Categories
SEPUTAR KOPERASI

UNDANGAN RAPAT ANGGOTA TAHUNAN 2017

Bismillah,
Mengundang seluruh anggota Koperasi Syariah Arrahmah untuk bisa hadir dalam acara Rapat Anggota Tahunan Periode Tahun 2017
Insya Allah hari Ahad, 26 Februari 2017 Tempat : Aula Kayuh Baimbai Kota Banjarmasin
Diharapkan konfirmasi kehadirannya ya Terima kasih.
Jazakumullahu khairan. Barakallahu fiykum.

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH KOK MAHAL, KENAPA KALAU MAU MENOLONG UMMAT KOK MAHAL ?

Beberapa kawan bertanya, koperasi syariah Arrahmah kok MAHAL, kenapa kalau mau menolong ummat KOK MAHAL ?

Baiklah, ini diantara pertanyaan yang sering masuk dan ditanyakan kepada kami.

Kredit melalui Koperasi Syariah Arrahmah tetap lebih murah insya Allah. SIlahkan anda bandingkan sendiri dengan pembiayaan semisal ADIxx, Fxx, OTx Finance, dll, insya Allah kami lebih murah plus kami punya keunggulan-keunggulan lainnya.

Silahkan simak juga jawaban kami berikut ini :

1. Koperasi Syariah Arrahmah adalah badan usaha komersial, bukan sosial murni, sehingga anggota yang mau kredit diharapkan hanyalah anggota yang mampu dan memang memiliki kemampuan untuk membayar utang nantinya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).

2. Koperasi Syariah Arrahmah tidak pernah mengajak orang berhutang tapi diharapkan menjadi koperasi Syariah Arrahmah bisa menjadi SOLUSI KREDIT HALAL BEBAS RIBA bagi kaum muslimin.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa Hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya).
Sejarah berdirinya koperasi syariah arrahmah adalah karena ketika para ustadz, tuan guru, kyai telah menyampaikan dosa dan bahaya riba, namun mereka belum bisa memberikan solusi jalan keluarnya, sehingga dengan bimbingan dan fatwa mereka, koperasi ini
berhasil didirikan.

3. Modal Koperasi Syariah Arrahmah saat ini semuanya berasal dari anggota dan masih terbatas, disimpan sebagai investasi dan diberikan ke anggota dalam bentuk bagi hasil SHU yang diharapkan bagi hasil yang diberikan dapat bersaing atau bahkan lebih tinggi daripada yang diberikan oleh deposito perbankan.

4. Koperasi juga diharapkan memperoleh keuntungan yang cukup sehingga bisa meningkatkan kesejahtera karyawan dan pengurus, serta semua unsur anggota yg bekerja dan terlibat di dalamnya.

5. Koperasi Syariah Arrahmah diharapkan bisa berdiri jangka panjang dan berkembang, jikalau terlalu murah, maka akan sulit bertahan utk jangka panjang.

6. Koperasi Syariah Arrahmah tidak pernah menerapkan denda keterlambatan dari sejak berdiri hingga sekarang. Silahkan bandingkan dengan unit leasing/finance/pembiayaan yang jika nasabahnya terlambat, selain denda yang terus berjalan, maka yang akan berkunjung ke rumah adalah debt collector yang akan menarik/mengambil barang anda secara paksa tanpa ada unsur keadilan sama sekali.

7. Silahkan jika anda mau survey membuat perbandingan, kalau ada unit leasing/pembiayaan lain lebih murah dari kopsyaharrahmah, maka koperasi syariah Arrahmah siap nego lebih murah insya Allah. Tentunya survey tersebut harus dilengkapi dengan bukti yang lengkap dan insya Allah koperasi syariah Arrahmah akan kembali pada prinsip awal sejak didirikan, menjadi solusi kredit halal bebas riba dan termurah dari harga pasar.

Demikianlah penjelasan kami.
Insya Allah harga pada Koperasi Syariah Arrahmah tidak mahal jika dibandingkan dengan lembaga leasing/finance/pembiayaan lainnya.

Semoga bisa bermanfaat juga bagi koperasi lain yang ingin meniru kebijakan pada koperasi kami.

Barakallahu fiykum.

Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM SEPUTAR KOPERASI

KETIKA TIDAK SANGGUP BAYAR UTANG/CICILAN, BAGAIMANA SEHARUSNYA SOLUSI KOPERASI SYARIAH

Pernah dengar berita tentang rumah seharga 700juta disita gara-gara tidak bisa melunasi utang sebesar 55juta ?

Mojokerto – Nasib mengenaskan menimpa eks kepala desa (Kades) Jetis Edi Sasmito di Dusun Wonoayu, Desa/Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Gara-gara tidak bisa melunasi sisa utang di Bank Danamon, rumah yang dinilai seharga Rp 700 juta itu dilelang hanya seharga Rp 50 juta.

Akibatnya, eksekusi pun sempat berlangsung ricuh, Selasa (3/5/2016). Edi bersama anak dan istrinya berusaha melawan petugas juru sita PN Mojokerto. Namun perlawanan mereka sia-sia.

Bahkan Edi mengancam akan bunuh diri dengan menenggak racun jika petugas juru sita memaksa masuk.

Eksekusi rumah seharga ratusasn juta yang dihuni Edi dan keluarganya berjalan alot. Juru sita PN Mojokerto yang datang dikawal puluhan anggota polisi dan TNI ke rumah mewah itu dihadang di pintu gerbang. Penghuni rumah memasang rantai dengan kunci gembok pada pintu gerbang dan menutup rapat semua pintu rumah.

 

http://news.detik.com/berita-jawa-timur/3202733/utang-rp-55-juta-rumah-mewah-eks-kades-dilelang-danamon-rp-50-juta

Lantas bagaimana sistem yang berjalan di Koperasi Syariah Arrahmah ?

Alhamdulillah, kami telah menerapkan sistem syariah dalam setiap transaksi kami. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi riba maupun kedzoliman antara kedua belah pihak, baik pihak anggota maupun pihak koperasi sebagaimana yang mungkin telah terjadi pada contoh kasus diatas.

Memang, untuk menjaga investasi anggota, kami, koperasi Syariah Arrahmah, tetap menerapkan adanya jaminan dalam setiap transaksi nominal tertentu, khususnya transaksi > 5 juta. Namun insya Allah sistem jaminan ini diperbolehkan oleh syariat Islam. Silahkan baca disini hukum bolehkan jaminan / barang yang dikredit dijadikan jaminan

Ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan karena takdir Allah, dan ternyata anggota tidak sanggup lagi melanjutkan pembayaran / melunasi utangnya ke koperasi, maka koperasi boleh menyita barang jaminan milik anggota, namun keadilan tetap berlaku bagi kedua pihak.

Ketika hasil penjualan atas barang jaminan milik anggota lebih besar dari nominal utang ke koperasi, maka koperasi wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada anggota. Demikian sebaliknya ketika ternyata hasil penjualan kurang dari nominal utang anggota kepada koperasi, maka anggota tetap berkewajiban membayar utang tersebut hingga lunas disaat dia memiliki kemampuan untuk membayar utang tersebut.

Demikianlah Islam sangat menjaga unsur keadilan dan menutup keran terjadinya kecurangan dan kedzoliman atas hak hamba.

Berikut kami sampaikan tulisan yang insya Allah bermanfaat terkait perihal barang jaminan yang kami ambil dari sumber terpercaya yang menjadi rujukan dalam kegiatan transaksi di koperasi syariah arrahmah kalsel.

Semoga bermanfaat.

============================================================

Bagaimana dengan kasus gara-gara tidak bisa melunasi sisa utang di Bank Doremon, rumah yang dinilai seharga Rp 700 juta itu dilelang hanya seharga Rp 50 juta.

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Sebelumnya kita awali dengan memahami skema transaksi utang bergadai,

Pertama, bahwa transaksi nasabah dengan bank adalah utang piutang. Sementara jaminan sertifikat yang diserahkan nasabah ke bank berstatus sebagai barang gadai (rahn). Nasabah sebagai penggadai (rahin), sementara bank sebagai penerima gadai (murtahin).

Kedua, dalam transaksi gadai, barang yang menjadi agunan tidak berpindah kepemilikan ke Murtahin. Barang itu tetap menjadi milik nasabah (rahin), sehingga dia yang paling berhak atas barang itu. Meskipun utang belum lunas ketika jatuh tempo.

Ini berbeda dengan kejadian masa jahiliyah. Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran utang dan orang yang menggadaikan belum bisa melunasi utangnya maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya.

Ketika Islam datang, sistem dzalim semacam ini dibatalkan. Karena status barang gadai tersebut adalah amanah dari pemilik yang ada di tangan pihak yang berpiutang (murtahin). (Taudhihul Ahkam, Syarh Bulughul Maram, 4/467).

Ketiga, Dibolehkan bagi bank untuk meminta nasabah agar segera melunasi utangnya. Jika tidak memungkinkan, bank boleh meminta untuk menjual aset yang digadaikan.

Dalam Taudhih al-Ahkam dinyatakan,

لا يجبر الراهن على بيعه إلاَّ إذا تعذر الوفاء، حينئذٍ تأتي الفائدة من الرهن فيباع ويوفى الدين، فإن بقي من الثمن شيء فهو للراهن

Nasabah gadai (rahin) tidak boleh dipaksa untuk menjual barang gadai, kecuali jika tidak memungkinkan baginya untuk melunasi utangnya. Di sinilah fungsi gadai itu terlihat. Barang gadai bisa dijual untuk menutupi utangnya. Jika masih ada yang tersisa dari hasil penjualan setelah dikurangi utang, maka diserahkan ke pemilik barang (rahin). (Taudhihul Ahkam, Syarh Bulughul Maram, 4/467).

Keempat, mengingat pelepasan gadai dilakukan dengan cara menjual aset, maka yang paling berhak menentukan harga adalah pemiliknya. Jika tidak memungkinkan, pemerintah berhak mengambil tindakan, membekukan aset itu. Pemerintah bisa melakukan lelang terhadap aset dengan harga standar, untuk menutupi utang nasabah.

Di sinilah peran pemerintah sangat diharapkan. Pihaknya berkewajiban melidungi kedua belah pihak. Melindungi hak orang memiliki utang (nasabah) dan melindungi hak pemberi utang (lembaga keuangan). Tidak boleh dilelang dengan harga yang bisa mendzalimi pemiliknya. Misalnya, dijual dengan harga jauh di bawah harga pasar. Di tempat kita, salah satu standar yang digunakan adalah NJOP (Nilai Jual Objek PaJak).

Di negara kita, tanggung jawab ini dipegang oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Kita berharap, kantor semacam ini bisa bekerja lebih maksimal, dan bersih dari mafia.

Lelang Bank

Kebijakan lelang bank, salah satunya dengan melihat pertimbangan kolektibilitas. Beberapa bank, nasabah yang tingkat kolektibilitas 5, untuk rentang penunggakan lebih dari 6 bulan, berhak untuk dilakukan penyitaan aset. Menurut informasi, ketika nasabah berada pada tingkat kolektibilitas 3 sampai 5, maka masuk kategori NPF (Non Performing Financing) atau loan (utang).

Yang menyedihkan adalah prinsip pihak bank adalah yang penting barang itu laku, sehingga bisa menutupi nilai utang berikut bunganya. Atau bahkan yang penting cukup untuk melunasi pokok utangnya. Sehingga, untuk harga lelang, bank tidak terlalu ambil pusing.

Realita ini menunjukkan bahwa lelang hasil sitaan bank maupun lembaga keunangan, adalah lelang yang tidak sehat. Sangat mendzalimi nasabah. Sehingga dijual dengan harga yang sangat murah. Dan semua kedzaliman, pengadilannya akan berlanjut di akhirat.

Alah berfirman,

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ

Janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menunda hukuman untuk mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. (QS. Ibrahim: 42)

Mereka para pemenang lelang, bisa berbahagia dengan menguasai harta orang lain dengan cara legal dan murah. Bisa jadi di dunia dia menang ketika eksekusi, tapi ingat ketika di akhirat, bisa jadi urusan ini akan kembali dilanjutkan dan diselesaikan di pengadilan akhirat.

Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits

Hukum Ikut Lelang Sitaan Bank dan Leasing

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH HANYA MENJUAL BARANG SECARA KREDIT SETELAH BARANG DIMILIKI

Transaksi pembiayaan yang umumnya terjadi pada lembaga finance, perbankan konvensional atau syariah, serta BMT dan Koperasi Simpan Pinjam saat bertransaksi dengan konsumen adalah merupakan transaksi utang piutang, bukan jual beli. Entah nama transaksi dan istilahnya dibuat dengan bahasa arab sehingga terkesan syar’i, namun kenyataannya, umumnya transaksi tersebut merupakan transaksi utang piutang, bukan jual beli.

Hal ini terjadi karena umumnya transaksi tersebut tidak memenuhi syarat jual beli, terutama bahwa objek jual beli merupakan hak milik penuh, dan kepemilikan sebuah barang dari hasil pembelian sebuah barang menjadi sempurna dengan terjadinya transaksi dan serah-terima.

 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

 

لَا تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah engkau menjual barang yang bukan milikmu.” (HR. Abu Dawud 3503, Tirmidzi 1232, An Nasaa’i VII/289, Ibnu Majah 2187, Ahmad III/402 dan 434; dishahihkan Syaikh Salim bin ‘Ied Al Hilaly)

Hadits lainnya. diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, ia berkata, “aku bertanya kepada rasulullah, jual-beli apakah yang diharamkan dan yang dihalalkan? Beliau bersabda, “hai keponakanku! Bila engkau membeli barang jangan dijual sebelum terjadi serah terima”. (HR. Ahmad).

Yang membedakan Koperasi Syariah Arrahmah dengan lembaga pembiayaan sebagaimana yang telah kami sebutkan diatas adalah bahwa kami berusaha menerapkan transaksi yang sesuai syariat Islam.

Silahkan simak gambar dibawah ini yang menggambarkan secara umum transaksi yang terjadi di koperasi kami.

 

 

alur transaksi dengan koperasi syariah arrahmah

  1. Anggota / Calon Anggota koperasi datang ke koperasi syariah Arrahmah bermaksud ingin membeli barang secara kredit melalui koperasi. Anggota melengkapi semua persyaratan administrasi yang dipersyaratkan oleh koperasi. Koperasi mempersilahkan anggota/calon anggota menyebutkan barang yang diinginkan, kriteria atau type dan merk yang diinginkan. Koperasi mempersilahkan anggota menyebutkan nama toko yang menjual barang tersebut, namun lebih diprioritaskan adalah toko atau supplier yang sudah memiliki hubungan kerjasama dengan koperasi syariah Arrahmah. Koperasi Syariah Arrahmah berjanji akan membeli barang sesuai yang diinginkan oleh anggota/calon anggota tersebut.
  2. Setelah poin 1 lengkap, koperasi syariah Arrahmah kemudian membeli barang yang diinginkan oleh anggota/calon anggota koperasi.
  3. Serah terima antara toko/supplier dengan koperasi telah terjadi dan kepemilikan barang berpindah dari milik toko menjadi milik koperasi. Barang siap ditransaksikan dengan anggota/calon anggota koperasi.
  4. Koperasi menghubungi anggota untuk melakukan akad Murabahah. Harga pembelian, biaya administrasi maupun keuntungan yang akan diambil oleh koperasi pada jangka waktu yang disepakati bersama disampaikan secara rinci kepada anggota/calon anggota. Anggota masih memiliki hak khiyar hingga sebelum akad ditandatangani.Yang dimaksud khiyar adalah memilih di antara dua perkara yaitu melanjutkan atau membatalkan jual beli. terutama khiyar yang dikenal dengan sebutan khiyar majelis.Yang dimaksud khiyar majelis adalah khiyar yang terjadi di tempat akad jual beli berlangsung hingga yang melakukan jual beli berpisah.Dalilnya adalah:Dari sahabat Hakim bin Hizam, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا – أَوْ قَالَ حَتَّى يَتَفَرَّقَا – فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا ، وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا

    Kedua orang penjual dan pembeli masing-masing memiliki hak pilih (khiyar) selama keduanya belum berpisah. Bila keduanya berlaku jujur dan saling terus terang, maka keduanya akan memperoleh keberkahan dalam transaksi tersebut. Sebaliknya, bila mereka berlaku dusta dan saling menutup-nutupi, niscaya akan hilanglah keberkahan bagi mereka pada transaksi itu” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532).

    Dari Ibnu Umar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    إِذَا تَبَايَعَ الرَّجُلاَنِ فَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ ، مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا ، وَكَانَا جَمِيعًا ، أَوْ يُخَيِّرُ أَحَدُهُمَا الآخَرَ فَتَبَايَعَا عَلَى ذَلِكَ ، فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ ، وَإِنْ تَفَرَّقَا بَعْدَ أَنْ يَتَبَايَعَا ، وَلَمْ يَتْرُكْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا الْبَيْعَ ، فَقَدْ وَجَبَ الْبَيْعُ

    Jika dua orang melakukan jual beli, maka setiap orang dari mereka memiliki hak khiyar selama belum berpisah dan mereka bersama-sama (dalam satu tempat), atau salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lain. Maka jika salah satu dari mereka memberikan khiyar kepada yang lainnya kemudian mereka melakukan transaksi jual beli atas khiyar tersebut, sudah (terjadi) jual beli. Bila mereka berpisah setelah terjadi jual beli, dan salah satu dari mereka tidak meninggalkan jual beli maka telah terjadi jual beli.” (HR. Bukhari no. 2112 dan Muslim no. 1531)

  5. Serah terima barang antara koperasi dengan anggota/calon anggota.
  6. Anggota/Calon anggota membayar DP (jika menggunakan DP) dan angsuran kepada Koperasi Syariah Arrahmah.

Demikian gambaran transaksi jual beli kredit secara murabahah yang terjadi di koperasi kami. Anda bisa membandingkan sendiri dengan transaksi kredit yang umumnya terjadi pada lembaga pembiayaan, baik perbankan, finance, bmt atau koperasi, yang konvensional maupun berlabel syariah.

Berikut ini kami ingin menyampaikan artikel yang insya Allah bermanfaat sebagai rujukan ilmiah agar transaksi jual beli yang dilakukan dilakukan berdasarkan dalil yang ilmiah, sesuai hukum syar’i, berlandaskan qur’an dan sunnah yang shahih menurut pemahaman para sahabat dan yang mengikuti mereka.

Semoga bermanfaat.

=================================================================

BMT Vs Hadis: Jangan Jual yang Tidak Kau Miliki

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Salah satu hadis yang banyak dijadikan acuan dalam kajian fikih muamalah adalah hadis Hakim bin Hizam.

Beliau pernah bercerita,

Aku pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku sampaikan, ‘Ada orang yang mendatangiku, memintaku untuk menyediakan barang yang tidak aku miliki. Bolehkah saya belikan barang itu dipasar, kemudian aku jual barang itu kepadanya?’

Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki.” (HR. Ahmad 15705, Nasai 4630, Abu Daud 3505, dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Dalam riwayat lain, Hakim pernah mengatakan,

نَهَانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ أَبِيعَ مَا لَيْسَ عِنْدِى

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, melarangku untuk menjual barang yang tidak aku miliki. (HR. Turmudzi 1280 dan dishahihkan al-Albani).

Ketika membawakan hadis ini, Turmudzi menyatakan,

والعمل على هذا الحديث عند أكثر أهل العلم كرهوا أن يبيع الرجل ما ليس عنده

Mayoritas ulama mengamalkan hadis ini. Mereka membenci seseorang menjual apa yang tidak dia miliki. (Sunan at-Turmudzi , 5/142)

Siapa Hakim bin Hizam?

Tidak salah jika dalam artikel ini, kita mengenali siapa beliau. Meskipun bisa jadi tidak ada kaitannya dengan masalah fikih muamalah.

Hakim bin Hizam, salah satu pemuka Quraisy, keponakan Khadijah radhiyallahu ‘anhu. Sebelum diutus jadi nabi, Rasulullah sangat dekat dengan Hakim. Sampai beliau jadi Nabi, Hakim masih menjalin hubungan dekat dengan beliau. Meskipun demikian, Hakim baru masuk islam ketika fathu Mekah.

Hakim termasuk orang berada. Beliau yang membeli budak bernama Zaid bin Haritsah, yang kemudian dihadiahkan kepada bibinya, Khadijah. Kemudian, oleh Khadijah, Zaid dihadiahkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Hakim beberapa kali meriwayatkan hadis dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang Fiqh Muamalah. Diantaranya, hadis tentang hak khiyar dalam jual beli.

Dari latar belakang ini, kita bisa memahami mengapa Hakim mendapatkan pesanan barang dari konsumennya.

Akad Pesan Memesan

Dalam transaksi pesan memesan, kita mengenal istilah jual beli salam.  Dalam jual beli ini, penjual sama sekali tidak memiliki barang yang dia jual (bai’ ma’dum). Pembeli hanya memesan barang kepada penjual, berdasarkan kriteria tertentu, dengan pembayaran tunai di depan.

Jual beli semacam ini, telah dipraktekkan para sahabat sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah. Dan beliau izinkan, namun dengan batasan tertentu.

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menceritakan,

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tiba di Madinah, sementara masyarakat melakukan transaksi salam untuk buah-buahan selama rentang setahun atau dua tahun. Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengarahkan,

مَنْ أَسْلَفَ فِى تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِى كَيْلٍ مَعْلُومٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ

Siapa yang melakukan transaksi salam untuk kurma, hendaknya dia lakukan dengan timbangan yang pasti, takaran yang pasti, sampai batas waktu yang pasti. (HR. Ahmad 3370 & Muslim 4202).

Salah satu bukti bahwa orang yang melakukan salam tidak memiliki barang, bisa kita simak pada praktek sahabat, yang diceritakan Abdullah bin Abi Aufa,

“Kami mendapatkan ghanimah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba datang penduduk Anbath dari saerah Syam. Lalu kami melakukan jual beli salam dengan mereka untuk gandum halus, gandum kasar, dan zabib sampai batas tertentu.”

Tabiin yang menjadi perawi hadis ini, Muhammad bin Mujalid, bertanya kepada sahabat Abdullah bin Abi Aufa,

أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ ، أَوْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ زَرْعٌ

Apakah orang Anbath itu memiliki ladang tanaman tadi ataukah tidak memiliki?

Jawab Sahabat,

مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِكَ

“Kami tidak pernah menanyakan hal itu kepada mereka.” (HR. Bukhari 2254).

Dalam riwayat ini, menujukkan bahwa sahabat tidak mempermasalahkan apakah penjual memiliki barang yang dipesan atau belum. Bagi sahabat, yang penting barang itu sampai kepada mereka, tanpa peduli dari mana penjual itu medapatkan barang yang dipesan.

Kita hendak memberikan pesan yang hendaknya dicatat, dalam jual beli salam, penjual sama sekali tidak memiliki barang yang dipesan.

Bagaimana Dengan Hadis Hakim bin Hizam?

Dalam hadis Hakim di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,

لاَ تَبِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ

“Janganlah kamu menjual barang yang tidak kamu miliki.”

Mengapa di sini dilarang, sementara dalam transaksi salam dibolehkan menjual barang yang tidak dimiliki?

Padahal sama-sama bai’ ma’dum (menjual barang yang tidak dimiliki).

Memesan Barang Ada 2 Cara

Pertama, memesan barang berdasarkan kriteria (al-Mausuf  fi dzimmah).

Si A memesan sebuah komputer kepada si B. Si hanya menyebutkan beberapa kriteria dan spesifikasi komputer yang dipesan. Dia sebutkan detail kriteria procesornya, motherboard, VGA, RAM, dst… termasuk casingnya.

Dalam hal ini, si B menjual barang yang al-Mausuf  fi dzimmah.

Kedua, memesan barang yang sudah ditentukan (Bai al-Muayyan).

Si A pesan kepada si B. Dia pesan, tolong belikan komputer yang sudah dipajang di etalase toko x, paling pojok. Ada tulisannya SALE.

Atau si A butuh HP. Dia datang ke si B, kemudian mereka berdua ke toko HP. Si A silahkan memilih sendiri jenis HP yang diinginkan. Nanti si B yang bayar. Selanjutnya si A nyicil pembayarannya ke si B, dengan harga lebihi.

Mengingat metodenya beda, maka ulama memberikan hukum yang berbeda untuk kedua transaksi.

Untuk transaksi yang pertama, para ulama membolehkan. Dalilnya adalah adanya jual beli salam yang dipraktekkan para sahabat dan direstui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para sahabat dalam transaksi salam, mereka pesan barang berdasarkan kriteria (Mausuf fi dzimmah). Bukan muayyan (tertentu).

Sementara dalam transaksi kedua, para ulama melarangnya, berdasarkan hadis Hakim bin Hizam di atas.

Karena antara Hakim dan konsumennya, tinggal dalam satu kota yang sama. Sementara pasar bisa mereka jangkau. Sehingga tanpa Hakim, konsumen bisa beli sendiri itu. Namun konsumen mendatangi Hakim, salah satu kemungkinan latar belakangnya adalah konsumen tidak memiliki uang untuk beli barang itu, sehingga dia minta Hakim untuk membelikannya secara tunai, kemudian orang ini bayar ke Hakim dengan harga yang lebih mahal.

Al-Khithabi menjelaskan hadis Hakim,

قوله: لا تبع ما ليس عندك ـ يريد بيع العين دون بيع الصفة، ألا ترى أنه أجاز السلم إلى الآجال، وهو بيع ما ليس عنده في الحال، وإنما نهى عن بيع ما ليس عند البائع من قبل الغرر

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jangan kau jual apa yang bukan milikmu.” maksudnya adalah jual beli barang muayyan, bukan jual beli berdasarkan batasan kriteria dan spesifikasi. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membolehkan jual beli salam, tertunda sampai batas waktu tertentu? Padahal itu termasuk jual beli yang tidak dimiliki ketika akad. Beliau melarang jual beli yang tidak dimiliki penjual karena alasan gharar (tidak jelas). (Ma’alim as-Sunan, 3/140).

Bisa kita catat, hadis tentang larangan jual beli yang tidak dimiliki, tidak berlaku untuk jual beli yang pemesanannya dengan menyebutkan kriteria.

Kesimpulan ini juga disampaikan Ibnul Qoyim,

وقد ظن طائفة أن السلم مخصوص من عموم هذا الحديث، فإنه بيع ما ليس عنده، وليس كما ظنوه، فإن الحديث إنما تناول بيع الأعيان، وأما السلم: فعقد على ما في الذمة، وما في الذمة مضمون مستقر فيها، وبيع ما ليس عنده إنما نهي عنه لكونه غير مضمون عليه ولا ثابت في ذمته، ولا في يده، فالمبيع لا بد أن يكون ثابتا في ذمة المشتري أو في يده

Sebagian orang menyangka bahwa jual beli salam, dikecualikan dari larangan jual beli dalam hadis Hakim bin Hizam. Karena bukan termasuk jual beli yang tidak dimiliki. Padahal tidak demikian. Karena hadis Hakim bin Hizam, hanya berlaku untuk bai’ al-A’yan (menjual barang yang sudah ditentukan).

Sementara Salam, akadnya bersifat tanggungan. Dan sesuatu yang tertanggung, dijamin, dianggap ada. Sementara menjual barang yang tidak dimiliki, dilarang karena tidak dijamin dan tidak menjadi tanggungannya. Tidak pula ada di tangan penjual. Intinya, barang harus ada dalam tanggungan bagi pembeli atau di tangan penjual. (Hasyiyah Sunan Abi Daud, 9/299).

Kasus BMT & Koperasi Syariah

Ada konsumen butuh kulkas. Dia tidak punya dana tunai. Datang ke BMT untuk ditalangi beli kulkas. Dan dibayar kredit. Tentunya dengan harga lebih mahal. BMT menawarkan, untuk bersama-sama datang ke toko elektronik, dan konsumen boleh memilih sendiri barang yang diinginkan, dan BMT yang bayar.

Pada hakekatnya, jual beli seperti inilah yang dilarang dalam hadis Hakim bin Hizam.

Karena ketika  konsumen memilih sendiri barang itu, kemudian dia minta BMT untuk membelikannya, statusnya bai’ mua’ayyan (jual beli barang tertentu).

Dan yang terjadi hakekatnya bukan konsumen beli kulkas ke BMT, tapi utang duit ke BMT, dan nanti melunasi secara bertahap dengan nilai lebih dari yang dijual.

Atau bisa juga dengan pendekatan kedua, BMT menjual barang yang belum diserah terimakan.

Dari Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنِ ابْتَاعَ طَعَامًا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ

“Barangsiapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.” (HR. Bukhari 2133 & Muslim 3915)

Ibnu ‘Abbas mengatakan,

وَأَحْسِبُ كُلَّ شَىْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ

“Menurutku bahwa segala sesuatu hukumnya sama dengan bahan makanan.” (HR. Muslim 3915)

Dan dari Zaid bin Tsabit, beliau mengatakan,

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى أَنْ تُبَاعَ السِّلَعُ حَيْثُ تُبْتَاعُ حَتَّى يَحُوزَهَا التُّجَّارُ إِلَى رِحَالِهِمْ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang menjual barang di tempat pembeliannya sampai barang itu dipindahkan pedagang ke tempatnya. (HR. Abu Daud 3501 dan dihasanka al-Albani)

Ketika BMT membeli kulkas itu, dia langsung jual ke konsumennya, sementara belum dipindahkan dari toko. Dan ini terlarang dengan hadis di atas.

Ini berbeda jika konsumen pesan barang yang diinginkan ke BMT, dengan menyebutkan spesifikasi tertentu. Selanjutnya BMT yang mencarikan sendiri barang yang diinginkan konsumen. Ini termasuk bai’ mausuf fi dzimmah. Jual beli yang barangnya dijamin penjual.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits 

Sumber

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

APAKAH KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH MELAYANI OPER KREDIT ?

Over kredit, opera kredit, kpr, kpm

Beberapa anggota dan calon anggota Koperasi Syariah Arrahmah datang kepada kami menanyakan apakah koperasi bisa membantu mereka keluar dari jeratan riba yang sudah terlanjur terjadi disaat mereka belum paham hukumnya. Mereka ingin mengalihkan utang KPR (Kredit Pemilikan Rumah), atau KPM (Kredit Pemilikan Mobil) yang mereka sudah terlanjur bertransaksi agar dialihkan ke Koperasi Syariah Arrahmah, sehingga dengan demikian mereka beranggapan bahwa hal tersebut membuat mereka keluar dari dosa riba.

Jawaban kami kepada anggota dan calon anggota tersebut setelah sebelumnya minta maaf, yang kami sampaikan dengan halus dan tegas, bahwa kami Koperasi Syariah Arrahmah tidak bisa melayani transaksi OPER KREDIT. Karena transaksi oper kredit berpotensi mengandung riba.

Kok bisa ???!!!

Lantas bagaimana solusinya ??!!!

Semoga artikel dibawah ini bisa membuat kita jadi paham kenapa koperasi syariah arrahmah tidak bisa melayani oper kredit.

Semoga bermanfaat.

Tanya Jawab: Hukum Transaksi Oper Kredit


Berikut ini kami nukilkan dialog yang terjadi di milis Pengusaha Muslim, dengan topik pembicaraan seputar Oper Kredit rumah.

Dialog:

Assalamu ‘alaikum warohmatullah wabarokatuh
Saya hendak membeli rumah di daerah Cileunyi Bandung atau Tanah Baru Depok dengan kisaran harga Rp 200jt ke bawah dan saya lebih mengutamakan rumah yang sekaligus bisa untuk usaha/bisnis. Mungkin teman-teman punya info, tolong diinformasikan, atas bantuannya saya ucapkan terimakasih banyak, semoga Allah membalas kebaikannya. Wassalam.

Abu Naufal

Direspon oleh Aris Mukmin, dengan pesannya:

Kebetulan saya ada rumah kpr BTN di daerah Serpong, Cisauk, komplek Suradita yang ingin saya oper kredit, mungkin bpk/ibu berminat atau saudara muslim ada yg berminat bisa langsung menghubungi saya untuk informasi selanjutnya.

Pertanyaan:

Bagaimana pandangan syariat terhadap transaksi Oper Kredit? Simak penjelasan ustadz Muhammad Arifin Badri berikut ini:

Jawaban:

Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga dilimpahkan kepada Nabi Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Perlu diketahui bahwa dalam syari’at Islam, akad jual beli, baik dengan pembayaran kontan alias lunas atau dicicil/kredit adalah salah satu bentuk akad yang mengikat, dan bersifat otomatis. Bersifat mengikat maksudnya adalah masing-masing dari pihak terkait tidak dapat membatalkan akadnya kecuali atas izin dari pihak kedua. Dan bersifat otomatis maksudnya adalah memindahkan hak; hak terhadap barang berpindah kepada pembeli seusai akad dan hak atas pembayaran/uang berpindah langsung kepada penjual.

Dengan demikian, pada kasus di atas, hak kepemilikan rumah sepenuhnya telah menjadi milik pembeli, yaitu saudara Aris Mukmin. Dan selanjutnya secara syariat, saudara Aris Mukmin berhak sepenuhnya untuk menjual kembali rumah tersebut atau menghibahkannya kepada orang lain.

Bila hal ini telah diketahui, maka saudara Aris Mukmin secara hukum syari’at pada kasus di atas memiliki dua solusi:

1. Menjual rumah kepada orang lain dengan pembayaran kontan, dan dengan hasil penjualan ini ia bisa melunasi sisa kredit yang belum terbayar, sehingga segera bisa mendapatkan surat kepemilikan rumah dan surat tersebut segera ia serahkan kepada pembeli kedua rumah tersebut. Masalah surat menyurat rumah, itu adalah sebatas urusan admisnistrasi, tidak merubah status kepemilikan dalam syari’at. Sehingga bila pembeli rela untuk menunggu penyerahan surat menyurat hingga beberapa waktu, sampai pembeli pertama selesai melunasi tagihannya, maka itu tidak mengapa.

2. Menjual rumah dengan segala tanggung jawab yang berkaitan dengan rumah itu. Yaitu kewajiban melunasi sisa cicilan kredit yang belum terbayar. Kasus oper kredit seperti ini, merupakan salah satu aplikasi nyata transaksi hawalah (transfer piutang). Dan Hawalah ialah salah satu akad yang dibenarkan dalam syari’at, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَطْلُ الْغَنِىِّ ظُلْمٌ وَإِذَا أُتْبِعَ أَحَدُكُمْ عَلَى مَلِىءٍ فَلْيَتْبَعْ. متفق عليه

“Penunda-nundaan orang yang telah kecukupan adalah perbuatan zhalim, dan bila tagihan salah seorang darimu dipindahkan kepada orang lain yang berkecukupan, hendaknya ia menurut/menerima.” (Muttafaqun ‘alaih)

Hanya saja pada kasus diatas, yang terjadi bukan hanya transfer piutang belaka, akan tetapi bersatu dengan akad jual beli dalam satu waktu. Karena pada kasus semacam ini, kreditur pertama biasanya telah membayar cicilan beberapa kali, dan sisa cicilannyalah yang hendak ditransferkan kepada orang lain. Tapi itu tidak mengapa, karena tidak menyebabkan terjadinya riba atau penipuan atau ketidak jelasan.

Hanya saja yang perlu diwaspadai pada kasus perkreditan rumah atau kendaraan bermotor atau yang serupa, biasanya tidak dilakukan langsung kepada pemilik barang, yaitu developer atau dealer. Perkreditan biasanya melibatkan pihak ketiga, sebagaimana yang diisyaratkan pada kasus di atas, yaitu BTN atau yang serupa. Pada kasus ini biasanya BTN bukanlah pemilik barang (rumah) akan tetapi BTN hanya sebatas membiayai perkreditan ini. BTN memanfaatkan kesempatan untuk menjalankan praktek ribanya. BTN  mengiming-imingi pemilik barang yaitu perusahaan developer dengan mendapatkan haknya berupa pembayaran tunai. Sebagaimana BTN juga mengiming-imingi pembeli (nasabah) dengan pembayaran secara bertahap alias dicicil, bukan ke developer akan tetapi cicilan dibayarkan ke BTN.

Bila itu yang terjadi maka perkreditan semacam ini adalah perkreditan yang tidak dibenarkan dalam syari’at karena mengandung unsur riba, sebagaimana yang pernah saya jelaskan pada kesempatan lain. Wallahu a’alam bishowab.

Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.

Sumber

Pertanyaan:

Ada orang yang kredit mobil via bank yang menjual mobilnya sebelum angsuran bank yang menjadi kewajibannya lunas. Bolehkah saya membelinya? Saya akan menanggung angsuran bank yang belum selesai. Perlu diketahui bahwa saya memiliki cadangan uang yang cukup sehingga saya tidak akan pernah terlambat membayar angsuran sehingga bisa dipastikan saya tidak akan terkena pinalti karena keterlambatan membayar angsuran. Apakah tindakanku semacam ini dibenarkan dalam syariat?

Jawaban:

Penanya mengatakan bahwa dia mengadakan kesepakatan dengan penjual, dia tidak membeli melalui bank namun dialah yang akan melunasi angsuran di bank. Dia memiliki cadangan uang yang cukup sehingga dia bisa membayarkan angsuran tepat waktu di awal bulan, dengan demikian saya tidak terjerumus dalam riba (baca: membayar pinalti karena keterlambatan membayar angsuran). Di manakah letak keharaman hal ini?

Jawaban:

Transaksi di atas hukumnya haram.

Ada dua hal penting yang perlu dicermati:

Pertama, apa yang kita katakan mengenai orang yang ingin pinjam uang dengan sistem riba namun dia tidak jadi karena adanya riba (baca: bunga) lantas ada orang yang mengatakan “Anda bisa pinjam atas nama saya dan sayalah yang akan membayar bunganya”. Apakah dengan cara semacam ini utang piutang tersebut menjadi halal? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Adanya pihak yang menanggung riba (baca: bunga). Tidaklah menyebabkan transaksi tersebut menjadi halal.

 

Kedua, yang penting dalam kasus ini adalah ridha dengan riba adalah haram meski kita tidak pernah membayar riba (baca: pinalti). Menandatangani transaksi ribawi adalah bentuk ridha terhadap riba, meskipun orang yang tanda tangan tersebut tidak terjerumus dalam riba.
Solusi halal dalam kasus ini adalah kita keluarkan bank dari proses transaksi. Kita tutup keterkaitan kita dengan bank. Kewajiban angsuran di bank diselesaikan terlebih dahulu baru ada transaksi antara penjual dengan pembeli berlandaskan kaidah syariat bukan kaidah riba yaitu firman Allah,

وَإِنْ كَانَ ذُو عُسْرَةٍ فَنَظِرَةٌ إِلَى مَيْسَرَةٍ

“Jika orang yang berutang itu dalam kondisi kesulitan maka berilah penangguhan tempo sampai dia dalam kemudahan financial.” (QS. Al Baqarah: 280).

Tanpa hal ini, selama bank masih berperan dalam transaksi yang terjadi, maka pelaku transaksi masih terjerumus dalam dosa, meskipun tidak terjerumus dalam riba namun terjerumus dalam dosa ridha dengan transaksi riba (Fatwa Syaikh Masyhur Hasan al Salman, no pertanyaan 222).

Sumber

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

BAGI HASIL INVESTASI HALAL BERDASARKAN APA ? MODAL DISETOR ATAU KEUNTUNGAN USAHA ?

Kebanyakan kaum muslimin saat ini masih belum paham bagaimana sebenarnya cara berinvestasi halal. Umumnya masyarakat, telah terbawa dengan kebiasaan buruk yang dibawa oleh yahudi sejak berabad-abad lalu hingga sekarang, yang telah memoles kebiasaan buruk mereka sedemikian rupa, sehingga RIBA yang telah NYATA-NYATA diHARAMkan oleh Allah dan Rasul-Nya, menjadi TAMPAK HALAL dimata masyarakat, bahkan oleh sebagian kaum muslimin.

Padahal Allah Ta’ala telah berfirman :

“Dan disebabkan mereka (orang-orang Yahudi) memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda seseorang dengan jalan yang bathil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir diantara mereka itu siksa yang pedih.”(QS. Al Baqoroh : 161)

Dosa riba sangatlah besar, bahkan Allah dan Rasul-Nya telah mengancam akan memerangi pelaku riba.

Maka, sudah seharusnya ketika seseorang bermaksud menginvestasikan hartanya, semisal dengan cara MEMBUKA DEPOSITO, membeli SUKUK, mudhorobah kepada perorangan (mudhorib/pengusaha), atau mudhorobah dengan lembaga (perbankan/bmt/koperasi), atau cara investasi lainnya, maka dia HARUS PAHAM cara berinvestasi yang halal.

Seorang muslim khususnya, WAJIB PAHAM apakah saat deposito atau SUKUK-nya telah jatuh tempo, keuntungan atau bagi hasil yang akan diperolehnya dari deposito, SUKUK atau mudhorobah, dihitung berdasarkan modal yang telah disetornya ataukah berdasarkan keuntungan yang diperoleh dari hasil usaha jika usah tersebut dapat laba.

Sejak awal didirikan, Koperasi Syariah Arrahmah, telah berkomitmen melaksanakan transaksi yang syar’i dan bebas tanpa tercampur riba, baik pada transaksi cash (salam) dan murobahah, maupun bagi hasil mudhorobah muthlaqoh dengan anggota yang dihitung berdasarkan keuntungan (SHU) yang diperoleh, bukan berdasarkan nominal modal yang disetorkan oleh anggota, sebagaimana yang banyak terjadi di perbankan konvensional atau lembaga keuangan lain yang menerapkan sistem berdasarkan modal.

Berikut ini artikel yang bagus dibaca insya Allah agar kita paham bagaimana seharusnya berinvestasi yang halal, sehingga hasil yang diperoleh pun halal.

Semoga bermanfaat.

==============================================================

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Dalam beberapa praktek mudharabah (transaksi permodalan) atau musyarakah (usaha bersama) di msyarakat, seringkali kita melihat poin aturan prosentase bagi hasil dengan mengacu pada modal. Ada yang besar dan ada yang kecil. Misal, ada yang menawarkan, tanam modal minimal 10 juta, akan mendapatkan 2% perbulan.

Apa yang terbayang dari angka 2% itu?

Umumnya orang memahami, angka 2% dari modal. Karena itu yang lebih pasti. Bukan 2% keuntungan. Karena keuntungan tidak bisa diprediksikan.

Dan umumnya seorang pemodal akan memperhitungkan nilai kepastian dari modal yang dia kucurkan.

Salah Satu Indikator Riba

Tahukah anda, ternyata kesepakatan semacam ini termasuk salah satu indikator transaksi riba. Dan ini salah satu pembeda antara bagi hasil yang syar’i dengan transaksi riba dalam akad mudharabah atau musyarakah.

  • Ketika bagi hasil mengacu pada keuntungan, ini akad mudharabah yang syar’i
  • Ketika bagi hasil mengacu pada modal, ini transaksi riba

Mengapa Riba? Sementara itu Lebih Pasti?

Anda bisa perhatikan, ketika pemodal mendapatkan jaminan n% dari modal yang dia berikan, tidak ada bedanya dengan orang memberikan utang kepada orang lain, sementara dia mendapat jaminan kelebihan dari utangnya. Dan ini riba.

Atau, ketika usaha itu sama sekali tidak untung, sementara pemodal mendapat bagian berdasarkan prosentase modal, maka pihak pelaku usaha di posisi rugi. Sementara pihak pemodal selalu diuntungkan.

Dan itulah prinsip riba, sohibul mal (pemillik modal) selalu dalam posisi aman.

Karena itulah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang adanya keuntungan tanpa ada pengorbanan.

Dari Itab bin Usaid, beliau mengatakan,

أن النبي صلى الله عليه وسلم نهاه عن ربح ما لم يضمن

Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarangnya untuk mengambil keuntungan tanpa menanggung kerugian. (HR. Baihaqi dalam Sunan as-Shugra 1509, at-Thahawi dalam Syarh Ma’ani al-Atsar 4/39, dan yang lainnya)

Keterangan Ulama yang Melarangnya

Salah satu bentuk bagi hasil dalam transaksi musyarakah atau mudharabah yang dikritik para ulama adalah memberikan sejumlah uang yang disepakati kepada salah satu pemodal. Misalnya, 5 orang patungan modal untuk usaha. Si A siap memberikan modal terbesar, dengan syarat, dia mendapatkan tambahan 1 juta di luar bagi hasil yang dia dapatkan. Artinya, si A mendapatkan dua bagian:

  1. Bagi hasil berdasarkan prosentase keuntungan yang disepakati
  2. Uang 1 juta tambahannya, tanpa melihat nilai keutungan

Ibnu Qudamah dalam al-mughni menyatakan,

ولا يجوز أن يجعل لأحد من الشركاء فضل دراهم، وجملته أنه متى جعل نصيب أحد الشركاء دراهم معلومة , أو جعل مع نصيبه دراهم , مثل أن يشترط لنفسه جزءا وعشرة دراهم , بطلت الشركة

Tidak boleh menetapkan adanya kelebihan sekian dirham untuk salah satu pemodal. Ringkasnya, ketika dia menetapkan adanya bagian salah satu pemodal uang dengan nilai tertentu, atau menetapkan untuk salah satu pemodal, nilai bagi hasil plus beberapa dirham, misal: dia mempersyaratkan dirinya mendapat bagian dari bagi hasil ditambah uang 10 dirham, maka musyarakah menjadi batal.

Kemudian, Ibnu Qudamah menukil keterangan Ibnul Mundzir,

أجمع كل من نحفظ عنه من أهل العلم على إبطال القراض إذا شرط أحدهما أو كلاهما لنفسه دراهم معلومة ، وممن حفظنا ذلك عنه مالك والأوزاعي والشافعي , وأبو ثور وأصحاب الرأي

Ulama yang kami ketahui pendapatnya telah sepakat tentang batalnya transaksi qiradh, apabila salah satu  atau kedua belah pihak mempersyaratkan adanya bagian sekian dirham untuk dirinya. Diantara yang kami ketahui pendapatnya yang menyebutkan masalah ini adalah Imam Malik, al-Auza’i, as-Syafii, Abu Tsaur, dan ashabur Ra’yi (ulama Kufah).

Kemudian, Ibnu Qudamah menyebutkan sisi negatif persyaratan semacam ini, sehingga transaksinya tidak sah,

أنه إذا شرط دراهم معلومة , احتمل أن لا يربح غيرها , فيحصل على جميع الربح , واحتمل أن لا يربحها , فيأخذ من رأس المال جزءا ، وقد يربح كثيرا , فيستضر من شرطت له الدراهم

Ketika dia mempersyaratkan mendapatkan tambahan sekian dirham, bisa jadi usaha itu hanya untung sekian dirham, sehingga dia mendapatkan seluruh keuntungan. Atau usaha itu sama sekali tidak untung, sehingga dia mengambil bagian dari modal. Atau usaha itu untung besar, sehingga dia merasa rugi dengan syarat sekian dirham yang dia utarakan.

(al-Mughni, 5/148).

Anda bisa perhatikan, mendapatkan jatah pasti dalam transaksi mudharabah atau musyarakah, memicu timbulnya sengketa. Sehingga bisa merugikan pihak lain. Yang lebih tepat, prosentase mengikuti nilai keuntungan di akhir transaksi.

Allahu a’lam.

Ditulis oleh ustadz Ammi Nur Baits (Beliau adalah pengasuh wesbsite KonsultasiSyariah.com sekaligus pembina KPMI)

Sumber

Categories
ARTIKEL MUAMALAH ARTIKEL UMUM SEPUTAR KOPERASI

KUNJUNGAN KPMI PALANGKARAYA KE KANTOR KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH UNTUK STUDY BANDING PENDIRIAN KOPERASI

Alhamdulillah, hari Jumat yang lalu, tanggal 7 Rajab 1435 atau bertepatan dengan 15 April 2015, Koperasi Syariah Arrahmah kedatangan rombongan spesial dari Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Mereka adalah Bapak Sholihin dan kawan-kawan, Ketua Korwil Palangkaraya serta pengurus dan anggota KPMI Korwil Palangkaraya yang bermaksud datang ke Banjarmasin untuk mengikuti kegiatan Workshop Fiqih Muamalah, bersama ustadz Ammi Nur Baits, ST, LC dari Yogyakarta yang diselenggarakan di Hotel Treepark Banjarmasin, Kalimantan Selatan, selama 2 hari, tanggal 16 – 17 April 2016.

Kunjungan kawan-kawan ke Kantor Koperasi Syariah Arrahmah adalah untuk belajar (study banding) tentang koperasi syariah dan cara mendirikannya.
Kegiatan mengikuti workshop juga merupakan langkah awal KPMI Palangkaraya sebagai bekal ilmu syar’i untuk mendirikan Koperasi Syariah di Palangkaraya insya Allah.

Kami dari Koperasi Syariah Arrahmah sangat mendukung niat yang baik dan mulia ini, bahkan kami mendorong kaum muslimin untuk mendirikan koperasi syariah di wilayah masing-masing sehingga bisa menjadi solusi kaum muslimin untuk berlepas diri dari transaksi riba yang dosanya sangat besar.

Bagi yang ingin mendirikan koperasi syariah di wilayahnya, tidak usah sungkan untuk menghubungi kami, insya Allah kami siap berdiskusi dan berbagi ilmu serta pengalaman, karena tidak ada yang kami harapkan melainkan janji Allah sebagaimana hadits dibawah ini.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَىْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِى الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

Barangsiapa menjadi pelopor suatu amalan kebaikan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya ganjaran semisal ganjaran orang yang mengikutinya dan sedikitpun tidak akan mengurangi ganjaran yang mereka peroleh. Sebaliknya, barangsiapa menjadi pelopor suatu amalan kejelekan lalu diamalkan oleh orang sesudahnya, maka akan dicatat baginya dosa semisal dosa orang yang mengikutinya, tanpa mengurangi dosanya sedikit pun.” (HR. Muslim no. 1017)

Allah Azza wa Jalla berfirman:

ۘ وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَىٰ ۖ وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [al-Mâidah/5:2]

Semoga Allah mudahkan rencana ini.

[smartslider3 slider=9]
Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH BER-AQAD MUDHARABAH MUTHLAQAH DENGAN ANGGOTA DAN INVESTOR

mudharabah-yang-syari

Bagaimana bentuk akad yang diterapkan di koperasi syariah Arrahmah?
Pertanyaan ini muncul dari kawan-kawan yang hendak mendirikan koperasi di wilayahnya kepada kami maupun calon anggota yang hendak mendaftarkan diri untuk bergabung dengan koperasi Syariah Arrahmah sebagai anggota dan investor.

Adapun akad yang kami gunakan sejak awal mendirikan koperasi di awal tahun 2012 kepada nasabah adalah akad Mudharabah Muthlaqah, yakni bentuk kerja sama antara pemilik modal (anggota) dan pengelola modal (koperasi) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Sehingga dengan demikian, koperasi memiliki keleluasaan untuk mengelola investasi selama masih dalam koridor rambu syar’i dan aturan UU yang berlaku di negara kita insya Allah.

Agar lebih paham mengenai MUDHARABAH, mari kita simak penjelasan artikel dibawah ini sehingga bisa menambah wawasan kita sehingga bermanfaat baik untuk diri sendiri maupun bagi orang lain yang bermuamalah dengan kita.

Semoga bermanfaat

1. PENGERTIAN MUDHARABAH

Mudharabah berasal dari kata adh-dharbu fil ardhi, yaitu berjalan di muka bumi. Dan berjalan di muka bumi ini pada umumnya dilakukan dalam rangka menjalankan suatu usaha, berdagang atau berjihad di jalan Allah, sebagaimana firman Allah di dalam surat Al-Muzzammil, ayat ke-20.

Mudharabah disebut juga qiraadh, berasal dari kata al–qardhu yang berarti al-qath’u (sepotong), karena pemilik modal mengambil sebagian dari hartanya untuk diperdagangkan dan ia berhak mendapatkan sebagian dari keuntungannya. (Lihat AFiqhus Sunnah, karya Sayid Sabiq III/220, dan Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz,karya ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, hal.359)

Sedangkan menurut istilah fiqih, Mudharabah ialah akad perjanjian (kerja sama usaha) antara kedua belah pihak, yang salah satu dari keduanya memberi modal kepada yang lain supaya dikembangkan, sedangkan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan ketentuan yang disepakati. (Lihat Fiqhus Sunnah Karya Sayid Sabiq III/220)

2. HUKUM MUDHARABAH DALAM ISLAM

Mudharabah hukumnya boleh berdasarkan dalil-dalil berikut:

a. Al-Qur’an:

1. Firman Allah: “Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah..”. (QS. al-Muzzammil: 20)

Dan firman-Nya: “Hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” (QS. al-Ma’idah: 1)

2. Firman Allah: “Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”. (QS. Al-Baqarah: 283] dan [QS. al-Ma’idah: 1)

b. Al-Hadits:

1. Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma meriwayatkan bahwa Abbas bin Abdul Muthallib (paman Nabi) jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib (pengelola)nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib/pengelola) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Al-Baihaqi di dalam As-Sunan Al-Kubra (6/111))

2. Shuhaib radhiyallahu anhu berkata: Rasulullahbersabda: “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan

mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah)

c. Ijma:

Para ulama telah berkonsensus atas bolehnya mudharabah. (Bidayatul Mujtahid, karya Ibnu Rusyd (2/136))

Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahkan (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’. (al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, Wahbah Zuhaily, 4/838)

9. Qiyas. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah.

10. Kaidah fiqih: “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”

3. HIKMAH DISYARIATKANNYA MUDHARABAH

Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Pemilik modal memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan. (Lihat Fiqhus Sunnah, karya Sayyid Sabiq (hlm.221)).

4. JENIS-JENIS MUDHARABAH

Secara umum, Mudharabah terbagi menjadi dua jenis:

Mudharabah Muthlaqah (Mudharabah secara mutlak/bebas). Maksudnya adalah bentuk kerja sama antara pemilik modal dan pengelola modalyang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam pembahasan fiqih ulama salafus sholih seringkali dicontohkan dengan ungkapan if’al ma syi’ta (lakukanlah sesukamu) dari pemilik modal kepada pengelola modal yang memberi kekuasaan sangat besar.
Mudharabah Muqayyadah (Mudharabah terikat). Jenis ini adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah. Yakni pengelola modal dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu atau tempat usaha.
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai dengan kehendak pemilik modal.

5. RUKUN DAN SYARAT MUDHARABAH

Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa Mudharabah memiliki lima rukun:

Modal.
Jenis usaha.
Keuntungan.
Shighot (pelafalan transaksi)
Dua pelaku transaksi, yaitu pemilik modal dan pengelola. (Ar-Raudhah karya imam Nawawi (5/117))
Sedangkan syarat-syarat dalam Mudharabah ialah sebagaimana berikut:

1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.

2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:

a. Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.

c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada pengelola (mudharib) untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:

a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.

b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.

c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib (pengelola modal), baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:

a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.

b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.

c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.

5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:

a. Kegiatan usaha adalah hak eksklusif pengelola (mudharib), tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.

b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.

c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah,dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu. (sumber http://www.mui.or.id)

6. ORANG YANG MENGELOLA MODAL HARUS AMANAH

Mudharabah hukumnya boleh, baik secara mutlak maupun muqayyad (terikat/bersyarat), dan pihak pengelola modal tidak mesti menanggung kerugian kecuali karena sikapnya yang melampaui batas dan menyimpang. Ibnul Mundzir menegaskan, “Para ulama sepakat bahwa jika pemilik modal melarang pengelola modal melakukan jual beli secara kredit, lalu ia melakukan jual beli secara kredit, maka ia harus menanggung resikonya.” (al-Ijma’ hal. 125, dinukil dari Al-Wajiz Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, karya ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, hal.359)

Dari Hakim bin Hizam, sahabat Rasulullah, bahwa Beliau pernah mempersyaratkan atas orang yang Beliau beri modal untuk dikembangkan dengan bagi hasil (dengan berkata), “Janganlah engkau menempatkan hartaku ini pada binatang yang bernyawa, jangan engkau bawa ia ke tengah lautan, dan jangan (pula) engkau letakkan ia di lembah yang rawan banjir; jika engkau melanggar salah satu dari larangan tersebut, maka engkau harus mengganti hartaku.” (Shahih Isnad: Irwa-ul Ghalil V: 293, Ad-Daruquthni II: 63 no: 242, Al-Baihaqi VI: 111)

7. BILA TERJADI KERUGIAN, SIAPAKAH YANG MENANGGUNGNYA?

Kerugian dalam mudharabah ini mutlak menjadi tanggung jawab pemilik modal . Dengan catatan, pihak pengelola tidak melakukan kelalaian dan kesalahan prosedur dalam menjalankan usaha yang telah disepakati syarat-syaratnya. Kerugian pihak pengelola adalah dari sisi tenaga dan waktu yang telah dikeluarkannya tanpa mendapat keuntungan. Ini adalah perkara yang telah disepakati oleh para ulama, seperti yang telah ditegaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa (XXX/82).

8. PEMBATASAN WAKTU DAN PEMBATALAN USAHA MUDHARABAH

Usaha Mudharabah dapat dibatasi waktunya dan dibatalkan oleh salah satu pihak dari pemilik modal maupun pengelola modal. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia mau.

Al-Kasani berkata: “Sekiranya seseorang menerima modal untuk usaha mudharabah selama satu tahun, maka menurut pandangan kami hal itu hukumnya boleh.” (Bada-i’u Ash-Shana-i’ VIII/3633)

Ibnu Qudamah berkata: “Boleh membatasi waktu mudharabah seperti mengatakan, “Aku memberimu modal sekian dirham agar kamu mengelolanya selama satu tahun. Bila sudah berakhir waktunya maka kamu tidak boleh membeli atau menjual.” (Al-Mughni V/69).

Demikian sebagian masalah mudharabah yang dapat kami sampaikan melalui tulisan sederhana ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat. Wallahu a’lam bish-showab.

(Sumber: Majalah PENGUSAHA MUSLIM Edisi … Tahun 2010)

Penulis : Muhammad Wasitho Abu Fawaz

Sumber Artikel

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

TERNYATA UNTUK BER-INVESTASI PUN BUTUH ILMU, AGAR TIDAK TERJERUMUS RIBA

Ilustrasi-orang-kaya-investasi-syariah

Ternyata menjadi orang kaya atau memiliki kelebihan harta juga tidak mudah. Syariat mengajarkan bahwa orang yang diberikan kelebihan harta agar berilmu sehingga bisa mengelola dan membelanjakan hartanya dengan baik.

Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,

«لاَ تَزُولُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ عُمْرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ فِيمَا فَعَلَ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَا أَنْفَقَهُ وَعَنْ جِسْمِهِ فِيمَا أَبْلاَهُ»

Tidak akan bergeser dua telapak kaki seorang hamba pada hari kiamat sampai dia ditanya (dimintai pertanggungjawaban) tentang umurnya kemana dihabiskannya, tentang ilmunya bagaimana dia mengamalkannya, tentang hartanya; dari mana diperolehnya dan ke mana dibelanjakannya, serta tentang tubuhnya untuk apa digunakannya[HR at-Tirmidzi (no. 2417), ad-Daarimi (no. 537), dan Abu Ya’la (no. 7434), dishahihkan oleh at-Tirmidzi dan al-Albani dalam “as-Shahiihah” (no. 946) karena banyak jalurnya yang saling menguatkan.].

Hadits yang agung ini menunjukkan kewajiban setiap hamba agar bisa mengatur pembelanjaan harta dengan menggunakannya untuk hal-hal yang baik dan diridhai oleh Allah, karena pada hari kiamat nanti manusia akan dimintai pertanggungjawaban tentang harta yang mereka belanjakan sewaktu di dunia [Lihat kitab “Bahjatun naazhirin syarhu riyaadhish shaalihin” (1/479)]

Bagi kaum muslimin yang memiliki kesulitan dalam mengelola harta anda, kami berikan solusi buat anda. Harta yang berlebih, hanya tersimpan bertahun-tahun, dimana setiap tahun anda diwajibkan membayar zakat, agar bisa dikelola dengan baik dan bermanfaat bagi anda kaum muslimin lainnya..

Kami dari Koperasi Syariah Arrahmah mengajak kaum muslimin yang sudah mulai paham tentang syariat Islam dan bahaya dosa riba.

Kami mengajak kaum muslimin agar mengalihkan dana / harta yang dimilikinya, baik tabungan ataupun deposito, untuk diinvestasikan dan dikelola oleh koperasi kami. Keuntungan berinvestasi di koperasi syariah Arrahmah bisa anda baca disini.

KEANGGOTAAN & INVESTASI

Silahkan simak artikel yang berisi Ilmu Sederhana Sebelum anda melakukan Investasi. Semoga bermanfaat.

 

Setiap orang yang beramal mesti mendahulukan ilmu. Karena jika tanpa ilmu, setiap amalan yang dikerjakan bisa rusak. Termasuk pula dalam hal muamalah. Menanam investasi di suatu bidang usaha adalah di antara bentuk muamalah, yang di mana mesti diawali pula dengan ilmu. Seseorang yang menanam modal dalam suatu investasi mesti mengetahui bagaimanakah cara investasi yang islami. Karena jika tidak mengetahui hal ini, seseorang bisa terjerumus dalam perkara haram, yaitu riba.

Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam- Mengawali Pagi Harinya dengan Meminta Ilmu yang Bermanfaat

Di antara dalil yang menunjukkan pentingnya berilmu sebelum bertindak adalah kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di pagi harinya yang selalu meminta pada Allah ilmu yang bermanfaat terlebih dahulu, setelah itu barulah beliau meminta rizki yang halal dan amalan yang diterima.

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يَقُولُ إِذَا صَلَّى الصُّبْحَ حِينَ يُسَلِّمُ « اللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ عِلْمًا نَافِعًا وَرِزْقًا طَيِّبًا وَعَمَلاً مُتَقَبَّلاً »

Dari Ummu Salamah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berdo’a setelah shalat Shubuh seusai salam, “Allahumma inni as-aluka ‘ilman naafi’a wa rizqon thoyyibaa, wa ‘amalan mutaqobbalaa (Ya Allah, aku meminta pada-Mu ilmu yang bermanfaat, rizki yang halal, dan amalan yang diterima)”. (HR. Ibnu Majah no. 925. Al Hafizh Abu Thohir dan Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).

Syaikh ‘Abdur Rozaq bin ‘Abdul Muhsin Al Abbad hafizhohullah berkata, lihatlah dalam hadits ini didahulukan meminta ilmu terlebih dahulu dibanding dengan meminta rizki yang halal dan amalan yang mutaqobbal (yang diterima), sebagaimana yang beliau sampaikan ketika kajian umum mengenai harta haram, 11 Jumadal Akhiroh 1434 H (22 April 2013) di Islamic Center Bin Baz Piyungan, Bantul, Yogyakarta.

Inilah yang menunjukkan urgensi meminta ilmu yang bermanfaat dalam do’a kita, namun kadang kita lalai akan meminta hal ini karena seputar do’a kita hanyalah permintaan hal dunia semata. Padahal jika seseorang meraih ilmu yang bermanfaat, ia telah meraih kebahagiaan hati. ilmu yang bermanfaat itu sebagaimana kata Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di dalam Manzhumah Qowa’idil Fiqhiyyah dapat menghilangkan keraguan dan kekotoran hati. Keraguan yang beliau maksud adalah penyakit syubhat (racun pemikiran) dan kekotoran hati disebabkan karena penyakit syahwat (hawa nafsu yang cenderung pada maksiat).

Salaf Memotivasi untuk Berilmu Sebelum Berdagang

Ibnu Taimiyah dalam Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar menukilkan perkataan Ibnu Mas’ud di mana beliau berkata,

العِلْمُ إِمَامُ العَمَلِ وَالعَمَلُ تَابِعُهُ

“Ilmu adalah pemimpin amal dan amalan itu berada di belakang setelah adanya ilmu.”

Imam Bukhari, di awal-awal kitab shahihnya, beliau membawakan bab, “Al ‘ilmu qoblal qouli wal ‘amali (ilmu sebelum berkata dan berbuat).” Setelah itu beliau membawakan firman Allah Ta’ala,

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ

Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu” (QS. Muhammad: 19). Lalu Imam Bukhari mengatakan, “Dalam ayat ini, Allah memerintahkan memulai dengan ilmu sebelum amalan.” Ilmuilah yang dimaksudkan adalah perintah untuk berilmu terlebih dahulu, sedangkan ‘mohonlah ampun’ adalah amalan. Ini pertanda bahwa ilmu harus ada lebih dahulu sebelum amalan.

Sufyan bin ‘Uyainah rahimahullah berdalil dengan surat Muhammad ayat 19 untuk menunjukkan keutamaan ilmu. Hal ini sebagaimana dikeluarkan oleh Abu Nu’aim dalam Al Hilyah ketika menjelaskan biografi Sufyan dari jalur Ar Robi’ bin Nafi’ darinya, bahwa Sufyan membaca ayat (yang artinya), “Maka ilmuilah (ketahuilah)! Bahwasanya tiada sesembahan yang berhak disembah selain Allah dan mohonlah ampunan bagi dosamu”, lalu beliau mengatakan,

أَلَمْ تَسْمَع أَنَّهُ بَدَأَ بِهِ فَقَالَ : ” اِعْلَمْ ” ثُمَّ أَمَرَهُ بِالْعَمَلِ ؟

“Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah memulai ayat ini dengan mengatakan ‘ilmuilah’, kemudian Allah memerintahkan untuk beramal?” (Fathul Bari karya Ibnu Hajar, 1: 160).

Ibnul Munir rahimahullah menjelaskan maksud Imam Bukhari di atas,

أَرَادَ بِهِ أَنَّ الْعِلْم شَرْط فِي صِحَّة الْقَوْل وَالْعَمَل ، فَلَا يُعْتَبَرَانِ إِلَّا بِهِ ، فَهُوَ مُتَقَدِّم عَلَيْهِمَا لِأَنَّهُ مُصَحِّح لِلنِّيَّةِ الْمُصَحِّحَة لِلْعَمَلِ

“Yang dimaksudkan oleh Imam Bukhari bahwa ilmu adalah syarat benarnya suatu perkataan dan perbuatan. Suatu perkataan dan perbuatan itu tidak teranggap kecuali dengan ilmu terlebih dahulu. Oleh sebab itulah, ilmu didahulukan dari ucapan dan perbuatan, karena ilmu itu pelurus niat. Niat nantinya yang akan memperbaiki amalan.” (idem).

Jika demikian, sama halnya ketika berdagang. Dalam kita melakukan muamalah semacam ini, jika tidak didasari dengan ilmu, maka bisa jadi jual beli kita rusak atau tidak sah. Seperti yang membuat jual beli tidak sah adalah jual beli ghoror (yang mengandung spekulasi tinggi). Al Jarjaniyy mengatakan bahwa yang dimaksud ghoror adalah,

بأنّه ما يكون مجهول العاقبة لا يدرى أيكون أم لا

“Ghoror itu hasil akhir (akibatnya) majhul (tidak diketahui), tidak diketahui akan ada ataukah tidak.” Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah. Kalau jual beli dikatakan tidak sah, artinya barang dagangan milik penjual masih tetap miliknya, uang milik pembeli juga masih tetap miliknya. Tentang larangan jual beli yang mengandung ghoror terdapat dalam hadits berikut,

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari jual beli hashoh (hasil lemparan kerikil, itulah yang dibeli) dan melarang dari ghoror” (HR. Muslim no. 1513).

Umar bin Khottob pernah memperingatkan orang-orang yang tidak paham fikih muamalah agar tidak berjualan di pasar. ‘Umar radhiyallahu ‘anhu berkata,

لَا يَتَّجِرْ فِي سُوقِنَا إلَّا مَنْ فَقِهَ أَكْلَ الرِّبَا

“Janganlah seseorang berdagang di pasar kami sampai dia paham betul mengenai seluk beluk riba.” (LihatMughnil Muhtaj, 6: 310). ‘Umar menghendaki demikian, agar supaya jual beli yang dilakukan di pasar tidak asal-asalan.

Akibat jika tidak mengenal hukum riba -misalnya- saat berdagang, maka dapat membuat akad yang dilakukan rusak atau cacat. Sebagaimana ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz pernah berkata,

مَنْ عَبَدَ اللهَ بِغَيْرِ عِلْمٍ كَانَ مَا يُفْسِدُ أَكْثَرَ مِمَّا يُصْلِحُ

“Barangsiapa yang beribadah kepada Allah tanpa ilmu, maka dia akan membuat banyak kerusakan daripada mendatangkan kebaikan.” Dinukil Ibnu Taimiyah dalam Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Munkar.

‘Ali bin Abi Tholib lebih tegas lagi mengatakan,

مَنْ اتَّجَرَ قَبْلَ أَنْ يَتَفَقَّهَ ارْتَطَمَ فِي الرِّبَا ثُمَّ ارْتَطَمَ ثُمَّ ارْتَطَمَ

“Barangsiapa yang berdagang namun belum memahami ilmu agama, maka dia pasti akan terjerumus dalam riba, kemudian dia akan terjerumus ke dalamnya dan terus menerus terjerumus.” (Lihat Mughnil Muhtaj, 6: 310)

Dua Akad yang Bisa Dimanfaatkan Jika Kita Memiliki Modal

1- Bagi hasil dalam untung dan rugi (Mudharabah)

Dasar dalil mengenai dibolehkannya mudharabah (bagi hasil) diambil dari hadits mengenai musaaqoh yaitu bagi hasil dengan cara menyerahkan tanaman kepada petani yang mengerjakan dengan pembagian tertentu dari hasil panennya.

عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ دَفَعَ إِلَى يَهُودِ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَلِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَطْرُ ثَمَرِهَا

“Dari Nafi’, dari ‘Abdullah bin ‘Umar, bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyerahkan kepada bangsa Yahudi Khaibar kebun kurma dan ladang daerah Khaibar, agar mereka yang menggarapnya dengan biaya dari mereka sendiri, dengan perjanjian, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapatkan separuh dari hasil panennya.” (HR. Bukhari no. 2329 dan Muslim no. 1551).

Pada hadits ini dengan jelas dinyatakan bahwa perkebunan kurma dan ladang daerah Khaibar yang telah menjadi milik umat Islam dipercayakan kepada orang Yahudi setempat, agar dirawat dan ditanami. Adapun perjanjiannya adalah  dengan bagi hasil 50% banding 50%. Pembagian bagi hasil ini ditetapkan dari hasil panen, bukan dari modal yang ditanam oleh si pemodal.

Pada akad mudharabah, asas keadilan benar-benar harus dapat diwujudkan. Yang demikian itu dikarenakan kedua belah pihak yang terkait, sama-sama merasakan keuntungan yang diperoleh. Sebagaimana mereka semua menanggung kerugian bila terjadi secara bersama-sama, pemodal menanggung kerugian materi (modal), sedangkan pelaku usaha menanggung kerugian non-materi (tenaga dan pikiran). Sehingga pada akad mudharabah tidak ada seorang pun yang dibenarkan untuk mengeruk keuntungan tanpa harus menanggung resiko usaha.

2- Melalui jalan mengupahi (ijaroh)

Akad kedua ini bukan artinya memodali, namun mempekerjakan orang. Jalan ini pun bisa ditempuh bagi yang memiliki modal.

Ijaroh atau jual beli jasa adalah suatu transaksi yang objeknya adalah manfaat atau jasa yang mubah dalam syariat dan manfaat tersebut jelas diketahui, dalam jangka waktu yang jelas serta dengan uang sewa yang jelas. Ijaroh termasuk transaksi yang mengikat kedua belah pihak yang mengadakan transaksi yaitu pembeli dan penjual jasa. Artinya salah satu dari keduanya tidak boleh membatalkan transaksi tanpa persetujuan pihak kedua.

Ijaroh itu ada dua macam:

a- ijaroh dengan objek transaksi benda tertentu semisal menyewakan rumah, kamar kost, menyewakan mobil (rental mobil, taksi, bis kota dll).

b- ijaroh dengan objek transaksi pekerjaan tertentu semisal mempekerjakan orang untuk membangun rumah, mencangkul kebun dll.

Contoh misalnya dalam memanfaatkan modal untuk ternak kambing. Cara seperti ini yang dipilih. Juragan mempekerjakan dua orang, lantas dalam waktu per hari dihitung mendapatkan upah Rp. 30.000,- dan upahnya diserahkan di akhir pekan sesuai perjanjian atau kesepakatan.

Di antara ketentuan dari bentuk ijaroh seperti di atas:

a- Dalam ijaroh seorang pekerja berhak atas upah atau gaji jika dia telah menyelesaikan pekerjaan yang menjadi kewajibannya secara sempurna dan professional. Pekerja semacam ini harus segera diberi upah begitu pekerjaannya selesai sampai-sampai nabi katakan sebelum keringatnya kering.

Dari ‘Abdullah bin ‘Umar, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَعْطُوا الأَجِيرَ أَجْرَهُ قَبْلَ أَنْ يَجِفَّ عَرَقُهُ

Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (HR. Ibnu Majah, shahih).  Maksud hadits ini adalah bersegera menunaikan hak si pekerja setelah selesainya pekerjaan, begitu juga bisa dimaksud jika telah ada kesepakatan pemberian gaji setiap bulan.

Al Munawi berkata, “Diharamkan menunda pemberian gaji padahal mampu menunaikannya tepat waktu. Yang dimaksud memberikan gaji sebelum keringat si pekerja kering adalah ungkapan untuk menunjukkan diperintahkannya memberikan gaji setelah pekerjaan itu selesai ketika si pekerja meminta walau keringatnya tidak kering atau keringatnya telah kering.” (Faidhul Qodir, 1: 718)

b- Pada dasarnya pekerja tidaklah memiliki kewajiban mengganti barang yang rusak yang diamanahkan oleh pihak yang mempekerjakan atau barang yang disewakan asalkan kerusakan barang tersebut bukan karena kecerobohan penyewa atau pekerja.

Untuk transaksi ini berarti kerugian usaha ditanggung oleh pemilik modal, bukan para pekerjanya selama kerusakan bukan terjadi karena kecerobohan pekerja. Sedangkan keuntungan usaha semuanya menjadi hak pemilik modal.

Jika Memilih Meminjamkan Modal

Cara ini bisa ditempuh jika kita memiliki modal besar dan khawatir menyimpan di bank, maka kita bisa pinjamkan pada orang yang amanat untuk mengembalikannya di waktu akan datang. Namun dengan syarat, peminjaman modal di sini bukan untuk meraup keuntungan. Karena keuntungan yang ada dalam utang piutang, itu termasuk riba. Ibnu Qudamah mengatakan bahwa riba adalah:

الزِّيَادَةُ فِي أَشْيَاءَ مَخْصُوصَةٍ

“Penambahan pada barang dagangan/komoditi tertentu.” (Al Mughni, 6: 51)

Para ulama pun bersepakat (berijma’),

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.

Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal dalam Al Mughni (6: 436),

وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ .

“Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”

Di halaman yang sama Ibnu Qudamah mengatakan,

قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ : أَجْمَعُوا عَلَى أَنَّ الْمُسَلِّفَ إذَا شَرَطَ عَلَى الْمُسْتَسْلِفِ زِيَادَةً أَوْ هَدِيَّةً ، فَأَسْلَفَ عَلَى ذَلِكَ ، أَنَّ أَخْذَ الزِّيَادَةِ عَلَى ذَلِكَ رَبًّا .وَقَدْ رُوِيَ عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ، وَابْنِ عَبَّاسٍ ، وَابْنِ مَسْعُودٍ ، أَنَّهُمْ نَهَوْا عَنْ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً .وَلِأَنَّهُ عَقْدُ إرْفَاقٍ وَقُرْبَةٍ ، فَإِذَا شَرَطَ فِيهِ الزِّيَادَةَ أَخْرَجَهُ عَنْ مَوْضُوعِهِ .

“Ibnul Mundzir berkata: Para ulama sepakat bahwa jika seseorang meminjamkan uang lantas ia memberi syarat pada si peminjam uang untuk adanya tambahan atau hadiah, lalu ia pinjam dan tunaikan sedemikian rupa, maka pengambilan tambahan di sini adalah riba. Diriwayatkan dari Ubay bin Ka’ab, Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud bahwa mereka melarang dari bentuk utang piutang yang terdapat keuntungan. Karena utang piutang termasuk akad tolong menolong dan cari pahala karena menolong yang lain. Jika menolong ‘kok’ malah cari untung, ini sudah keluar dari maksud untuk meringankan beban orang lain.” (Al Mughni, 6: 436).

Jika pemilik uang punya keinginan uangnya kembali utuh dan mesti seperti itu, tanpa sama sekali ingin menanggung kerugian, ditambah ia ingin ada tambahan, ini sama saja mencari untung dalam utang piutang.

Hal ini juga berlaku jika utang piutang menggunakan gadaian. Barang gadaian pun tidak boleh dimanfaatkan oleh si pemberi pinjaman. Karena kaedah di atas tetap berlaku dalam gadai, “Setiap utang piutang yang meraup keuntungan, maka itu riba.”

Namun ada gadaian yang boleh dimanfaatkan jika dikhawatirkan begitu saja ia akan rusak atau binasa. Seperti hewan yang memiliki susu dan hewan tunggangan bisa dimanfaatkan sesuai pengeluaran yang diberikan si pemberi utang dan tidak boleh lebih dari itu. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,

الرَّهْنُ يُرْكَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَلَبَنُ الدَّرِّ يُشْرَبُ بِنَفَقَتِهِ إِذَا كَانَ مَرْهُونًا ، وَعَلَى الَّذِى يَرْكَبُ وَيَشْرَبُ النَّفَقَةُ

Barang gadaian berupa hewan tunggangan boleh ditunggangi sesuai nafkah yang diberikan. Susu yang diperas dari barang gadaian berupa hewan susuan boleh diminum sesuai nafkah yang diberikan. Namun, orang yang menunggangi dan meminum susu berkewajiban untuk memberikan makanan” (HR. Bukhari no. 2512).

Kaedah Penting: Keuntungan bagi yang Berani Menanggung Resiko

Dalam kaedah fikih disebutkan,

الخراج بالضمان

“Keuntungan adalah imbalan atas kesiapan menanggung kerugian”.

Maksud kaedah ini ialah orang yang berhak mendapatkan keuntungan ialah orang yang punya kewajiban menanggung kerugian -jika hal itu terjadi-. Keuntungan ini menjadi milik orang yang berani menanggung kerugian karena jika barang tersebut suatu waktu rusak, maka dialah yang merugi. Jika kerugian berani  ditanggung, maka keuntungan menjadi miliknya.

Asal kaedah di atas berasal dari hadits berikut,

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَجُلًا ابْتَاعَ غُلَامًا، فَأَقَامَ عِنْدَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يُقِيمَ، ثُمَّ وَجَدَ بِهِ عَيْبًا، فَخَاصَمَهُ إِلَى النَّبِيِّ صلّى الله عليه وسلّم، فَرَدَّهُ عَلَيْهِ، فَقَالَ الرَّجُلُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ اسْتَغَلَّ غُلَامِي؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم: الْخَرَاجُ بِالضَّمَانِ

“Dari sahabat ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya seorang lelaki membeli seorang budak laki-laki. Kemudian, budak tersebut tinggal bersamanya selama beberapa waktu. Suatu hari sang pembeli mendapatkan adanya cacat pada budak tersebut. Kemudian, pembeli mengadukan penjual budak kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Nabi-pun memutuskan agar budak tersebut dikembalikan. Maka penjual berkata, ‘Ya Rasulullah! Sungguh ia telah mempekerjakan budakku?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,‘Keuntungan adalah imbalan atas kerugian.’” (HR. Abu Daud no. 3510, An Nasai no. 4490, Tirmidzi no. 1285, Ibnu Majah no. 2243 dan Ahmad 6: 237. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).

Dari kaedah di atas kita bisa mengambil dua pelajaran penting:

1- Dalam akad mudhorobah, jika sama-sama mendapat untung, maka pihak pemodal dan pelaku usaha harus sama-sama menanggung rugi. Jika pelaku usaha, sudah mendapatkan rugi karena usahanya gagal, maka pemodal pun harus menanggung rugi. Karena jika pemodal mendapat untung, maka kerugian pun -artinya: tidak mendapatkan apa-apa- harus berani ia tanggung. Termasuk kekeliruan jika si pemodal minta modalnya itu kembali selama bukan karena kecerobohan pelaku usaha.

2- Bermasalahnya transaksi riba, simpan pinjam yang menarik keuntungan. Jika pihak kreditur  dalam posisi aman, hanya mau ingin uangnya kembali, tanpa mau menanggung resiko karena boleh jadi yang meminjam uang adalah orang yang susah, maka berarti ini masalah. Karena kalau ia ingin uangnya kembali, maka ia pun harus berani menanggung resiko tertundanya utang tersebut. Alasannya adalah kaedah yang kita bahas saat ini.

Bahaya Riba

Jika kita tidak mengetahui transaksi halal dan haram, kita bisa terjerumus dalam riba sebagaimana akibatnya disebutkan dalam dua hadits berikut,

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةِ وَثَلاَثِيْنَ زَنْيَةً

Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari transaksi riba sedangkan dia mengetahui, lebih besar dosanya daripada melakukan perbuatan zina sebanyak 36 kali.” (HR. Ahmad dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hadits lain juga menyebutkan,

الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ

Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri. Sedangkan riba yang paling besar adalah apabila seseorang melanggar kehormatan saudaranya.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya)

Semoga penjelasan di atas bermanfaat bagi kita yang ingin berinvestasi.

@ Pesantren Darush Sholihin, Panggang-Gunungkidul, 22 Jumadal Akhiroh 1434 H (ditulis selepas shalat Fajar hingga 07: 40, sebelum beranjak ke Seminar di UIN Yogyakarta)

Sumber Artikel

Categories
ARTIKEL MUAMALAH SEPUTAR KOPERASI

INVESTASIKAN DANA ANDA DI KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH INSYA ALLAH BEBAS RIBA

deposito koperasi syariah arrahmah

Kita hidup di jaman penuh fitnah dimana riba merajalela.

Rasulullah sudah menggambarkan keadaan kita saat ini jauh-jauh hari saat beliau masih hidup.


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يَأْكُلُونَ الرِّبَا فَمَنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ غُبَارِهِ

Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Suatu saat nanti manusia akan mengalami suatu masa, yang ketika itu semua orang memakan riba. Yang tidak makan secara langsung, akan terkena debunya.” (Hr. Nasa`i, no. 4455, namun dinilai dhaif oleh al-Albani)

Meski secara sanad, hadits di atas adalah hadits yang lemah, namun makna yang terkandung di dalamnya adalah benar, dan zaman tersebut pun telah tiba. Betapa riba dengan berbagai kedoknya saat ini telah menjadi konsumsi publik, bahkan menjadi suatu hal yang mendarah daging di tengah banyak kalangan.

Begitulah kondisi kita saat ini.

Saat ini bertransaksi dengan perbankan sudah merupakan kebutuhan. Harta-harta yang kita miliki mungkin sebagian atau bahkan semuanya telah disimpan di bank, entah bank syariah atau bank konvensional. Entah itu berupa tabungan, ataupun deposito.

Kami dari Koperasi Syariah Arrahmah mengajak kaum muslimin yang sudah mulai paham tentang dosa riba, khawatir terkena dosa riba baik langsung atau tidak langsung, memiliki kelebihan rejeki dan dana yang hanya tersimpan tanpa terkelola dengan baik. Kami mengajak kaum muslimin agar mengalihkan dana / harta yang dimilikinya, baik tabungan ataupun deposito, untuk diinvestasikan dan dikelola oleh koperasi kami. Keuntungan berinvestasi di koperasi syariah Arrahmah bisa anda baca disini.

KEANGGOTAAN & INVESTASI

Kenapa kami sampaikan permasalahan mengenai deposito disini. Karena kami ingin agar kaum muslimin juga paham mengenai Hukum Halal dan Haram hasil Deposito yang saat ini masih dinikmati. Kami berikan solusi untuk anda agar harta anda bermanfaat bukan hanya untuk anda, namun juga kaum muslimin lainnya.

Simak artikel berikut supaya tidak ada penyesalan dikemudian hari. Semoga bermanfaat.

Pengertian Deposito

Salah satu produk yang diterbitkan oleh bank adalah deposito. Deposito adalah tabungan berjangka yang tidak boleh diambil sampai habis jangka waktu yang disepakati dengan mendapatkan prosentasi keuntungan dari uang yang didepositokan. Apabila mengambil uang yang telah didepositokan, maka akan terkena denda yang telah ditetapkan oleh bank.

Contoh dari penerapan deposito ini dimisalkan sebagai berikut:

Joko ingin memanfaatkan produk deposito. Dia mendepositokan uangnya sebesar Rp 50 juta dalam jangka waktu 3 bulan. Bunga deposito selama setahun adalah 5 %. Jadi dalam sebulan dia mendapatkan = Rp 50 juta x 5 % : 12 bulan = Rp 208.333,33/bulan. Kemudian penghasilan tersebut dipotong pajak penghasilan 20 %. Dengan demikian Joko dalam tiga bulan mendapatkan Rp 208.333,33 x 3 bulan = Rp 625.000,00 , sebelum dipotong pajak.

Joko tidak perlu khawatir dengan uang yang didepositokannya. Uang tersebut pasti mendapatkan keuntungan walaupun tidak begitu besar. Meskipun bank sedang pailit atau merugi, bank tetap harus membayarkan keuntungan/bunga dari uang yang didepositokan Joko.

Di lain sisi ada juga produk serupa yang diterbitkan oleh beberapa Lembaga Keuangan Syariah. Mereka menamakannya dengan mudharabah atau bagi hasil. Mereka menyatakan bahwa uang modal yang di-mudharabah-kan akan digunakan untuk usaha yang halal, sehingga menghasilkan keuntungan yang dapat dibagi setiap bulannya. Mereka menetapkan keuntungan yang besarnya diprosentasekan dari modal. Meskipun mereka menyatakan bahwa prosentasenya bisa berubah-ubah tergantung keadaan bank, tetapi keuntungan masih didapatkan meskipun bank dalam keadaan merugi atau usahanya merugi.

Bagaimana sebenarnya memahami kasus seperti ini? Apakah hal ini termasuk keuntungan yang halal ataukah hal ini mengandung unsur riba? Jika ini riba, bagaimana seharusnya solusi terbaik yang diberikan?

Memahami Riba

Sebelum kita membahas permasalahan ini, penulis perlu tekankan bahwa kita jangan terpengaruh dengan istilah/penamaan yang digunakan oleh berbagai lembaga keuangan. Kita harus melihat kepada hakikat transaksinya sehingga kita bisa menghukumi setiap permasalahan dengan tepat.

Kita juga harus paham bahwasanya yang dimaksud dengan riba atau lebih spesifik disebut riba nasiah adalah mengambil keuntungan dari hutang yang dipinjamkan.

Riba diharamkan oleh Allah secara mutlak, baik tambahannya banyak maupun sedikit, baik berupa uang lebih maupun manfaat atau jasa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا

“Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah: 275)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengatakan:

وَرِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ وَأَوَّلُ رِبًا أَضَعُ رِبَانَا رِبَا عَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَإِنَّهُ مَوْضُوعٌ كُلُّهُ

“… Dan riba jahiliah dihapuskan. Riba pertama yang saya hapuskan dari riba-riba kita adalah riba ‘Abbas bin Abdil-Muththalib. Sesungguhnya riba tersebut dihapuskan semuanya.”[Muslim no. 1218.]

Imam Asy-Syafii rahimahullah pernah menerangkan:

وَكَانَ مِنْ رِبَا الجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُوْنَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الدَّيْنُ فَيَحِلُّ الدَّيْنُ ، فَيَقُوْلُ لَهُ صَاحِبُ الدَّيْنِ : تَقْضِيْ أَوْ تربي ، فَإِنْ أَخَّرَهُ زَادَ عَليْه وَأَخَّرَه

“Di antara bentuk riba jahiliah adalah seseorang memiliki hutang kepada orang lain, kemudian hutang tersebut jatuh tempo, kemudian orang yang meminjamkan uang berkata, ‘Engkau bayar atau engkau tambahkan (ribakan)?’ Jika dia ingin mengakhirkannya, maka dia menambahnya.”[Lihat: Ma’rifatu As-Sunan Wal-Atsar lil-Baihaqi VIII/29 no. 3395]

Zaid bin Aslam rahimahullah pernah berkata:

كَانَ الرِّبَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَكُونَ لِلرَّجُلِ عَلَى الرَّجُلِ الْحَقُّ إِلَى أَجْلٍ فَإِذَا حَلَّ الْحَقُّ قَالَ أَتَقْضِى أَمْ تُرْبِى فَإِنْ قَضَاهُ أَخَذَ وَإِلاَّ زَادَهُ فِى حَقِّهِ وَزَادَهُ الآخَرُ فِى الأَجَلِ.

“Dulu riba di masa jahiliah, seseorang memiliki suatu hak kepada orang lain sampat tempo tertentu. Apabila telah jatuh tempo, maka dia berkata, ‘Engkau mau membayarnya atau engkau tambahkan (ribakan)?’ Apabila dia bayar, maka dia ambil haknya dan jika tidak, maka orang tersebut menambahnya dan bertambah pula temponya.”[Muwaththa’Al- Imam Malik. Bab Maa Jaa-a fir-Riba fid-Dain, II/672 no. 1353]

Kaidah Memahami Riba

Para ulama juga telah membuatkan kaidah fiqhiyah untuk mengenal semua jenis riba, kaidah tersebut berbunyi:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا فَهُوَ رِبَا

“Setiap perhutangan yang menghasilkan manfaat (untuk orang yang meminjamkannya), maka dia adalah riba.”

Kaidah ini sangat penting untuk mengenal berbagai macam jenis riba saat ini.

Hukum Deposito Bank

Kalau kita perhatikan kasus di atas, maka kita bisa menghukumi bahwa deposito bank dan mudharabah LKS di atas masih mengandung riba di dalamnya sehingga diharamkan. Karena sebenarnya orang yang mendepositokan uangnya di bank, dia sedang meminjamkan uangnya kepada bank, kemudian dia mendapatkan keuntungan dari uang yang dipinjamkan tersebut, keuntungan tersebut pasti dia dapatkan dan tidak ada resiko untuk rugi apabila bank rugi.

Jika keuntungan yang didapat tidak lebih dari 10 %, boleh atau tidak?

Sebagian orang menyangka bahwa boleh mendepositokan uang dengan alasan hasil yang didapat jika tidak besar, maka tidak mengapa. Sebagian orang mengatakan bahwa jika tidak lebih dari 10 % maka tidak mengapa. Bagaimana menanggapi hal ini?

Memang ada yang berpendapat demikian. Mereka salah dalam memahami ayat ini:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan!”, (QS Ali ‘Imran: 130)

Mereka mengatakan bahwa riba yang diharamkan adalah riba yang berlipat-lipat keuntungannya, sedangkan yang tidak berlipat-lipat maka tidak mengapa.

Mereka salah memahami ayat ini karena mereka mungkin tidak mengetahui bahwa larangan riba dilakukan dengan empat tahap pelarangan, yaitu sebagai berikut:

Tahap I: Firman Allah ta’ala:

وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ رِبًا لِيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِنْدَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ (39)

“Dan sesuatu riba (tambahan) yang kalian berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kalian berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS Ar-Rum: 39)

Pada ayat ini Allah hanya menyindir pelaku riba.

Tahap II: Firman Allah ta’ala:

فَبِظُلْمٍ مِنَ الَّذِينَ هَادُوا حَرَّمْنَا عَلَيْهِمْ طَيِّبَاتٍ أُحِلَّتْ لَهُمْ وَبِصَدِّهِمْ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ كَثِيرًا (160) وَأَخْذِهِمُ الرِّبَا وَقَدْ نُهُوا عَنْهُ وَأَكْلِهِمْ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ مِنْهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (161)

“ (160) Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, Kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, (161) Dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih.” (QS An-Nisa’: 160-161)

Pada ayat ini Allah menerangkan bahwa riba dilarang kepada orang-orang Yahudi, tetapi mereka masih melakukannya. Dan belum dijelaskan apakah riba juga diharamkan pada kaum muslimin.

Tahap III: Firman Allah ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (130)

“Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kalian kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan!”, (QS Ali ‘Imran: 130)

Pada ayat ini Allah mulai mengharamkan riba, tetapi yang disinggung hanyalah riba yang berlipat ganda, sehingga sebagian sahabat menyangka bahwa riba yang sedikit masih tidak mengapa.

Tahap IV: Firman Allah ta’ala:

الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا إِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبَا وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا فَمَنْ جَاءَهُ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّهِ فَانْتَهَى فَلَهُ مَا سَلَفَ وَأَمْرُهُ إِلَى اللَّهِ وَمَنْ عَادَ فَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ (275) يَمْحَقُ اللَّهُ الرِّبَا وَيُرْبِي الصَّدَقَاتِ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ كَفَّارٍ أَثِيمٍ (276) إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ وَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (277) يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ (278) فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ (279)

“ (275) Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit. Keadaan mereka yang demikian itu disebabkan mereka berkata (berpendapat), ‘Sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba’, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhan-nya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.

(276) Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa. (277) Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.

(278) Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kalian orang-orang yang beriman. (279) Maka jika kalian tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba), maka ketahuilah, bahwa Allah dan rasul-Nya akan memerangi kalian. Dan jika kalian bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kalian tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya.” (QS Al-Baqarah: 275-279)

Dengan memahami tahap-tahap ini, seseorang akan paham bahwa pada akhirnya riba diharamkan secara mutlak oleh Allah subhanahu wa ta’ala, baik banyak maupun sedikit.[Lihat: Fiqh sunnah 3/174 dan At-Tadarruj fi Tahriim Ar-Riba (www.hablullah.com)]

Dan dengan jelas juga diterangkan pada hadits di atas, bahwa riba dihapuskan seluruhnya dan riba yang pertama kali dihapuskan adalah riba ‘Abbas radhiallahu ‘anhu. Dan hadits tersebut adalah potongan dari khutbah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di ‘Arafah. Sehingga perharaman riba secara mutlak adalah pengharaman terakhir sebelum beliau wafat.

Jika demikian, bagaimana solusi yang ditawarkan dalam syariat kita?

Di dalam Islam, permasalahan penanaman modal untuk mendapatkan keuntungan sudah diatur. Permasalahan ini disebut dengan mudharabah (bagi hasil)[Mudharabah yang sebenarnya dan bukan versi beberapa Lembaga Keuangan Syariat, penj]. Di dalam mudharabah terdapat: pemilik modal (shahibul-mal), pengusaha (mudharib), modal yang dikeluarkan (ra’sul-mal) dan pembagian keuntungan (ribh).

Pembagian keuntungan diprosentasekan dari keuntungan dan bukan dari modal, misal untuk pemilik modal 40 % dan untuk pengusaha 60 % atau pemilik modal 55 % dan pengusaha 45 %, sesuai kesepakatan antara mereka berdua di awal akad.

Apabila terjadi kerugian, maka pengusaha tidak mendapatkan apa-apa dan pemilik modal kehilangan modalnya. Inilah yang tidak dimiliki oleh lembaga keuangan.

Apabila terjadi sengketa, maka bisa diselesaikan dengan melihat amanat dari pengusaha. Jika pengusaha amanat dalam menjalankan usaha dan ternyata usaha merugi, maka pemilik modal tidak boleh menuntutnya. Akan tetapi, seandainya pengusaha tidak amanat dalam menggunakan harta, seperti: menggunakan untuk keperluan pribadinya, menggunakan modal tidak sesuai kesepakatan, maka pemilik modal bisa menuntut untuk dikembalikan modalnya.

Inilah solusi yang tepat yang diberikan oleh syariat. Daripada menggunakan produk deposito bank, maka solusi yang terbaik adalah dengan menjadikannya sebagai modal usaha. Bahkan kalau dihitung-hitung, maka keuntungan yang diperoleh dari mudharabah lebih besar daripada deposito bank.

Bukankah Bank-Bank Syariat telah menerapkan mudharabah jenis ini?

Hal tersebut tidak benar, karena dalam praktiknya mereka masih belum bisa lepas dari riba. Salah satu alasannya adalah mereka tidak diberi hak untuk berusaha mencari keuntungan selain dengan cara simpan dan pinjam saja.

Jika mereka mampu atau diizinkan menjadi perusahaan sendiri yang memiliki berbagai usaha halal dan orang-orang yang memiliki uang bisa menanamkan sahamnya di sana dengan kesiapan menanggung kerugian jika ternyata usahanya rugi dan mendapatkan keuntungan dari prosentase keuntungan bukan dari modal, maka hal tersebut menjadi solusi untuk kasus seperti ini.

Demikian tulisan singkat ini. Mudahan bermanfaat.

Daftar Pustaka:

  1. Al-Asybah wa An-Nazhair ‘ala Madzhabi Abi Hanifah An-Nu’man. Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
  2. Al-Farqu Baina Al-Bai’ Wa Ar-Riba. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan. Ar-Riyadh: Dar Al-Qasim.
  3. Al-Mudharabah fi Asy-Syari’atil-Islamiyah. ‘Abdullah bin Hamd bin ‘Utsman Al-Khuwaithir. Ar-Riyadh: Dar Kanuz Isybilia.
  4. Fiqh As-Sunnah. Sayyid Sabiq. Beirut: Muassasah Ar-Risalah.
  5. Muwaththa’ Al-Imam Malik. Mesir: Dar Ihya’ At-Turats Al-‘Arabi.
  6. Dan lain-lain sebagian sudah dicantumkan di footnotes.

 

Oleh: ustadz Said Yai Ardiansyah, MA

Sumber artikel

Download PROPOSAL sekaligus PROFIL KOPERASI SYARIAH ARRAHMAH