Bismillah,
Mengundang seluruh anggota Koperasi Syariah Arrahmah untuk bisa hadir dalam acara Rapat Anggota Tahunan Periode Tahun 2017
Insya Allah hari Ahad, 26 Februari 2017 Tempat : Aula Kayuh Baimbai Kota Banjarmasin
Diharapkan konfirmasi kehadirannya ya Terima kasih.
Jazakumullahu khairan. Barakallahu fiykum.
Author: admin
#JOB-VACANCY
#LOWONGAN-KERJA
Bismillah,
Kami dari Koperasi Syariah Arrahmah Kalsel (kopsyaharrahmah.co.id – investasi halal kredit bebas riba) mengajak kepada muslimin muda yang ingin bekerja dan berta’awun/tolong-menolong dalam kebaikan.
Kami membuka kesempatan untuk bergabung bersama kami untuk penempatan Banjarmasin dengan posisi :
Marketing & Collection Officer (MCO)
– Memiliki sim C
– Berpengalaman di marketing / penjualan produk barang diutamakan
– Memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik
– Memiliki pengetahuan yang baik tentang ekonomi Islam dan muamalah sesuai syariah *penting
Kualifikasi Umum :
>>Laki-laki
>>Usia maksimal 30 tahun
>>Pendidikan minimal D3
>>Muslim tertib dan taat sholat 5 waktu berjamaah
>>Mampu mengoperasikan komputer dan aplikasi office serta internet
>>Jujur dan amanah
>>Tidak merokok dan tidak suka musik
>>Sanggup bekerja keras
>>Sanggup bekerjasama dalam tim dan sendiri
>>Diutamakan yang Berdomisili di Banjarmasin
>>Utk yang ber-status single, jika memenuhi syarat, boleh tinggal di mess Kantor koperasi Banjarmasin
Jika antum memiliki kriteria seperti diatas, silahkan kirim email surat lamaran ke ksarrahmah@gmail.com disertai biodata & curiculum vitae dengan subject :
Lowongan Kerja – MCO
atau bisa langsung datang mengantar surat lamaran ke kantor kami dengan menuliskan posisi yang diinginkan pada amplop.
Alamat Koperasi Syariah Arrahmah
Kantor : Jl. Arjuna 4 no.20 Komplek Bumi Pemurus Permai, Kel. Pemurus Dalam samping Masjid Al-Ummah, Banjarmasin Telp. 0511 6743099
Informasi lengkap kunjungi website kami : http://www.kopsyaharrahmah.co.id
Lowongan Kerja ini kami tutup tanggal 25 November 2016.
Silahkan disebarkan agar bermanfaat bagi kaum muslimin yang membutuhkan.
Jazakumullohu khairan.
Barakallohu fiikum.
#JOB-VACANCY
#LOWONGAN-KERJA
Para ulama telah memberikan sebuah kaedah yang mesti kita perhatikan berkenaan dengan hutang piutang. Kaedah yang dimaksud adalah:
كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا
“Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan (keuntungan), maka itu adalah riba.” (Lihat Al Majmu’ Al Fatawa, 29/533; Fathul Wahaab, 1/327; Fathul Mu’in, 3/65; Subulus Salam, 4/97)
Ibnu Qudamah membawakan sebuah fasal:
وَكُلُّ قَرْضٍ شَرَطَ فِيهِ أَنْ يَزِيدَهُ ، فَهُوَ حَرَامٌ ، بِغَيْرِ خِلَافٍ .
“Setiap piutang yang mensyaratkan adanya tambahan, maka itu adalah haram. Hal ini tidak ada perselisihan di antara para ulama.”
Yang masih bingung antara hutang piutang (qardh) n kerjasama (mudhorobah;musyarokah), silahkan disimak ilustrasi berikut:
▶▶▶▶
?? Gimana kabarnya mbak?
?? Sehat dek, alhamdulillah.
?? Ini saya selain silaturahmi juga ada perlu mbak.
?? Apa apa dek…apa yang bisa tak bantu.
?? Anu..kalau ada uang 20juta saya mau pinjam.
?? Dua puluh juta? Banyak sekali. Untuk apa dek?
??Tambahan modal mbak. Dapat order agak besar, modal saya masih kurang. Bisa bantu mbak?
?? Mmm..mau dikembalikan kapan ya?
?? InsyaAllah dua bulan lagi saya kembalikan.
?? Gitu ya. Ini mbak ada sih 20juta. Rencana untuk beli sesuatu. Tapi kalau dua bulan sudah kembali ya gak apa-apa, pakai dulu aja.
?? Wah, terimakasih mbak.
?? Ini nanti mbak dapat bagian dek?
?? Bagian apa ya mbak?
?? Ya kan uangnya untuk usaha, jadi kan ada untungnya tuh. Naa..kalau mbak enggak kasih
pinjem kan ya gak bisa jalan usahamu itu, iya kan?
*tersenyum penuh arti*
?? Oh, bisa-bisa. Boleh saja kalau mbak pengennya begitu. Nanti saya kasih bagi hasil mbak.
??Besarannya bisa kita bicarakan.
Lha, gitu kan enak. Kamu terbantu, mbak juga dapat manfaat.
?? Tapi akadnya ganti ya mbak. Bukan hutang piutang melainkan kerjasama.
?? Iyaa..gak masalah. Sama aja lah itu. Cuman beda istilah doang.
??Bukan cuma istilah mbak, tapi pelaksanaannya juga beda.
??Maksudnya??
??Jadi gini mbak: kalau akadnya hutang, maka jika usaha saya lancar atau tidak lancar ya saya
tetap wajib mengembalikan uang 20juta itu. Tapi jika akadnya kerjasama, maka kalau usaha
saya lancar, mbak akan dapat bagian laba. Namun sebaliknya, jika usaha tidak lancar atau
merugi maka mbak juga turut menanggung resiko. Bisa berupa kerugian materi→uangnya
tidak bisa saya kembalikan, atau rugi waktu→ kembali tapi lama.
??Waduh, kalau gitu ya mending uangnya saya deposito kan tho dek: gak ada resiko apa2, uang
utuh, dapat bunga pula.
??Itulah riba mbak. Salah satu ciri2nya tidak ada resiko dan PASTI untung.
??Tapi kalau uangku dipinjam si A untuk usaha ya biasanya aku dapet bagi hasil kok dek. 2% tiap
bulan. Jadi kalau dia pinjam 10juta selama dua bulan, maka dua bulan kemudian uangku
kembali 10juta+400ribu.
??Itu juga riba mbak. Persentase bagi hasil ngitungnya dari laba, bukan berdasar modal yang disertakan.Kalau berdasar modal kan mbak gak tau apakah dia beneran untung atau tidak.
Dan disini selaku investor berarti mbak tidak menanggung resiko apapun donk. Mau dia untung atau rugi mbak tetep dapet 2%. Lalu apa bedanya sama deposito?
??Dia ikhlas lho dek, mbak gak matok harus sekian persen gitu kok.
??Meski ikhlas atau saling ridho kalau tidak sesuai syariat ya dosa mbak.
??Waduh…syariat kok ribet bener ya.
??Ya karena kita sudah terlanjur terbiasa dengan yang keliru mbak. Memang butuh perjuangan untuk mengikuti aturan yang benar. Banyak kalau tidak berkah bikin penyakit lho mbak.hehe.
??Hmmm…ya sudah, ini 20juta nya hutang aja. Mbak gak siap dengan resiko kerjasama. Nanti dikembalikan dalam dua bulan yaa.
??Iya mbak. Terimakasih banyak mbak. Meski tidak mendapat hasil berupa materi tapi insyaAllah
mbak tetap ada hasil berupa pahala.
Amiiin..
▶▶▶▶▶▶
Kalau cuma bicara anti riba…. burung beopun juga bisa.
Kl cuma diskusi masalah ekonomi umat… ngbrol sama balita yg baru belajar bicara jauh lebih menarik.
Ayuuu hidupkan ekonomi mikro.. berikan pancingan bukan ikan.
investasi dunia akhirat
Notes : perhatikan dlm bisnis akad kerjasama kah?? Atau akad peminjaman uang.. ini 2 hukum islam yg berbeda dn efeknya pun di dunia dan akhirat juga berbeda.
“… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS.Al-baqarah:275)
Sebenarnya apa sih tujuan islam melarang riba? Seharusnya khan asal saling sepakat, saling rela, tidak kena dosa?
Hukum islam itu dibuat untuk mengatur agar manusia mendapatkan kemaslahatan sebesar-besarnya tanpa manusia merugikan siapapun sekecil-kecilnya.
Mari kita bahas contoh LABA dan RIBA agar anda mudah untuk memahami dengan bahasa yang umum:
1. Saya membeli sebuah sepeda motor Rp. 10 Juta dan saya hendak menjual dengan mengambil untung dengan bunga 1% perbulan untuk jangka waktu pembayaran 1 tahun.
Transaksi seperti ini tergolong transaksi RIBAWI.
2. Saya membeli sepeda motor Rp. 10 juta, dan saya hendak menjual secara kredit selama setahun dengan harga Rp. 11.200.000,-. Transaksi ini termasuk transaksi SYARIAH.
Apa bedanya? Khan kalau dihitung2 ketemunya sama Untungnya Rp. 1.200.000?
?
Mari kita bahas kenapa transaksi pertama riba dan transaksi kedua syar’i.
*TRANSAKSI PERTAMA RIBA,* karena:
1. Tidak ada kepastian harga, karena menggunakan sistem bunga. Misal dalam contoh diatas, bunga 1% perbulan. Jadi ketika dicicilnya disiplin memang ketemunya untungnya adalah Rp. 1.200.000,-. Tapi coba kalau ternyata terjadi keterlambatan pembayaran, misal ternyata anda baru bisa melunasi setelah 15 bulan, maka anda terkena bunganya menjadi 15% alias labanya bertambah menjadi Rp. 1.500.000,-.
Jadi semakin panjang waktu yang dibutuhkan untuk melunasi utang, semakin besar yang harus kita bayarkan.
Bahkan tidak jarang berbagai lembaga leasing ada yang menambahi embel2 DENDA dan BIAYA ADMINISTRASI, maka semakin riba yang kita bayarkan. Belum lagi ada juga yang menerapkan bunga yang tidak terbayar terakumulasi dan bunga ini akhirnya juga berbunga lagi.
2. Sistem riba seperti diatas jelas2 sistem yang menjamin penjual pasti untung dengan merugikan hak dari si pembeli. Padahal namanya bisnis, harus siap untung dan siap rugi.
*TRANSAKSI KEDUA SYARIAH,* karena:
1. Sudah terjadi akad yang jelas, harga yang jelas dan pasti. Misal pada contoh sudah disepakati harga Rp. 11.200.000,- untuk diangsur selama 12 bulan.
2. Misal ternyata si pembeli baru mampu melunasi utangnya pada bulan ke-15, maka harga yang dibayarkan juga masih tetap Rp. 11.200.000,- tidak boleh ditambah. Apalagi diistilahkan biaya administrasi dan denda, ini menjadi tidak diperbolehkan.
Kalau begitu, si penjual jadi rugi waktu dong? Iya, bisnis itu memang harus siap untung siap rugi. Tidak boleh kita pasti untung dan orang lain yang merasakan kerugian.
Nah, ternyata sistem islam itu untuk melindungi semuanya, harus sama hak dan kewajiban antara si pembeli dan si penjual. Sama-sama bisa untung, sama-sama bisa rugi. Jadi kedudukan mereka setara. Bayangkan dengan sistem ribawi, kita sebagai pembeli ada pada posisi yang sangat lemah.
Nah, sudah lebih paham hikmahnya Alloh melarang RIBA?
Kalau menurut anda informasi ini akan bermanfaat untuk anda dan orang lain, silakan share status ini, untuk menebar kebaikan.
Dakwah anda hanya dengan meng-KLIK SHARE/BAGIKAN, maka anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share anda, dan juga jika dishare lagi anda akan mendapatkan pahala dari orang yang membaca dari share kawan anda.
Mungkin lebih tepatnya MULTI LEVEL PAHALA, Hehehe
Semoga bermanfaat
(copas dengan sedikit tambahan)
Saudaraku, cukup nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut sebagai wejangan bagi kita semua.
إِنَّكَ لَنْ تَدَعَ شَيْئاً لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ إِلاَّ بَدَّلَكَ اللَّهُ بِهِ مَا هُوَ خَيْرٌ لَكَ مِنْهُ
“Sesungguhnya jika engkau meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah akan memberi ganti padamu dengan sesuatu yang lebih baik.” (HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih)
Oleh
Ustadz Armen Halim Naro Lc
“Wahai guru, bagaimana kalau mengarang kitab tentang zuhud ?” ucap salah seorang murid kepada Imam Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani. Maka beliau menjawab : “Bukankah aku telah menulis kitab tentang jual-beli?”
Fenomena yang sering terjadi dewasa ini yaitu banyaknya orang salah persepsi dalam memandang hakikat ke-islaman seseorang. Seringkali seorang muslim memfokuskan keshalihan dan ketakwaannya pada masalah ibadah ritualnya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga diapun terlihat taat ke masjid, melakukan hal-hal yang sunat, seperti ; shalat, puasa sunat dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia terkadang mengabaikan masalah-masalah yang bekaitan dengan muamalah, akhlak dan jual-beli. Padahal Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan, agar sebagai muslim, kita harus kaffah. Sebagaimana kita muslim dalam mu’amalahnya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka seyogyanya juga harus muslim juga dalam mu’amalahnya dengan manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh)” [al-Baqarah/2: 208]
Oleh karenanya, dialog murid terkenal Imam Abu Hanifah tadi layak dicerna dan dipahami. Seringkali zuhud diterjemahkan dengan pakaian lusuh, makanan sederhana, atau dalam arti kening selalu mengkerut dam mata tertunduk, supaya terlihat sedang tafakkur. Akan tetapi, kalau sudah berhubungan dengan urusan manusia, maka dia tidak menghiraukan yang terlarang dan yang tercela.
Hutang-pihutang merupakan salah satu permasalahan yang layak dijadikan bahan kajian berkaitan dengan fenomena di atas. Hutang-pihutang merupakan persoalan fikih yang membahas permasalahan mu’amalat. Di dalam Al-Qur’an, ayat yang menerangkan permasalahan ini menjadi ayat yang terpanjang sekaligus bagian terpenting, yaitu dalam surat Al-Baqarah ayat 282. Demikian pentingnya masalah hutang-pihutang ini, dapat ditunjukkan dengan salah satu hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mau menshalatkan seseorang yang meninggal, tetapi masih mempunyai tanggungan hutang.
HUTANG HARUS DIPERSAKSIKAN
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ ۖ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli ; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian) maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah ; Allah mengajarmu ; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu” [al-Baqarah/2: 282]
Mengenai ayat ini, Ibnul Arabi rahimahullah di dalam kitab Ahkam-nya menyatakan : “Ayat ini adalah ayat yang agung dalam mu’amalah yang menerangkan beberapa point tentang yang halal dan haram. Ayat ini menjadi dasar dari semua permasalahan jual beli dan hal yang menyangkut cabang (fikih)” [1]
Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, ini merupakan petunjuk dariNya untuk hambaNya yang mukmin. Jika mereka bermu’amalah dengan transaksi non tunai, hendaklah ditulis, agar lebih terjaga jumlahnya dan waktunya dan lebih menguatkan saksi. Dan di ayat lain, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengingatkan salah satu ayat : “Hal itu lebih adil di sisi Allah dan memperkuat persaksian dan agar tidak mendatangkan keraguan” [2]
Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Maka tulislah …” maksudnya adalah tanda pembayaran untuk megingat-ingat ketika telah datang waktu pembayarannya, karena adanya kemungkinan alpa dan lalai antara transaksi, tenggang waktu pembayaran, dikarenakan lupa selalu menjadi kebiasaan manusia, sedangkan setan kadang-kadang mendorongnya untuk ingkar dan beberapa penghalang lainnya, seperti kematian dan yang lainnya. Oleh karena itu, disyari’atkan untuk melakukan pembukuan hutang dan mendatangkan saksi” [3]
“Maka tulislah…”, secara zhahir menunjukkan, bahwa dia menuliskannya dengan semua sifat yang dapat menjelaskannya di hadapan hakim, apabila suatu saat perkara hutang-pihutang ini diangkat kepadanya. [4]
BOLEHKAH BERHUTANG?
Tidak ada keraguan lagi bahwa menghutangkan harta kepada orang lain merupakan perbuatan terpuji yang dianjurkan syari’at,dan merupakan salah satu bentuk realisasi dari hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Baragsiapa yang melapangkan seorang mukmin dari kedurhakaan dunia, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melapangkan untuknya kedukaan akhirat”
Para ulama mengangkat permasalahan ini, dengan memperbandingkan keutamaan antara menghutangkan dengan bersedekah. Manakah yang lebih utama?
Sekalipun kedua hal tersebut dianjurkan oleh syari’at, akan tetapi dalam sudut kebutuhan yang dharurat, sesungguhnya orang yang berhutang selalu berada pada posisi terjepit dan terdesak, sehingga dia berhutang. Sehingga menghutangkan disebutkan lebih utama dari sedekah, karena seseorang yang diberikan pinjaman hutang, orang tersebut pasti membutuhkan. Adapun bersedekah, belum tentu yang menerimanya pada saat itu membutuhkannya.
Ibnu Majah meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau berkata kepada Jibril : “Kenapa hutang lebih utama dari sedekah?” Jibril menjawab, “Karena peminta, ketika dia meminta dia masih punya. Sedangkan orang yang berhutang, tidaklah mau berhutang, kecuali karena suatu kebutuhan”. Akan tetapi hadits ini dhaif, karena adanya Khalid bin Yazid Ad-Dimasyqi. [5]
Adapun hukum asal berhutang harta kepada orang lain adalah mubah, jika dilakukan sesuai tuntunan syari’at. Yang pantas disesalkan, saat sekarang ini orang-orang tidak lagi wara’ terhadap yang halal dan yang haram. Di antaranya, banyak yang mencari pinjaman bukan karena terdesak oleh kebutuhan, akan tetapi untuk memenuhi usaha dan bisnis yang menjajikan.
Hutang itu sendiri dapat dibagi menjadi dua bagian. Pertama, hutang baik. Yaitu hutang yang mengacu kepada aturan dan adab berhutang. Hutang baik inilah yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ; ketika wafat, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masih berhutang kepada seorang Yahudi dengna agunan baju perang. Kedua, hutang buruk. Yaitu hutang yang aturan dan adabnya didasari dengan niat dan tujuan yang tidak baik.
ETIKA BERHUTANG
1. Hutang tidak boleh mendatangkan keuntungan bagi si pemberi hutang.
Kaidah fikih berbunyi : “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba”. Hal ini terjadi jika salah satunya mensyaratkan atau menjanjikan penambahan. Sedangkan menambah setelah pembayaran merupakan tabi’at orang yang mulia, sifat asli orang dermawan dan akhlak orang yang mengerti membalas budi.
Syaikh Shalih Al-Fauzan –hafizhahullah- berkata : “Hendaklah diketahui, tambahan yang terlarang untuk mengambilnya dalam hutang adalah tambahan yang disyaratkan. (Misalnya), seperti seseorang mengatakan “saya beri anda hutang dengan syarat dikembalikan dengan tambahan sekian dan sekian, atau dengan syarat anda berikan rumah atau tokomu, atau anda hadiahkan kepadaku sesuatu”. Atau juga dengan tidak dilafadzkan, akan tetapi ada keinginan untuk ditambah atau mengharapkan tambahan, inilah yang terlarang, adapun jika yang berhutang menambahnya atas kemauan sendiri, atau karena dorongan darinya tanpa syarat dari yang berhutang ataupun berharap, maka tatkala itu, tidak terlarang mengambil tambahan. [6]
2. Kebaikan (seharusnya) dibalas dengan kebaikan
Itulah makna firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tertera dalam surat Ar-Rahman ayat 60, semestinya harus ada di benak para penghutang, Dia telah memperoleh kebaikan dari yang memberi pinjaman, maka seharusnya dia membalasnya dengan kebaikan yang setimpal atau lebih baik. Hal seperti ini, bukan saja dapat mempererat jalinan persaudaraan antara keduanya, tetapi juga memberi kebaikan kepada yang lain, yaitu yang sama membutuhkan seperti dirinya. Artinya, dengan pembayaran tersebut, saudaranya yang lain dapat merasakan pinjaman serupa.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata.
كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ الْإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ أَعْطُوهُ فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلَّا سِنًّا فَوْقَهَا فَقَالَ أَعْطُوهُ فَقَالَ أَوْفَيْتَنِي أَوْفَى اللَّهُ بِكَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu.orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata : “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala membalas dengan setimpal”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian” [7]
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu ia berkata.
أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ وَكَانَ لِي عَلَيْهِ دَيْنٌ فَقَضَانِي وَزَادَنِي
“Aku mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, sedangkan beliau mempunyai hutang kepadaku, lalu beliau membayarnya dan menambahkannya” [8]
3. Berhutang dengan niat baik
Jika seseorang berhutang dengan tujuan buruk, maka dia telah zhalim dan melakukan dosa. Diantara tujuan buruk tersebut seperti.
a. Berhutang untuk menutupi hutang yang tidak terbayar
b. Berhutang untuk sekedar bersenang-senang
c. Berhutang dengan niat meminta. Karena biasanya jika meminta tidak diberi, maka digunakan istilah hutang agar mau memberi.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
مَنْ أَخَذَ أَمْوَالَ النَّاسِ يُرِيدُ أَدَاءَهَا أَدَّى اللَّهُ عَنْهُ وَمَنْ أَخَذَ يُرِيدُ إِتْلَافَهَا أَتْلَفَهُ اللَّهُ
“Barangsiapa yang mengambil harta orang (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membinasakannya” [9]
Hadits ini hendaknya ditanamkan ke dalam diri sanubari yang berhutang, karena kenyataan sering membenarkan sabda Nabi diatas [10] Berapa banyak orang yang berhutang dengan niat dan azam untuk menunaikannya, sehingga Allah pun memudahkan baginya untuk melunasinya. Sebaliknya, ketika seseorang berazam pada dirinya, bahwa hutang yang dia peroleh dari seseorang tidak disertai dengan niat yang baik, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala membinasakan hidupnya dengan hutang tersebut. Allah Subhanahu wa Ta’ala melelahkan badannya dalam mencari, tetapi tidak kunjung dapat. Dan dia letihkan jiwanya karena memikirkan hutang tersebut. Kalau hal itu terjadi di dunia yang fana, bagaimana dengan akhirat yang baqa (kekal)?
4. Hutang tidak boleh disertai dengan jual beli
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia telah melarangnya, karena ditakutkan dari transaksi ini mengandung unsur riba. Seperti, seseorang meminjam pinjaman karena takut riba, maka kiranya dia jatuh pula ke dalam riba dengan melakuan transaksi jual beli kepada yang meminjamkan dengan harga lebih mahal dari biasanya.
5. Wajib memabayar hutang
Ini merupakan peringatan bagi orang yang berhutang. Semestinya memperhatikan kewajiban untuk melunasinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan agar kita menunaikan amanah. Hutang merupakan amanah di pundak penghutang yang baru tertunaikan (terlunaskan) dengan membayarnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
إِنَّ اللهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوْا اْلأَمَاناَتِ إِلىَ أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيْراً
” Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimnya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. [an-Nisa/4 : 58]
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah : “Sekalipun aku memiliki emas sebesar gunung Uhud, aku tidak akan senang jika tersisa lebih dari tiga hari, kecuali yang aku sisihkan untuk pembayaran hutang” [HR Bukhari no. 2390]
Orang yang menahan hutangnya padahal ia mampu membayarnya, maka orang tersebut berhak mendapat hukuman dan ancaman, diantaranya.
a. Berhak mendapat perlakuan keras.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu berkata. :
أَنَّ رَجُلًا تَقَاضَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَغْلَظَ لَهُ فَهَمَّ بِهِ أَصْحَابُهُ فَقَالَ دَعُوهُ فَإِنَّ لِصَاحِبِ الْحَقِّ مَقَالًا وَاشْتَرُوا لَهُ بَعِيرًا فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ وَقَالُوا لَا نَجِدُ إِلَّا أَفْضَلَ مِنْ سِنِّهِ قَالَ اشْتَرُوهُ فَأَعْطُوهُ إِيَّاهُ فَإِنَّ خَيْرَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً
“Seseorang menagih hutang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sampai dia mengucapkan kata-kata pedas. Maka para shahabat hendak memukulnya, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berkata, “Biarkan dia. Sesungguhnya si empunya hak berhak berucap. Belikan untuknya unta, kemudian serahkan kepadanya”. Mereka (para sahabat) berkata : “Kami tidak mendapatkan, kecuali yang lebih bagus dari untanya”. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Belikan untuknya, kemudian berikan kepadanya. Sesungguhnya sebaik-baik kalian ialah yang paling baik dalam pembayaran” [11]
Imam Dzahabi mengkatagorikan penundaan pembayaran hutang oleh orang yang mampu sebagai dosa besar dalam kitab Al-Kabair pada dosa besar no. 20
b. Berhak dighibah (digunjing) dan diberi pidana penjara.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah.:
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْم
“Menunda (pembayaran) bagi orang yang mampu merupakan suatu kezhaliman” [12]
Dalam riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda. :
لَيُّ الوَاجِدِ يَحِلُّ عُقُوْبَتَه ُوَعِرْضه
“Menunda pembayaran bagi yang mampu membayar, (ia) halal untuk dihukum dan (juga) keehormatannya”.
Sufyan Ats-Tsauri berkata, “Halal kehormatannya ialah dengan mengatakan ‘engkau telah menunda pebayaran’ dan menghukum dengan memenjarakannya” [13]
c.. Hartanya berhak disita
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ أَوْ إِنْسَانٍ قَدْ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ
“Barangsiapa yang mendapatkan hartanya pada orang yang telah bangkrut, maka dia lebih berhak dengan harta tersebut dari yang lainnya” [14]
d. Berhak di-hajr (dilarang melakukan transaksi apapun).
Jika seseorang dinyatakan pailit dan hutangnya tidak bisa ditutupi oleh hartanya, maka orang tersebut tidak diperkenankan melakukan transaksi apapun, kecuali dalam hal yang ringan (sepele) saja.
Hasan berkata, “Jika nyata seseorang itu bangkrut, maka tidak boleh memerdekakan, menjual atau membeli” [15]
Bahkan Dawud berkata, “Barangsiapa yang mempunyai hutang, maka dia tidak diperkenankan memerdekakan budak dan bersedekah. Jika hal itu dilakukan, maka dikembalikan” [16]
Kemungkinan –wallahu a’lam- dalam hal ini, hutang yang dia tidak sanggup lagi melunasinya.
6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak yang menghutangkan.
Janganlah berdiam diri atau lari dari si pemberi pinjaman, karena akan memperparah keadaan, dan merubah hutang, yang awalnya sebagai wujud kasih sayang, berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
7. Berusaha mencari solusi sebelum berhutang, dan usahakan hutang merupakan solusi terakhir setelah semuanya terbentur.
8. Menggunakan uang dengan sebaik mungkin. Menyadari, bahwa pinjaman merupakan amanah yang harus dia kembalikan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
عَلَى الْيَدِ مَا أَخَذَتْ حَتَّى تُؤَدِّيَ
“Tangan bertanggung jawab atas semua yang diambilnya, hingga dia menunaikannya” [17]
9. Pelimpahan hutang kepada yang lain diperbolehkan dan tidak boleh ditolak
Jika seseorang tidak sanggup melunasi hutangnya, lalu dia melimpahkan kepada seseorang yang mampu melunasinya, maka yang menghutangkan harus menagihnya kepada orang yang ditunjukkan, sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, telah bersabda Rasulullah :
مَطْلُ الْغَنِيِّ ظُلْمٌ وَمَنْ أُتْبِعَ عَلَى مَلِيٍّ فَلْيَتَّبِعْ
“Menunda pembayaran bagi roang yang mampu merupakan suatu kezhaliman. Barangsiapa yang (hutangnya) dilimpahkan kepada seseorang, maka hendaklah dia menurutinya. [18]
10. Diperbolehkan bagi yang berhutang untuk mengajukan pemutihan atas hutangnya atau pengurangan, dan juga mencari perantara (syafa’at) untuk memohonnya.
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata : (Ayahku) Abdullah meninggal dan dia meninggalkan banyak anak dan hutang. Maka aku memohon kepada pemilik hutang agar mereka mau mengurangi jumlah hutangnya, akan tetapi mereka enggan. Akupun mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta syafaat (bantuan) kepada mereka. (Namun) merekapun tidak mau. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Pisahkan kormamu sesuai dengan jenisnya. Tandan Ibnu Zaid satu kelompok. Yang lembut satu kelompok, dan Ajwa satu kelompok, lalu datangkan kepadaku. (Maka) akupun melakukannya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun datang lalu duduk dan menimbang setiap mereka sampai lunas, dan kurma masih tersisa seperti tidak disentuh. [19]
BAGI YANG MENGHUTANGKAN AGAR MEMBERI KERINGANAN KEPADA YANG BERHUTANG
Pemberian pinjaman pada dasarnya dilandasi karena rasa belas kasihan dari yang menghutangkan. Oleh karena itu, hendaklah orientasi pemberian pinjamannya tersebut didasarkan hal tersebut, dari awal hingga waktu pembayaran. Oleh karenanya, Islam tidak membenarkan tujuan yang sangat baik ini dikotori dengan mengambil keuntungan dibalik kesusahan yang berhutang.
Di antara yang dapat dilakukan oleh yang menghutangkan kepada yang berhutang ialah.
1. Memberi keringanan dalam jumlah pembayaran
Misalnya, dengan uang satu juta rupiah yang dipinjamkannya tersebut, dia dapat beramal dengan kebaikan berikutnya, seperti meringankan pembayaran si penghutang, atau dengan boleh membayarnya dengan jumlah di bawah satu juta rupiah, atau bisa juga mengizinkan pembayarannya dilakukan dengan cara mengangsur, sehingga si penghutang merasa lebih ringan bebannya.
2. Memberi keringanan dalam hal jatuh tempo pembayaran
Si pemberi pinjaman dapat pula berbuat baik degan memberi kelonggaran waktu pembayaran, sampai si penghutang betul-betul sudah mampu melunasi hutangnya.
Dari Hudzaifah Radhyallahu ‘anhu, ia berkata, aku mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Suatu hari ada seseorang meninggal. Dikatakan kepadanya (mayit di akhirar nanti). Apa yang engkau perbuat? Dia menjawab. :
كُنْتُ أُبَايِعُ النَّاسَ فَأَتَجَوَّزُ عَنْ الْمُوسِرِ وَأُخَفِّفُ عَنْ الْمُعْسِرِ فَغُفِرَ لَهُ
“Aku melakukan transaksi, lalu aku menerima ala kadarnya bagi yang mampu membayar (hutang) dan meringankan bagi orang yang dalam kesulitan. Maka dia diampuni (oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala)”. [20]
3. Pemberi pinjaman menghalalkan hutang tersebut, dengan cara membebaskan hutang, sehingga si penghutang tidak perlu melunasi pinjamannya.
Beginilah kebiasaan yang sering dilakukan oleh Salafush ash-Shalih. Jika mereka ingin memberi pemberian, maka mereka melakukan transaksi jual beli terlebih dahulu, kemudian dia berikan barang dan harganya atau dia pinjamkan, kemudian dia halalkan, agar mereka mendapatkan dua kebahagian dan akan menambah pahala bagi yang memberi.
Sebagai contoh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membeli onta dari Jabir bin Abdullah dengan harga yang cukup mahal. Setibanya di Madinah, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan uang pembayaran dan menghadiahakn onta yang telah dibeli tersebut kepada Jabir.
Contoh kedua, Thalhah berhutang kepada Utsman sebanyak lima puluh ribu dirham. Lalu dia keluar menuju masjid dan bertemu dengan Utsman. Thalhah berkata, “Uangmu telah cukup, maka ambillah!”. Namun Utsman menjawab : “Dia untukmu, wahai Abu Muhammad, sebab engkau menjaga muruah (martabat)mu”.
Suatu hari Qais bin Saad bin Ubadah Radhiyallahu ‘anhu merasa bahwa saudara-saudaranya terlambat menjenguknya, lalu dikatakan keadannya : “Mereka malu dengan hutangnya kepadamu”, dia (Qais) pun menjawab, “Celakalah harta, dapat menghalangi saudara untuk menjenguk saudaranya!”, Kemudian dia memerintahkan agar mengumumkan : “Barangsiapa yang mempunyai hutang kepada Qais, maka dia telah lunas”. Sore harinya jenjang rumahnya patah, karena banyaknya orang yang menjenguk. [21]
Sebagai akhir tulisan ini, kita bisa memahami, bahwa Islam menginginkan kaum Muslimin menciptakan kebahagian pada kenyataan hidup mereka dengan mengamalkan Islam secara kaffah dan tidak setengah-setengah. Dalam permasalahan hutang, idealnya orang yang kaya selalu demawan menginfakkan harta Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dititipkan kepadanya kepada jalan-jalan kebaikan. Di sisi lain, seorang yang fakir, hendaklah hidup dengan qana’ah dan ridha dengan apa yang telah ditentukan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuknya.
Semoga kita semua dijauhkan olehNya dari lilitan hutang, dianugerahkanNya ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan rizqi yang halal dan baik.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun IX/1426H/2005M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Jl. Solo-Puwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183, Telp. 0271-761016]
_______
Footnote.
[1]. Ahkamul Qur’an, Ibnul Arabi, Beirut, Darul Ma’rifah, 1/247
[2]. Tafsir Quranil Azhim, 3/316
[3]. Ahkamul Qur’an, Ibnu Katsir, Madinah, Maktabah Jami’ Ulum wal Hikam, 1993, 1/247
[4]. Ibid
[5]. Sunan Ibnu Majah, no. 2431
[6]. Al-Mulakhkhashul Fiqhi, Shalih Al-Fauzan, KSA, Dar Ibnil Jauzi, Cet.IV, 1416-1995, hal. 2/51
[7]. Shahih Bukhari, kitab Al-Wakalah, no. 2305
[8]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2394
[9]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istiqradh, no. 2387
[10]. Lihat Fathul Bari (5/54)
[11]. Shahih Bukhari, kitab Al-Istqradh, no. 2390
[12]. Ibid, no. 2400, akan tetapi lafazhnya dikeluarkan oleh Abu Dawud, kitab Al-Aqdhiah, no. 3628 dan Ibnu Majah, bab Al-Habs fiddin wal Mulazamah, no. 2427
[13]. Ibid, no. 2401
[14]. Ibid, no. 2402
[15]. Fathul Bari (5/62)
[16]. Ibid (5/54)
[17}. HR Abu Dawud, Al-Buyu, Tirmidzi, Al-buyu dan lain-lain
[18]. HR Bukhari, Al-Hawalah, no. 2288
[19]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2405
[20]. HR Bukhari, Al-Istiqradh, no. 2391
[21].Mukhtashar Minhajul Qashidin, Ibnu Qudamah, Tahqiq Ali Hasan bin Abdul Hamid, Oman, Dar Ammar, cet II, 1415-1994 hal. 262-263
Sumber: https://almanhaj.or.id/2716-adab-berhutang.html
#JOB-VACANCY
#LOWONGAN-KERJA
Bismillah,
Kami dari Koperasi Syariah Arrahmah Kalsel (kopsyaharrahmah.co.id – investasi halal kredit bebas riba) mengajak kepada muslimin muda yang ingin bekerja dan berta’awun/tolong-menolong dalam kebaikan.
Kami membuka kesempatan untuk bergabung bersama kami untuk penempatan Banjarmasin & Barabai dengan posisi :
1. Admin & Purchasing (Banjarmasin)
Kualifikasi yang diperlukan :
Berpengalaman di bidang purchasing diutamakan
2. Collection (Banjarmasin)
Kualifikasi yang diperlukan :
Memiliki pengalaman di bidang kolektor/penagihan diutamakan
Memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik
3. Staff Penjualan Retail (Banjarmasin)
Kualifikasi yang diperlukan :
Memiliki sim C
Berpengalaman di bidang penjualan produk barang diutamakan
4. Marketing Officer (Barabai)
Memiliki sim C
Berpengalaman di marketing / penjualan produk barang
Memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan baik
Kualifikasi Umum :
>>Laki-laki
>>Usia maksimal 30 tahun
>>Pendidikan minimal D3
>>Muslim tertib dan taat sholat 5 waktu berjamaah
>>Mampu mengoperasikan komputer dan aplikasi office serta internet
>>Jujur dan amanah
>>Tidak merokok dan tidak suka musik
>>Memiliki pemahaman tentang ekonomi syariah
>>Sanggup bekerja keras
>>Sanggup bekerjasama dalam tim dan sendiri
>>Diutamakan yang Berdomisili di Banjarmasin & Barabai
>>Utk yang ber-status single, jika memenuhi syarat, boleh tinggal di mess Kantor koperasi Banjarmasin
Jika antum memiliki kriteria seperti diatas, silahkan kirim email surat lamaran ke ksarrahmah@gmail.com disertai biodata & curiculum vitae dengan subject :
Lowongan Kerja – Posisi yang diinginkan
atau bisa langsung datang mengantar surat lamaran ke kantor kami dengan menuliskan posisi yang diinginkan pada amplop.
Alamat Koperasi Syariah Arrahmah
Kantor : Jl. Arjuna 4 no.20 Komplek Bumi Pemurus Permai, Kel. Pemurus Dalam samping Masjid Al-Ummah, Banjarmasin Telp. 0511 6743099
Informasi lengkap kunjungi website kami : http://www.kopsyaharrahmah.co.id
Lowongan Kerja ini kami tutup tanggal 31 Juli 2016.
Silahkan disebarkan agar bermanfaat bagi kaum muslimin yang membutuhkan.
Jazakumullohu khairan.
Barakallohu fiikum.
#JOB-VACANCY
#LOWONGAN-KERJA
Aksi musiman yang biasa dilakukan sebagian kaum muslimin menjelang ramadhan adalah membuka jasa tukar uang. Dengan alasan ekonomi dan mencari tambahan penghasilan, mereka akhirnya dapat terjebak transaksi yang bisa menjerumuskan mereka dalam dosa riba. Walhasil, niat baik yg ingin dilakukan dapat berujung pada dosa akibat ketidakpahaman tentang bagaimana hukum tukar menukar uang yang padanya terdapat lebih, meskipun beralasan jasa.
Anda yang mungkin biasanya menggunakan jasa tersebut, maka sebaiknya berhati-hati juga karena akan ikut terperangkap dalam dosa riba karena ketiada berilmu anda tentang hukum transaksi tukar menukar uang tersebut.
Islam sangat jelas melarang tambahan pada tukar menukar uang yang sejenis. Silahkan simak artikel dibawah sehingga anda paham kenapa jika anda terlibat dalam kegiatan tukar menukar uang tersebut, anda bisa terperangkap jebakan riba.Semoga bermanfaat.
=====================
Penukaran Uang Lebaran
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Allah mengingatkan kepada orang yang beriman, agar setiap kali terjadi benturan antara aturan syariat dengan tradisi, mereka harus mengedepankan aturan syariat.
Alah berfirman,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. an-Nisa: 65).
Dalam ilmu hukum, kita diajarkan, jika hukum yang lebih rendah bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi, maka hukum yang lebih tinggi harus dikedepankan.
Hukum syariat datang dari Allah, sementara hukum tradisi buatan manusia. Secara usia, di tempat kita, hukum syariat lebih tua, dia ditetapkan 14 abad silam. Sementara tradisi, umumnya datang jauh setelah itu.
Secara hierarki, hukum syariat jauh lebih tinggi. Karena Allah yang menetapkan.

Karena itulah, tradisi yang melanggar syariat, tidak boleh dipertahankan. Sekalipun itu tradisi pribumi.
Tukar-menukar Uang
Dalam kajian ekonomi islam, kita diperkenalkan dengan istilah barang ribawi (ashnaf ribawiyah). Dan barang ribawi itu ada 6: emas, perak, gandum halus, gandum kasar, kurma, dan garam.
Keenam benda ribawi ini disebutkan dalam hadis dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
“Jika emas dibarter dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum bur (gandum halus) ditukar dengan gandum bur, gandum syair (kasar) ditukar dengan gandum syair, korma ditukar dengan korma, garam dibarter dengan garam, maka takarannya harus sama dan tunai. Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai” (HR. Muslim 4147).
Dalam riwayat lain, Dari Abu Said al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Jika emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak, gandum ditukar dengan gandum, sya’ir (gandum kasar) ditukar dengan sya’ir, kurma ditukar dengan kurma, dan garam ditukar dengan garam, takaran atau timbangan harus sama dan dibayar tunai. Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.” (HR. Ahmad 11466 & Muslim 4148)
Juga disebutkan dalam riwayat dari Ma’mar bi Abdillah radhiyallahu ‘anhu, beliau mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
«الطَّعَامُ بِالطَّعَامِ مِثْلاً بِمِثْلٍ ». قَالَ وَكَانَ طَعَامُنَا يَوْمَئِذٍ الشَّعِيرَ.
“Jika makanan dibarter dengan makanan maka takarannya harus sama”. Ma’mar mengatakan,
“Makanan pokok kami di masa itu adalah gandum syair” (HR. Muslim 4164).
Berdasarkan hadis di atas,
Dari keenam benda ribawi di atas, ulama sepakat, barang ribawi dibagi 2 kelompok:
[1] Kelompok 1:
Emas dan Perak. Diqiyaskan dengan kelomok pertama adalah mata uang dan semua alat tukar. Seperti uang kartal di zaman kita.
[2] Kelompok 2:
Bur, Sya’ir, Kurma, & Garam. Diqiyaskan dengan kelompok kedua adalah semua bahan makanan yang bisa disimpan (al-qut al-muddakhar). Seperti beras, jagung, atau thiwul.
Aturan Baku yang Berlaku
Dari hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan ketentuan
Pertama, Jika tukar menukar itu dilakukan untuk barang yang sejenis,
Ada 2 syarat yang harus dipenuhi, wajib sama dan tunai. Misalnya: emas dengan emas, perak dengan perak, rupiah dengan rupiah, atau kurma jenis A dengan kurma jenis B, dst. dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan, harus
مِثْلاً بِمِثْلٍ سَوَاءً بِسَوَاءٍ يَدًا بِيَدٍ
takarannya harus sama, ukurannya sama dan dari tangan ke tangan (tunai).
Dan jika dalam transaksi itu ada kelebihan, statusnya riba. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”
Kedua, jika barter dilakukan antar barang yang berbeda, namun masih satu kelompok, syaratnya satu: wajib tunai. Misal: Emas dengan perak. Boleh beda berat, tapi wajib tunai. Termasuk rupiah dengan dolar. Sama-sama mata uang, tapi beda nilainya. Boleh dilakukan tapi harus tunai.
Dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ
Jika benda yang dibarterkan berbeda maka takarannya boleh sesuka hati kalian asalkan tunai”
Terdapat kaidah,
إذا بيع ربوي بجنسه وجب التماثل والتقابض، وبغير جنسه وجب التقابض فقط
Apabila barang ribawi ditukar dengan yang sejenis, wajib sama dan tunai. Dan jika ditukar dengan yang tidak sejenis, wajib tunai.
Ketiga, jika barter dilakukan untuk benda yang beda kelompok. Tidak ada aturan khusus untuk ini. Sehingga boleh tidak sama dan boleh tidak tunai. Misalnya, jual beli beras dengan dibayar uang atau jual beli garam dibayar dengan uang. Semua boleh terhutang selama saling ridha.
Tukar Menukar Uang Receh
Tukar menukar uang receh yang menjadi tradisi di masyarakat kita, dan di situ ada kelebihan, termasuk riba. Rp 100rb ditukar dengan pecahan Rp 5rb, dengan selisih 10rb atau ada tambahannya. Ini termasuk transaksi riba. Karena berarti tidak sama, meskipun dilakukan secara tunai.
Karena rupiah yang ditukar dengan rupiah, tergolong tukar menukar yang sejenis, syaratnya 2: sama nilai dan tunai. Jika ada tambahan, hukumnya riba.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan,
فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى الآخِذُ وَالْمُعْطِى فِيهِ سَوَاءٌ
“Siapa menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan transaksi riba. Baik yang mengambil maupun yang memberinya sama-sama berada dalam dosa.”
Riba tetap Riba, sekalipun Saling Ridha
Bagaimana jika itu dilakukan saling ridha? Bukankah jika saling ridha menjadi diperbolehkan. Karena yang dilarang jika ada yang terpaksa dan tidak saling ridha.
Dalam transaksi haram, sekalipun pelakunya saling ridha dan ikhlas, tidak mengubah hukum. Karena transaksi ini diharamkan bukan semata terkait hak orang lain. Tapi dia diharamkan karena melanggar aturan syariat.
Orang yang melakukan transaksi riba, sekalipun saling ridha, tetap dilarang dan nilainya dosa besar.
Transaksi jual beli khamr atau narkoba, hukumnya haram, sekalipun pelaku transaksi saling ridha.
Bagaimana dengan firman Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan saling ridha di antara kalian.” (QS. an-Nisa: 29)
Jawab:
Ayat ini kita yakini benar. aturannya juga benar. Namun Saling ridha yang menjadi syarat halal transaksi yang disebutkan dalam ayat ini, berlaku hanya untuk transaksi yang haram. Seperti jual beli barang dan jasa. Sementara trasaksi haram, seperti riba, tidak berlaku ketentuan saling ridha. Karena semata saling ridha, tidak mengubah hukum.
Itu Upah Penukaran Uang
Ada yang beralasan, kelebihan itu sebagai upah karena dia telah menukarkan uang di bank. Dia harus ngantri, harus bawa modal, dst. jadi layak dapat upah.
Jelas ini alasan yang tidak benar. Karena yang terjadi bukan mempekerjakan orang untuk nukar uang di bank. tapi yang terjadi adalah transaksi uang dengan uang. Dan bukan upah penukaran uang. Upah itu ukurannya volume kerja, bukan nominal uang yang ditukar.
Misalnya, Pak Bos meminta Paijo menukarkan sejumlah uang ke bank. Karena tugas ini, Paijo diupah Rp 50 rb. Kita bisa memastikan, baik Pak Bos menyerahkan uang 1 juta untuk ditukar atau 2 juta, atau 3 juta, upah yang diserahkan ke Paijo tetap 50 rb. Karena upah berdasarkan volume kerja Paijo, menukarkan uang ini ke bank dalam sekali waktu.
Sementara kasus tukar menukar ini niainya flat, setiap 100rb, harus ada kelebihan 10rb atau 5rb. Ini transaksi riba, dan bukan upah.
Sayangi Pahala Puasa Anda
Riba termasuk salah satu dosa besar. Bahkan salah satu dosa yang diancam dengan perang oleh Allah.
Allah berfiman,
فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ
Jika kalian tidak meninggalkan riba, maka umumkan untuk berperang dengan Allah dan Rasul-Nya (al-Baqarah: 279)
Ibnu Abbas menjelaskan ayat ini,
يُقَالُ يَومَ القِيَامَةِ لِآكلِ الرِّبَا: خُذْ سِلَاحَكَ لِلحَرْبِ
Besok di hari kiamat para pemakan riba akan dipanggil, “Ambil senjatamu, untuk perang!” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/716)
Dalam hadis, dosa riba disetarakan seperti berzina dengan ibunya
Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرِّبَا ثَلَاثَةٌ وَسَبعُونَ بَابًا أَيسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّه
Riba itu ada 73 pintu. Pintu riba yang paling ringan, seperti seorang lelaki yang berzina dengan ibunya. (HR. Hakim 2259 dan dishahihkan ad-Dzahabi).
Karena itulah, para salaf menyebut dosa riba lebih parah dari pada zina,
Ada pernyataan Ka’ab al-Ahbar,
دِرْهَمُ رِبًا يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً
Satu dirham riba yang dimakan seseorang, sementara dia tahu, lebih buruk dari pada 36 kali berzina. (HR. Ahmad 21957, dan ad-Daruquthni 2880)
Sementara dosa dan maksiat adalah sumber terbesar kegagalan puasa manusia. Dosa merupakan sebab pahala yang kita miliki berguguran. Ketika ramadhan kita penuh dengan dosa, puasa kita menjadi sangat tidak bermutu. Bahkan sampai Allah tidak butuh dengan ibadah puasa yang kita kerjakan.
Semacam inilah yang pernah diingatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis shahih riwayat Bukhari dan yang lainnya, dari sahabat Abu Hurairah radliallahu ‘anhu, bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Siapa yang tidak meninggalkan ucapan dusta, dan semua perbuatan dosa, maka Allah tidak butuh dengan amalnya (berupa) meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari 1903)
Ketika ada orang yang berzina di malam ramadhan, apa yang bisa dibayangkan dengan nasib puasanya?
Bisa jadi hilang semua pahalanya.
Apa yang bisa anda bayangkan, ketika orang melakukan transaksi riba, yang dosanya lebih sangar dari pada zina, dilakukan terang-terangan di siang bolong ramadhan?
Ditulis oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)
Ustadz Ammi Nur Baits Beliau adalah Alumni Madinah International University, Jurusan Fiqh dan Ushul Fiqh. Saat ini, beliau aktif sebagai Dewan Pembina website PengusahaMuslim.com, KonsultasiSyariah.com, dan Yufid.TV, serta mengasuh pengajian di beberapa masjid di sekitar kampus UGM.
# Solusi Tukar Uang Receh Agar Tidak Menjadi Riba
Telah kami bahas sebelumnya bahwa:
“Jual beli uang receh adalah riba” [1]
Jual beli receh dengan menukar 1000 rupiah sebanyak 100 (senilai dengan 100 ribu) dengan harga 120 ribu misalnya. Maka ada nilai lebih pada benda ribawi yaitu mata uang.
Solusinya adalah dengan dua kali transaksi:
1) Nilai uang yang ditukar harus sama
misalnya pecahan Rp. 1000 sebanyak 100 lembar dengan Rp. 100.000
2) Kemudian dengan transaksi yang BERBEDA ia diberi upah (misalnya 5 ribu) atas jasanya
3) Upah ini HARUS sama untuk semua transaksi (misalnya flat Rp. 5.000)
TIDAK BOLEH misalnya:
Tukar pecahan Rp. 100.000 (upahnya 10 ribu)
tukar pecahan RP. 50.000 (upahnya jadi 5 ribu)
Mengapa?
Karena ini bisa menjadi “hiilah” (akal-akalan) dan transaksi pertama MASIH berhubungan dengan transaksi kedua
Memberi upah adalah hal yang ditetapkan syariat, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ﺃَﻋْﻄُﻮﺍ ﺍﻷَﺟِﻴﺮَ ﺃَﺟْﺮَﻩُ ﻗَﺒْﻞَ ﺃَﻥْ ﻳَﺠِﻒَّ ﻋَﺮَﻗُﻪُ
“Berikan kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering .”[2]
NOTE:
-Amannya tukar di bank yang senilai
-Ini solusi bagi saudara kita yang mencari nafkah dengan cara ini, agar tidak terjerumus dalam riba
Penyusun: Raehanul Bahraen
Artikel www.muslimafiyah.com
InsyaAllah koperasi syariah arrahmah akan membuka jasa penukaran uang tanpa upah / tambahan sebagai bentuk sosialisasi wujud jasa penukaran uang yang selamat dari dosa riba. Dan insya Allah akan dilakukan tanggal 26 & 27 Ramadhan 1437 H atau bertepatan dengan tanggal 1 dan 2 Juli 2016.
Semogatulisan ini bermanfaat.
Barakallahu fiykum
Beberapa kawan bertanya, koperasi syariah Arrahmah kok MAHAL, kenapa kalau mau menolong ummat KOK MAHAL ?
Baiklah, ini diantara pertanyaan yang sering masuk dan ditanyakan kepada kami.
Kredit melalui Koperasi Syariah Arrahmah tetap lebih murah insya Allah. SIlahkan anda bandingkan sendiri dengan pembiayaan semisal ADIxx, Fxx, OTx Finance, dll, insya Allah kami lebih murah plus kami punya keunggulan-keunggulan lainnya.
Silahkan simak juga jawaban kami berikut ini :
1. Koperasi Syariah Arrahmah adalah badan usaha komersial, bukan sosial murni, sehingga anggota yang mau kredit diharapkan hanyalah anggota yang mampu dan memang memiliki kemampuan untuk membayar utang nantinya.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Sesungguhnya seseorang apabila berhutang, maka dia sering berkata lantas berdusta, dan berjanji lantas memungkiri.” (HR. Bukhari).
2. Koperasi Syariah Arrahmah tidak pernah mengajak orang berhutang tapi diharapkan menjadi koperasi Syariah Arrahmah bisa menjadi SOLUSI KREDIT HALAL BEBAS RIBA bagi kaum muslimin.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
الرِبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا أيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرُّجُلُ أُمَّهُ وَإِنْ أَرْبَى الرِّبَا عِرْضُ الرَّجُلِ الْمُسْلِمِ
“Riba itu ada 73 pintu (dosa). Yang paling ringan adalah semisal dosa seseorang yang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Al Hakim dan Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa Hadits ini shahih dilihat dari jalur lainnya).
Sejarah berdirinya koperasi syariah arrahmah adalah karena ketika para ustadz, tuan guru, kyai telah menyampaikan dosa dan bahaya riba, namun mereka belum bisa memberikan solusi jalan keluarnya, sehingga dengan bimbingan dan fatwa mereka, koperasi ini
berhasil didirikan.
3. Modal Koperasi Syariah Arrahmah saat ini semuanya berasal dari anggota dan masih terbatas, disimpan sebagai investasi dan diberikan ke anggota dalam bentuk bagi hasil SHU yang diharapkan bagi hasil yang diberikan dapat bersaing atau bahkan lebih tinggi daripada yang diberikan oleh deposito perbankan.
4. Koperasi juga diharapkan memperoleh keuntungan yang cukup sehingga bisa meningkatkan kesejahtera karyawan dan pengurus, serta semua unsur anggota yg bekerja dan terlibat di dalamnya.
5. Koperasi Syariah Arrahmah diharapkan bisa berdiri jangka panjang dan berkembang, jikalau terlalu murah, maka akan sulit bertahan utk jangka panjang.
6. Koperasi Syariah Arrahmah tidak pernah menerapkan denda keterlambatan dari sejak berdiri hingga sekarang. Silahkan bandingkan dengan unit leasing/finance/pembiayaan yang jika nasabahnya terlambat, selain denda yang terus berjalan, maka yang akan berkunjung ke rumah adalah debt collector yang akan menarik/mengambil barang anda secara paksa tanpa ada unsur keadilan sama sekali.
7. Silahkan jika anda mau survey membuat perbandingan, kalau ada unit leasing/pembiayaan lain lebih murah dari kopsyaharrahmah, maka koperasi syariah Arrahmah siap nego lebih murah insya Allah. Tentunya survey tersebut harus dilengkapi dengan bukti yang lengkap dan insya Allah koperasi syariah Arrahmah akan kembali pada prinsip awal sejak didirikan, menjadi solusi kredit halal bebas riba dan termurah dari harga pasar.
Demikianlah penjelasan kami.
Insya Allah harga pada Koperasi Syariah Arrahmah tidak mahal jika dibandingkan dengan lembaga leasing/finance/pembiayaan lainnya.
Semoga bisa bermanfaat juga bagi koperasi lain yang ingin meniru kebijakan pada koperasi kami.
Barakallahu fiykum.
Alhamdulillah,
Beberapa waktu lalu, koperasi syariah Arrahmah yang diwakili oleh marketing representative officer Muhammad Ihsan telah melakukan sosialisasi sekaligus edukasi investasi halal dan kredit bebas riba di depan PNS Kantor Kecamatan Banjarmasin Timur pada hari Jumat tanggal 27 Mei 2016 dan bersama ibu-ibu RT di aula Kelurahan Pemurus Dalam Banjarmasin Selatan pada hari Jumat tanggal 3 Juni 2016. Peserta sosialisasi cukup antusias saat menyimak materi yang disampaikan oleh karyawan koperasi syariah Arrahmah akhi Muhammad Ihsan .
Kegiatan ini kami lakukan tidak lain dan tidak bukan adalah dalam dalam rangka untuk menyampaikan kepada masyarakat mengenai bahaya dosa riba yang sangat besar, namun karena minimnya pengetahuan mereka tentang riba mengakibatkan mereka banyak yang terjerumus dalam transaksi yang berbahaya ini.
Firman Allah subhanahu wata’ala,
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Rabbnya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Dan barang siapa yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya”. (QS. Al-Baqarah:275)
“Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa”. (QS. Al-Baqarah:276)
“Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya”. (QS. Al-Baqarah:279)
Rasulullah shallahu ‘alahi wasallam juga bersabda, “Jauhilah tujuh dosa besar yang membawa kepada kehancuran,” lalu beliau sebutkan salah satunya adalah memakan riba. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Dalam hadits yang lain Nabi shallahu ‘alahi wasallam mengancam pelaku riba dengan lebih tegas, beliau bersabda,
“Dosa riba memiliki 72 pintu, dan yang paling ringan adalah seperti seseorang berzina dengan ibu kandungnya sendiri.” (Shahih, Silsilah Shahihah no.1871)
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Hakim dan dishahihkan oleh beliau sendiri, dijelaskan, “Bahwa satu dirham dari hasil riba jauh lebih besar dosanya daripada berzina 33 kali”.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh imam Ahmad dengan sanad yang shahih dijelaskan, “Satu dirham yang dimakan oleh seseorang dari hasil riba dan dia paham bahwa itu adalah hasil riba maka lebih besar dosanya daripada berzina 36 kali”
Demikianlah penjelasan quran dan hadits shahih dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam mengenai dosa riba yang sungguh mengerikan, dan mungkin tidak terbayangkan bahwa saat ini banyak diantara kita, saudara kita, keluarga kita, sahabat dan teman-teman kita yang sudah terjerumus dan terlanjur terjebak didalamnya.
Alhamdulillah, bagi warga Kalimantan Selatan, kini sudah ada solusinya. Koperasi Syariah Arrahmah insya Allah telah berkomitmen untuk menjadi solusi investasi halal dan kredit bebas riba.
Bagi kaum muslimin lainnya yang ingin dikunjungi dan menyimak sosialisasi dan edukasi dari koperasi syariah arrahmah, penjelasan detail mengenai company profile koperasi yang komit diatas jalan syariah, insya Allah menjadi solusi investasi halal dan kredit bebas riba, maka bisa menghubungi kantor kami :
Jl. Arjuna IV no. 20 Kel. Pemurus Dalam, Depan Masjid Al-Ummah, Banjarmasin, Kalsel,
– Telp/Fax. 0511 3277000
– Telp. 0511 678 3099
– Hp. +62 821 4838 0991
Email : info@kopsyaharrahmah.co.id
Hari kerja : Senin s.d Sabtu
Jam kerja : 08.30 s.d 16.30 wita
Waktu sholat fardhu 5 waktu TUTUP
Atau bisa juga langsung menghubungi
Marketing Represetative Officer Koperasi Syariah Arrahmah
Muhammad Ihsan – 0813 4834 8481
Insya Allah kami siap berkunjung ke instansi / perusahaan / lembaga / rumah Bapak/Ibu/Saudara(i).
Salah satu diantara perbedaan antara Koperasi Syariah Arrahmah dan yang sejenis dengan kami dibandingkan dengan koperasi konvensional dan koperasi yang hanya berlabel syariah namun kenyataannya mereka bertransaksi riba adalah koperasi syariah Arrahmah hanya melakukan transaksi jual beli (barang), adapun yang terjadi pada tetangga umumnya adalah transaksi utang piutang berbunga alias riba. Mengapa demikian ?
Menurut Jumhur Ulama, rukun jual beli ada empat :
- Orang yang berakad (Penjual dan pembeli)
- Sighat (lafal ijab dan kabul)
- Benda-benda yang diperjual belikan
- Ada nilai tukar pengganti barang.
Alhamdulillah, keempat rukun tersebut diatas dipenuhi koperasi syariah arrahmah, namun sebaliknya, koperasi tetangga yang tidak memenuhi salah satu dari keempat rukun tersebut, akhirnya mereka terjebak dalam transaksi utang piutang, yang mengakibatkan mereka terjerumus dalam riba karena pada utang piutangnya terdapat keuntungan.
Dalam Al Qur’an dan sudah sangat jelas sekali bahwa Allah berfirman :
“… Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba…” (QS.Al-baqarah:275)
“ Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…”(QS.Al-baqarah:198)
“…kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu”. (QS.An-nisa:29)
“… dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli “(QS.Al-Baqarah:282)
Dalam sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa salam disebutkan:
“Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa salam pernah ditanya: apakah profesi yang paling baik? Rasulullah menjawab: “usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual-beli yang diberkati”. (HR. Al-Barzaar dan Al-Hakim)
DIbawah ini ada artikel menarik yang membahas panjang lebar mengenai Utang Piutang yang dijadikan lahan bisnis sebagaimana yang marak terjadi saat ini. Silahkan disimak. Semoga bermanfaat
=====================================================================
Hutang-Piutang Kok Jadi Jadi Lahan Bisnis?
“Praktek pengambilan bunga saat ini lebih parah dibanding pada zaman jahiliyah dulu. Berikut ini adab atau etika utang-piutang menurut Islam.
“Ustad, para rentenir itu ketika dinasihati malah berargumen bahwa wong tujuan kami baik, membantu orang-orang yang sedang terjepit, kok. Masak ndak boleh? Bagaimana menurut ustadz?” tanya seorang anggota jamaah pengajian saya.
Sebelumnya saya menjelaskan perilaku tercela para lintah darat yang menjadikan utang-piutang sebagai bisnis. Terhadap pertanyaan itu, saya menjawab dengan bertanya, “Nulung (membantu) atau menthung (memukul)? Berniat murni membantu orang yang kesusahan, atau memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan? Kalau benar-benar untuk membantu, mengapa mesti disyaratkan di awal bahwa kelak peminjam harus mengembalikan utang beserta bunganya?”
Islam membolehkan utang-piutang jika sesuai etika bukanlah tanpa tujuan. Banyak hikmah mulia yang bisa dipetik oleh pemberi pinjaman maupun peminjam. Di antaranya menumbuhkan ruh saling membantu dan kepedulian sosial terhadap sesama.[1] Karena itu, pemberian piutang sebenarnya harus bermotif sosial (ihsan) dan ibadah untuk mengharap pahala dari Allah semata. Bukan bermotif bisnis dan mengeruk untung duniawi (baca: bunga) karena menjadikan piutang sebagai bisnis merupakan perilaku jahiliyah yang diperangi Islam.
Alkisah, orang-orang jahiliyah dahulu, ketika memberi utang, menentukan jatuh tempo pengembalian. Apabila peminjam tidak bisa melunasi utang pada waktu yang telah ditentukan, mereka mengenakan bunga sebagai kompensasi tambahan waktu pembayaran.[2] Bunga itu akan semakin bertambah seiring berjalannya waktu sehingga peminjam sangat sengsara karena terbebani utang yang berlipat ganda.[3] Lalu datanglah Islam yang rahmatan lil ‘âlamîn dan melarang praktek itu, serta mengkategorikannya sebagai riba.
Allah Ta’ala berfirman, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kalian mendapat keberuntungan.”(QS. Ali Imran: 130)
Praktek utang berbunga sekarang lebih parah dibanding pada zaman jahiliyah. Pada riba jahiliyah, bunga baru dikenakan ketika peminjam tidak bisa melunasi utang pada waktu yang telah ditentukan, sebagai kompensasi pengunduran waktu pembayaran. Sedangkan perbankan dan rentenir menetapkan bunga pada saat kesepakatan dibuat, atau sejak peminjam menerima utang. Praktek riba oleh perbankan dan para lintah darat saat ini lebih jahiliyah dibandingkan praktek riba di era jahiliyah.
Etika Utang-Piutang
Di antara bukti yang menguatkan pengertian bahwa pemberian piutang dalam Islam itu berdimensi sosial dan bukan bisnis minded adalah etika yang Allah ajarkan ketika peminjam belum mampu saat utang jatuh tempo.
Ada dua pilihan yang Allah berikan:
- pelunasan utang diundur sampai debitur mampu melunasinya, atau
- utang dibebaskan setelah peminjam benar-benar tidak mampu membayar utangnya.
Allah Ta’ala memerintahkan pengunduran waktu pelunasan utang sebagaimana firman-Nya, yang artinya: “Jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.” (QS. Al-Baqarah: 280).
Sementara itu jika setelah ditunda peminjam tetap tidak mampu melunasi utangnya, Allah berfirman dalam lanjutkan ayat tersebut, yang artinya: “Bila kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kalian mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 280). Maksud “sedekah” dalam ayat itu adalah membebaskan peminjam dari kewajiban mengembalikan utangnya, total maupun parsial.[4]
Apa gerangan yang mendorong muslim melakukan etika itu?
Apa pula keuntungan duniawi yang akan diunduhnya manakala ia mengundur tenggang waktu pelunasan atau bahkan membebaskan utang peminjam? Motifnya tidak lain karena mengharap pahala ukhrawi, sebagaimana dijanjikan Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam dalam sabdanya, “Barang siapa menangguhkan pembayaran utang orang yang sedang kesulitan, atau membebaskan utangnya, maka Allah akan menaungi dia dengan naungan-Nya (pada hari kiamat).” (HR. Muslim dari sahabat Ubâdah bin Shâmit)
Ntar Jadi Ketagihan, Dong!
Mempraktekkan etika tadi apa tidak mengakibatkan para peminjam semakin menjadi-jadi berutang dan tetap tidak melunasi utangnya? Kita perlu melihat tipe peminjam. Apakah ia berutang karena betul-betul kepepet dan bertekad bulat melunasinya. Ataukah terkenal hobi berutang, butuh atau ndak butuh. Dan dari awal telah tercium ia tidak punya itikad baik untuk membayar utangnya. Atau bahkan sudah terkenal di seantero kampong sebagai jago utang plus malas membayar?
Jika termasuk tipe kedua, kita memiliki tanggung jawab moral untuk memberinya pelajaran dan merubah perilaku buruknya. Yakni dengan tidak membebaskan utangnya. Atau bahkan mungkin sejak awal tidak memberinya utang. Menilai dan membedakan tipe orang sebenarnya telah diisyaratkan Allah dalam akhir QS. Al-Baqarah: 280 tadi, yakni “Jika kalian mengetahui.” Mengetahui apa? “Mengetahui bahwa pembebasan utang tersebut positif.”[5]
Manakala kita terdesak karena kebutuhan, misal istri harus segera dioperasi, padahal kantong lagi kempis, tak dinyana seorang teman berbaik hati meminjamkan uangnya. Kita pun diberi keluasan tenggang waktu. Tanpa bunga pula. Bukankah dia telah berbuat baik pada kita? Bagaimana cara kita membalas budi baiknya? Apakah tidak dibenarkan mengembalikan pinjaman itu dengan melebihkan jumlah pinjaman, dengan niat balas budi?
Boleh, bahkan disunnahkan.[6] Sebab Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam pun dalam banyak hadis sahih diceritakan bahwa beliau sering mempraktekkannya ketika membayar utang.[7] Beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling baik ketika membayar utang.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah). Hanya saja, para ulama menjelaskan bahwa boleh memberi kelebihan ketika pelunasan utang, dengan syarat:
- Tidak ada kesepakatan di muka;
- Bukan menjadi kebiasaan masyarakat yang tidak tertulis;
- Benar-benar inisiatif sepihak dari debitur; dan
- Diberikan pasca pelunasan utang. Inilah yang membedakan antara tambahan pelunasan utang sebagai balas budi dan praktek tercela yang dilakukan perbankan dan rentenir sebagaimana dijelaskan sebelumnya, yang mempersyaratkan pengembalian pinjaman dengan melebihkan jumlah pinjaman sejak awal transaksi.[8]
Wallahu ta’ala a’lam.***
Oleh Ustadz Abdullah Zaen, Lc., MA
Catatan redaksi (pengusahamuslim.com) :
Etika Utang-Piutang
Utang-piutang dalam Islam berdimensi sosial dan bukan bisnis minded. Etika yang Allah ajarkan adalah pelunasan utang diundur sampai debitur mampu melunasinya, atau utang dibebaskan setelah peminjam benar-benar tidak mampu membayar utangnya.“Jika (orang berutang itu) dalam kesulitan, maka berilah tenggang waktu sampai dia memperoleh kelapangan.” (QS. Al-Baqarah: 280). “Bila kamu menyedekahkan, itu lebih baik bagimu, jika kalian mengetahui.”(QS. Al-Baqarah: 280). Maksud “sedekah” dalam ayat itu adalah membebaskan peminjam dari kewajiban mengembalikan utangnya, total maupun parsial.Seorang muslim melakukan etika utang-piutang dengan mengundur tenggang waktu pelunasan atau bahkan membebaskan utang peminjam adalah mengharap pahala ukhrawi.Dibenarkan mengembalikan pinjaman dengan melebihkan jumlah pinjaman, dengan niat balas budi kepada yang meminjami. Boleh dan disunahkan. Tapi ada syaratnya. Etika inilah yang membedakan antara tambahan pelunasan utang sebagai balas budi dan praktek tercela yang dilakukan bank dan rentenir.
Keterangan:
[1] Baca: Ahkâm ad-Dain – Dirâsah Hadîtsiyyah Fiqhiyyah karya Sulaiman al-Qushayyir (hal. 21-22).
[2] Lihat: Tafsîr ath-Thabary (VI/49).
[3] Baca: Ar-Ribâ, Khatharuhu wa Sabîl al-Khalâsh minhu, karya Dr. Hamd al-Hammad (hal. 10).
[4] Periksa: Tafsîr as-Sa’dy (hal. 98).
[5] Tafsîr al-Jalâlain (hal. 56).
[6] Baca: Syarh Shahîh Muslim karya Imam an-Nawawy (XI/39).
[7] Lihat berbagai hadits tersebut beserta takhrijnya dalam Ahkâm ad-Dain (hal. 235-250).
[8] Syarh Shahih Muslim (XI/39).
Pernah dengar berita tentang rumah seharga 700juta disita gara-gara tidak bisa melunasi utang sebesar 55juta ?
Mojokerto – Nasib mengenaskan menimpa eks kepala desa (Kades) Jetis Edi Sasmito di Dusun Wonoayu, Desa/Kecamatan Jetis, Kabupaten Mojokerto. Gara-gara tidak bisa melunasi sisa utang di Bank Danamon, rumah yang dinilai seharga Rp 700 juta itu dilelang hanya seharga Rp 50 juta.
Akibatnya, eksekusi pun sempat berlangsung ricuh, Selasa (3/5/2016). Edi bersama anak dan istrinya berusaha melawan petugas juru sita PN Mojokerto. Namun perlawanan mereka sia-sia.
Bahkan Edi mengancam akan bunuh diri dengan menenggak racun jika petugas juru sita memaksa masuk.
Eksekusi rumah seharga ratusasn juta yang dihuni Edi dan keluarganya berjalan alot. Juru sita PN Mojokerto yang datang dikawal puluhan anggota polisi dan TNI ke rumah mewah itu dihadang di pintu gerbang. Penghuni rumah memasang rantai dengan kunci gembok pada pintu gerbang dan menutup rapat semua pintu rumah.
http://news.detik.com/berita-jawa-timur/3202733/utang-rp-55-juta-rumah-mewah-eks-kades-dilelang-danamon-rp-50-juta
Lantas bagaimana sistem yang berjalan di Koperasi Syariah Arrahmah ?
Alhamdulillah, kami telah menerapkan sistem syariah dalam setiap transaksi kami. Hal ini sangat penting agar tidak terjadi riba maupun kedzoliman antara kedua belah pihak, baik pihak anggota maupun pihak koperasi sebagaimana yang mungkin telah terjadi pada contoh kasus diatas.
Memang, untuk menjaga investasi anggota, kami, koperasi Syariah Arrahmah, tetap menerapkan adanya jaminan dalam setiap transaksi nominal tertentu, khususnya transaksi > 5 juta. Namun insya Allah sistem jaminan ini diperbolehkan oleh syariat Islam. Silahkan baca disini hukum bolehkan jaminan / barang yang dikredit dijadikan jaminan
Ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan karena takdir Allah, dan ternyata anggota tidak sanggup lagi melanjutkan pembayaran / melunasi utangnya ke koperasi, maka koperasi boleh menyita barang jaminan milik anggota, namun keadilan tetap berlaku bagi kedua pihak.
Ketika hasil penjualan atas barang jaminan milik anggota lebih besar dari nominal utang ke koperasi, maka koperasi wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada anggota. Demikian sebaliknya ketika ternyata hasil penjualan kurang dari nominal utang anggota kepada koperasi, maka anggota tetap berkewajiban membayar utang tersebut hingga lunas disaat dia memiliki kemampuan untuk membayar utang tersebut.
Demikianlah Islam sangat menjaga unsur keadilan dan menutup keran terjadinya kecurangan dan kedzoliman atas hak hamba.
Berikut kami sampaikan tulisan yang insya Allah bermanfaat terkait perihal barang jaminan yang kami ambil dari sumber terpercaya yang menjadi rujukan dalam kegiatan transaksi di koperasi syariah arrahmah kalsel.
Semoga bermanfaat.
============================================================
Bagaimana dengan kasus gara-gara tidak bisa melunasi sisa utang di Bank Doremon, rumah yang dinilai seharga Rp 700 juta itu dilelang hanya seharga Rp 50 juta.
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,
Sebelumnya kita awali dengan memahami skema transaksi utang bergadai,
Pertama, bahwa transaksi nasabah dengan bank adalah utang piutang. Sementara jaminan sertifikat yang diserahkan nasabah ke bank berstatus sebagai barang gadai (rahn). Nasabah sebagai penggadai (rahin), sementara bank sebagai penerima gadai (murtahin).
Kedua, dalam transaksi gadai, barang yang menjadi agunan tidak berpindah kepemilikan ke Murtahin. Barang itu tetap menjadi milik nasabah (rahin), sehingga dia yang paling berhak atas barang itu. Meskipun utang belum lunas ketika jatuh tempo.
Ini berbeda dengan kejadian masa jahiliyah. Pada zaman jahiliyah dahulu apabila telah jatuh tempo pembayaran utang dan orang yang menggadaikan belum bisa melunasi utangnya maka pihak yang berpiutang menyita barang gadai tersebut secara langsung tanpa izin orang yang menggadaikannya.
Ketika Islam datang, sistem dzalim semacam ini dibatalkan. Karena status barang gadai tersebut adalah amanah dari pemilik yang ada di tangan pihak yang berpiutang (murtahin). (Taudhihul Ahkam, Syarh Bulughul Maram, 4/467).
Ketiga, Dibolehkan bagi bank untuk meminta nasabah agar segera melunasi utangnya. Jika tidak memungkinkan, bank boleh meminta untuk menjual aset yang digadaikan.
Dalam Taudhih al-Ahkam dinyatakan,
لا يجبر الراهن على بيعه إلاَّ إذا تعذر الوفاء، حينئذٍ تأتي الفائدة من الرهن فيباع ويوفى الدين، فإن بقي من الثمن شيء فهو للراهن
Nasabah gadai (rahin) tidak boleh dipaksa untuk menjual barang gadai, kecuali jika tidak memungkinkan baginya untuk melunasi utangnya. Di sinilah fungsi gadai itu terlihat. Barang gadai bisa dijual untuk menutupi utangnya. Jika masih ada yang tersisa dari hasil penjualan setelah dikurangi utang, maka diserahkan ke pemilik barang (rahin). (Taudhihul Ahkam, Syarh Bulughul Maram, 4/467).
Keempat, mengingat pelepasan gadai dilakukan dengan cara menjual aset, maka yang paling berhak menentukan harga adalah pemiliknya. Jika tidak memungkinkan, pemerintah berhak mengambil tindakan, membekukan aset itu. Pemerintah bisa melakukan lelang terhadap aset dengan harga standar, untuk menutupi utang nasabah.
Di sinilah peran pemerintah sangat diharapkan. Pihaknya berkewajiban melidungi kedua belah pihak. Melindungi hak orang memiliki utang (nasabah) dan melindungi hak pemberi utang (lembaga keuangan). Tidak boleh dilelang dengan harga yang bisa mendzalimi pemiliknya. Misalnya, dijual dengan harga jauh di bawah harga pasar. Di tempat kita, salah satu standar yang digunakan adalah NJOP (Nilai Jual Objek PaJak).
Di negara kita, tanggung jawab ini dipegang oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL). Kita berharap, kantor semacam ini bisa bekerja lebih maksimal, dan bersih dari mafia.
Lelang Bank
Kebijakan lelang bank, salah satunya dengan melihat pertimbangan kolektibilitas. Beberapa bank, nasabah yang tingkat kolektibilitas 5, untuk rentang penunggakan lebih dari 6 bulan, berhak untuk dilakukan penyitaan aset. Menurut informasi, ketika nasabah berada pada tingkat kolektibilitas 3 sampai 5, maka masuk kategori NPF (Non Performing Financing) atau loan (utang).
Yang menyedihkan adalah prinsip pihak bank adalah yang penting barang itu laku, sehingga bisa menutupi nilai utang berikut bunganya. Atau bahkan yang penting cukup untuk melunasi pokok utangnya. Sehingga, untuk harga lelang, bank tidak terlalu ambil pusing.
Realita ini menunjukkan bahwa lelang hasil sitaan bank maupun lembaga keunangan, adalah lelang yang tidak sehat. Sangat mendzalimi nasabah. Sehingga dijual dengan harga yang sangat murah. Dan semua kedzaliman, pengadilannya akan berlanjut di akhirat.
Alah berfirman,
وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ إِنَّمَا يُؤَخِّرُهُمْ لِيَوْمٍ تَشْخَصُ فِيهِ الْأَبْصَارُ
Janganlah sekali-kali kamu (Muhammad) mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim. Sesungguhnya Allah menunda hukuman untuk mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak. (QS. Ibrahim: 42)
Mereka para pemenang lelang, bisa berbahagia dengan menguasai harta orang lain dengan cara legal dan murah. Bisa jadi di dunia dia menang ketika eksekusi, tapi ingat ketika di akhirat, bisa jadi urusan ini akan kembali dilanjutkan dan diselesaikan di pengadilan akhirat.
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits