap pelarangannya dari beberapa sahabat yang sebagian disebutkan oleh penanya dan juga dari selain mereka, di antaranya sahabat Abdullah bin Salaam dan Anas bin Maalik.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, 29/334).

-bersambung insya Allah-

Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri
Artikel www.PengusahaMuslim.com

Sumber artikel

Categories
ARTIKEL UMUM

INSYA ALLAH GERHANA MATAHARI TOTAL AKAN MENYAPA WARGA KALSEL, APA YANG SEBAIKNYA MUSLIM LAKUKAN ?

Setelah sebelumnya koperasi syariah Arrahmah mengangkat masalah seputar permasalahan gerhana pada tulisan sebelumnya, maka pada tulisan kali ini kami akan menyampaikan apa yang sebaiknya dikerjakan kaum muslimin ketika datang gerhana matahari total tanggal 9 Maret 2016 akan datang yang insya Allah menyapa warga Kalsel.

 

Hal-Hal yang Dianjurkan Ketika Terjadi Gerhana

Pertama: perbanyaklah dzikir, istighfar, takbir, sedekah dan bentuk ketaatan lainnya.

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ ، لاَ يَنْخَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا ، وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا

”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”(HR. Bukhari no. 1044)

Kedua: keluar mengerjakan shalat gerhana secara berjama’ah di masjid.

Salah satu dalil yang menunjukkan hal ini sebagaimana dalam hadits dari ’Aisyah bahwasanya Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam mengendari kendaraan di pagi hari lalu terjadilah gerhana. Lalu Nabishallallahu ’alaihi wa sallam melewati kamar istrinya (yang dekat dengan masjid), lalu beliau berdiri dan menunaikan shalat. (HR. Bukhari no. 1050). Dalam riwayat lain dikatakan bahwa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallammendatangi tempat shalatnya (yaitu masjidnya) yang biasa dia shalat di situ. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/343)

Ibnu Hajar mengatakan, ”Yang sesuai dengan ajaran Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat gerhana di masjid. Seandainya tidak demikian, tentu shalat tersebut lebih tepat dilaksanakan di tanah lapang agar nanti lebih mudah melihat berakhirnya gerhana.” (Fathul Bari, 4/10)

Lalu apakah mengerjakan dengan jama’ah merupakan syarat shalat gerhana? Perhatikan penjelasan menarik berikut.

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin mengatakan, ”Shalat gerhana secara jama’ah bukanlah syarat. Jika seseorang berada di rumah, dia juga boleh melaksanakan shalat gerhana di rumah. Dalil dari hal ini adalah sabda Nabishallallahu ’alaihi wa sallam,

فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا

”Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalatlah.” (HR. Bukhari no. 1043)

Dalam hadits ini, beliau shallallahu ’alaihi wa sallam tidak mengatakan, ”(Jika kalian melihatnya), shalatlah kalian di masjid.” Oleh karena itu, hal ini menunjukkan bahwa shalat gerhana diperintahkan untuk dikerjakan walaupun seseorang melakukan shalat tersebut sendirian. Namun, tidak diragukan lagi bahwa menunaikan shalat tersebut secara berjama’ah tentu saja lebih utama (afdhol). Bahkan lebih utama jika shalat tersebut dilaksanakan di masjid karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallammengerjakan shalat tersebut di masjid dan mengajak para sahabat untuk melaksanakannya di masjid. Ingatlah, dengan banyaknya jama’ah akan lebih menambah kekhusu’an. Dan banyaknya jama’ah juga adalah sebab terijabahnya (terkabulnya) do’a.” (Syarhul Mumthi’, 2/430)

Ketiga: wanita juga boleh shalat gerhana bersama kaum pria.

Dari Asma` binti Abi Bakr, beliau berkata,

أَتَيْتُ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – زَوْجَ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – حِينَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ ، فَإِذَا النَّاسُ قِيَامٌ يُصَلُّونَ ، وَإِذَا هِىَ قَائِمَةٌ تُصَلِّى فَقُلْتُ مَا لِلنَّاسِ فَأَشَارَتْ بِيَدِهَا إِلَى السَّمَاءِ ، وَقَالَتْ سُبْحَانَ اللَّهِ . فَقُلْتُ آيَةٌ فَأَشَارَتْ أَىْ نَعَمْ

“Saya mendatangi Aisyah radhiyallahu ‘anha -isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- ketika terjadi gerhana matahari. Saat itu manusia tengah menegakkan shalat. Ketika Aisyah turut berdiri untuk melakukan sholat, saya bertanya: ‘Kenapa orang-orang ini?’ Aisyah mengisyaratkan tangannya ke langit seraya berkata, ‘Subhanallah (Maha Suci Allah).’ Saya bertanya: ‘Tanda (gerhana)?’ Aisyah lalu memberikan isyarat untuk mengatakan iya.” (HR. Bukhari no. 1053)

Bukhari membawakan hadits ini pada bab:

صَلاَةِ النِّسَاءِ مَعَ الرِّجَالِ فِى الْكُسُوفِ

”Shalat wanita bersama kaum pria ketika terjadi gerhana matahari.”

Ibnu Hajar mengatakan,

أَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَة إِلَى رَدّ قَوْل مَنْ مَنَعَ ذَلِكَ وَقَالَ : يُصَلِّينَ فُرَادَى

”Judul bab ini adalah sebagai sanggahan untuk orang-orang yang melarang wanita tidak boleh shalat gerhana bersama kaum pria, mereka hanya diperbolehkan shalat sendiri.” (Fathul Bari, 4/6)

Kesimpulannya, wanita boleh ikut serta melakukan shalat gerhana bersama kaum pria di masjid. Namun, jika ditakutkan keluarnya wanita tersebut akan membawa fitnah (menggoda kaum pria), maka sebaiknya mereka shalat sendiri di rumah. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/345)

Keempat: menyeru jama’ah dengan panggilan “ash sholatu jaami’ah” dan tidak ada adzan maupun iqomah.

Dari ’Aisyah radhiyallahu ’anha, beliau mengatakan,

أنَّ الشَّمس خَسَفَتْ عَلَى عَهْدِ رَسولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم، فَبَعَثَ مُنَادياً يُنَادِي: الصلاَةَ جَامِعَة، فَاجتَمَعُوا. وَتَقَدَّمَ فَكَبرَّ وَصلَّى أربَعَ رَكَعَاتٍ في ركعَتَين وَأربعَ سَجَدَاتٍ.

“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk memanggil jama’ah dengan: ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901). Dalam hadits ini tidak diperintahkan untuk mengumandangkan adzan dan iqomah. Jadi, adzan dan iqomah tidak ada dalam shalat gerhana.

Kelima: berkhutbah setelah shalat gerhana.

Disunnahkah setelah shalat gerhana untuk berkhutbah, sebagaimana yang dipilih oleh Imam Asy Syafi’i, Ishaq, dan banyak sahabat (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435). Hal ini berdasarkan hadits:

عَنْ عَائِشةَ رَضي الله عَنْهَا قَالَتْ: خَسَفَتِ الشمسُ عَلَى عَهدِ رَسُول الله صلى الله عليه وسلم. فَقَامَ فَصَلَّى رَسُولُ الله صلى الله عليه وسلم بالنَّاس فَأطَالَ القِيَام، ثُمَّ رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكُوعَ، ثُمَّ قَامَ فَأطَالَ القيَامَ وَهو دُونَ القِيَام الأوَّلِ، ثم رَكَعَ فَأطَالَ الرُّكوعَ وهُوَ دُونَ الرُّكُوعِ الأوَّلِ، ثُم سَجَدَ فَأطَالَ السُّجُودَ، ثم فَعَلَ في الركعَةِ الأخْرَى مِثْل مَا فَعَل في الركْعَةِ الأولى، ثُمَّ انصرَفَ وَقَدْ انجَلتِ الشَّمْسُ، فَخَطبَ الناسَ فَحَمِدَ الله وأثنَى عَليهِ ثم قالَ:
” إن الشَّمس و القَمَر آيتانِ مِنْ آيَاتِ الله لاَ تنْخَسِفَانِ لِمَوتِ أحد. وَلاَ لِحَيَاتِهِ. فَإذَا رَأيتمْ ذلك فَادعُوا الله وَكبروا وَصَلُّوا وَتَصَدَّ قوا”.
ثم قال: ” يَا أمةَ مُحمَّد ” : والله مَا مِنْ أحَد أغَْيَرُ مِنَ الله سُبْحَانَهُ من أن يَزْنَي عَبْدُهُ أوْ تَزني أمَتُهُ. يَا أمةَ مُحَمد، وَالله لو تَعْلمُونَ مَا أعلم لضَحكْتُمْ قَليلاً وَلَبَكَيتم كثِيراً “.

Dari Aisyah, beliau menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya, beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak. Setelah itu beliau berkhotbah di hadapan orang banyak, beliau memuji dan menyanjung Allah, kemudian bersabda, ”Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua tanda di antara tanda-tanda kekuasaan Allah. Gerhana ini tidak terjadi karena kematian seseorang atau lahirnya seseorang. Jika melihat hal tersebut maka berdo’alah kepada Allah, bertakbirlah, kerjakanlah shalat dan bersedekahlah.”

Nabi selanjutnya bersabda, ”Wahai umat Muhammad, demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih cemburu daripada Allah karena ada seorang hamba baik laki-laki maupun perempuan yang berzina. Wahai Umat Muhammad, demi Allah, jika kalian mengetahui yang aku ketahui, niscaya kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” (HR. Bukhari, no. 1044)

Khutbah yang dilakukan adalah sekali sebagaimana shalat ’ied, bukan dua kali khutbah. Inilah pendapat yang benar sebagaimana dipilih oleh Imam Asy Syafi’i. (Lihat Syarhul Mumthi’, 2/433)

Tata Cara Shalat Gerhana

Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua raka’at dan ini berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, para ulama berbeda pendapat mengenai tata caranya.

Ada yang mengatakan bahwa shalat gerhana dilakukan sebagaimana shalat sunnah biasa, dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada sekali ruku’, dua kali sujud. Ada juga yang berpendapat bahwa shalat gerhana dilakukan dengan dua raka’at dan setiap raka’at ada dua kali ruku’, dua kali sujud. Pendapat yang terakhir inilah yang lebih kuat sebagaimana yang dipilih oleh mayoritas ulama. (Lihat Shohih Fiqh Sunnah, 1/435-437)

Hal ini berdasarkan hadits-hadits tegas yang telah kami sebutkan:

“Aisyah radhiyallahu ‘anha menuturkan bahwa pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari. Beliau lalu mengutus seseorang untuk menyeru ‘ASH SHALATU JAMI’AH’ (mari kita lakukan shalat berjama’ah). Orang-orang lantas berkumpul. Nabi lalu maju dan bertakbir. Beliau melakukan empat kali ruku’ dan empat kali sujud dalam dua raka’at.” (HR. Muslim no. 901)

“Aisyah menuturkan bahwa gerhana matahari pernah terjadi pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lantas beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit dan mengimami manusia dan beliau memanjangkan berdiri. Kemuadian beliau ruku’ dan memperpanjang ruku’nya. Kemudian beliau berdiri lagi dan memperpanjang berdiri tersebut namun lebih singkat dari berdiri yang sebelumnya. Kemudian beliau ruku’ kembali dan memperpanjang ruku’ tersebut namun lebih singkat dari ruku’ yang sebelumnya. Kemudian beliau sujud dan memperpanjang sujud tersebut. Pada raka’at berikutnya beliau mengerjakannya seperti raka’at pertama. Lantas beliau beranjak (usai mengerjakan shalat tadi), sedangkan matahari telah nampak.” (HR. Bukhari, no. 1044)

Ringkasnya, agar tidak terlalu berpanjang lebar, tata cara shalat gerhana adalah sebagai berikut:

[1] Berniat di dalam hati dan tidak dilafadzkan karena melafadzkan niat termasuk perkara yang tidak ada tuntunannya dari Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ’alaihi wa sallam juga tidak pernah mengajarkannya lafadz niat pada shalat tertentu kepada para sahabatnya.

[2] Takbiratul ihram yaitu bertakbir sebagaimana shalat biasa.

[3] Membaca do’a istiftah dan berta’awudz, kemudian membaca surat Al Fatihah dan membaca surat yang panjang (seperti surat Al Baqarah) sambil dijaherkan (dikeraskan suaranya, bukan lirih) sebagaimana terdapat dalam hadits Aisyah:

جَهَرَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – فِى صَلاَةِ الْخُسُوفِ بِقِرَاءَتِهِ

”Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam menjaherkan bacaannya ketika shalat gerhana.” (HR. Bukhari no. 1065 dan Muslim no. 901)

[4] Kemudian ruku’ sambil memanjangkannya.

[5] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal) sambil mengucapkan ’SAMI’ALLAHU LIMAN HAMIDAH, RABBANA WA LAKAL HAMD’

[6] Setelah i’tidal ini tidak langsung sujud, namun dilanjutkan dengan membaca surat Al Fatihah dan surat yang panjang. Berdiri yang kedua ini lebih singkat dari yang pertama.

[7] Kemudian ruku’ kembali (ruku’ kedua) yang panjangnya lebih pendek dari ruku’ sebelumnya.

[8] Kemudian bangkit dari ruku’ (i’tidal).

[9] Kemudian sujud yang panjangnya sebagaimana ruku’, lalu duduk di antara dua sujud kemudian sujud kembali.

[10] Kemudian bangkit dari sujud lalu mengerjakan raka’at kedua sebagaimana raka’at pertama hanya saja bacaan dan gerakan-gerakannya lebih singkat dari sebelumnya.

[11] Salam.

[12] Setelah itu imam menyampaikan khutbah kepada para jama’ah yang berisi anjuran untuk berdzikir, berdo’a, beristighfar, sedekah, dan membebaskan budak. (Lihat Zaadul Ma’ad, Ibnul Qayyim, 349-356, Darul Fikr dan Shohih Fiqih Sunnah, 1/438)

Nasehat Terakhir

Saudaraku, takutlah dengan fenomena alami ini. Sikap yang tepat ketika fenomena gerhana ini adalah takut, khawatir akan terjadi hari kiamat. Bukan kebiasaan orang seperti kebiasaan orang sekarang ini yang hanya ingin menyaksikan peristiwa gerhana dengan membuat album kenangan fenomena tersebut, tanpa mau mengindahkan tuntunan dan ajakan Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam ketika itu. Siapa tahu peristiwa ini adalah tanda datangnya bencana atau adzab, atau tanda semakin dekatnya hari kiamat. Lihatlah yang dilakukan oleh Nabi kita shallallahu ’alaihi wa sallam:

عَنْ أَبِى مُوسَى قَالَ خَسَفَتِ الشَّمْسُ فِى زَمَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَقَامَ فَزِعًا يَخْشَى أَنْ تَكُونَ السَّاعَةُ حَتَّى أَتَى الْمَسْجِدَ فَقَامَ يُصَلِّى بِأَطْوَلِ قِيَامٍ وَرُكُوعٍ وَسُجُودٍ مَا رَأَيْتُهُ يَفْعَلُهُ فِى صَلاَةٍ قَطُّ ثُمَّ قَالَ « إِنَّ هَذِهِ الآيَاتِ الَّتِى يُرْسِلُ اللَّهُ لاَ تَكُونُ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ وَلَكِنَّ اللَّهَ يُرْسِلُهَا يُخَوِّفُ بِهَا عِبَادَهُ فَإِذَا رَأَيْتُمْ مِنْهَا شَيْئًا فَافْزَعُوا إِلَى ذِكْرِهِ وَدُعَائِهِ وَاسْتِغْفَارِهِ ».

Abu Musa Al Asy’ari radhiyallahu ‘anhu menuturkan, ”Pernah terjadi gerhana matahari pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Nabi lantas berdiri takut karena khawatir akan terjadi hari kiamat, sehingga beliau pun mendatangi masjid kemudian beliau mengerjakan shalat dengan berdiri, ruku’ dan sujud yang lama. Aku belum pernah melihat beliau melakukan shalat sedemikian rupa.”

Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam lantas bersabda, ”Sesungguhnya ini adalah tanda-tanda kekuasaan Allah yang ditunjukkan-Nya. Gerhana tersebut tidaklah terjadi karena kematian atau hidupnya seseorang. Akan tetapi Allah menjadikan demikian untuk menakuti hamba-hamba-Nya. Jika kalian melihat sebagian dari gerhana tersebut, maka bersegeralah untuk berdzikir, berdo’a dan memohon ampun kepada Allah.” (HR. Muslim no. 912)

An Nawawi rahimahullah menjelaskan mengenai maksud kenapa Nabishallallahu ’alaihi wa sallam takut, khawatir terjadi hari kiamat. Beliaurahimahullah menjelaskan dengan beberapa alasan, di antaranya:

Gerhana tersebut merupakan tanda yang muncul sebelum tanda-tanda kiamat seperti terbitnya matahari dari barat atau keluarnya Dajjal. Atau mungkin gerhana tersebut merupakan sebagian tanda kiamat. (Syarh Muslim, 3/322)

Hendaknya seorang mukmin merasa takut kepada Allah, khawatir akan tertimpa adzab-Nya. Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam saja sangat takut ketika itu, padahal kita semua tahu bersama bahwa beliau shallallahu ’alaihi wa sallam adalah hamba yang paling dicintai Allah. Lalu mengapa kita hanya melewati fenomena semacam ini dengan perasaan biasa saja, mungkin hanya diisi dengan perkara yang tidak bermanfaat dan sia-sia, bahkan mungkin diisi dengan berbuat maksiat.Na’udzu billahi min dzalik.

Demikian penjelasan yang ringkas ini. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi seluruh kaum muslimin. Semoga kaum muslimin yang lain juga dapat mengetahui hal ini. Semoga kita selalu mendapatkan ilmu yang bermanfaat, dapat beramal sholih dan semoga kita selalu diberkahi rizki yang thoyib.

Pangukan, Sleman, 25 Muharram 1430 H
Yang selalu mengharapkan ampunan dan rahmat Rabbnya
Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.

***

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber Artikel